Jumat, 20 Maret 2015

Demam

Sebenarnya hari ini perlu ke kampus supaya dapat koneksi internet. Selain itu, ingin juga liputan peristiwa penting di Monas. Akun twitter @InfoHindu mengizinkan kita dari @bebasberagama untuk meliput prosesi Melasti. Melasti adalah kegiatan yang dilakukan umat Hindu di tingkat provinsi sebelum hari raya Nyepi untuk membuang bala bencana kehidupan. Salah satu rangkaian acaranya adalah pawai Ogoh-ogoh di Monas sebagai bagian dari upacara Tawur Agung Melasti tersebut. Kesempatan yang tak datang setiap hari kan?

Aku menghubungi kawan apakah dia bisa menemani pendokumentasian foto maupun video. Sayangnya, dia sedang sibuk. Begitupun kawan lainnya. Akhirnya terpaksa, aku tak berangkat karena tak mungkin bisa mendokumentasikan apapun tanpa beberapa fasilitas yang dimiliki oleh kawanku. Seperti kamera SLR misalnya…

Saat memutuskan kalau baiknya ke kampus saja, aku baru menyadari kalau kepalaku keliyengan. Lemas sekali. Aku berusaha minum banyak air dan memasak makanan sekedarnya agar punya energi. Ternyata masih juga lemas. Aku tidak tahu kenapa. Mungkin tekanan darahku turun drastis atau saking panasnya udara siang tadi.

Aku putuskan untuk istirahat. Tidur. Tapi suara berisik dari kamar baru yang dibangun dekat dengan kamar membuatku susah tidur. Udara makin lama makin bertambah panas. Sudah sejak 3 bulan lalu kipas angin di kamar rusak dan aku selalu lupa dan malas menentengnya ke tukang servis. Sudah pernah diservis, tapi sebulan kemudian rusak lagi. Padahal bayar servisnya lumayan mahal. Tidak mungkin juga membuka pintu kamar tidur saat tidur siang karena tukang bangunan mondar mandir di depan kamar dan beberapa pencurian di kamar kostan banyak yang kasusnya karena penghuni kamar tidak menutup pintu saat tidur siang. Sahabatku, si Erton pernah mengalaminya. Laptop yang ada di atas kepalanya raib saat dia ketiduran siang hari tanpa mengunci pintu.

Sementara itu, linikala twitterku penuh dengan Ibu-ibu Rembang yang mendemo UGM. Akademisi dan pemuka agama yang tak jujur selalu menggelisahkan nurani setiap orang berakal. Di kepalaku sudah terpantik banyak kata yang berapi-api. Tapi jaringan internet sama lemasnya dengan tubuhku.

Apa yang lebih menyedihkan dari melihat penindasan, tapi kita tak ambil bagian apapun untuk melakukan perlawanan terhadap itu? Walau aku sering merasa bahwa beraksi di media sosial adalah selemah-lemahnya perlawanan.

Ngomong-ngomong soal dunia akademis yang menghamba pada korporasi, aku jadi geli sendiri dengan kampus sendiri. Wisuda Oktober lalu, kampus mendatangkan Arifin Panigoro dari Medco, bos perkebunan-perkebunan sawit. Salah satu poin orasi ilmiahnya masih sama dengan yang dia bahas di tempat lain, yaitu soal Sawit sebagai energi terbarukan [?]. Ide yang buruk untuk memulai hidup sebagai sarjana jika menjadikan korporasi perusak ekosistem sebagai inspirasi. Ah, tapi siapalah aku ini. Saat protes ke kampus, daripada mempertimbangkan ideku, biasanya akan lebih gampang melakukan ad hominem macam, "Memangnya apa yang sudah kamu lakukan? Berapa buku yang kamu baca? Wisuda aja belum." Itu sih yang biasanya diucapkan ke kawan-kawan aktivis di kampus yang memilih kritis dengan -so called- kebijakan kampus.

Ngomong-ngomong, kampus belum bersuara terhadap isu selain soal korupsi. Padahal, kalau ambil sikap politik soal beberapa hal yang pro sama rakyat kecil, kampus bakal makin disayang semua orang. Siapa sih yang nggak cinta sama keadilan? Bahkan orang yang dzalim tingkat Neptunus pun bakal ngemis keadilan kok di pengadilan.
Suhu tubuhku sepertinya makin naik.

Beberapa hari ini, aku merebus air lewat teko air listrik berbahan stainless steel yang aman untuk makanan. Teko ini juga yang aku pakai masak masakan sederhana. Seperti Sup, Sayur Asem, Sambel Goreng Santan, Mie, dan lainnya. Tapi karena aku sedang tak enak badan, tubuhku jadi terlalu lemas untuk mencuci teko listrik yang kotor. Aku heran dengan tubuhku hari ini. Pagi tadi begitu semangat ingin liputan ke Monas, tapi siangnya mendadak loyo begini.

Akhirnya aku kehausan karena air minumku sudah habis. Aku kesulitan mendapatkan air galon karena kamar kostku ada di lantai 3 dan tidak semua penjual galon mau angkat air ke kamar. Sahabat lelakiku pun mendadak kehilangan kekuatan ototnya jika berurusan dengan angkat galon ke lantai 3. Makanya, jika aku lupa beli air mineral di luar atau tidak merebus air seperti ini, aku akan alami krisis air minum.

Aku menghibur diri dengan membaca buku Email dari Amerika karya Prof Janet Steele, salah satu guru Jurnalistikku di kursus Narasi Pantau yang sangat aku hormati. Aku hanya perlu menghabiskan beberapa halaman saja karena sudah membacanya kemarin-kemarin. Sudah berhasil menamatkan buku itu sore ini sampai halaman epilog dari Mas Imam. Saat membaca Epilognya, yang terbayang adalah kepala gundul Kembang, anak mas Imam yang katanya sudah mulai bisa duduk. Aku jadi kangen sekali padanya.

Setelahnya, aku mengulang baca buku Kosmologi karya William Chittick. Aku senang sekali mengulang-ulang bagian perbedaan ilmu nukilan dan ilmu intelek. Ilmu nukilan menekankan seseorang untuk mentaati dogma dan otoritas. Ilmu intelek menekankan kesadaran diri dan proses afirmasi kebenaran lewat diri sendiri. Ilmu yang sejati adalah yang intelek, kita harus berefleksi dan membuktikan kebenaran serta kebijaksanaan ilmu yang kita dapat lewat jalur swabukti. Bukan karena kitab suci, otoritas, maupun dogma-dogma. Apalagi tujuan utama dari pencarian intelektual bukanlah untuk mengumpulkan informasi atau 'fakta-fakta' maupun sekedar memberikan kemajuan pada dunia sains. Tapi pencarian intelektual adalah untuk memperbaiki pemahaman manusia, melatih pikiran dan menjernihkan hati manusia. Sehingga pencari pengetahuan selalu merealisasikan pengetahuannya itu lewat aksi nyata. Aku lebih senang menyebutnya dengan memenuhi konsekuensi intelektual manusia. Karena, jika menuruti dogma, otoritas, maupun kitab suci saja, maka kita akan jadi sekedar peniru. Peniru bukanlah seseorang yang bisa bijak menetapkan sesuatu. Kalau kita lihat saintis yang menghamba pada catatan kakinya atau para ulama yang menetapkan berbagai fatwa secara spesifik seolah umatnya tak bisa berpikir sendiri hal yang baik untuknya, maka itu yang disebut Chittick sebagai penguasa ilmu nukilan.

Jelang Maghrib, tetangga kost depan rumah pulang kerja. Dia adalah seorang wanita keturunan Ambon beragama Kristen Protestan. Kepulangannya bersamaan dengan hujan yang mulai deras dengan petir menyambar-nyambar. Udara yang aku rasa panas mendadak jadi dingin sekali. Mungkin karena efek demam. Karena aku buka pintu kamarku dan bertanya apakah dia kedinginan, dia jawab tidak, malah panas karena AC di kamarnya mati. Listrik di kamar kami memang sengaja dimatikan penjaga kostan karena perbaikan bangunan dekat kamar kami membuat beberapa kabel listrik terbuka dan rentan konsleting jika listrik tidak dimatikan. Aku sempat meminta air minum padanya. Kemanusiaan memang tak kenal suku maupun agama. Dia baik sekali padaku.

Walau lampu kamarku mati, aku masih terus membaca Chittick dengan bantuan senter handphone jadulku.

Hujan makin deras, petirnya makin mengerikan. Aku memikirkan warga di Kampung Duri, daerah Kebon Pala yang beberapa hari lalu aku sambangi. Pasti mereka -yang memang tinggal di bantaran Kali Ciliwung- mulai kebanjiran. Mereka membentuk komunitas bernama Ciliwung Merdeka. Aku dan Dhana sempat mewawancarai Romo Sandyawan, tokoh keren di balik berdirinya Ciliwung Merdeka. Semoga saja tulisanku soal ini segera selesai. Jika aku sudah sehat pastinya.

Listrik kostan akhirnya dinyalakan juga.

Aku mengecek linikala twitter dan sudah ada kabar soal banjir di mana-mana. Bahkan dua sahabatku sudah mengabari kalau mereka terjebak banjir di rumahnya. Katanya, air mulai masuk rumah. Aku agak cemas walau tahu bahwa mereka akan baik-baik saja. Mereka kan lelaki dewasa yang bisa menjaga diri.

Lalu aku ingat juga Uda penjual Sate Padang dekat kostan. Aku pernah menulis soal dia di blog ini. Pintu kamar kostan yang terbuka membuatku bisa mencium aroma Sate Padang dagangannya. Jadi aku tahu pasti bahwa malam ini dia pasti berjualan.

Aku bertanya padanya lewat whatsapp, hujan sudah sederas ini, bagaimana dengan dagangannya?

Dia menjawab, "Hujan mah biasa mbak. Udah romantikanya begini."

Dulu waktu SMA, aku pernah berjualan kerajinan tangan boneka felt secara kaki lima dari satu pasar malam ke pasar malam lain. Hujan begini pasti dagangan jadi tak laku karena bahkan menggelar dagangan pun tak mungkin karena dagangan rentan rusak jika terkena air hujan. Hujan akan membawa dampak merugi karena stand dagangan sudah dibayar ke pemborong pasar malam.

Bagiku, hujan begini sangat tidak romantis untuk penjual outdoor. Mungkin Sapardi tak pernah merasakan sulitnya musim hujan bagi pedagang kaki lima, baik pagi, siang, senja ataupun malam. Sehingga hujan selalu saja romantis di matanya. Adikku saja masih berjualan produk yang sama di Ngarsopuro Night Market Solo tiap malam Minggu.

Hujan, bagiku, selalu pahit rasanya.

Aku bilang ke Uda kalau aku sangat malas keluar karena hujan begini bahkan untuk cati makan malam. Karena aku masih harus ke ATM, lalu cari warung untuk makan. Aku tak bilang padanya soal demam karena tak ingin buat dia khawatir.

Dia menawarkan diri untuk mengantar makanan ke kamar kost ku. Dia juga bertanya apa makanan yang aku inginkan, Pempek, Nasi Goreng, Mie Goreng, Martabak, ataukah makanan lainnya. Aku bilang aku memang tergoda Sate Padangnya, tapi aku bersikeras menolak kebaikannya karena tak mau merepotkan. Lagipula dia sedang jualan di gerobaknya.

Dia bilang, saat ini sedang sepi pelanggan, dan soal pembayaran gampang saja. Besok juga tak apa.

Aku jadi malu dengan penawarannya. Dia tanya aku ada di kamar nomer berapa karena kostanku sangat besar dengan puluhan kamar dan berlantai 3. Dia juga bilang sudah ada di bawah. Aku menyebutkan nomer kamar dan sebentar kemudian dia mengantarkan Sate Padangnya yang enak sekali. Sate Padang terenak di Jakarta bagiku!

Dengan sangat tak enak hati aku mengucapkan terimakasih padanya berkali-kali. Ini pertama kalinya aku berhutang dengan penjual makanan di Jakarta. Padahal aku sudah tinggal di Jakarta bertahun-tahun. Nyaliku selalu kecil dalam masalah piutang ke pedagang.

Udara makin dingin. Aku sudah minum, sudah makan malam, dan kini mulai berkeringat. Aku merasa sudah sehat walau kepalaku masih keliyengan.

Hari ini aku memang tak keluar kamar sama sekali tapi ternyata cukup memikirkan banyak hal. Tentu saja ada hal-hal yang tak mungkin ditulis di sini.

Seharusnya besok sudah sembuh. Biar aku tak hanya sekedar bisa berpikir, tapi mampu juga berbuat.

Amin.

Ada Baiknya Punya Sedikit Cinta untuk Diri Sendiri

Ada baiknya menjalani hidup dengan sedikit cinta untuk diri sendiri. Seperti ini.

Jika cinta pada diri sendiri banyak, ia tak akan membiarkan derita gerogoti nafas hidupnya lebih lama. Pikiran tentang segera akhiri kegetiran ini akan memenuhi rongga mimpi paling sadar yang datang di setiap malam.

Ternyata, ada baiknya juga jalani hidup dengan sedikit cinta untuk diri sendiri. Karena, jika cinta diri menguasainya, hal paling waras yang dipikirkan adalah tentang derita yang mesti diakhiri sekarang juga. Sekarang. Tak bisa nanti. Tak perlu ditunda. Selagi yang dipunya adalah ketiadaan yang bukan apa-apa beserta sejumput harga diri yang sewaktu-waktu bisa ditawar para bajingan.

Memang…

Dirasa, ada baiknya juga punya sedikit cinta untuk diri sendiri.

Kau bisa ambil segala sesuatu yang tak kau punya namun kupunya. Mungkin keberadaannya selama ini tak begitu terasa. Ada ginjal, hati, otak, jantung, otot, darah, buku, rasa, air mata, pikiran, jiwa. Ambillah segalanya yang kau butuhkan selagi bisa. Barangkali kau lebih membutuhkannya untuk menyambung nafas. Menambal hidup. Menyambangi hari esok. Merasai debar yang paling keras dalam jantung kehidupan. Toh, sudah sejak lama segalanya tak lagi terasa utuh. Maka tak mengapa jika kau ambil segala yang tersisa. Tak perlu lagi bercemas diri dengan sesuatu yang tak pernah dipunya.

Karena memang, itulah baiknya punya sedikit cinta untuk diri sendiri.

Senin, 16 Maret 2015

Kacamata vs Lensa Kontak

Mana yang harusnya kita pakai kalau mata kita minus tinggi? Lensa kontak atau kacamata? 

Sahabatku pernah mengirim blog berisi orang yang matanya iritasi parah karena efek buruk lensa kontak. Dia bertanya padaku, "Setelah baca itu, elu masih berani pakai softlens?"

Aku jawab, "Masih dong..."

Bukan berarti aku tak peduli kesehatan. Memang banyak orang langsung bilang akan memilih penggunaan kacamata jika pertimbangannya adalah kesehatan. Sebagiannya -terutama perempuan- mengatakan lebih baik menggunakan lensa kontak dengan manfaat praktis untuk kecantikan. 

Kalau aku? Keduanya! 

Di postingan ini, aku ingin membagi pengalaman soal keduanya.

Kacamata
Awal pakai kacamata adalah waktu hari pendaftaran di SMP. Sebenarnya mataku sudah minus sejak SD, tapi kurang percaya diri memakainya. Malu. Aku tidak nyaman dikomentari orang lain yang tidak terbiasa dengan hal baru. Tidak tahan juga kalau disindir aneh-aneh hanya karena hal sederhana. 

Kacamata pertamaku modelnya tanpa rangka. warna ungu Saat itu model itu sangat aneh karena semua kacamata biasanya berbingkai. Kacamata biasnaya hanya digunakan para orangtua dengan profesi guru, dokter atau pegawai kecamatan.

Aku pernah main ke rumah temanku yang desanya lebih terpencil dari desaku. Tetangga dan keluarga langsung berkomentar. "Koncomu koyo bu Dokter, ngganggo kocomoto."

Mengenang itu sungguh konyol, sekarang setiap orang bebas menggunakan kacamata dengan model apapun yang dia suka. 

Sumber gambar : blog.livedoor.jp
Bahkan, dikalangan murid SMP saat itu, aku adalah pengguna kacamata satu-satunya sampai dikenal guru dan murid sebagai si kacamata. Orang tidak tahu kenapa seorang anak kecil (badanku waktu SMP sangat kecil) sudah butuh kacamata. Aku membaca terlalu banyak bahkan dalam keadaan mati lampu sekalipun karena tidak punya pilihan lain dalam beraktivitas selain baca buku. Buruk di olahraga, tidak bisa bersosialisasi dengan bahasa Jawa, payah di permainan tradisional, tidak punya banyak uang untuk jalan-jalan, dan hal-hal tidak gaul lainnya. Buku adalah pelarian terbaik saat itu. Jadi kalau sampai minus, aku tidak terlalu banyak mengeluh. Harus ada pengorbanan supaya otakku tidak kosong.

Selain bentuknya yang masih dirasa sangat aneh, kacamata tanpa rangka itu sangat ringkih, sekrupnya sering kendor sehingga bagian kaca sering tidak seimbang antara kanan dan kiri. Selain itu, keringat yang mengumpul pada gagang kacamata di lengkungan telinga sering membuat kulitku gatal. Di bagian itu juga, cat kacamata sering mengelupas, warna ungu jadi lama kelamaan jadi berganti dengan warna coklat. 

Kacamata itu berkali-kali pecah. Biasanya tak sengaja terinjak karena memang tak kelihatan dan akunya yang ceroboh. Jadi harus sering-sering ke optik untuk servis kacamata. Dalam hal penampilan, aku merasa kalau kacamata membuat lekukan jilbabku lebih lebar. Aku sebenarnya tak nyaman dengan itu, walau lebih tak nyaman lagi jika pandangan mataku mengabur. 

Lama-lama kakakku bosan mengeluarkan uang untuk urusan servis kacamata, aku diminta mengganti bentuk kacamata dengan yang berbingkai supaya lebih awet. Aku sebenarnya malas dengan sesuatu yang banyak dipakai orang. Sudah terlalu banyak orang yang memakai kacamata berbingkai. Tapi aku tak punya pilihan. Bukan aku yang harus membayar tagihan.

Kacamata berbingkai ini menumbuhkan masalah baru. 

Gara-gara kacamata berbingkai ini, jerawatku mulai tumbuh di area sekitar bingkai kacamata kendati aku sudah membersihkannya berulang kali sebelum dipakai. Memang lebih awet, tapi masalah di lekukan telingaku masih sama. Gatal dan warna framenya luntur. Saat itu aku pikir mungkin piguranya murahan. Tapi optik meyakinkan bahwa pigura kacamataku sama sekali bukan merk KW. Jadi dia menyalahkan kulitku yang terlalu sensitif. 

Selain soal gatal dan jerawat di sekitar mata, aku juga punya masalah dengan penyangga kacamata. Sering ada bekas kemerahan di sana. Seringkali perih karena terlalu terdesak penyangga hidung di kacamata. Masalah itu tidak kelihatan dari luar karena tertutup bingkai kacamata. Hanya aku yang merasakan dampaknya.

Dari segi keamanan, pakai kacamata sangat tidak nyaman jika digunakan saat menyetir motor dalam keadaan hujan karena air akan membuat kacamata kita buram. Kacamata juga sama sekali tak bisa dipakai untuk menonton bioskop yang berformat 3D. Ya mungkin bisa dipaksakan. Tapi tak nyaman.

Dari segi kecantikan, kacamata kurang bisa klop dengan riasan mata. Penggunaan maskara pada mataku yang berkacamata adalah sebuah tindakan sia-sia karena bulu mata akan menabrak lensa. Dan jika kita sudah agak berkeringat, alas bedak di wajah akan luntur terutama pada area sekitar hidung dan sekitar pigura kacamata. 

Sudah berkali-kali aku ganti kacamata karena ingin ganti model, pecah atau patah gagangnya. Sekalipun masa jangka pakainya jauh lebih lama daripada yang tanpa pigura.

Kacamataku sekarang bahannya lebih bagus daripada kacamataku dulu. Harganya memang lebih mahal karena mekanisme pasar membuat barang bagus = mahal. Warna gagang kacamatanya tidak luntur, bahannya lebih bagus, tahan banting, tapi tetap menyebabkan jerawat kecil di sekitar pigura kacamata, kemerahan di pangkal hidung, dan seringkali mengganggu riasan mata. 

Namun, penggunaan kacamata membuatku lebih enjoy dalam membaca. Bagaimanapun, lebih enak baca buku dengan kondisi mata dekat dengan lembaran buku daripada terhalang dengan kacamata. Artinya, aku perlu melepas kacamata saat baca buku. Bukan baca buku sambil berkacamata.

Kacamata itu praktis sekali digunakan terutama saat malas dan lelah. Karena setelah beraktivitas, kita bisa langsung melepaskannya begitu saja di manapun tempat yang terjangkau dengan tangan kita. Kebiasaan buruk sih, biasanya setelah ketiduran setelah melepas kacamata sembarangan itu, aku malah lupa dimana letak kacamataku pas bangunnya. Butuh waktu lagi untuk mencari, meraba-raba di setiap tempat karena mataku siwer. Kacamata juga baik dipakai di perjalanan jauh karena saat tertidur di bus atau kereta, kita bisa melepaskannya begitu saja supaya nyaman. Hal yang tak mungkin dilakukan jika menggunakan lensa kontak. 

Lensa Kontak
Perkenalanku dengan lensa kontak adalah saat lulus SMA. Teknologi lensa kontak sudah populer kendati masih sedikit orang yang memakainya. Lensa kontak pertamaku adalah lensa transparan berdiamer 12 mm dengan kandungan air 60%. Aku sangat tegas memilih lensa kontak transparan karena aku cukup bahagia dengan biji mataku yang berwarna coklat. Jadi tidak perlu warna kamuflase untuk membuat warnanya "bicara". Lensa kontak itu harus diganti sebulan sekali. 

Agak boros saat itu. Lensa kontak masih lumayan mahal. Di Solo, sepasang lensa kontak harganya Rp 120.000. Belum dengan cairannya yang seharga Rp 40.000. Sekalipun mahal, selalu bisa terbeli. Karena kondisi iritasi di telinga akibat gagang kacamata sudah lumayan memuakkan. 

Memakai lensa kontak sebenarnya lebih merepotkan. Dari segi kantong, dan perawatan. Beberapa kali mataku memerah karena iritasi. Karena kering, atau tak sengaja lensanya sobek di dalam tapi aku tak sadar. 

Selain itu soal kebersihan juga. Tempat lensa dan airnya harus selalu diganti karena kalau kotor tapi lambat diganti, akan membuat mata iritasi, bahkan kadang bengkak. Mata juga akan berair terus menerus. Orang bisa salah paham, kenapa kita menangis dikeadaan tertentu. Padahal hanya karena lensa kontak. 

Lensa kontak yang bertujuan untuk membuat mata lebih leluasa dirias akan jadi berantakan karena air mata membuat segalanya luntur. Tidak disarankan untuk dipakai pada musim salju karena mata akan jadi sangat kering dan itu membuat mata kita merah dan berair. Ini pengalaman pribadi sih. Mungkin beberapa orang tidak masalah menggunakan lensa kontak di musim salju. Tapi kalau aku, sangat bermasalah. 

Saat ini merk lensa kontak dan jenisnya makin beragam. Harga lensa kontak yang lebih murah dengan kualitas lebih bagus juga banyak. Soalnya aku mengambil langsung dari distributornya yang biasanya menjualnya ke penjual online atau optik-optik besar. Jika cari lensa kontak di optik biasa, harganya masih lumayan mahal.

Aku sekarang menggunakan lensa kontak berdiameter 12,00mm warna cokelat dengan kualitas air 45% dengan masa pakai 6 bulan. Biasanya, saat memasuki bulan ketiga lensa kontaknya sudah tidak aku pakai karena kurang nyaman. Ternyata mataku lebih cocok dengan lensa ini ketimbang lensa yang transparan. Warna cokelat aku pilih karena warnanya memang sama dengan warna mataku, diameternya pun sama. Aku tak pernah tertarik yang berdiameter 14,00 karena mata asliku sudah terlalu besar sehingga tak butuh efek mata boneka. Aku belum ingin menakuti banyak orang dengan mataku. Belum lho, bukan berarti tidak akan pernah aku coba.

Sahabatku +Falaqie Nila membuat berbagai macam tutorial make up mata di blognya dengan penggunaan lensa kontak 14,00mm. Ada perusahaan yang mengendorsenya untuk membuat beberapa review soal lensa kontak. Lensa kontak yang direview Nila bukanlah favoritku. Jadi aku hanya butuh tutorial make upnya saja. Sayangnya, beberapa kali mencoba tapi gagal meniru sebagus dia. 

Dengan lensa kontak, kita bebas mengeksplorasi riasan mata. Walau aku jadi bagian dari 'pasukan tak becus urus alis'. Jadi sebenarnya urusan rias mata tak begitu darurat. 

Jika  harus berdandan di hari-hari tertentu, aku bertanya ke sahabat lelakiku apakah riasan wajahku aneh atau tidak. Karena mereka akan bicara lebih jujur dan dengan kosa kata yang tak disaring. Ini yang aku butuhkan. 

Perempuan biasanya cukup menjaga perasaan saat menjawab sesuatu yang berkaitan dengan penampilan. Jika riasanku gagal, perempuan cenderung akan menjawab, "Udah cantik kok." 

Sedang lelaki akan menjawab, "Aneh banget dempulnya. Benerin gih, gue tungguin." 

Kalau make up ku sukses, perempuan tetap akan berkata, "Udah cantik kok."

Sahabat lelakiku cuma bilang, "Elu keliatan normal. Kayak cewek beneran kalau gini." 

Begitulah. 

Saranku, saat memutuskan untuk menggunakan lensa kontak, usahakan untuk selalu punya lensa cadangan. Karena kadang lensa kita kotor, rusak, maupun mengering karena tutup lensa sering kurang rapat sehingga airnya tumpah. Sebaiknya juga selalu menyediakan tetes mata anti iritasi khusus pengguna lensa kontak, bukan sembarang tetes mata anti iritasi biasa yang dijual secara bebas di warung. 

Ikuti saja cara merawat lensa kontak yang ada di bungkusnya karena memang itu sudah efektif. 

Oh iya, lensa kontak yang sudah mengering kadang masih bisa tetap dipakai, asal direndam lama dan airnya diganti-ganti sebelum digunakan lagi supaya steril. Beberapa kali kejadian, tau-tau satu lensa kontak lepas dari mata kanan sedangkan lensa di mata kiri masih ada. Makanya punya cadangan lensa yang dibawa kemana-mana itu penting. 

Jika kira-kita jatuhnya lensa itu di kamar dan akhirnya ketemu setelah berhari-hari mengering, kadang memang masih bisa dipakai. Cek baik-baik apakah lensa masih layak pakai atau tidak, jangan sampai pakai lensa yang sobek atau terlalu kotor. Bahaya. Kalau ragu-ragu, langsung buang saja. Jangan sampai tertukar antara lensa lama dan lensa baru. Ingat baik-baik bagian kanan dan kirinya terutama jika minus mata kanan dan kiri berbeda. 

Bagiku, membaca buku dan online di handphone dengan mata lensa kontak kurang nyaman karena sepertinya lensa kontak itu kurang ideal untuk penglihatan jarak dekat. Tidak mungkin kita membongkar pasang lensa kontak terus menerus dalam waktu yang dekat hanya untuk kepentingan melihat detail sesuatu dengan jarak dekat. Memang ada beberapa hal yang detailnya akan lebih jelas dengan mata tanpa kacamata atau lensa kontak. Kalau pakai kacamata, bisa dengan mudah kita lepas. Tapi jika lensa kontak? Itu tadi, susah.

Jika keadaan badan sangat lelah, seringnya lupa atau malas untuk melepas lensa. Akhirnya malah ketiduran dengan kondisi masih pakai lensa kontak. Berlaku juga jika dalam perjalanan jauh yang memungkinkan ketiduran di bus, kereta ataupun pesawat. Keteledoran ini yang membuat mata bengkak dan iritasi. Kalau mata dalam keadaan seperti itu, saatnya istirahat dari lensa kontak dan menggantinya dengan kacamata. Karena cahaya matahari yang masuk mata kita akan menyakitkan. Hidungku akan ikut flu dalam keadaan seperti ini.

Hanya saja, kalau kegiatan di luar ruangan dan cuaca hujan, penggunaan lensa kontak sangat disarankan.

Adik dan sahabat lelakiku sering menggunakan lensa kontak untuk masa-masa penting. Lensa kontak yang mereka gunakan adalah yang jenis transparan sehingga tidak terlihat terlalu menonjol. Tentu saja, pilih yang diameternya sesuai dengan mata normal, 12,00mm. 

Baik kacamata dan lensa kontak ada manfaat positif dan negatifnya. Sebaiknya, jika mata sudah minus cukup besar, punya keduanya penting. Gunakan dikondisi yang tepat. Apalagi jika punya masalah sepertiku. Memakai kacamata terus menerus kulitnya sensitif, memakai lensa kontak terus menerus juga malah membuat mata iritasi. 

Kalau boleh memilih, aku lebih berbahagia jika tak perlu menggunakan keduanya. Tapi Lasik itu muahal sekaliiii.... Dan anak kost sepertiku kurang telaten mengonsumsi wortel. TT__TT

Oh iya, ini wajahku dengan kacamata dan dengan lensa kontak. Yang pakai kacamata adalah pemotretan indoor, di dalam kelas. Yang pakai lensa kontak adalah pemotetan outdoor di kantin kampus, dalam hari dan kondisi kulit berbeda. Lightingnya jadi beda deh. Siapa tau ada yang nyari kemana perginya hidungku di foto lensa kontak. :p

404 Error, Nose not Found :p

Kamis, 12 Maret 2015

Teman adalah…

Tadi sore, aku memprotes seorang dosen yang tidak membalas emailku. Aku benar-benar penasaran, apa susahnya sih membalas emailku di saat wifi tersedia gratis di kampus. Dia bukan dosen yang mengajar di jurusanku sih. Tapi aku benar-benar menunggu responnya terhadap project pribadi yang aku bicarakan beberapa waktu lalu dengannya. Dia sudah setuju dan hanya perlu mengubah beberapa hal yang jadi keahliannya. Aku mendengarkan baik-baik alasannya dan mengerti.

Tidak membalas email bukan berarti tidak setuju, sengaja tidak ingin menanggapi atau hal-hal buruk lainnya. Semuanya berjalan dengan baik dan terkendali.

Pembicaraan kami beralih dari email ke topik yang sering kami bicarakan. Mengenai persoalan-persoalan dasar yang biasanya dianggap mapan oleh orang lain.

Kali ini soal konsep pertemanan.

"Teman," katanya, "adalah orang yang tidak ada ketika kita perlukan."

"Kok bisa? Harusnya sebaliknya."

"Ya bukan, pertemanan itu terjadi ketika seseorang mengalami kesamaan nasib. Kalau nasib kita lagi buruk, siapa yang mau senasib sama kita?"

Aku tertawa. Ya bayangkan saja aku sedang tertawa sinis seperti biasa.

"Lha kok, malah ketawa. Aku serius lho Nu. Teman adalah mereka yang tidak ada ketika kita sedang susah. Karena tahu betul kalau kita lagi susah itulah, dia tak mau dekat-dekat."

"Harusnya, karena tau susah itulah seorang teman harus menemani. Mungkin yang harus mengerti kita adalah sahabat? Bukan teman."

"Halah! Pemikiranmu normatif. Teman, sahabat, pacar, istri itu sama aja. Siapa sih yang mau dekat-dekat sama orang susah? Kalau ada kesusahan-kesusahan, orang cenderung akan menjauh. Sederhana saja. Orang kan lebih suka sesuatu yang happy. Suatu keadaan yang bahagia."

Dia balik menertawakanku.

Aku meresponnya dengan senyuman sinis dan menunggu sarkasmenya soal hidup berlanjut.

Sepertinya dia teringat dengan sesuatu yang harus dia lakukan dan membalikkan badannya, menghampiri sepedanya yang terparkir di dekat undakan kantin. Pergi begitu saja. Tanpa pamit, tanpa menjanjikan kapan akan membalas email, dan kapan mulai mengerjakan project kami.

Aku melihatnya dari tempat dudukku. Sama sepertinya, aku juga tak mengucapkan apapun padanya. Sibuk memikirkan ulang ucapannya, mencocokkan dengan das sein yang ada.

Ya.

Aku pikir, dia benar.