Kamis, 21 Juni 2012

Surat Kepada Tuhan : Tentang Sahabat


Tuhan...
Sebenarnya tanpa aku menulis, pasti Kau tau apa yang ada di dalam hati ku. Tapi sekali-kali, aku ingin ada romantisme seperti ini dengan Mu,  melalui cara konvensional ini. Kali ini, Kau benar-benar memenuhi inspirasi ku hingga jari ku menolak untuk istirahat di tengah malam ini. Harusnya aku Shalat ya? Tapi ini aku juga sedang mengingatMu Tuhan... Okay... Nanti aku akan Shalat walau aku tidak tahu apakah aku benar-benar bisa menegakkan nya atau tidak. Well Tuhan, aku sebenarnya tidak tahu, apakah Engkau pernah menerima Shalat ku, tapi aku pikir engkau terlalu baik untuk menolaknya. Boleh kan aku pikir begitu?

Tuhan.. 
Ini pertengahan Tahun. Iya, Kau juga tahu itu. Tapi... aku hanya ingin mengungkapkannya dengan getir di hadapan Mu. Padahal tengah tahun dan aku sudah lesu. Memang, ada beberapa keberuntungan di Tahun ini yang tidak pernah aku rencanakan. Mungkin, itu berkat aku yang tidak berani meminta apa-apa padaMu selain minta yang terbaik? Aku ingat disaat aku merengek kepadamu di ujung Ramadhan tahun lalu tentang kekasih ku yang pergi, aku sempat meralat doa-doaku tentang minta dijodohkan dengannya. Aku ralat dengan doa semoga aku Engkau beri yang terbaik. Memang beda tipis antara pasrah padaMu dan menyerah. Aku tidak tahu lagi hidupku jadi apa. Dan setelah aku berhasil melewati segalanya, aku dengar, Engkau seolah-olah tersenyum dan berkkata, "Tuh... kan... dibilangin juga apa... Jangan sedih terus, Aku kan selalu kasih kamu yang terbaik. Dan kamu harus bisa tahu bahwa itu adalah hal terindah dari Ku yang selalu ADA untukMu."

Tuhan...
Aku mau berbagi tentang kegetiran ku , bukan karena aku tidak bersyukur nikmat Mu, hanya saja, aku merasa agak melankolis sekarang. Well, dimulai dari mana? Aku jadi agak gugup. Maaf...

Tuhan...
Aku ingat salah satu KekasihMu bernama Jalaluddin Rumi, Ia memiliiki seorang sahabat yang juga kekasihMu bernama Syamsi Tabriz. Betapa rapatnya dua sahabat itu hingga Rumi sang Pujangga tidak dapat melewati hari tanpanya. Setiap hari ada saja hal yang Rumi ceritakan dan berbagi tentang hikmah pada sahabatnya. Hingga suatu hari Syamsi Tabriz pergi meninggalkan Rumi untuk kebaikan Rumi sendiri. Rumi, yang telah terbiasa bersama dengan sahabat dan sekaligus gurunya dalam meresapi alam begitu kehilangan. Kesedihan atas kehilangan itulah yang mengantarkannya jadi penyair lewat banyak sajak tentang sahabatnya. Patah hati ditinggal oleh si sahabat membuat lisannya fasih dalam meramu hikmah lewat semesta.

Tuhan....
Ceritaku tentang kekasihMu belum selesai. Beberapa orang tidak suka dengan persahabatan erat mereka karena hanya Syamsi Tabriz yang merajai hati Rumi. Lalu fitnah keji menghampiri sang sufi yang sedih dengan berkata bahwa sang sufi telah berubah menjadi pecinta sesama jenis. Orang kira kedekatan mereka adalah kedekatan hawa nafsu, tapi sebenarnya kedekatan mereka adalah kedekatan spiritual yang gagal dipahami siapapun yang tidak pernah mereguk manisnya persahabatan. Kepatah hatian nya telah melahirkan karya besar “Maqalat-i Syams Tabriz”. Luar biasa memang kekasihMu itu.

Tuhan...
Ceritaku mungkin berbeda dan agak ternoda di sana sini sejak perkenalan kita berdua. Kau tahu maksudku kan? Kisah kita tidak sesuci kisah Rumi. Namun, aku telah kehilangan sahabatku yang pernah jadi tempat curahan segala keluh kesahku padanya. Aku pikir, kita sama-sama berkeluh-kesah. Aku berfikir, apakah Ia kehilangan aku? Aku tidak pernah tahu. Ia yang memperkenalkan dirinya sendiri lewat perjalanan kedewasaannya telah pergi. Aku tidak tahu bagaimana agar sebuah pintu yang menutup menjadi sekat akan terbuka kembali diantara kita berdua. Apakah perpisahan ini juga hal terbaik dari sisiMu Tuhan?

Tuhan...
Aku tahu bahwa ada kesalahan besar di sini. Di antara persahabatan kita berdua yang rumit. Kesalahan itu adalah kelalaian kita yang saat itu mungkin kita cari2 pembenarannya disisiMu. Aku menyalahkannya karena Ia yang membuat kesalahan, padahal, di kesalahan itu, aku juga jadi peran utama di dalamnya. Betapa angkuhnya aku... Maafkan aku yang mendzolimi diriku sendiri dengan menjadikannya tameng kesalahan ku.

Tuhan...
Ia sudah pergi sekarang. Jasadnya masih ada dan bergerak walau jauh di sana yang tidak dapat aku lihat. Jiwanya masih seindah persahabatan kami dulu aku rasa. Tapi aku sama sekali tidak melihatnya menyapaku kecuali lewat mimpi. Sungguh, ini bukan asmara yang remeh temeh. Aku memang tidak menitikkan air mata dalam panjangnya perpisahan ini. Tapi aku selalu mengingatnya seolah Ia adalah butiran tasbih dalam Dzikir spiritual ku. Seperti halnya aku yang kadang memprasangkakan diriMu dengan sangkaan2 buruk ku. Aku juga kadang begitu dan aku berhak menghukum diriku sendiri tentang itu. Dengan meminta maaf kepadaMu dan kepada jiwa Sang Sahabat. Ia tidak tahu apa yang aku lakukan di belakangnya. Tapi Engkau tahu dan Engkau menyayanginya. 

Tuhan...
Aku pernah berjanji padanya untuk membantunya menghadapi dunia. Dan kini, setelah keterpisahan kita, aku tidak tahu bagaimana cara dia untuk menghadapai dunia kini. Dunia ini terlalu kejam untuk dihadapi sendirian. Aku pernah berjanji padanya banyak hal... Memberi tahu dia betapa indahnya bermimpi dan kemudian mewujudkannya bersama. Dan kini aku dapati, aku yang tidak sanggup menghadapi dunia tanpanya. Aku tiba-tiba rindu ucapan-ucapan sinis nya tentang banyak hal. Aku mulai merindukan kisah-kisah dan caranya mendongeng untukku. Caranya memandang sesuatu seringkali tidak aku setujui. Tapi membuatku memiliki pandangan dari sudut yang lain. Seolah Ia adalah tokoh utama yang muncul dari sebuah novel yang kadang menggelikan, kadang, mengharukan, kadang menyebalkan. Dia sempurna dalam ketidaksempurnaan nya yang sering aku tertawakan.

Tuhan...
Tolong beritahu aku, atau kirimken seseorang padaku yang tahu tentang dirinya kini untuk mengabari aku tentang Sang Sahabat. Sekarang bagaimana keadaannya? Bagaimana Ia memandang dunia tanpa aku di dalamnya? Bagaimana Ia melalui hari tanpa mengatakan apapun padaku atau bahkan mungkin Ia telah berhenti mengatakan segalanya pada siapapun? 

Tuhan...
Aku memang tidak terlalu percaya saat Ia berkata bahwa aku adalah satu-satunya sahabat yang Ia punya di dunia ini. Tapi perlahan, aku mulai percaya padanya tentang banyak hal. Tentang kisah cintaku yang pernah membuatku menangis dan gelisah, tentang masa depan ku aku tatap tajam, tentang segalanya. Orang bilang bahwa ini adalah cinta antara sepasang anak muda. Aku bilang bukan... Aku tidak pernah membayangkan dengan sungguh2 bahwa Ia akan menjadi pendamping hidupku. Tidak pernah. Aku selalu menempatkannya sebagai sahabat yang aku takzim padanya dengan kadar yang aku mampu walau aku tidak pernah benar-benar menampakkan ketakzimanku padanya. 

Tuhan...
Bodohnya, aku yang kecewa padanya mulai menghukumnya di alam pikir ku. Kekecewaan ku padanya terlampiaskan dengan bercerita tentang nya pada orang yang tidak mengenal Ia sebaik aku mengenalnya. Rasanya, unsur pembicaraan adalah apapun tentangnya yang aku sampaikan pada siapapun. Kadang menyebutkan namanya, kadang tidak. Aku tidak siap kisah persahabatan kita sudah tamat, dan orang menyebutnya sudah sampai pada di bab akhir. Aku menginginkan sequel yang tidak pernah aku dapatkan. Betapa sedih akhir yang harus dipilih. Aku malu bertanya pada orang terdekatnya, bagaimana kabarnya. Aku juga sedikit marah pada orang yang berfikir bahwa ini hanyalah persoalan asmara remaja. Aku juga tidak bisa memaksa orang untuk memahami bahwa aku selalu menganggapnya sebagai sahabat. Tidak pernah lebih.


Tuhan...
Aku tidak tahu Ia memandangku sebagai apa, sebagai siapa. Tapi yang harus Ia tahu, aku tidak bisa membencinya. Aku tidak bisa menjadikannya seperti kalender tahun lalu yang menyedihkan karena di lembaran tahun akan datang Ia tidak akan pernah ada. Aku mencintai siapapun yang Ia cinta walau itu tidak tampak di hadapannya. 

Tuhan...
Berilah Ia kehidupan lebih baik, seperti yang pernah ditulisnya untukku, "Tuhan, Ia sahabatku, jagalah selalu dirinya..." Betapa menyedihkan ketika orang bertanya tentang nya padaku padahal aku tahu juga sedang ingin tahu tentangnya. Dan aku harus tersenyum menceritakan lelucon lama tentangnya dengan getir seolah aku dan dia tidak ada apa-apa. Aku sedih tiap kali orang menggodaku tentangnya dan bertanya apakah sekarang kita berdua memilih mengungkapkannya lewat inbox yang rahasia? orang pikir ada romantisme yang berlanjut antara aku dan dia. Mendengar itu hatiku getir sekali dan aku harus mengatakan segalanya baik..

Tuhan...
Apakah dengan mengungkapkan ini, aku jadi terlalu lemah??
Maaf...


Tuhan...
Aku akan jadi kuat lagi keesokan harinya, saat aku sadar bahwa mungkin memang kita harus terpisah untuk menciptakan sebuah maha karya dalam perjalanan spiritual yang harus kita jalani sendiri-sendiri. Aku yakin mampu menjalaninya. Aku juga yakin Ia telah menemukan cara untuk menghadapi kerasnya dunia karena Engkau yang maha Suci selalu bersamaNya. 

Apabila cinta ada di hati yang satu
Pasti juga cinta itu ada di hati yang lain
Karena tangan yang satu
Takkan bisa bertepuk, tanpa tangan yang lain
(Jalaluddin Rumi)

6 komentar:

  1. salam.. sungguh surat yang amat indah.. membuatku rindu akan sahabatku yg juga baru2 ini pergi karena alasan ingin mendewasakan diri tanpaku.. tanpaku disampingnya.. hmm.. jadi rindu dgn sahabat2ku.. yg entah dimana mreka berada skrg..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setiap yang bermula "Hai" akan berakhir dengan "Good bye." Kita tau itu, tapi tetap saja, hal itu menyedihkan apalagi dengan cara yang tidak kita sepakati bersama. :(

      Hapus
  2. bukan hanya tidak disepakati bersama.. namun, sebuah hal yang lebih menyedihkan lagi ketika sebuah alasan perpisahan itu adalah alasan yang dibuat-buat demi menjauh dari kita :'(.. hmm..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener.. bener... Sebenarnya mungkin ada alasan lain yang terlalu tidak pantas untuk di sampaikan. Semoga diberi yang terbaik ya... Amin...

      Hapus
  3. there's nothing left to say beside Subhanallah

    BalasHapus

Komentar Kamu?