Selasa, 09 Juni 2015

Labirin Mimpi Mimpi


Pipiku menempel di meja hangat berbahan kayu jati yang tebal tanpa furnish. Aku mengintip lewat sudut mataku yang setengah mengantuk. Meja makan ini mirip kepunyaan nenekku. Pasti aku sudah tertidur di sini dalam beberapa waktu hingga membuat leherku pegal. Aku mengangkat pipi sedikit untuk meraba tekstur kulitku. Gara-gara rambut panjang yang mengurai kemana-mana ini, pipiku jadi serupa peta yang jalurnya bermuara di hidung, mulut, atau dahiku.

Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Cahaya lampu temaram yang memberikan kesan hangat dan mengantuk memasuki mataku. Aku berusaha beradaptasi dengan pencahayaan yang tak biasa itu. Saat aku memandang berkeliling, aku baru sadar bahwa dinding ruangan itu berwarna hitam di sisi kanan dan berwarna putih di seberangnya. Entah itu memang cat, ataukah kain warna hitam yang biasa dipakai di berbagai pementasan teater.

Aku menegakkan kepalaku tinggi-tinggi, berusaha duduk tegak sepenuhnya. Agak pusing. Rasanya tak pernah sepusing ini sebelumnya. Aku meraba pipiku lagi untuk memeriksa apakah peta yang timbul dari rambut-rambutku sudah hilang atau belum. Sampai aku menyadari sesuatu.

Rambut?

Apakah aku sampai ke tempat ini tanpa jilbab?

Sesorang lelaki terhuyung menyenggol meja, menarik kursi dengan kakinya dan duduk di hadapanku. Meja kayu jati yang lebar itu membuat kita sangat berjarak. Aku merasa belum pernah bertemu dengannya. Tapi aneh, sebuah nama muncul di kepalaku tiba-tiba. Dia Pontoh. Ken Pontoh, Bahkan aku, entah darimana asalnya pengetahuan ini- tahu bahwa dia adalah seorang penulis. Dia menyulut rokok dan tersenyum padaku.

“Masih pusing? Apa aku harus mengantarmu ke rumah?” Tanyanya.

“Apa kamu selalu melihat aku seperti ini?” Aku bertanya balik sambil menggeretakkan leherku yang pegal.

“Maksudmu?”

“Aku, tanpa jilbab.”

“Memangnya kapan kamu pernah pakai jilbab?”

Aku mengernyitkan kening. Begitukah?

Aku menunduk memandang pakaianku sendiri. Kaos dan celana pendek. Jika merentangkan tangan, ketiakku akan terlihat jelas. Aku selalu mencemaskan setiap bulu yang tumbuh dari ketiakku. Aku tak menyukai bulu itu dan tak suka jika ada orang yang melihatnya. Tak ingat kapan terakhir kali aku mencukur bulu-bulu itu. Tapi, mestinya bukan itu yang perlu aku cemaskan.

“Ini seperti meja nenekku.” Kataku agak melamun.

“Kamu bilang, ini memang tempat minum milik keluarga besarmu. Wajar jika meja ini milik nenekmu.”

“Aku bilang begitu? Kapan?”

“Apa kau sebegitu mabuknya sampai tak ingat ucapanmu sendiri?”

Aku? Mabuk? Seingatku bahkan aku tak pernah minum alkohol. Aku tak masalah dengan Wine. Beberapa kali, aku sempat minum Wine dan tak pernah sekalipun mabuk.

Seorang lagi menarik kursi di samping Ken Pontoh. Aku tahu namanya. Dia Andri, wartawan lepas yang selalu sinis dengan media mainstream. Dia banyak menulis soal Papua hingga dia punya banyak musuh dari kalangan tentara dan so called aktivis NKRI.

Ken menyalakan koreknya. Andri menunduk, menyulut rokok dari korek Ken, dan menghembuskan asapnya. Tampak sangat menikmati.

Tunggu dulu. Andri merokok? Bukankah dia punya asma dan sangat benci perokok? Setahuku dia bukan perokok.

“Sejak kapan kamu merokok, ndri?”

“Aku memang merokok dari dulu.” Jawabnya sambil bersandar di bahu Ken.

Andri menempelkan wajahnya di leher Ken, tampak sangat akrab. Aku tidak tahu jika mereka berdua adalah sepasang kekasih. Aku bahkan tak tahu Ken dan Andri adalah Gay. Tapi, tampak intim seperti itu bukan berarti mereka pacaran. Sesekali aku juga bersandar di bahu sahabat lelakiku tanpa pernah sekalipun berkencan dengannya.

Ken mengecup puncak kepala Andri dan mengelus rambut pendeknya. Aku memalingkan wajah demi memberi mereka privasi.

Pandanganku tertuju pada piring dengan tulang yang bertumpuk-tumpuk. Harum Asem-Asem Kambing khas masakan Nenek tercium. Aku menengok ke belakang. Ada tungku dengan panci besar milik nenekku di sana.

Tampak seorang perempuan yang tampak rapuh, dengan tubuh kurus, rambut abu-abu yang terikat rapi dan punggung tegak tampak sedang mengaduk masakan.

Itu Nenek.

Seingatku dia sudah meninggal bertahun-tahun lalu. Atau, adakah seseorang yang perawakan dan gerak geriknya begitu identik?

Aku mengedarkan pandanganku sekali lagi ke seluruh ruangan. Ada tiang kayu bambu khas ruang makan rumah Nenek. Apakah aku benar-benar ada di rumah Nenek? Seingatku rumah Nenek sudah berubah setelah diwariskan pada anak-anak cucunya.

Rumah itu tak seluas dulu. Saat aku masih kecil, aku bisa bersepeda dari ruang depan sampai ke ruang makan saking luasnya. Setelah Kakek meninggal dan Nenek mulai sakit-sakitan, pembagian bangunan dimulai. Setiap anak mendapatkan jatah ruang dan tanahnya. Mulailah ada tembok pemisah ruang satu dengan yang lainnya. Kamar Nenek beserta ruang makan keluarga yang luas memanjang telah berubah jadi satu rumah tersendiri milik sepupu. Tiang bambu yang kini aku lihat seingatku diganti dengan tiang beton. Rumah itu akan ditingkat agar sepupu bisa membuat kamar-kamar baru untuk anaknya.

Yang aku lihat sekarang adalah rumah nenek yang masih alami. Rumah yang mengalami masa pendudukan Belanda dan Jepang. Rumah yang konon sempat jadi tempat pengungsian warga di tahun 1945an, baik beragama Islam maupun Kristen. Dapurnya belum dikeramik. Masih berupa tanah dengan kompor yang terbuat dari tungku beserta kayu bakarnya.

Nenek tak menoleh padaku. Ia terus berkutat dengan alat-alat masaknya. Aku merindukan mata biru yang mengabu jelang kematiannya. Aku ingin menghirup dalam-dalam wangi minyak rambut cap urang-aring yang membuat rambut panjangnya begitu lembut. Aku ingin menyentuh setiap senti kulit keriputnya yang putih bercahaya. Kata para paman dan sepupu, aku sangat mirip Nenek di waktu muda. Bedanya, hidung nenek lebih mancung dan bola mataku warna coklat terang. Selebihnya, semuanya mirip.

Aku tak sabar ingin bertanya pada Ken maupun Andri, kenapa kita bisa ada di sini. Di lain sisi, aku juga tak mau mengganggu kemesraan mereka. Mereka tampak saling merindukan.

Ken melingkarkan tangannya pada bahu Andri. Mereka berpelukan. Aku menunggu sampai mereka bisa melepaskan diri sebelum menyela.

Andri batuk-batuk.

Dengan sigap Ken menarik tisu yang terletak di meja dan menyerahkannya pada Andri. Ia menutup hidungnya dengan tisu sambil batuk-batuk. Aku mengkhawatirkan asmanya dan masih penasaran sejak kapan dia merokok.

Saat Andri menjauhkan tisu dari hidungnya, aku kaget saat menyadari, dia Nina. Perempuan. Wartawan lingkungan yang sering maliput soal kasus tanah adat. Dia memang merokok sejak dulu. Hanya saja, aku tak tahu sebelumnya jika Ken dan Nina dekat. Bahkan aku tak tahu jika mereka saling kenal.

Bagaimana mungkin citra Andri di mataku tiba-tiba saja berubah jadi Nina?

Apakah aku begitu mabuk? Atau segalanya memang berubah? Apakah perubahan yang berjalan terlalu cepat ataukah otakku yang berfungsi terlalu lambat hingga aku ketinggalan banyak informasi?

“Aku punya pertanyaan.” kataku setelah Ken dan Nina menyingkirkan tisu-tisu itu.

“Ya?” Kata mereka.

Aku berdiri tegak. Sempat menoleh ke belakang. Nenekku sudah tidak tampak. Mungkin ke tempat cuci piring atau yang lainnya.

“Apakah kalian biasa melihatku berpakaian seperti ini? Dengan kaos, dan hanya bercelana pendek?”

“Kamu memang selalu berpakaian seperti itu jika sedang di Jakarta. Tentu saja kamu akan bercelana panjang jika perlu masuk hutan atau rumah ibadah. Lagipula, ngapain sih kamu tanya soal diri sendiri?” Jawab Nina.

“Aku bingung.”

“Kamu mabuk berat.” Kata Ken.

“Aku bahkan merasa tak pernah minum alkohol.”

“Jangan becanda.”

“Kita ada di tahun berapa?”

“Katamu, ini tahun-tahun di mana kemanusiaan telah mati. Manusia modern lupa berpijak pada bumi. Kamu mengucapkan itu berkali-kali saat mabuk tadi.” Kata Ken lagi. Nina melongo, mengangguk-angguk.

“Dengar. Mungkin ini aneh. Tapi, demi Tuhan, aku melihat Nenekku di sana, dia hidup lagi. Bahkan aku berada di rumahnya. Tapi aku jadi sangat berbeda dari aku yang aku kenal, berbeda dengan aku yang selama ini hadir di dunia. Aku jadi asing dengan diriku sendiri. Bahkan aku sebenarnya tak pernah bertemu dengan Ken, dan langsung tahu bahwa Ken adalah Ken. Aku hanya mengenalmu dari tulisan-tulisanmu di media. Tanpa aku melihat fotomu sebelumnya.”

Mereka tampak khawatir.

Nina menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kamu hanya kebanyakan minum.”

“Ini aneh.” Kataku lebih ke diriku sendiri daripada ke mereka.

Aku berjalan cepat-cepat melintasi ruangan, menghindari tatapan bertanya mereka. Menuju pintu hitam yang tadinya aku kira kain hitam yang biasa dipakai dekorasi teater.

Ruangan berubah.

Aku berada di sebuah aula dengan dinding kaca dan lampu yang terang benderang. Lantainya marmer putih. Tampak licin. Sangat bersih. Ada troli di mana-mana. Orang-orang di sana tampak sangat terburu-buru. Aku menoleh ke belakang, memeriksa pintu yang membawaku di sini. Tapi tak ada apapun di sana. Aku menyesal kenapa aku menuju pintu hitam tadi alih-alih menghampiri Nenekku.

Setelah melihat berkeliling. Aku tahu, ini adalah sebuah bandara.

Seseorang meraih tanganku. Aku tak mengenal wajah dan namanya. Rambutnya pirang sebahu dengan bintik-bintik kemerahan di wajahnya. Dia sangat cantik dan tampak sangat mengenaliku. Matanya yang berwarna Hazel tampak cemas.

“Kami mencarimu dari tadi. Kamu menghilang. Penerbangan kita satu jam lagi. Bisa lebih cepat. Cuaca sedang tidak menentu.” Dia masih mengibarkan tiket di depan wajahku.

“Mau ke mana?”

“Norwegia. Oslo. Kemana lagi? Bukannya kamu yang memesan semua tiket kita? Kok bisa lupa.”

“Kita?”

“Iya. Kita semua. Kita dapat suaka penuh di sana. Apakah kamu sudah selesai bicara pada keluargamu tentang kepergian kita?”

“Sebentar. Aku tidak paham.”

Aneh sekali, dia bicara bahasa yang kedengarannya seperti bahasa Rusia. Dan aku yakin bahwa aku menjawabnya dengan bahasa Indonesia. Otakku otomatis menerjemahkan apa yang dia katakan ke dalam bahasa Indonesia.

“Maksudnya suaka?”

“Kamu buang-buang waktu bertanya tentang hal yang kamu ketahui persis. Kamu juga tampak sangat lelah. Kita berkumpul di gerbang keberangkatan 4. Mari kita ke sana. Ada kursi pijat yang nyaman di sana. Mungkin bisa membantu.”

Aku mengikutinya. Norwegia? Suaka? Dan apa sih maksud orang-orang bule ini?

Kami sampai di ruangan yang lebih kecil, melewati pintu detector metal biasa yang ada di bandara. Aku melihat kakiku sendiri dan takjub, kapan aku sempat mengganti celana pendekku dengan celana panjang ini? Aku masih penasaran, kemana jilbabku.

“Apakah ini nyata?” Tanyaku padanya.

“Tergantung pikiranmu sendiri. Konon apa yang kita alami sekarang ini hanyalah ilusi di dalam kepala kita.”

“Jadi ini alam seperti apa?”

“Kamu mau mencoba mendebatku soal filsafat lagi ya? Kita kan pernah bahas ini. Kamu sudah tahu bahwa aku ini seorang postmo yang meragukan banyak hal. Saat ini satu-satunya hal yang aku yakini adalah ketidakwarasanmu sendiri.”

“Bukan, ini bukan pertanyaan filosofis. Ini pertanyaan yang biasa. Apakah aku bermimpi, atau yang lainnya? Rasanya baru beberapa menit yang lalu aku meninggalkan rumah nenekku dan tiba-tiba aku sekarang berada di Bandara bersamamu, bersama kalian. Dengan alasan suaka yang aku tak mengerti alurnya.”

“Kamu seperti kaum romantis. Seperti orang tua yang merindukan masa kecil anaknya dan berkata, 'Aaaah... Anakku sudah besar. Rasanya baru kemarin aku melahirkanmu'. Begitulah kamu sekarang.”

Dia mendorongku duduk di salah satu deretan kursi pijat elektrik. Tubuhku rasanya tenggelam di kursi yang besar dan empuk itu. Serasa ada banyak tangan yang mencengkeram bahu dan punggungku.

Nyaman sekali.

Rasanya aku tertidur tanpa bermimpi apapun.

Aku bangun dengan sendirinya. Udara begitu hangat. Ada bantal di kepalaku. Rasanya bukan mencengkeram lagi. Tapi hangat. Sangat nyaman. Rasanya aku sulit untuk beranjak. Aku begitu takut saat bergerak semuanya akan berubah.

“Kamu sudah bangun?”

Suaranya berasal dari belakang kepalaku. Begitu menenangkan. Nafasnya berhembus di puncak kepalaku. 

Aku menyadari bahwa sensasi hangat ini timbul karena aku sedang tidur di pelukannya. Dia memelukku dari belakang. Rasanya begitu akrab. Kursi pijat itu telah menghilang entah kemana.

Aku mengangguk pelan. Dia mengeratkan pelukannya.

“Aku suka aromamu, aroma rambutmu, aroma tubuhmu. Apakah kamu selalu harum seperti ini? Merasakan seperti ini bersamamu. Sangat membahagiakan.”

“Aku tidak mengerti.”

“Apa yang tidak kamu mengerti?”

“Rasanya aku tadi sedang bermimpi. Di mimpi tadi aku tertidur. Dan kini, rasanya aku memasuki mimpi yang lain.”

“Mimpi yang lain? Apa maksudmu?”

“Bersamamu. Ini seperti mimpi. Kecuali kamu bisa membuktikan bahwa aku sedang tidak bermimpi.”

Dia mempererat pelukannya. Tangannya melingkar di depan dadaku yang tak berpakaian. Punggungku menempel di dadanya. Tangannya mengelus-elus anak-anak rambut pada keningku.

“Aku melalui hari-hari penuh kesedihan saat aku harus kehilangan segalanya. Ditambah Kamu menyuruhku pergi di saat segalanya serba runyam. Kamu menyuruhku pergi bahkan sebelum aku pernah masuk ke hidupmu.”

“Itu sebuah kesalahan.” Katanya lirih sambil mengecup puncak kepalaku.

Aku menyamankan diri di pelukan lelaki yang aku cintai ini. Rasanya aku baru sekali mendengar suaranya, tapi aneh, aku merasa begitu akrab dengannya.

“Bagaimana jika ini adalah sebuah mimpi di dalam mimpi. Karena aku yakin bahwa kamu belum memutuskan untuk kembali. Ini bukan kenyataan. Mungkin aku sedang terperangkap di dunia mimpiku sendiri.”

“Jika ini mimpi atau bukan, apakah akan mempengaruhi kebahagiaanmu?”

“Tentu saja,” kataku dengan nada merajuk, “saat aku bangun tidur dan menyadari kebersamaan ini hanyalah mimpi, itu berarti buah dari keputusasaanku karena ketidakhadiranmu selama ini. Aku sampai bermimpi aneh.”

Kita diam selama beberapa waktu.

“Panasmu sudah turun.” Katanya. Memecah keheningan.

“Apa aku demam?”

“Iya. Kamu juga banyak mengigau.”

Masih sambil memunggunginya, aku mengarahkan tangan kiriku yang bebas ke pipinya. Nafasnya terasa terasa hangat dan menenangkan di telapak tanganku. Jika ini mimpi, rasanya terlalu nyata.

“Aku ingin melihat wajahmu.” bisikku.

“Kenapa?”

“Rindu.”

“Aku ada di sini,” katanya sambil berbisik juga, “berbaliklah.”

Aku membalikkan tubuhku, kepaku tepat berada di dadanya yang bidang.

“Aku mencintaimu. Kamu membuatku begitu sedih ketika kita berpisah.”

Ia menghembuskan nafas pelan-pelan. Dengan mantap, ia berkata, “Tak akan terjadi lagi. Janji.”

Aku menenggelamkan kepalaku di dadanya. Harum. Aku mendongakkan kepalaku pelan-pelan. Siap bertatap mata dengan lelaki yang aku cintai ini.

Tapi sosok yang mendekapku berubah. Aku berada dipelukan seseorang yang mencintaiku. Bukan lelaki itu. Aku sedang berada di pelukan Ibu. Ibuku.

Aku memandanginya lekat-lekat. Memastikan bahwa mataku tak salah tangkap. Memang Ibu.

Mungkin aku tak pernah benar-benar menatap mata lelaki itu.

Ibu mengecup keningku, “Kamu pergi lama sekali.”

“Begitukah? Tapi aku merasa, segalanya berjalan terlalu cepat dan aku kehilangan sesuatu yang bahkan tak benar-benar pernah aku miliki. Kenapa Ibu merasa bahwa aku pergi terlalu lama?”

“Beritahu Ibu,” nadanya mengandung senyum. Nada yang sama seperti saat pertama kali aku bisa membaca sebuah kalimat di usiaku yang sudah 7 tahun, “sejak kapan kita bisa kehilangan sesuatu yang bahkan tak pernah kita miliki?”

“Mungkin seharusnya di dunia ini ada sesuatu yang menetap. Sehingga sesuatu itu bisa bersama kita, dan jadi milik kita. Menemani kita. Atau, apakah ternyata selama ini kita hidup tidak untuk apa-apa dan terus menerus tak punya apa-apa? Untuk apa kehidupan kalau begitu?”

“Jika kamu tak punya, lalu merasa punya, dan kemudian tak punya lagi, artinya itu bukan milikmu. Kita memang tak punya apa-apa. Merasa punya hanya mencipta penjara. Hei, bukankah berkali-kali kamu bilang sendiri bahwa kamu benci mencipta berhala? Barangkali berhala adalah hasratmu sendiri saat merasa memiliki sesuatu. Masalahnya, apakah kita benar-benar pernah memiliki sesuatu?”

“Aku punya Ibu,”

“Suatu hari Ibu pun akan pergi. Dalam bentuk kematian, atau apapun bentuknya. Dan kamu harus berdiri di kakimu sendiri tanpa Ibu. Tanpa segala sesuatu yang selama ini kamu anggap milikmu.”

“Jika itu terjadi, aku tak pernah benar-benar kehilanganmu. Bukankah kenangan tentang Ibu akan kekal di hatiku?”

“Mestinya itu kamu terapkan jika kamu mulai merasa kehilangan orang-orang dan sesuatu yang kamu cintai. Mereka yang pergi, tak pernah benar-benar pergi. Mereka kembali. Kadang hanya berupa kenangan, mungkin juga dengan bentuk yang berbeda. Kadang hanya kamu yang merasakan, atau kadang hanya mereka yang merasakan. Kadang kalian mungkin saling memikirkan diam-diam. Ingat. Yang pernah singgah, tak akan benar-benar pergi.”

“Begitukah?”

Ibu mengangguk.

“Akan menyakitkan mengingat kenang saat semuanya pergi. Kebahagiaan yang pernah kita rasakan rasanya tak pernah kembali.” Kataku lagi.

“Setidaknya, dengan kenangan itu, kamu mengingat bahwa kamu pernah bahagia.”

Ibu mengelus rambutku. Usianya sudah tua, tapi wajahnya masih begitu muda. Aku mengagumi bentuk keningnya yang halus tanpa cela. Kening warisan Nenekku.

“Apakah pembicaraan kita ini adalah mimpi?” tanyaku lagi.

“Tergantung apakah kamu ingin menjadikannya sebagai sebuah kesadaran baru, ataukah hanya kau anggap sebagai mimpi yang remeh temeh.”

“Bagaimana caranya membedakan apakah yang sedang kita alami ini mimpi atau bukan?”

“Saat seseorang tiba-tiba tertimpa kesulitan atau tiba-tiba mendapatkan keberuntungan, mereka akan berkata seolah-olah sedang bermimpi. Kamu barangkali memang sedang bermimpi, tapi kamu bisa mewujudkannya. Ingatlah, hanya orang tertidur yang bermimpi. Jika kamu memasuki terlalu banyak mimpi, yang harus kamu lakukan adalah bangun. Sadar. Atau kamu akan terus terperangkap di dalamnya. Terperangkap di hidup yang seharusnya tidak perlu kamu jalani.”

Aku menyimpan kesimpulan itu untuk diriku sendiri. Rasanya aku ingin kembali ke kursi pijat empuk di bandara yang menenggelamkanku tadi. Rasanya aku ingin kembali ke pelukan hangat milik lelaki yang aku cintai tadi. Rasanya aku juga ingin kembali memandangi punggung Nenekku yang sibuk di dapur. Tapi aku menyadari bahwa hal realistis yang paling bisa aku rasakan saat ini hanyalah pelukan ibuku.

“Kamu sudah siap untuk bangun.” Kata Ibuku, “bangunlah.”

Tubuhku mengejang. Mataku terbelalak. Aku meraba-raba sekitarku dan menemukan ponsel yang dilayarnya menunjukkan angka 04.38. Barangkali apa yang baru saja aku lakukan hanya mimpi yang lain.

Yang perlu aku tahu adalah, ini waktu yang tepat untuk sadar dan bangkit dari kungkungan yang aku ciptakan sendiri.

Surreal underwater photography by Mallory Morrison


Kalibata, 9 Juni 2015