Selasa, 31 Oktober 2017

Negara yang Melukai, Negara lah yang harus Bertanggung Jawab

Ibuku, Aminatun Najariyah (59) adalah satu-satunya wanita korban pelanggaran HAM berat Tanjung Priok 1984. Ia pernah merasakan dingin dan mencekamnya sel penjara yang terpaksa ia tempati tanpa proses pengadilan. Pakdhe ku Abdul Bashir (69) juga jadi korbannya. Berbeda dengan ibu yang banyak mengalami siksaan psikis, Pakdhe mengalami siksaan psikis dan fisik. Padahal, saat ditangkap itu ibu dan Pakdhe tak mengikuti organisasi tertentu. Ibu hanya sering shalat dan pengajian di Musholla Saidah, tempat awal bermula kejadian Tanjung Priok 1984.

Saat itu, usia ibuku masih 26 tahun, sedangkan Pakdhe 36 tahun. Mereka sedang berada di usia produktif dalam menggerakkan ekonomi keluarga. Penjara dan siksaan sempat "melumpuhkan" keduanya.

Mendengar suara siksaan tahanan lelaki lain dan teror dari sipir penjara membuat mental ibu sangat hancur. Sipir penjara selalu berkata pada ibu bahwa Pakdhe sudah meninggal setelah habis disiksa. Belum lagi siulan dan pelecehan seksual verbal yang harus ibu terima setiap harinya dari petugas sekalipun saat itu ibu sudah memakai berjilbab besar.

Setelah 3 bulan dipenjara, ibu dilarikan ke poli jiwa karena sudah mulai sulit diajak berkomunikasi. Orang sekitarnya mendengar ibu terus mengigau. Karena itulah ibu perlu dirawat di rumah sakit dalam beberapa waktu.

Ibu bilang, ia merasa baik-baik saja setelahnya. Ia berkata bahwa selama ibu berpegang teguh pada agama, maka tak akan ada yang bisa "menggoda" ibu.

Ibu bercerita bahwa selama di penjara sampai di rumah sakit jiwa, ia sering "diganggu" oleh makhluk halus yang membujuknya agar mau jadi istri simpanan seorang atasan militer yang saat itu berkuasa. Ibu menolak bisikan-bisikan itu dengan ayat-ayat Al Qur'an hafalannya. Namun, ayat-ayat yang ibu baca bagi orang lain hanyalah gumaman yang tak ada artinya apa-apa. Ibu melawan semua yang ia rasakan sendirian karena orang di sekitarnya hanya akan berkata, "Amin sudah gila."

Keadaan sebagai mantan tahanan politik yang dianggap menolak asas tunggal Pancasila di jaman Orba memang membuat hidup tak pernah baik-baik saja setelahnya. Alat-alat pembuat kuenya sudah disita tentara sebagai barang bukti makar pada negara, ibu harus memulai segalanya dari awal. Rumah yang ditempati olehnya pun seringkali digeledah tentara. Dari penggeledahan itu, ibu kehilangan sertifikat salon, ijazah, dan beberapa surat berharga lainnya. Pakdhe juga terpaksa menjual rumahnya di Cempaka Putih dan membeli sebuah rumah di sebuah kampung di daerah Bekasi Selatan. 

Belum selesai dengan itu semua, bertahun-tahun setelahnya pun duka terus berdatangan. Ibu yang sebenanrnya adalah anak pejuang kemerdekaan RI dicap sebagai musuh pemerintah. Tetangga sekitar dan orang-orang kampung halaman ibu di Boyolali memberikan label buruk pada ibu. Apalagi ibu sama sekali bukan orang Golkar.

Almarhum Cak Munir ikut memperjuangkan agar korban Tanjung Priok mendapat keadilan. Persidangan demi persidangan yang dijalani ibu menemui jalan buntu. Mahkamah Agung menganulir putusan pengadilan HAM tentang kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi yang seharusnya menjadi hak korban. 

Terlepas dari proses persidangan yang panjang dan tanpa hasil hingga kini, mimpi buruk ibu tak pernah berakhir. Bisa dibilang, aku adalah anak yang dibesarkan oleh ibu yang seringkali berteriak-teriak di dalam mimpinya soal dikejar tentara, diinjak oleh sepatu lars, maupun ditembak oleh polisi. 

Saat aku tanya apakah ibu membutuhkan dukungan psikologis untuk membuat mimpi buruknya tak datang lagi, ibu bilang, "tidak perlu. Ibu baik-baik saja. Asal kita mencintai Allah, maka hidup kita akan damai."

Ibu memang pernah "mencicipi" proses terapi psikologi. Tetapi ibu tak merasakan adanya perubahan signifikan dalam hidupnya. Ia lebih memilih untuk tetap konsisten memegang teguh agama sebagai solusi atas rasa traumanya. Sekalipun, mimpi buruknya memang tak pernah benar-benar berakhir.

***

Ibu adalah seorang wanita yang tangguh. Sekalipun putusan sidang tak menghasilkan apa-apa, ia bertekad melanjutkan hidup sehormat-hormatnya. Apalagi, paska kerusuhan Mei 1998, bapak adalah salah satu pengusaha kecil pengemas makanan yang kena dampak hancurnya perekonomian negara. Banyak toko langganannya yang merugi tanpa bisa membayar tagihan makanan kemasan yang dipasok dari usaha bapak.

Di saat bapak jatuh, ibu yang jadi tulang punggung suami dan 7 orang anaknya. Usaha ibu macam-macam. Mulai dari jualan nasi uduk, jualan nastar, onde-onde, ayam goreng, kerajinan tangan manik-manik, membuat tas payet, hingga membuat berbagai macam kerajinan tangan dari kain flanel. Ia meminta semua anaknya, dari yang paling besar sampai yang terkecil untuk ikut berkontribusi membantu. Ada yang ikut produksi, ada yang ikut jualan. Ibu bilang tanpa bantuan anak-anak sebagai pegawai, kami tak akan bisa makan. Dengan pegawai anak-anaknya sendiri inilah, ibu membiayai kontrakan selama di Solo, transport untuk anak-anak sekolah, dan makan sehari-hari.

Dengan motornya, ibu sanggup berkendara hingga lintas kabupaten dengan beban dagangan yang tak sedikit. Dulunya kami menggunakan terpal kain sehingga yang ikut menemani ibu jualan harus rela kakinya pegal karena posisi mengkangkang sepanjang jalan. Kemudian sekitar tahun 2005, kami mulai memiliki sebuah gerobak seng dua roda yang ditarik oleh motor Suzuki GX yang bermesin dua tak.

Ibu sering jadi supir gerobak, bergantian dengan kakak kedua, Mbak Himma. Kegiatan jualan pernak pernik berbahan flanel kami berjalan setiap hari dari satu pasar malam ke pasar malam lainnya di sekitar Solo, Sukoharjo, dan Sragen secara kaki lima. Khusus hari minggu, lapak jualan kaki lima kami digelar di Stadion Manahan Solo.

Sebagai pedagang kaki lima, kami memang sering diusir oleh satpol PP, terutama di Stadion Manahan Solo. Kami sampai kehilangan beberapa pelanggan setia karena harus pindah lapak. Lucunya adalah, seringkali, adu argumen ibu dengan satpol PP berujung pada pengungkitan ibu atas kasus yang pernah menimpanya.

Ibu bilang di depan para Satpol PP, "sampai kapan saya jadi korban HAM terus. Dulu saya didzolimi negara dengan kasus Priok! Sekarang ekonomi saya diganggu negara lagi. Kalian ini orang-orang berseragam yang menindas sesama warga sendiri!!"

Tentu saja omelan ibu hanya membuat Satpol PP melongo. Mereka tak tahu kasusnya. Mereka merasa tak ikut bertanggung jawab. Satpol PP juga tak ikut andil dalam Tanjung Priok. Tapi dalam perspektif ibu, semua petugas berseragam pada dasarnya adalah orang-orang yang ditugaskan negara untuk menyakiti rakyatnya sendiri.

Di usianya yang menginjak 50an tahun, ibu masih gagah mengendarai motornya. Sampai pada suatu hari, saat berboncengan motor dengan bapak dalam perjalanan Jepara-Solo, mereka kecelakaan di Salatiga. Truk gandeng yang dikendarai oleh supir mengantuk membuat sepeda motor yang disupiri bapak oleng. Kaki ibu tersangkut ban truk dan tergiling saat truk terus melaju berusaha kabur. Daging betis kanannya nyaris habis di dalam ban belakang truk.
Ibu sekarang, tetap semangat walau kemana-mana harus pakai kursi roda
Ibu menjalani prosedur operasi hingga lebih dari 20 kaki untuk kakinya. Ia dirawat di Rumah Sakit Ortopedhi Solo dan dr. Muwardhi Solo. Bantuan dari para aktivis HAM dan Jamkesmas tak dapat menutupi sebagian besar dananya. Apalagi pengobatan yang harus ibu tempuh sifatnya jangka pan

IKAPRI (Ikatan Keluarga Tanjung Priok) dengan IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) menginformasikan bahwa ibu bisa mendapatkan jaminan kesehatan BPJS tingkat 1 dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) sekalipun kecelakaan yang ibu alami bukan dari peristiwa dari kekerasan Tanjung Priok itu. 

Sebagai anak korban, bapak, aku dan saudaraku yang lain juga bisa mendapat layanan pemulihan psikologis jika diperlukan. Namun, hingga kini belum ada anggota keluarga kami yang memanfaatkan fasilitas tersebut.

Sebenarnya, semua korban HAM di Indonesia bisa mendapatkan layanan jaminan kesehatan dari LPSK ini. Hanya saja, belum banyak yang tahu. Bawalah surat pengantar berupa keterangan sebagai korban HAM dari KOMNAS HAM, maka Anda dan keluarga yang jadi korban HAM bisa mendapatkan BPJS dari LPSK. Hingga kini, BPJS ibu terpisah dari BPJS milik bapak dan anak-anaknya. Karena LPSK lah yang akan menanggung biaya bulanannya.

Sekalipun negara belum benar-benar menuntaskan kasus pelanggaran HAMnya, setidaknya lewat LPSK ini, negara sudah bisa sedikit bertanggung jawab dalam menanggung ongkos medis korban HAMnya.

Sebagai anak dari korban HAM berat Tanjung Priok, saya merasa bahwa #DiamBukanPilihan. Saya akan terus bersuara untuk membuat banyak orang ingat peristiwa memilukan tersebut dan menyadari bahwa pelanggaran HAM berat dari negara kepada warganya bisa berdampak sedemikian panjang untuk korbannya. Jika ibu saya tidak pernah semena-mena dipenjara, bisa jadi ekonomi kami lebih baik karena ibu bisa mengejar impiannya untuk kuliah atau minimal memanfaatkan ijazahnya.

Namun bagaimanapun caranya, negara harus bertanggung jawab menuntaskan semua kasus pelanggaran HAM Beratnya, mulai dari peristiwa 1965, Tanjung Priok 1984, Talang Sari 1989, Mei 1998, hingga operasi militer Aceh. Lembaga seperti LPSK dan Komnas HAM harus terus ada untuk jadi teman bagi korban. Agar korban tahu bahwa setidaknya ada lembaga negara yang berpihak pada mereka tanpa diskriminasi apapun,


Catatan:
1. Suara korban tragedi Tanjung Priok pernah dibukukan dalam sebuah buku berjudul "Mereka bilang di sini Tidak Ada Tuhan." Unduh bukunya di sini.
2. Aku pernah membuat catatan soal ibu yang lebih lengkap di dalam tulisan berikut Ibu Aminah, Saksi Hidup Potret Suram Tragedi Tanjung Priok ‘84 (Bagian 1)Ibu Aminah, Saksi Hidup Potret Suram Tragedi Tanjung Priok '84 (Bagian 2).
3. Besarnya kompensasi negara yang harus dibayarkan kepada korban Tanjung Priok dapat dilihat dalam surat berikut ini.