Jumat, 07 Agustus 2015

Andreas Harsono

Ini semua gara-gara Misbahudin Muhammad. Dia adalah Senior Editor sekaligus pendiri Parmagz, Pers Mahasiswa Paramadina. Dia yang mendoktrin kami bahwa kami harus meniru Jurnalisme Sastrawi ala Pantau. Di depan kami, Misbah selalu membanggakan kualitas majalah Parmagz edisi pertama yang menurutnya sudah menganut gaya Jurnalisme Sastrawi. Ia juga memuji Priyo, si pendiri Parmagz yang lain. Misbah bilang pada kami bahwa liputan konser musik Priyo di majalah Parmagz edisi pertama sudah setara tulisan wartawan Rolling Stone. 

Karna itulah, kami para juniornya yang berjumlah 10 orang dan seringkali menyusut jadi 4 orang sering melongo sendiri. 

Memangnya, bagaimana caranya supaya kami bisa menulis bagus seperti mereka? Atau paling tidak, bagaimana caranya supaya bisa punya selera menulis yang bagus seperti mereka?

Bahkan, beberapa anak Parmagz yang dari daerah diam-diam berbisik padaku, "Majalah Rolling Stone itu kayak gimana sih?"

Ngok!

Akhirnya aku bilang pada kawanku, "Wajar Misbah dan Priyo tulisannya bagus. Mereka udah tua."

Memang kok. Umur mereka sudah di atas 25 sedangkan kami para juniornya ini masih di bawah 20 tahun. Jadi anggap saja mereka bisa jago karena mereka tua. Problem solved!

Masalahnya, para senior tengil itu tak pernah mengajari bagaimana caranya menulis. Mereka meminta kami belajar sendiri dari banyak membaca. Mereka tak beri tahu bahan bacaan apa yang yang mesti dibaca. Kami makin linglung.

Okelah, aku ini sudah banyak membaca. Masalahnya, aku sendiri tak paham, mana tulisan jurnalisme sastrawi, mana yang bukan. Apakah sebuah feature sama seperti essay? Apakah hardnews yang didramatisasi itu bisa menjadi essay? Aku bingung. 

Seleraku terhadap tulisan jurnalistik tidak terdidik dengan baik. Jika orang yang aku anggap lebih pintar dariku bilang karya jurnalistik ini baik, maka aku akan mengamini hal itu karena aku sadar bahwa aku tidak memiliki kompetensi dalam dunia jurnalistik. Kemampuan literasiku sangat buruk. Aku tidak kenal siapapun yang bisa menjadi rujukan. Aku anggap semua wartawan sama saja. Kalau mereka sudah tua, maka otomatis mereka akan menjadi senior. Sama seperti anggapanku ke Misbah. Dia bisa menulis karena dia sudah tua.

Segalanya terasa payah. Aku merasa sangat sengsara karena ketidaktahuan ini. Apalagi kalau berhadapan dengan pers mahasiswa di kampus lain. Mereka punya proses kaderisasi berjenjang yang baik. Jika di kampus lain seseorang menjadi Pemimpin redaksi pada semester 6, maka di Paramadina, semester 3 pun sudah bisa terpilih jadi pemred karena pada semester 5 seseorang mulai sibuk dengan skripsi dan biasanya memilih untuk tidak aktif lagi di UKM Kampus.

Jujur saja, sebagai Editor in Chief di Parmagz, aku buta literasi. Bagiku semuanya sama saja. Berita ya cuma seperti itu. Pengetahuanku standar. Hanya seputar piramida terbalik, 5 W 1 H, dan hal-hal dalam hardnews. Bodoh.

Dengan bekal merasa bodoh itu tadi, aku googling soal dunia jurnalistik. Spesifiknya, soal Jurnalisme Sastrawi. Kemudian aku menemukan blog Andreas Harsono dalam daftar teratas pencarian google. Di blog nya juga tercantum informasi mengenai Kursus Jurnalisme Sastrawi. Ternyata dia adalah salah satu pengajarnya. Teringat Misbah yang menyebalkan lagi, dia juga pernah menyinggung soal kursus itu sekalipun dia sendiri tidak pernah mengikutinya.

"Keren sih kursusnya. Tapi mahal." Katanya waktu itu.

Saat aku tanya seberapa mahal harganya, dia tidak memberitahuku. Mungkin dia memang tidak tahu tapi gengsi untuk bilang tidak tahu. Atau dia sebenarnya tahu tapi dia pikir aku tak mampu bayar. 

Selama menjadi Editor in Chief dan Chief Operating Officer Parmagz pada periode berikutnya, aku memendam rasa kesal ke Misbah. Aku menganggapnya berdosa besar karena tidak pernah mendidik juniornya untuk bisa menulis dan punya selera bacaan yang baik. Sedangkan dia terus menerus memuji karyanya sendiri dan mengatakan betapa kerennya gaya menulis Pantau. Aku tak pernah baca satupun tulisan dari Pantau. Misbah bilang, Pantau itu bentuknya Majalah. Aku tanya di mana aku bisa beli majalahnya, dia bilang tidak tahu. Informasi soal itu selalu deadlock.

Di blog Andreas lah aku temukan segala yang aku cari. Aku membaca detail kurukulum kursus di Pantau. Sepertinya keren.

Tanggal 18 April 2013, aku memberanikan diri untuk mengirimkan email ke contact person yang tercantum dalam blog Andreas. Namanya Imam Shofwan.

Isi emailnya seperti ini :
Halo, aku baca website nya Andreas Harsono ttg pelatihan Jurnalisme sastrawi juni nanti. Caranya ikut gimana ya? Syaratnya apa? Thx
Mas Imam memberikan balasan pada keesokan harinya.
Halo, tolong kirim 2 contoh tulisanmu dan CV. Setelah itu membayar biaya pendaftaran: Rp. 3juta.
Thanks,
IS
Mendapat balasan email itu, aku makin merasa sengsara. Bagi mahasiswa sepertiku, 3 juta itu banyak.

Aku memutuskan untuk tak mengirimkan balasan email lagi pada mas Imam. Akhirnya aku mengubur keinginan untuk kursus. Kalau Misbah bisa belajar sendiri, mestinya aku bisa. Lagipula, aku belum tentu jadi wartawan.

Siapa tahu aku malah jadi mbak mbak penjaga warnet yang bisa bahagia karena bisa internetan gratis. Atau jadi mbak mbak kelas menengah yang kerja kantoran di ruang berAC sambil mengeluh jalanan macet karena aksi para Buruh.

Tahun itu, aku memang belum punya bayangan akan hidup dengan cara seperti apa nantinya. Siklus hidup yang aku tahu hanya kuliah, kerja, menikah, berhenti kerja karena hamil, jadi ibu rumah tangga yang baik, membesarkan anak, nyekolahin anak, nikahin anak, bercucu, lalu mati. Pikiranku hanya sesederhana itu karena aku tidak tahu apa yang penting di dunia ini. Apa yang perlu diperjuangkan. Apa peran yang harus kita ambil. Dan ya, aku dulu memang seperti itu. Naif.

Awal tahun 2014, aku perlu meliput sebuah konferensi pers di Kuningan. Saat itu aku memang baru saja jadi pemimpin redaksi sebuah media online baru. Karena aku meliput dengan handphone android, maka aku memilih untuk mentranskip konferensi pers dengan cara live tweet. Gara-gara membuka timeline twitter, aku jadi tahu bahwa Andreas Harsono juga ikut hadir dalam konferensi pers itu. Dia juga sedang live tweet.

Karena tak pernah tahu wajah Andreas itu seperti apa. Maka, untuk pertama kalinya, aku mengklik avatar twitternya. Aku sempat melakukan Zoom in dan Zoom out pada avatarnya. Demi mencari sosoknya di kerumunan. Ternyata mudah untuk menemukan dia. Aku kenal banyak orang di konferensi pers itu. Aku tinggal mencari satu-satunya wajah chinese di sana. Gotcha!

Usai acara, aku lihat Andreas sedang berbincang dengan salah satu pembicara konferensi pers. Aku menunggunya selesai bertukar kontak dengan pembicara.

"Maaf, anda Andreas Harsono bukan ya?" 

Aku sudah yakin dia Andreas. Aku hanya ingin memastikan bahwa dia bukan Wiranto yang menyamar.

Ia mengiyakan. 

Saat itu, Andreas juga langsung bertanya balik, aku ini siapa. Aku bilang kalau aku ini Pemimpin Redaksi salah satu media online Islam. Aku sih yakin dia tidak mengenal mediaku. Karena itu memang media nirlaba yang masih baru.

Aku bertanya padanya soal Pantau. Berapa biayanya jika aku berminat ikut. Dia bilang, "Kursus Pantau bayar Tiga Juta Lima Ratus."

Aaaw... 

Bahkan harganya sudah naik dari yang terakhir kali aku tanya ke Mas Imam. 

Sebenarnya, kursus tersebut tidak mahal. Pengajar dan Materinya memang keren. Aku saja yang terlalu kere. Hiks.

Dia menginfokan padaku bahwa kelas Pantau akan dibuka pada hari Senin minggu depan. Sudah terlambat untuk mendaftar.

Aku bilang padanya bahwa aku sangat berminat untuk ikut kelasnya. Tapi aku masih mahasiswa. Belum menghasilkan uang. 

Dia mengatakan hal yang membuatku sangat bahagia, "Datang saja kelasnya besok Senin. Nanti aku akan bilang ke stafku kalau kamu akan bergabung. Aku tidak tahu kebijakannya bagaimana. Mungkin kamu tidak akan dapat buku dan makan siang di sana. Kamu bisa jadi pendengar di sana. Apakah kamu oke jika seperti itu?"

Tentu saja!

Andreas meminta nomer handphoneku. Begitupun sebaliknya. 

Dia bilang, saat di Pantau nanti, aku harus izin dulu dengan Eva. Jika Eva mengizinkan, maka aku boleh ikut kelasnya sampai selesai selama 2 minggu. 

Aku mengerti.

Andreas mengarahkan kameranya handphonenya ke arahku. Itu adalah hal yang tak pernah dilakukan oleh orang lain padaku. 

Saat itu, aku agak bingung dan sempat GR. Apakah pertemuan denganku sangat berarti bagi hidupnya sampai-sampai dia ingin menyimpan fotoku? Bukankah sebagai orang yang lebih keren dari aku, harusnya sebaliknya ya? Aku yang memintanya foto bareng? Apakah aku harus minta foto bareng? Tapi aku ini jarang sekali minta foto bareng sama orang terkenal. Karena aku gengsian. Aku mah orangnya gitu...

Dia bilang, "Aku mau simpan fotomu untuk gambar kontak di HPku. Boleh ya?"

Mungkin dia takut lupa wajahku. Atau itu memang kebiasaannya? Aku mengiyakan saja apa maunya. 

Aku bilang pada diriku sendiri, "Boleh juga nih, difoto orang bisa gratis kursus." Atau malah kebalik? Kursus jurnalistik gratis bonus foto?

Setelah kenal dengannya, aku akhirnya tahu bahwa itu memang kebiasaannya ketika menyimpan nomer HP seseorang yang ditemuinya langsung.

Aku juga sempat bingung, harus memanggil dia dengan sapaan apa. 

Kalau "Pak?" Terlalu tua. Kalau "Om?" dia tidak punya kumis, jadi tidak tampak seperti Om Om. "Mas?" Dia tampak bukan suku Jawa. Kalau manggil "Bang?", aman sih, tapi selalu membuatku berpikir soal orang Timur atau daerah Sumatra. Atau jangan-jangan, dia tipe orang yang lebih senang dipanggil nama tanpa sapaan apapun selain namanya. Macam bule-bule di Barat.

Dengan keputusan agak tergesa, aku memanggilnya dengan "Bang". 

Pertimbanganku saat itu, dia terlalu Chinese untuk dipanggil Mas. Aku belum tahu sama sekali soal asalnya dan dengan apa dia biasa dipanggil. Kalau tahu dia berasal dari Jember, pasti dari awal aku akan memanggilnya dengan Mas. Untunglah dia tidak pernah masalah dengan panggilan apapun.

Malam harinya, aku membaca habis seluruh materi yang tercantum pada silabus Kursus. Yang belum aku baca hanya bukunya saja. Selain itu, aku juga membaca seluruh postingan blognya. Ada soal Norman, pernikahan, ceritanya mengajar jurnalistik, isu HAM, cara belajar menulis dengan bahasa Inggris, dan lainnya.

Di blog itu, aku juga menemukan tulisan soal respon atas kebingungan orang di sekitarnya yang akan memanggil dia dengan panggilan apa. Dia menulis bahwa orang memanggil dia dengan panggilan yang bervariasi. Dia oke disebut dengan sapaan apa saja.

***

Senin pagi, aku mengirimkan pesan whatsapp padanya. Aku mengabarkan padanya kalau aku kesulitan mencari alamat Yayasan Pantau. Dia menjawab pesanku dengan cepat dan memberikan nomer handphone mas Udin yang biasa menunjukkan jalan.

Sebagai orang yang diizinkan untuk masuk ke kelas tanpa bayar, aku sebenarnya agak minder. Apalagi peserta kursus rata-rata adalah orang yang biasa hidup di dunia jurnalistik. Aku memang Pemred saat itu, tapi kualitas tulisanku payah. Aku terpilih jadi Pemred cuma karena orang berpikir aku bisa nulis atau terbiasa menulis di kampus. Alasan kedua, tidak ada orang lainnya. Alasan ketiga, aku keminter. Aku bisa meyakinkan pada orang lain bahwa aku ini cukup pintar dalam bidang tertentu walau sebenarnya kualitasku masih weleh weleh. 

Lagipula, Media yang aku pimpin juga bukan media yang besar. Resikoku untuk mendapat kritikan dari segenap rakyat Indonesia sedikit. Karena pembacanya memang masih sedikit di segmen tertentu. 

Padahal ya, aku selalu kesulitan untuk menulis. Aku sering sulit untuk memulai, mengurai ide, menulis, dan mengakhiri tulisan yang aku buat.

Dengan kikuk, di hari pertama itu, aku berkenalan dengan wartawan beneran, Arsitek, Pegawai LSM, Kontributor koran berbahasa Inggris, dan sebagainya, dan sebagainya. 

Selain aku, ada satu orang lain yang masih mahasiswa. Namanya Diki asal Jember. Tapi, aku tetap merasa jadi yang termuda di sana. Padahal aku tak pernah tanya umur Diki. Bisa jadi dia yang lebih muda. 

Berusia muda membuatku sedikit terhibur. Soalnya, aku seperti dapat pembenaran mengapa pengamanan jurnalistik dan tulisanku tidak bagus. Ups!

Saat itu, aku memutuskan untuk memanggil semua orang dengan panggilan Kak, Mas, Mbak, Bang. Kecuali untuk orang-orang yang merasa keberatan dengan panggilan itu.

Tak ku sangka, Mbak Eva memberiku materi dan makan siang. Aku bilang padanya bahwa aku hanya murid yang disusulkan Bang Andreas. Saat itu, aku bukan peserta yang membayar biaya kursus. Aku tidak ingin dia salah paham. Aku takut di akhir kursus, ada tagihan yang perlu aku bayar.

Sambil tersenyum, dengan mata yang sipit serupa lengkung pelangi itu, mbak Eva bilang, "Nggak papa Banu, kan materi dan makannya memang sudah disiapkan untuk Banu."

Aku senang sekali mendengarnya ^^,.

Rasanya aku tak tahan untuk tidak pamer ke Misbah kalau aku berhasil masuk kelas Pantau yang selalu ia sebut-sebut itu.

Minggu pertama kelas adalah Janet Steele, seorang Profesor asal George Washington University Amerika yang fasih berbahasa Indonesia. Andreas juga hadir di hari pertama walau sebentar.

Melihatnya masih mengenaliku dengan baik, aku mulai berhenti untuk menganggap diriku sebagai murid ilegal di kelas Pantau.

Belakangan, aku baru tahu bahwa beberapa alumni kelas Pantau yang sudah bekerja sering membayari para peserta Pantau yang baru. Yang tahu soal siapa yang membayari siapa hanya Bang Andreas dan Mas Imam yang tahu. Yang jelas, aku sangat berterimakasih atas kesempatan belajar ini.

Suatu hari, usai kelas Pantau, Kak Dian yang jadi redaktur Tribun Pontianak bilang dia akan ke rumah Andreas. Aku boleh ikut kalau punya waktu. Aku mengiyakan ajakan itu. Saat itu, aku main di rumahnya sampai jelang malam. 

Sejak itulah aku jadi sering main ke rumahnya. Sebagian besar karena ada acara makan-makan di sana.

Kak Arie, Istri Andreas, adalah koki handal spesialis makanan sehat. Aku suka sekali Bakso Sapi dan Bakso Ayam buatannya. Aku juga suka nasi campur ubi, pisang dan macam-macam campuran lain yang mengurangi kadar gula pada nasi yang dihidangkan di meja makan. Intinya, ke rumah Andreas adalah perbaikan gizi untuk perut dan otak. Selalu ada diskusi menarik di sana. Selalu banyak wartawan yang lebih berpengalaman yang mampir ke sana untuk berbagi cerita.

D, anak perempuan Andreas juga sangat lucu. Kalau jenuh dengan pekerjaan, aku ingat D. Ingin lihat kelucuannya. Ingin mendampinginya nonton video di youtube dan bernyanyi bersama. Asik sekali~

Andreas sering bilang hal yang aku utarakan sebenarnya adalah hal-hal sederhana. Tapi aku berdalih, "Pas seumuranku, Bang Andreas pasti juga bingung kan mau ngapain kalau punya problem kayak gini."

Dia jawab, "Iya sih, tapi kamu beruntung ada orang dewasa seperti aku yang membimbingmu. Aku dulu nggak punya. Mikir sendiri."

Dia pernah cerita bagaimana dia mengalami masa mudanya. Sepertinya terlalu pribadi. Jadi tidak usah aku tulis di sini ya.

Curhat dengan Andreas memang tak selalu menyenangkan. Misalnya, untuk menceritakan sesuatu, aku butuh 100 kata. Namun, dia akan memotong cerita tersebut dan menyisakan 30 kata. Ini bukan memotong cerita dalam hal tulisan seperti layaknya proses editing. Tapi dia memotong ceritaku secara lisan dan memberikan jawaban yang aku butuhkan. Kebayang?

Dia juga terlalu jujur mengungkapkan pendapat dan kritiknya. Sebagian pait sekali. Sumpah. Tapi aku selalu membutuhkan orang yang bisa menilaiku dengan jujur. Apalagi, aku kurang suka dan tidak pintar berberbasa basi.

Aku sering protes padanya dengan bilang, "Masak sih aku kayak gitu...? Nggak ah. Aku nggak bermaksud seperti itu. Masak anggapannya jadi seperti itu sih? Ah, masak? Nggak gitu ah bang!"

Dia akan bilang bahwa itu adalah penilaiannya. Aku boleh percaya, boleh tidak. Dia hanya berikan pandangannya.

Nantinya, diam-diam aku akan bahwa ada benarnya juga apa yang dia bilang. Lalu, suatu hari yang lainnya lagi, aku akan mengiriminya pesan. 'Apakah aku boleh main ke rumahnya untuk curhat?'

Senang rasanya punya seorang yang bisa jadi guru, abang, orang tua, dan sekaligus teman sepertinya.

Ada banyak pelajaran yang aku ambil setiap kali kita berinteraksi. Selain soal dunia jurnalistik, dia banyak mengajariku soal kerendahan hati dan keberpihakan pada orang yang terdiskriminasi. 

Andreas bukan hanya mendidikku, tapi juga sering mengajakku ikut andil dalam kegiatannya. Yang paling seru adalah saat audiensi di Mabes Polri soal tes keperawanan dan ikut konferensi pers di rumah Iwan Fals bersama Jokowi. 

Dia sering memperkenalkan aku ke banyak orang keren lainnya. Hal yang aku tunggu-tunggu dari proses perkenalannya adalah, predikat apa yang dia rekatkan padaku.

Pernah, suatu hari Andreas bilang pada seseorang, "Ini Banu. Pemimpin Redaksi media yang jadi lawannya Arrahmah dot com."

Pernah juga, ia bilang pada kawannya, "Kenalin, ini Banu. Orang Syiah tapi genit."

Lain waktunya lagi, dia bilang, "Kenalkan, ini Banu. Calon mantunya Abu Jibril." Dia merujuk ceritaku di blog soal bapakku yang dulu berteman baik dengan Abu Jibril. Kini Abu Jibril jadi Wali Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Bapakku malah jadi orang Syiah yang Moderat. Maksudnya moderat di sini adalah, bapakku bukan seorang yang fiqih oriented.

Predikat yang ia sematkan padaku selalu lucu-lucu. Aku menunggu-nunggu kesempatan untuk membalasnya.

Aih, sebenarnya aku malu padanya karena aku belum menulis banyak hal yang ia sarankan. Ia memintaku menulis isu-isu tertentu untuk media nasional. Aku selalu punya banyak alasan. Sampai sekarang belum ada satupun yang aku kerjakan. Maaf ya bang. Karena itulah, aku merasa tak pernah masuk dalam circle orang keren. :(

Permintaannya yang sering aku penuhi hanyalah soal membaca. Aku sering membaca setiap buku yang ia rekomendasikan. 

Beberapa minggu yang lalu, Andreas ulang tahun. Lagi-lagi aku lalai mengucapkan selamat padanya. Aku baru tahu berhari-hari setelah dia ulang tahun. Itu pun berkat facebook. Padahal, saat ulang tahunku, aku main ke rumahnya hanya karena aku ingin merasakan suasana keluarga di rumah. 

Aku emang nggak asik nih. :/

Tentu saja ada banyak hal baik yang aku doakan untuknya. Aku juga berharap, hal baik yang aku harapkan untuknya bisa lebih banyak daripada hal baik yang telah dia lakukan untukku. 

Semoga Bang Andreas selalu ada, dan berlipat ganda. *macak Munir*

Aku juga berharap, semoga dia diberi kesabaran menghadapi anak muda yang sering galau dan merepotkan sepertiku. 

Selamat ulang tahun Bang! Ayo makan-makan.