Sabtu, 31 Januari 2015

Literasi dalam Berislam

Beberapa waktu lalu saya hadir di sebuah acara Sastra. Musisi yang hadir di acara tersebut menampilkan beberapa musikalisasi puisi yang menurut saya cukup bagus. Saya berbisik ke kawan yang duduk di sebelah, “Puisinya bagus ya?”

“Biasa aja sih sebenarnya.” Katanya,

Saya mempertajam pandang pandangan mata. Tak juga menemukan apapun yang biasa di lirik itu.

"Coba perhatikan bait dan caranya mengawali kalimat. Puisi itu ditulis dengan gaya yang mirip dengan puisi Sapardi yang ‘Aku Ingin’. Memang tampak lebih bagus setelah dimusikalisasi.”

Saya kembali memperhatikan bait demi bait yang terpampang di layar. Oh iya, benar juga. Kalau tidak diberitahu, mungkin saya tak akan menyadarinya. Kawan saya ini adalah seorang editor sastra yang sudah mendidik selera maupun kepekaannya terhadap karya yang benar-benar bagus. Saya tak punya kepekaan semacam itu karena selama ini hanya memosisikan diri sebagai penikmat sastra yang paling banter hanya memperhatikan diksi dan mencerna makna. Pertimbangan saya sebagai penikmat hanya sampai pada ketersampaian pesan dan kedekatannya dengan perjalanan hidup saya.

Pertimbangan seorang editor mencakup hampir segala aspek.

Ketika saya bilang padanya bahwa saya tak punya kepekaan semacam itu, kawan saya bilang, “Bisa dilatih kok.”

Dia benar. Kepekaan seperti itu bisa dilatih.

Seperti itulah literasi.

Kita mendidik diri kita dengan selera yang bagus. Meneliti dan membandingkan segala pilihan yang ada di depan mata. Memilih yang terbaik sambil menemukan alasan paling masuk akal kenapa kita sebuat itu bagus dan menyebut yang tidak kita pilih sebagai biasa, atau jelek.

Selama ini budaya literasi sering dikaitkan hanya seputar baca dan tulis. UNESCO sendiri membuat definisi bahwa literasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, mengintepretasi, menciptakan, mengkomunikasikan dan memperhitungkan sesuatu dari sebuah teks ke berbagai variasi konteks. Khusus untuk bagian ini, terimakasih kepada ensiklopedia gratis kesayangan kita semua, Wikipedia.

Saya adalah orang yang meyakini bahwa dalam seluruh aspek hidup kita yang berisi pilihan-pilihan ini, pada dasarnya merupakan kerja-kerja literasi. Bahkan hingga ke hal yang paling sederhana sekalipun.

Misalnya, saat ingin makan Sate Ayam, pilihan nomer satu di kepala saya adalah Sate Pasar Santa. Saat ingin memilih OS komputer, pilihan utama saya adalah Linux diantara Windows dan Apple. Dalam memilih film yang akan ditonton di bioskop, biasanya pertimbangan rating, pemain dan sutradara muncul. Bahkan dalam memilih pasangan, hubungan sebelumnya akan memunculkan sebuah standar baru untuk hubungan selanjutnya karena kita sudah banyak belajar dari kesalahan. Untuk poin yang terakhir ini, maaf maaf aja ya buat yang belum pernah punya hubungan sebelumnya.

Saat membaca kata-kata Bill Kovach yang berbunyi, “Journalism is the closest thing I have to a religion,” saya langsung mengingat proses verifikasi hadits yang sangat rumit. Ada banyak teks, pendalaman bahasa, penalaran, verifikasi data dan sejumlah pekerjaan rumit lain yang hasil akhirnya menghasilkan kualitas hadits dengan label Shahih, Dhaif, dan Hasan. Adalah hal yang sangat biasa jika ahli hadist satu dengan yang lain akhirnya memberi label berbeda pada satu hadits. Ada ulama yang menilai bahwa satu buku hadits itu seluruhnya shahih, ada yang berpendapat dalam kitab yang shahih itu, masih terdapat hadist dhaif di sana sini. Ulama yang mengumpulkan dan mempelajari hadits telah melakukan kerja-kerja literasi, umat beragama yang mengonsumsinya juga melakukan proses literasi tersendiri dalam memilih versi ulama mana yang akan dijadikan pedoman hidup sehari-hari.

Belum lagi jika kita bicara mengenai penafsiran al Quran maupun fiqih dengan berbagai mazhab Islam yang berbeda. Perdebatan para Ulama hebat dari ribuan tahun yang lalu rasanya belum juga selesai karena perdebatan itu diteruskan oleh orang-orang awam yang tidak hobi membaca perdebatan keagamaan di masa lalu. Semua ilmu ini yang sumbernya teks ini disebut Ilmu Kalam. Ilmu kalam yang menyumbang banyak untuk perkembangan peradaban manusia ini kadang digunakan sebagai alat perang sebagai sebuah pembenaran alih alih sebuah kebenaran.

Perdebatan kalam ini seringkali melahirkan generasi dogmatis yang merasa paling benar saat menafsirkan teks. Bukan hanya merasa paling benar. Tapi mulai memaksa yang lainnya untuk mempercayai apa yang mereka imani.

Saya percaya bahwa kebenaran itu absolut. Tapi persepsi kita terhadap kebenaran inilah yang relatif. Tindakan ngotot merasa memegang tafsir paling benar ini sama saja dengan menyamakan kedudukan dirinya sendiri sejejar dengan Nabi. Karena hanya Sang Penerima Wahyu lah yang dianugerahi kecerdasan sebagai yang paling mengetahui maksud Tuhan dalam ayatNya.

“Aku melihat ada Islam di Barat tapi tak ada muslim. Dan ada Muslim di Arab, tapi tak ada Islamnya.” Muhammad Abduh melihat bahwa Islam secara general adalah sebuah kata sifat daripada kata yang merujuk pada Agama. Mereka yang berislam, belum tentu muslim.

Secara garis besar, Islam Mazhab apapun akan sepakat bahwa Islam adalah Rahmatallil ‘alamin. Saat beberapa orang membawa Islam yang ramah, yang lainnya membawa Islam yang lemah nan insecure.

Katakanlah, seseorang tak tahu ilmu hadist sama sekali untuk melakukan verifikasi shahih atau tidaknya sebuah hadist. Tapi ia memiliki budaya literasi. Jika menemui hadist Abu Dawud yang berbunyi, “Barangsiapa meniru suatu kaum, maka termasuk golongan mereka,” minimal ia tak akan panik takut keluar dari Islam secara otomatis begitu dia meniru kaum non Islam. Karena hadist itu biasanya digunakan sebagai dalil larangan untuk mengucapkan selamat atas hari raya untuk umat beragama lain, larangan pakai topi sinterklas, pemakaian Hijab dan sederet pelarangan yang dibuat dengan argumentasi yang dangkal.

Karena boleh atau tidaknya ucapan Natal sudah jadi tema perdebatan musiman setiap tahun, maka saya tidak akan membahasnya lagi. Menghabiskan energi. Lagipula orang yang melarang ucapan selamat itu belum tentu tahu kalau Hari Natal 25 Desember adalah hari rayanya umat Katolik, karena Kristen tidak menentukan tanggal pasti kelahiran Yesus selain bahwa Yesus lahir antara tanggal Desember-Januari.

Katolik juga tidak pernah menggambarkan Santa Claus sebagai sosok gemuk seperti yang kita lihat karena tokoh yang sebenarnya bernama Santa Nikolas ini aslinya adalah seorang bertubuh kurus yang membagikan hadiah pada anak-anak dari pintu ke pintu. Ada banyak gereja Katolik yang tidak menggunakan Santa Claus edisi gendut sebagai simbol natal. Sosok gendut dengan kereta salju, baju dan topi merah putih khas natal itu sesungguhnya adalah penggambaran Santa Claus di iklan Coca Cola pada 1881. Jadi, kalau ada pelarangan memakai topi Santa Claus dengan dalil hadist di atas, mungkin karena si Uni tidak ingin kalian jadi generasi Coca Cola. Barangkali kalau Pepsi yang akan membuat Santa Claus, pasti seragam Santa bukan merah putih, tapi biru.

Sekarang soal Jilbab. Jilbab ini sudah menjadi identitas banyak umat beragama lain seperti Biarawati Kristen Ortodoks Yunani, Biarawati Kristen Koptik, Yahudi Ultra Ortodoks, Biarawati Katolik, beberapa Zoroaster dan kelompok beragama lain yang menggunakan tutup kepala serupa model hijab walau disebut dengan nama yang berbeda-beda. Sama halnya seperti mbak-mbak Hijabers yang tampil dengan berbagai gaya. Lalu jika hadist di atas menjadi sandaran hukum, apakah lantas orang Islam itu serupa Yahudi, Nasrani dan Zoroaster? Takut nanti kurang Syar’I jika hijabnya kurang begini dan begitu. Tentu boleh-boleh saja memakai jilbab model apapun. Tapi jika sampai melabeli yang ini Syar’I dan yang itu tak Syar’I, maka seseorang sudah menganggap dirinya yang paling tahu tentang maksud Tuhan. Lagipula, yang diajarkan dalam Islam adalah kesederhanaan seperti yang dicontohkan oleh keluarga Nabi. Dalam hal ini, tidak ada perdebatan karena semua sepakat bahwa Nabi tidak pernah bermewah-mewahan.

Terlalu mudah diprovokasi dengan isu adalah salah satu ciri lemahnya kemampuan literasi seseorang. Terlalu cepat menghakimi tanpa jalur silogisme yang benar adalah ciri kebodohan.

Beberapa argumentasi sekilas terlihat sangat ilahiah karena bersandar pada dalil-dalil. Jika punya kendala teknis seputar teks sehingga tidak bisa mencari dalil bantahannya, maka masih bisa digunakan jalur lainnya. Lagipula, bisa bahasa Arab dan bisa mengakses banyak kitab penting dalam agama sama sekali tidak menjamin bahwa seseorang akan berpikir dengan silogisme benar soal agama. Buktinya, ada Fatwa yang dikeluarkan oleh kumpulan Ulama Saudi dan Dubai yang dirilis Febuari 2014 lalu soal larangan untuk tinggal di Planet Mars. Mereka bilang tinggal di Mars itu sama saja dengan usaha bunuh diri dan bunuh diri dilarang oleh agama. Itu pun baru satu dari 2 juta fatwa yang diproduksi ulama tersebut sejak 2008.

Lebih baik susah-susah belajar supaya bisa bertindak simple daripada malas belajar tapi gampang dibikin ribet.

Almarhum Gusdur adalah contoh Ulama yang mau belajar dengan tekun untuk bisa bertindak dengan simpel. Saya membayangkan, jika beliau sampai dengar fatwa itu, Ia akan tertawa sambil berkata, “Kamu mau tinggal di Mars? Gitu aja kok repot!”

Agama yang saat ini kita pilih adalah hasil dari belajar, merenung, berefleksi, mengkaji, mengomparasikan satu dengan yang lainnya, dan terus disesuaikan sesuai dengan semangat jaman

Jika Pram bilang Hidup itu sederhana, yang rumit hanya tafsir-tafsirnya. Maka saya ingin bilang bahwa Beragama itu sederhana, yang rumit hanyalah tafsir-tafsirnya.

Senin, 26 Januari 2015

Di antara Islam yang Lebih "Islam"

Seorang kawan berkata padaku kalau dia sedang berminat untuk jadi mualaf. Dia bilang, ajaran al Qur'an sebenarnya bagus. Makanya dia tertarik.

Kami berdiskusi soal keinginannya itu, walaupun tidak lama karena keterbatasan waktu dan padatnya aktivitas.

Di sini, aku menuliskan tanggapanku terhadapnya sambil menambahkan hal-hal yang belum sempat kita bahas saat itu. Kemudian mengirim ini ke emailnya. Tentu saja, aku harus merahasiakan identitasnya demi keamanan.

--

Seperti pembicaraan kita saat itu, aku masih memintamu untuk memikirkan ulang keinginanmu sebagai mualaf sebelum mempelajari betul-betul ajaran Islam.

Saat seseorang masuk ke dalam sebuah agama, katakanlah Islam, akan ada orang-orang yang mengajak untuk lebih berislam daripada orang Islam lainnya. Sebagai contoh, fenomena yang ada di 2 mazhab besar Islam. Di tubuh Sunni Ahlussunah Wal Jamaah dan Syiah Imamiyah.

Ketika seseorang memutuskan untuk jadi Sunni, maka akan ada orang yang mengajak untuk meninggalkan segala bid'ah, ada yang mengajak kita untuk mendirikan negara Islam, ada yang sedikit-sedikit mewaspadai aliran agama lain yang dianggap sesat, ada yang mengajak berjihad dengan pedang, ada yang mengatur cara berpakaian sedemikian ketat dan ada juga yang berislam dengan tradisi-tradisi yang ada sesuai dengan kultur masyarakat. 

Ada yang lebih sibuk membangun masjid di mana-mana sedangkan banyak umat lainnya miskin tanpa tempat tinggal. Mereka tidak boleh tinggal di Rumah Tuhan itu, mungkin dipikirnya Tuhan akan marah kalau ada orang miskin yang tidur di sana. Tapi, jika ada umat agama lain membantu orang miskin beragama Islam, akan ada isu soal Kristenisasi, Hinduisasi, Budhaisasi dan lain-lain yang menyeruak. Serba salah ya? Hal ini kelihatannya buruk, kamu boleh menduga bahwa mungkin saja hal ini tidak ada dalam Islam yang sebenarnya. Tapi fenomena ini memang ada di Islam. Apa boleh buat?

Untuk perempuan, Islam akan tampilo lebih rumit lagi. Setelah menyatakan keislamanmu, kamu akan diajak banyak orang untuk berjilbab. Berjilbab saja tidak cukup, akan ada yang mengajak lagi untuk berjilbab syar'i dengan kain yang lebih panjang. Jika kamu menuruti hal itu, tetap akan ada saja ajakan untuk lebih "Islami" lagi dengan penggunaan cadar.

Apakah sudah selesai? Tidak. Ada kok yang melarang perempuan untuk memakai kosmetik jika tidak ada cap halal MUI nya sekalipun lembaga MUI ini bukan lembaga yang cukup kredibel sebagai rujukan dalam beragama. MUI tak puas menjadi lembaga yang memberi cap halal, karena mereka juga memberi cap sesat juga untuk aliran tertentu. Ada juga yang justru melarang sama sekali penggunaan kosmetik kecuali di depan suami.

Dari itu semua, ada NU yang menyampirkan kerudung saja sudah cukup untuk bisa disebut muslimah. Tapi kamu lihat sendiri, ada banyak orang Islam yang tidak berjilbab dan mereka masih muslimah.

Jika memutuskan untuk menjadi Syiah, kamu akan disodori versi sejarah yang berbeda dengan buku sejarah versi umum. Setelah mencintai Nabi dan keluarganya, akan ada saja kelompok yang menganggap bahwa kamu belum Syiah. Sekalipun ada puisi dari Imam Syafii yang bilang "Jika mencintai keluarga Nabi dianggap Syiah, maka saksikanlah bahwa aku adalah Syiah." Kamu akan diajak belajar Fiqih. Fiqih ini akan mengantarkanmu pada pilihan marja'. Marja' ini adalah ulama yang menjadi rujukan hukum fiqih sehari-harimu. Tak perlu pusing. Semuanya bisa dipelajari.

Jika kamu mencintai Nabi dan Keluarganya, akan ada saja golongan Syiah yang menganggap bahwa kamu belum benar-benar Syiah jika belum bermarja'. Ada lagi yang bahkan menghukumi bahwa kamu itu belum Syiah jika belum berwilayatul Faqih pada Rahbar yang di Iran sana. Belum lagi, Syiah yang tidak sekuler ini membuatmu punya sikap politik seperti anti Amerika, pro Palestina, Anti Zionist, mendukung Hizbullah dll. Seperti halnya di Katolik, Syiah juga menganut hierarki keilmuan. Kamu akan melihat bahwa umat Syiah yang lebih Syiah itu akan menurut total pada ustad, ulama, marja' dan lain-lain. Kamu akan jarang menemui ada orang Syiah yang memiliki pandangan berbeda dengan ustad/ulama yang diikutinya.

Jika orang Sunni sibuk membangun masjid, beberapa orang Syiah akan sibuk berziarah ke luar negeri, terutama Irak dan Iran dengan biaya ribuan dolar. Kita harus maklum karena barangkali mereka tidak tahu bahwa ada orang miskin yang barangkali lebih membutuhkan uang mereka. Orang-orang miskin ini adalah orang-orang yang dicintai oleh Nabi dan para Ahlulbaytnya.

Filsafat juga ada sebagai kekayaan intelektual dalam peradaban Syiah. Kebanyakan orang bilang, filsafat Islam itu lebih susah dari filsafat barat. Makanya banyak orang Syiah sendiri malas belajar filsafat. Lebih suka sama pelajaran Sejarah dan Fiqih supaya bisa dipakai debat. Kalau debat lalu menang kan lebih mudah disebut pintar daripada harus susah-susah belajar filsafat. Al Qurannya sama kayak Sunni kok, jangan khawatir. Yang kamu baca di internet soal Al Qur'an Syiah dan Sunni berbeda itu salah semua.

Kamu pusing sama semua soal Sunni dan Syiah ini? Tenang. Nanti bisa dipelajari. Itu pun kalau kamu penasaran.

Beberapa ulama sudah mengupayakan supaya ada persaudaraan Sunni dan Syiah. Mengecilkan perbedaan, memperbanyak persamaan. Namun, ada juga ulama yang justru membuat Sunni dan Syiah ini ribut terus. Semuanya juga mendaku sebagai Islam yang benar. Yang katanya Rahmatallil alamin. Islam yang damai dan penuh kasih sayang. Islam cinta. Katanya.

Tidak adanya dialog dan niat mempelajari ajaran agama tertentu membawa prasangka aneh-aneh pada umat beragama. Akhirnya mereka mudah untuk diprovokasi dengan kebencian dan pikiran sektarian.

Nah, kalau kamu mau jadi mualaf, kamu harus belajar tentang ini semua. Kamu juga harus memastikan bahwa ajaran lamamu sudah benar-benar dipelajari dan kamu menemui kebuntuan di dalamnya. Soalnya, maaf saja, ada banyak orang memutuskan keluar dari agamanya hanya karena trauma sama tingkah orang-orang beragama dalam lingkarannya. Sehingga dia ingin ganti suasana dengan lingkaran barunya.

Aku sih yakin ya, antara ajaran agama dan pengikut agama itu adalah hal yang berbeda. Misalnya tidak ada ajaran agama yang memperbolehkan korupsi. Tapi kok ada petinggi agama yang korupsi? Itu terjadinya karena dia tidak menjalani konsekuensi logis keberagamaannya. Bukan karena dia sebagai penganut agama tertentu.

Suatu hari, jika kamu sudah mulai belajar ajaran Islam, kamu akan menemui banyak hal-hal baik yang diajarkan di dalamnya. Seperti halnya jika kamu belajar agama lainnya. Kamu juga bisa mencocokkan apakah ajaran yang ada bisa diterapkan umatnya. Jika kamu menemui bahwa hal-hal luhur dalam ajaran agama ternyata tidak bisa diterapkan umatnya, agama ini nasibnya akan seperti paham-paham ideologi yang akhirnya dianggap konsep utopia semata.

Bukannya menghalangimu untuk menjadi mualaf. Tapi di Islam, beberapa mualaf lebih sibuk menjelekkan agama lamanya daripada belajar Islam dengan baik. Ada juga yang hobi mengajak anak-anak muda untuk mendirikan negara Islam karena konon nasionalisme itu tak ada dalilnya sambil jualan hijab syar'i tanpa selfie. Ada juga mualaf yang hobi mengomentari persoalan politik di sosial medianya sekalipun dengan segambreng fallacy yang hanya bisa diketahui oleh orang yang mau repot-repot belajar logika.

Ada juga mualaf keren seperti Frithjof Schuon dan Rene Guenon yang mengabdikan diri sepenuhnya pada filsafat dan tasawuf. Mereka bisa bicara seni, tradisi, kosmologi, cinta, dan lain-lainnya. Pengetahuan mereka indah sekali.

Kamu sendiri mau jadi mualaf seperti apa? Ada banyak pilihan. Kamu memang bebas memilih, tapi kamu tak bisa bebas dari konsekuensinya.

Kalau ini membuatmu bingung, maka kamu tidak sendiri. Ada banyak orang Islam yang lahir di keluarga Islam dan memeluk agama Islam sejak kecil yang masih bingung mereka ada di Islam sebelah mana. Jika menyebut Islam yang biasa-biasa saja, mungkin yang dimaksud adalah Islam yang biasa ada di masyarakatnya. Jika masyarakatnya kebanyakan adalah NU, maka dia jadi Islam NU, jika kebanyakan di sana adalah Muhammadiyah, maka dia adalah Muhammadiyah. Mendefinisikan Islam yang biasa-biasa saja sendiri agak sulit bagi semua orang. Beberapa orang tak sempat memilih mazhabnya karena hanya tahu satu mazhab dalam beragama. Jika dia lahir di Iran yang kebanyakan Syiah, dia akan jadi Syiah dengan tata cara shalat seperti Syiah. Jika dia lahir di Indoneesia uang kebanyakan Sunni, maka dia akan jadi Sunni dengan tata cara shalat ala Sunni. Kebanyakan orang beragama sesuai dengan agama yang dianut orangtuanya.

Berpikir, merenung, berefleksi, kemudian mengaplikasikannya ke kehidupan sehari-hari memang bukan hal yang mudah. Tapi jika pengikut agama tak melakukannya, maka dia hanya akan jadi bigot-bigot yang mendaku sebagai pemilik sah kebenaran.

Bayangkan saja, apakah Nabi Muhammad akan membuat umatnya bingung dengan detail-detail keagamaan yang ada saat ini? Apakah beliau jadi orang yang mudah mengkafirkan orang lain ataukah sosok penuh kasih yang menggerakkan umat untuk berpihak pada orang miskin. Bayangkan jika Nabi Muhammad hidup di jaman sekarang, apakah Ia akan mengajak umat sibuk dengan ritual ibadah pribadi yang penuh aturan halal haram atau justru mengajak umat mengurusi hal-hal terkait perubahan sosial di masyarakat? Jangan-jangan malah keduanya?

Aku lampirkan gambar satire cover majalah Charlie Hebdo yang kontroversial itu. Di sini seolah Nabi berkata, "Susahnya punya umat yang bodoh…" Kamu bisa menyimpulkan, apakah gambar ini menghina Nabi Muhammad ataukah menyindir pengikut ajaran Nabi Muhanmad. Kalau aku sih tersindir. Rasanya mak jleb gitu deh. Soalnya sebagai pengikut Nabi Muhammad, aku pun masih bodoh dan payah. Aku juga khawatir kalau Nabi Muhammad benar-benar malu punya umat sepertiku. Soal larangan penggambaran sosok Nabi, itu hal yang debatable dalam Sunni maupun Syiah. Jika aku menggambar sosok unyil berudel bodong dan menuliskannya sebagai sosokmu, bukan berarti itu memang gambaran tentangmu. Masak kamu mau marah, sensitif amat. Bukankah puncak dari komedi adalah menertawakan diri sendiri? Aku memilih untuk membela Nabi dengan menjaga nama baiknya sebagai penyebar kedamaian semampuku daripada sebagai pengecam atau pembunuh orang-orang yang menghinanya.

Selamat menjelajah ya…

Salam,
Banu

Selasa, 20 Januari 2015

Ultimatum I

Sahabatku adalah orang dengan gaya hidup sehat terutama dalam hal makanan. Dia menyadari bahwa potensi diabetes dari almarhum ibunya bisa diturunkan padanya. Dia juga punya darah tinggi. Dalam keadaan emosional, tekanan darahnya bisa naik sangat tinggi. Sekalipun kemarahannya diekspresikan dalam diam, reaksi tubuh akibat darah tinggi selalu buruk. Tubuh kurus tanpa lemak berusaha 25 tahun itu harus menahan sakit kepala luar biasa yang tidak bisa diatasi dengan obat sakit kepala dari warung jika kambuh.

Ini adalah tahun keenam persahabatan kami. Pada tahun ketiga saat kami belum sibuk seperti sekarang, kami melewati saat-saat makan bersama hampir setiap waktu. Baik makan siang maupun makan malam. Rumahnya bisa ditempuh dengan jalan kaki dari kostanku. Jika aku sakit, dia akan memasakkan makanan dari rumahnya dengan menu sederhana dan mengantarnya ke kostan. Kadang nasi telur dadar, kadang ikan, pernah juga ikan Cakalang oleh-olehnya dari Manado dibumbu kecap tanpa resep khusus yang herannya, sangat enak.

Saking akrabnya, kita sering dikira pacaran bahkan oleh keluarganya sendiri. Dia memasang foto kami berdua di ruang tamu, bersebelahan dengan foto pernikahan kakak-kakaknya. Itu juga karena kita sering bersama saat belanja, jalan-jalan, nonton, makan, maupun kondangan. Kami tidak pernah merasa terbebani dengan prasangka orang.

"Sudah sedekat itu, kenapa nggak jadian?" Tanya beberapa teman kami.

Kita saling tahu gebetan masing-masing. Kadang berkompromi, jika hari minggu dia jalan bersama gebetannya, maka malam minggunya dia akan jalan denganku. Aku pun juga sebaliknya. Kami memang saling menyayangi dan peduli, tapi hanya sebatas sahabat. Kami pernah membahasnya, perasaan untuk saling memiliki secara khusus tak ada. Pun cemburu.

Aku mengerti, banyak orang yang tidak bisa menjalani hubungan seperti ini karena kedekatan dengan lawan jenis sering menimbulkan perasaan sayang yang dipikir mengarah ke cinta. Tapi kami tidak. Kami tidak ingin pacaran, apalagi sampai menikah. Kami juga tidak ingin punya bayi yang dibuat bersama (if you know what I mean). Sedekat apapun hubungan kami, tidak ada romantisme di dalamnya.

Kami juga masih menghormati privasi masing-masing. Sehingga tidak merasa aneh jika ada beberapa hal yang tidak bisa diceritakan satu sama lain. Aku pikir ini adalah satu hal yang membuat kami bertahan lama. Kami tak pernah memaksa satu sama lain atas nama kedekatan dan kepedulian. Kami sudah membangun relasi yang setara sama kuat.

Kebaikan tanpa pamrih masih ada di dunia ini.

Aku harap jenis hubungan kami sudah jelas di sini.

Kembali ke soal makanan. Karena bergaya hidup sehat, kita sering bingung dalam memilih menu makanan. Kita tidak akan makan makanan yang bisa berpotensi darah tinggi, banyak kolestrol, mengandung banyak gula maupun pemanis buatan, gorengan yang tidak jelas jenis minyaknya, makanan yang terlalu pedas, makanan yang mengandung banyak MSG. Terutama Fast Food.

Beberapa waktu lalu saat kita belanja bersama di Indomaret, aku berdiri di depan rak kopi dan agak bingung memilih kopi instan yang tepat untukku. Dia berdiri di sampingku, ikut membaca berderet merk kopi instan dengan berbagai varian racikan. Arabica, italiano, dengan dan atau tanpa ampas, mengandung gula atau tanpa gula dan lain-lain. Karena dia bukan lelaki peminum kopi dan tak pernah merokok, dia mengerti kebingunganku. Dia juga tidak tahu apapun soal kopi.

Sebenarnya aku juga bukan peminum kopi. Aku sudah berhenti minum kopi 3 tahun lalu. Tapi minum kopi lagi di pertengahan tahun lalu saat seorang kawan mengajak ke kedai kopi untuk ngobrol. Karena tidak ada menu lainnya laiknya coffee shop pada umumnya, aku jadi memesan kopi. Enaknya kopi pesenanku membuat rasa kangen minum kopi timbul lagi sewaktu-waktu. Tetap saja, aku membatasi minum kopi hanya seminggu 3 kali.

Aku meraih kardus kopi instan isi 10, aku bertanya padanya, "ini gimana?"

"Jangan, mengandung pemanis buatan." Katanya setelah membaca komposisi yang tertulis di belakang kemasan.

"Kalau ini?" Tanyaku menyodorkan merk dan jenis kopi yang lain.

"Jangan," katanya sambil meletakkan kopi itu di rak semula, "itu terlalu strong. Cari yang ringan aja."

Baiklah…

Mataku menyisiri rak kopi itu lagi. Dari atas, ke bawah, lalu ke atas lagi. Aku menemukan kopi favorit bapakku. Tanpa gula dan berampas. Menurutku, kopi itu enak, menimbulkan sensasi kecut dan cocok dijadikan teman begadang.

"Jangan itu, terlalu banyak caffeinenya."

"Terus apa dong? Yang mana?"

"Sebenarnya lebih sehat teh kan?"

Aku sudah punya teh hijau di kostku. Aku hanya belum memberitahunya. "Aku mau ngopi. Lagi pengen ngopi. Gimana dong?"

Dia menggaruk kepalanya, "Ini terlalu keras kopinya. Nanti lambungmu sakit."

"Trus?" Aku makin bingung karena yang dia katakan benar. "Atau ini aja ya? Strong, tapi bukan kopi murni. Mereka bilang… emmm… mengandung susu dan pemanis buatan. Tapi aku janji akan minum banyak air putih kalau minum ini. Nggak akan sering-sering minum kopi."

"Pemanis buatan? Nggak bagus."

Butuh waktu lama untuk membuatnya memasukkan kopi ke keranjang belanja dan berkata, "nanti aku aja yang bayar. Sekalian bayar ini."

Aku memang hanya belanja kopi. Sedangkan dia belanja lebih dari 3 atau 4 hal lainnya.

Harusnya aku membeli kopi yang berasal dari biji kopi asli. Tapi di sini tak ada. Apa boleh buat.

Pernah, kami ingin sekali pisang goreng. Pas saat itu sedang di daerah UKI dan di sana ada penjual gorengan. Kami tahu bahwa tenggorokan kami sensitif terhadap minyak yang digunakan berulang kali. Tapi kami terlalu ingin dan sulit mencegahnya. Akhirnya kami nekat membeli gorengan itu, esoknya, kami cengar-cengir berdua karena tenggorokannya sama-sama serak. Kami dipersatukan dengan sensitifitas tenggorokan yang luar biasa.

Perutnya juga sangat sensitif, ia tidak bisa makan makanan yang pedas dan selalu pilih-pilih warung untuk makan dengan pertimbangan kebersihannya. Aku tidak sesensitif itu, masih bisa tahan dengan makanan dari pinggir jalan. Tapi memang beberapa warung terlalu keterlaluan hingga menggunakan sedotan bekas untuk minuman.

Jika kamu masuk ke sebuah warung dengan penataan sedotan yang bercampur warnanya, kemungkinan itu sedotan bekas pelanggan lain. Kalau diteropong ke dalam sedotan itu, akan terlihat titik-titik air dan kadang titik-titiknya bernoda hitam. Dalam hal ini, meneliti sedotan selalu menjadi tugasku. Aku tidak mau dia sakit perut hanya karena hal sepele menyangkut kebersihan sedotan.

Kami sadar bahwa kami harus saling menjaga.

Tidak masalah jika pelarangan ini itu dipertimbangkan atas dasar yang cukup logis, apalagi membawa dampak langsung pada kondisi tubuh. Beberapa bilang hal seperti ini lebay, tapi kondisi badan tiap orang memang berbeda. Aku tak masalah jika dilarang hal-hal yang punya banyak pilihan selain itu. Apalagi jika dia menawarkan solusi yang lebih baik.

Ditambah, jika sejak awal, orang yang melarang itu adalah orang yang memang jelas peduli terhadap kita. Bukan sekedar mencari perhatian. Apalagi hanya untuk berbasa-basi.

Aku memang tipe pemberontak. Tapi aku hanya memberontak hal-hal yang aku anggap menghina akal sehatku. Jika masih ada di jalur berpikir yang benar, aku akan menurut dengan senang hati dan dengan penuh kesadaran. Jika aku pikir ada kekeliruan di dalamnya, sekalipun mengandung risiko yang besar, aku tak segan-segan melakukan pemberontakan. Siapapun orangnya.

Beberapa orang mengatakan, "jangan lupa makan", "Jaga kesehatan", "Jangan terlalu sibuk," "Jangan begadang," atau bertanya sedang berada di mana, sedang beraktivitas apa dan lain-lain hanya karena ia tidak punya topik yang dibicarakan. Aku menolak perhatian semacam ini. Oke. Perhatian itu memang manis untuk beberapa orang, tapi tidak untukku. Tolong cari hal lainnya supaya aku tertarik memperhatikanmu.

Larangan aneh lain saat aku makan dengan seorang teman. Dia menyebut ini kencan, aku menyebutnya makan bareng biasa. Kami berdua memesan Mie Ayam. Saat Mie Ayam datang, aku lekas mengambil sumpit yang masih terbungkus plastik.

Dia bilang, "Jangan pakai sumpit. Bahaya. Sumpit kayak gitu mengandung pemutih."

Aku tak peduli.

Pernah, yang lainnya berkata, "Banu, jangan berteman dengan lelaki. Berteman dengan perempuan saja."

Oh, jadi aku tidak boleh berteman dengan lelaki, tapi kamu sendiri sedang berusaha untuk berteman denganku? Oxymoron memang tak berbatas. Bersikap adil memang susah, terutama terhadap diri sendiri.

Aku lagi-lagi tak peduli.

Larangan kecil yang diberikan soal makanan dan pergaulan saja aku tak peduli, apalagi larangan besar. Seperti hal-hal krusial yang menyangkut pilihan hidupku.

Jangan tersinggung, tapi aku punya otak yang cukup lumayan untuk tahu mana yang baik untukku dan mana yang tidak. Kecuali jika kamu adalah orang terdekatku dan memiliki landasan logis untuk melarangku melakukan sesuatu.

Seringkali, dalam hal-hal seperti ini, melihat siapa yang berbicara jadi penting.

Siapa dia, dimana dia saat kita susah, seperti apa dia ketika tahu kekurangan kita. Seperti apa ketika kita bertengkar. Apa yang dia lakukan untuk meraih kepercayaan kita. Apa perannya untuk kehidupan kita selama ini.

Jika ingin jadi orang penting, harusnya seseorang juga hadir di saat-saat penting. Bukan tiba-tiba saja datang dengan berbagai macam permintaan. 

Kau tak tahu apa-apa tentangku. Kau tak pernah bersamaku untuk menghadapi sesuatu.

Aku tak pintar berbasa-basi. Aku tak bisa berakting menyukai sesuatu padahal aku tak suka. Dengan ini kau harus paham bahwa tak selamanya aku melakukan penolakan. 

Anggaplah, ini adalah sebuah tanda bahwa aku sudah menggaris sebuah lingkaran kecil di sekelilingku untuk tak mengijinkanmu mendekat.

Rabu, 14 Januari 2015

Kongres Ketuhanan

Atheist Rasionalist kepada Blaise Pascal :
Tuhan itu tidak ada. Ibadah itu sia-sia.

Blaise Pascal kepada Atheist : Kalau aku mati, dan ternyata di akhirat tidak ada Tuhan, aku tidak rugi karena telah beribadah dan berbuat baik sesuai dengan ajaran Tuhan. Dengan mengimani Tuhan, nanti saat mati aku bisa bergabung denganNya. Dengan berbuat baik, aku membahagiakan orang-orang disekitarku. Berbeda denganmu, jika kau mati dan ternyata di sana ada Tuhan, maka kau rugi karena terlanjur tidak pernah beribadah kepadaNya.

Polytheist kepada Pascal : Baiklah Pascal, kita sepakat bahwa Tuhan itu ada. Tapi, kamu tetap bakalan tekor. Coba kamu pikir, bagaimana kalau ternyata kamu menyembah Tuhan yang salah karena Tuhan yang kamu pikir menjanjikan keselamatan itu cuma berdiam di satu gereja? Jangan salahkan siapapun kalau akhirnya kamu stuck sama satu Tuhan yang belum tentu bener itu. Kalau sampai salah sasaran pas nyembah Tuhan, pas kamu meninggal gabungnya bakal sama orang yang kamu sebut Atheist Rationalist itu. Tuhan yang sebenarnya bisa jadi ngerasa nggak pernah kamu sembah. Mendingan aku dong, nyembah banyak Tuhan sambil berbuat baik sesuai dengan perintah para Tuhan. Setidaknya aku memperkecil prosentase salah sasaran pas beribadah ke Tuhan. Siapa tahu dari sekian banyak Tuhan yang aku yakini, ada 1 yang benar.

Scriptualis kepada Mereka : Guys Guys, jadi gini guys. Nggak perlu ngobrolin Tuhan. Dia itu Maha Besar. Lebih besar dari otak dan jangkauan pikir kalian. Nah, udah pada bisa baca kan? Udah, imani aja apa yang ada di kitab suci. Iman akan menyelamatkan kalian dengan sendirinya. Nggak usah mikir berat-berat. Nanti pada gila. Nggak perlu mempermasalahkan hal yang udah jelas dalilnya. Kitab nggak mungkin salah. Itukan SabdaNya. Adanya alam semesta ini itu udah jadi bukti kuat kalau Tuhan itu ada.

Habermas kepada Scriptualis : Dalilnya jelas gimana? Menurut lu fungsinya ilmu hermeneutik itu apa? Ya karena tafsiran sebuah teks itu nggak tunggal. Harus relevan sama konteks saat teks dibuat, dan ditinjau sama konteks kekinian.

Agnostik kepada Mereka : Ada apa sih ribut-ribut soal Tuhan. Gini ya, nggak ada yang benar-benar bisa memverifikasi soal ada atau nggaknya Tuhan. Nggak ada yang menjamin bahwa teks udah ngelewatin proses verifikasi yang bener. Berbuat baik aja sih. Hidup damai sama alam. Coba sini tunjukin siapa yang udah beneran ketemu sama Dia? Nggak ada kan? Percaya sama Tuhan itu hal personal, kalau beriman ya beriman aja, nggak usah koar-koar. Itu pengalaman spiritual pribadi kalian. Nggak usah norak deh ya. Namanya juga pencarian. Soalnya, kalau ada yang ngaku punya otoritas soal Tuhan apalagi sampai berani bilang udah ketemu Tuhan dan segala macemnya, artinya dia apa Freud…?

Freud kepada Agnostik : …orang gilak! Plus kayak anak kecil cemen yang dikit-dikit butuh ngadu ke Bokapnya.

Dijah Yellow kepada Mereka semua : Say No Dangdut, No Agnezmonica, No Raisa, No Ayu Ting Ting, No Syahrini, No Yuna, Say no to them. Say yeah to Dijahyellow I'm Hodijah I'm Not Artis

Freud kepada Dijah Yellow : Diaaaaam!!!

Felix Siaw kepada Mereka : Makanya, saya bilang juga apa, Khilafah adalah Solusi segala permalasahan ini!! Khusus buat Freud, "Udah, putusin aja!"

Yusuf Mansyur untuk Mereka : Yang Solusi atas semuanya adalah Sedekah. Jadi, tolong itu kotak kencrengnya diputerin dulu. Insyaallah Tuhan akan melipat gandakan kebaikan ente semua.

Freud kepada Yusuf Mansyur : Gila apa! Siapa yang mau ada double Dijah Yellow di muka bumi ini. Satu aja udah berisik gini. Ada masalah sama alam bawah sadarmu tuh!

Determinis kepada Mereka : Melihat kalian debat begini indah ya. Kalian nggak sadar apa kalau sesungguhnya debat ini adalah bagian dari takdir Tuhan. Tuhan sudah merencanakan hal ini. Kayaknya aja ini keliatan panas, tapi yakinlah bahwa ada rencana yang indah dibalik ini semua.

Free Will kepada Determinis : Ya terserah kalian aja mau dilanjut apa nggak bahasannya. Kan hidup itu pilihan. Tanggung konsekuensinya aja sih. Kalau selesai ya selesai aja. Tuhan mah nggak ikut campur dalam hal ini. Tuhan punya hal yang lebih besar dan penting untuk dikerjakan daripada soal-soal printilan cem kongres ini. GR banget deh dikit-dikit ngerasa urusannya diikut campurin sama Tuhan. Ntar kalau kena musibah nyalahin Tuhan pulak! Kek gitu mah udah hukum sebab akibat. Kalian bebas milih kok. Kalau mau lanjut ya monggo, tapi konsekuensinya kalau lanjut bahas Tuhan apa Goen? Yang pernah kamu bilang itu lho…

Goenawan Mohamad pada Free Will : …Tuhan dan hal-hal yang tak selesai?

Free Will kepada Goenawan Mohammad : Nah! Iya. Itu!

Sufi pada Mereka semua: Hadirin sekalian, tidak perlu bertengkar. Sesungguhnya Tuhan adalah Cinta. Cinta adalah Tuhan. Apakah kalian bisa merasakan Cinta? Jika tidak, maka hati kalian telah keras. Masih ada jalan untuk melembutkannya kembali.

Chu Pat Kay kepada Sufi : Cinta… Deritanya tiada akhir…

Band Sisir Tanah kepada Chu Pat Kay : Yang wajib dari cinta adalah mesra; Yang wajib dari mesra adalah rasa; Yang wajib dari rasa adalah luka.

Abdul Hadi WM kepada Mereka : Izinkan saya berpuisi untuk menenangkan ini semua; Tuhan, Kita begitu dekat; Sebagai api dengan panas: Aku panas dalam apiMu;

Tukang dagang Minuman : Panas pak? Mangga pak, Mijonnya Mijon Mijon. Yang dingin, yang dingin. Mijonnya pak.

Perenialis pada Mereka : Begini ya kawan-kawan. Kebenaran akan Tuhan itu adalah sebuah konsekuensi logis Cosmos. Dia bagai sumber cahaya, yang sinarnya ditangkap dengan media yang berbeda oleh para umatNya. Apapun medianya toh sumbernya tetap Tuhan. Jika ditanya bagaimana kita bisa tahu mana media itu menampung terang yang berasal dari Tuhan dan mana yang terangnya itu dari bohlam abal-abal? Jawabnya, cari yang ada kesamaan tradisi antar satu media dengan media lainnya. Jadi, pintar-pintar kalian ajalah pilih media penyembahan Tuhan kayak apa. Tergantung kecocokan jiwa kalian aja terhadap yang kalian anut. Orang intelektual itu pasti spiritual. Kalau kalian emang kaum intelek, pasti yang kayak gini udah selesai. Kalau landasan berpikirnya masih justifikasi kitab suci, dijamin deh, sampai kapanpun akan terus berpolemik.

Postmodern kepada Mereka semua : Coba ngana pikir, ngapain kita buang-buang energi ngebahas beginian? Lalu dapat apa di sini? Kalian nggak akan dapat kesimpulanya. Kalaupun dapet kesimpulannya, lalu apa? Setelah ini semua selesai, buat apa? Udah sih, kalian semua itu bener menurut kalian. Segala sesuatu itu sifatnya relatif. Hargai aja.

Gusdur kepada Mereka Semua : Tuhan tak perlu dibela. Gitu aja kok repot!

Senin, 12 Januari 2015

Memasung Relikui

Malam ini aku memperlihatkan foto pernikahan sahabatku yang diunggah lewat Facebook ke seorang teman.

Aku bilang padanya, "Dia kelihatan cantik ya?"

"Iya, kelihatan cocok sama suaminya."

"Likesnya ratusan." Kataku menambahkan.

"Foto orang nikahan kalau diupload di Facebook itu emang pasti banyak yang ngelikes. Temen-temen gue juga kok."

"Iya ya, kayaknya. Foto temen gue yang nikahan dapet likesnya sampai 300an."

"Nah, Elu nanti kalau nikah kira-kira yang ngelikes fotonya berapa?" Tanyanya sambil senyum-senyum.

Aku tersenyum kecil. Ini sungguh topik yang sensitif.

"Sepertinya, malah tak berminat memajang foto. Privacy. Apalagi kalau gue nikahnya sama si itu."

"Cie, ngarep nikah sama si itu…"

Aku diam, berpikir. Oh iya. Jangan mikir jauh-jauh. Sebisa mungkin, jangan. Dia tak akan suka.

"Tapi," sambungku, "pertanyaan yang lebih urgent adalah, emangnya dia mau nikah sama gue?"

Temanku tertawa. Dia tahu karakter orang yang aku maksud dari sudut pandang yang sering aku ceritakan.

"Menurut gue, bukan itu pertanyaan yang lebih urgent deh. Yang lebih urgent  adalah, apa dia bakalan menikah?

Benar juga!

"Emmm… Itulah! Orang kayak dia nggak akan seperti orang lain yang terikat sama standar hidup yang masyarakat tetapkan. Usia tak akan mempan menuntutnya melakukan sesuatu."

Kami terdiam.

Temanku merebahkan tubuhnya ke kasur, melanjutkan aktivitas membaca buku yang sempat tertunda dengan obrolan pernikahan ini.

Aku menatap layar ponsel dengan gamang sambil menimbang-nimbangnya dalam genggaman.

Saat ini, kita berdua hanya bisa terhubung dengan ini

Aku pikir, dia akan menikah, dia pernah berkata seperti itu. Entahlah. Tiada yang bisa tahu pasti tentang keputusan-keputusan besar dalam hidupnya.

Kemarin malam aku bermimpi membaca berita soal pernikahannya lewat sosial media. Mungkin akibat banyak mengonsumsi berita pernikahan kawan-kawan di sosial media. Ini mimpi yang aneh. Mimpi yang sekuat mungkin aku dorong ke bagian terluar ingatan.

Ibuku adalah orang yang sering mempercayai pertanda mimpi. Dia akan merespon dengan bersemangat cerita apa saja soal mimpi yang dia dengar. Seperti para penggemar zodiak yang selalu tampak menganalisa dan mengaitkan semua hal dengan urusan bintang-bintang. Sedangkan aku, hanya sering mengingat-ingat beberapa mimpi yang aneh setelah bangun tidur. Memikirkan, merasakan sensasinya, dan menikmati sisa-sisa ingatan yang ada. Tak ingin menggawat-gawatkan sebuah mimpi dengan menebak maknanya. Secara teori, tak perlu lah sibuk dengan hal yang tak pasti. Nyatanya, sampai sekarang, apa yang terjadi di alam mimpi masih sangat lekat di ingatan.

Jika aku, pada suatu hari memberanikan diri untuk bertanya padanya, "Hai tuan pintar kesayangan, apakah kamu mau menikah denganku?

Dia akan memberi jawaban panjang dengan nada dingin seperti biasa, seputar, "Kasih sayang jangan disempit dengan pernikahan.", "Perasaanmu soal itu masih terlalu prematur." , "Untuk saat ini aku tidak tertarik untuk menjalin hubungan semacam itu."

Membayangkan skenario semacam ini saja sudah membuatku patah, berantakan.

Lalu, jika suatu hari aku bertanya, "Kapan kamu akan menikah? Dengan siapa kamu menikah? Seperti apa penampakan calon istrimu itu?"

Dia akan menjawab dengan jawaban pendek, "Privacy. Itu bukan hal yang perlu ku share denganmu."

Jawaban imaginer itu berjejalan di kepalaku.

Aku akan di sini, melihatmu bekerja keras dari jauh. Berdoa sekaligus bangga padamu diam-diam. Sambil berusaha mengusir hantu dalam kepalaku yang mencengkeram kuat. Hantuku memang sudah lama jadi benalu, membentuk simbiosis parasitisme dalam tubuhku. Terus menggerogoti. Tak mau lepas. Sejauh ini, aku selalu gagal berperang melawannya.

Mengetahui soal hantu ini, kau akan memberiku pandangan tak sabar. "Apa? Soal hantumu lagi?" 

Mengusir hantu adalah hal teknis bagimu yang mudah dilakukan. Kau akan berkata bahwa aku sendiri yang membuatnya jadi rumit. Aku akan mengiyakanmu. Kau benar. Aku sendiri yang tak bisa mengendalikan kekusutan ini.

Aku tak pernah merencanakan hal seperti ini terjadi. Segalanya tampak lepas kendali. 

Kau akan bilang, untuk mengatasinya, aku harus mencari sesuatu yang membuatku senang.

Kemudian, aku sadar bahwa kesenanganku adalah sesuatu yang sama dengan hal membuatmu senang dan itu cukup menentramkan hatiku. Itu adalah hal di antara kita berdua yang dapat menjinakkan si hantu. Sayang sekali, aku pernah gagal mengelola kesenangan kita ini. Tepatnya, aku memang gagal.

Kau menegurku, mempertanyakan kasih sayangku, membuat segalanya tampak begitu sulit untukku.

"Jika kau menyayangiku, kenapa kau tak paham dengan prinsipku?" Katamu, saat itu.

Aku salah. Aku yang terlalu bodoh untuk menyadari siapa pecinta dan siapa kekasih. Kau berbalik dengan segala konsekuensi yang kau genggam erat-erat. Keputusanmu sekuat matahari di garis khatulistiwa yang teriknya tak tergoyahkan.

Kau, yang pernah mengizinkan aku untuk mencintaimu sudah merasa sangat bersyukur, setidaknya sampai saat ini kau tak pernah mencabut izin itu. Atau ingatanku yang salah?

Aku sudah memilih untuk berdiri di tempat yang tak terlihat olehmu. Tak apa. Aku akan mencoba untuk bahagia, menjadi apa saja dalam hidupmu.

Sekalipun sebagai seorang canggung, yang kelak kau lupakan.

Tengah Malam, 12 Januari 2015