Sabtu, 09 Desember 2017

Dini Hari, Pukul 2 Pagi

Sudah berhari-hari rasanya, tidur dalam keadaan sangat lelah pada pukul 11 malam dan bangun dalam keadaan sakit pada pukul 2 pagi. Alih-alih membuat hidup jadi lebih produktif seperti anjuran orang untuk "bangun sebelum orang lain terbangun agar jadi orang sukses", aku akan terbangun sambil meratapi tubuh yang sakit di sana-sini. Kadang perut yang melilit perih sekalipun sudah makan sebelum tidur, kadang tentang sakit kepala sebelah kanan, tak jarang soal punggung maupun pinggang yang jadi sakit sekalipun tak sedang datang bulan.

Beberapa kali, aku menghabiskan waktu terbangun dini hari untuk meratapi pesan-pesan yang tak terbalas, cinta yang bertepuk sebelah tangan, masa lalu yang mendadak datang, sakitnya jadi orang yang tak signifikan, dan batas tipis hidup mati yang jadi pertimbangan untuk terus bertahan.

Aku tahu bahwa setiap tubuh punya alarm peringatannya masing-masing. Tapi soal ini, aku selalu gagal memahami. Apa sih sebenarnya yang ingin diperingati tubuh pada jam 2 pagi yang mencekam setiap harinya? Bisa jadi aku dibangunkan oleh mesin waktu yang mengajakku menyanyikan hymne pada duka pada jam 2 pagi. Mungkin akan ada peristiwa luar biasa pada jam 2 pagi di masa depan yang memintaku untuk selalu waspada pada waktu-waktu ini.

Setiap orang memang punya prioritas masing-masing. Makin tak signifikan kehadiranmu di kehidupan orang lain, dirimu akan makin tak mendapat urutan prioritas di sisinya. Bisa jadi orang-orang yang aku anggap penting menganggapku bukan apa-apa. Otakku pada pukul 2 pagi justru berisi nama orang-orang yang punya banyak alasan menghindari pertemuan dan ratusan pesan tak terbalas.

Aku memang tak harus peduli tentang orang yang tak mempedulikan aku. Tapi bagaimanapun, aku tak ingin orang-orang itu merasakan sakitnya terabaikan dan tak signifikan. Karena dalam hidup, kita mesti banyak memanjangkan rasa maklum dan sabar.

Hidup harus dijalani dengan tabah, sesakit apapun itu. Maka dari itu, saat berada di titik kesakitan yang sulit ditoleransi, secara otomatis amigdala yang sudah hancur babak belur ini bertanya, "bagaimana kalau kita akhiri saja drama rasa sakit ini selamanya?"



via GIPHY

Senin, 27 November 2017

Lelaki Pusat Dunia

Pada mulanya, lelaki itu menyapamu lebih dulu dengan panggilan yang senetral mungkin. Ia tahu bahwa beberapa perempuan tak suka ketergesaan. Ia adalah sosok lelaki manis yang akan sering menyapamu di sela kesibukannya dan memastikan bahwa kamu baik-baik saja.

Ia akan menggiring arah pembicaraan ke topik-topik yang kau senangi, sekaligus memastikan bahwa topik itu sangat dikuasainya. Musik salah satunya. Kau selalu suka musik. Ia sendiri adalah seorang musisi. Kalian akan bertukar pengetahuan dan kau pun akhirnya mengakui bahwa selera musiknya bagus. Pengetahuannya di bidang lain pun tak kalah mendalam. Lelaki itu tahu betul bahwa kau akan mengakui kecerdasannya karena ia telah berkali-kali menggunakan trik yang sama pada beberapa perempuan dan selalu berhasil.

Tokoh kita ini paham bahwa perempuan memang selalu menyukai segala sesuatu yang terdengar bagus.



Awalnya, ia akan menunjukkan beberapa karyanya. Kau akan mengapresiasi karyanya dengan komentar positif. Kau menyadari bahwa bakatnya adalah bagian dari hasrat terdalammu yang tak pernah bisa kau gapai sebelumnya.

Kau mulai menyadari bahwa ia berbakat, lembut, cerdas, dan berwajah manis. Rasa-rasanya, ia melengkapi semua yang kau butuhkan dari lelaki. Bersamanya seperti mengencani empat orang sekaligus; dokter, aktivis, penulis, dan musisi. Dunia rasanya tak adil jika menghadirkan semua hal baik dalam satu sosok. Dia adalah lelaki melankolis dan paling bisa mengontrol emosinya.

Namun ia sepertimu juga yang masa lalunya tak sempurna. Duka-duka masa lalunya barangkali seperih yang kau miliki. Lagipula, beberapa masa lalu memang harus dikubur dalam-dalam. Kau juga akan mengabaikan risiko-risiko jika bersamanya karena kau sendiri sudah terbiasa menyelam ke dalam air keruh kehidupan. Kau juga tahu bahwa dirimu harus menghargai setiap manusia yang berusaha menjadi dirinya yang baru, otentik, dan lebih baik. Dalam proses itu, ada banyak hal yang perlu dilewati. Di sini, kau pun berusaha agar dapat menjadi seorang pendamping yang kuat menghadapi suka duka perubahan itu.

Waktu berjalan lebih cepat dari yang direncanakan. Debar jantung saat pertemuan adalah bumbu yang diracik sedemikian rupa hingga jadi terasa melenakan. Rindu adalah sebentuk rasa haus memaksa kalian untuk meminum ramuan bernama perjumpaan.

“Saya merasa, diri saya menggebu-gebu sekali dalam mencintaimu,” kata si lelaki.

Kau mengamini hal itu.

Kalian merasakan hal yang sama. Rasanya seperti remaja yang mencicip cinta untuk pertama kalinya. 

Rasa rindu yang tumbuh jadi bunga-bunga adalah dekorasi dalam perjamuan asmara kalian. Kau menyadari bahwa hadirnya satu orang dalam lantai dansa di hatimu jadi begitu penting. Setidaknya, kau bukan lagi jadi gadis yang berdansa sendirian dengan gaun bercorak kabut duka. Lelaki itu fasih memilihkan musik apa yang tepat untuk mengiringi dansa kalian.

Sayangnya, hidup ini tak hanya soal menari di antara dekorasi bunga-bunga diiringi music klasik kesukaan kalian. Hidup adalah menghadapi kenyataan bahwa di taman terindah pun, selalu ada hama dan belukar di dalamnya.

Ia selalu jadi orang yang memilih lagu dansa kalian karena ia yakin bahwa selera musiknya lebih baik dari siapapun. Tak hanya itu. Ia juga akan mengatur waktu perjamuan kalian.

Ada satu dua pesta dansa yang tak ada kau di dalamnya. Itu bukan sebuah pesta dansa yang serius. Kau akan mengamininya bahwa lantai dansa yang ia bangun tak semegah milik kalian. Namun kau juga mempertanyakan, jika kalian sudah bahagia di lantai dansa ini, mengapa ia perlu menggelar pesta dansanya sendiri?

Tentu saja, kau akan menghibur diri bahwa ini sudah risiko yang mestinya sudah diantisipasi jauh-jauh hari. Namun kau tidak bisa mengabaikan rasa sesak yang timbul di dada setiap kali mengingatnya. Bayangan bahwa lelaki kesayangan yang garis tawanya selalu kau rindukan itu ternyata mengajak orang lain untuk berdansa telah membuatmu hampir gila.

Kau memakan dengan baik janji gulali lengkap dengan hidangannya pada makan malam penebus dosa yang ia gelar. Kau akan menelan apa saja yang ia sajikan sambil meminta dadamu yang masih sesak untuk memberi ruang untuk maaf dan sabar.

Dalam cemas yang mencekam, kau mempertanyakan kemana rasa rindu menggebu miliknya yang dulu selalu minta dituntaskan. Duka membuatmu lupa caranya menari lagi. Kau menyimpan melodi yang ia ciptakan dan menghirup wangi bunga-bunga yang tersimpan di dalamnya. Kau merasa bahwa memaksakan diri untuk tetap menari dalam kesendirian dengan gaun duka seperti ini adalah sebentuk kegilaan yang selama ini perlu kau hindari.

Kau tahu bahwa ia menggelar pesta-pesta dansa yang tak bisa kau datangi. Jikapun hadir, mustahil ia menggenggam jemarimu yang ringkih dan mengumumkan pada semua yang datang bahwa kau adalah perempuan yang selama ini berdansa dengannya. Bahkan, di saat kau melambaikan tangan padanya di tengah kerumunan, ia sibuk bergelak tawa bersama orang lain seolah tak melihatmu.

“Saya tidak terbiasa seperti itu,” katanya suatu hari saat aku melontarkan kecemasanmu di antara kerumunan. “Saya tidak ingin mengumumkan cinta. Saya ingin mencintaimu dalam sunyi.”

Tentu saja kata-kata itu sangat indah. Dengan segenap tekad, kau mengamini hal itu. Untuk apa punya cinta yang gaduh? Cinta seharusnya sepi dan menenangkan, bukan?

Kau berusaha duduk tenang di rumah dekapan yang kalian bangun dengan susah payah. Memang ada tambalan pada atap dan temboknya, tapi kau percaya bahwa tinggal di sini lebih aman daripada menghadapi badai sendirian di luar sana.

Namun ada masa-masa di mana kau terpaksa menghadapi badai sendirian. Tokoh kita memang bukan orang yang bisa setiap saat menggenggam tanganmu saat kau tercekat ketakutan. Badai ini membuatmu sadar bahwa ternyata benih sabar yang kau tanam begitu ringkih hingga membuatmu kalut.

Aku akan balas dendam pada lelaki itu, tekadmu dalam hati. Ratusan surat terkirim tanpa balasan. 

Bayangan soal pesta dansa yang ia gelar tanpamu menerormu sepanjang malam. Hantu-hantu penghisap kebahagiaan terus menerus mendatangi rumah dekapan kalian tanpa permisi dan kau dipaksa menghadapinya sendirian.

Segalanya membuatmu gila. Kau mulai mengamuk di pesta-pesta dansa dan di pasar-pasar. Kau berteriak mencarinya dan melakukan apapun untuk membuat lelaki itu menghangatkan rumah dekapan kalian lagi.

“Saya mencintaimu. Sangat mencintaimu,” katanya sambil memelukmu. Mata lelahnya memintamu untuk tenang.

“Saya merasa sangat bersalah. Seharusnya tidak ada pesta dansa yang saya gelar tanpa kehadiranmu,” ujarnya lagi.

Ia menuntunmu masuk lagi ke dalam rumah dekapan kalian. Ia pun mulai rajin menyirami lagi bunga-bunga di lantai dansa kalian.

Tangan hangatnya meraih tubuhmu. Kalian mulai berdansa seperti biasa sambil membicarakan hal-hal yang pernah membuat kalian membara. Ada pijar di matamu yang berhasil ia nyalakan lagi.

Kau memandanginya dengan tatapan bertanya.

Sumber gambar: Pinterest
“Kita tak tahu akan berdansa sampai kapan. Yang jelas, saya ingin kamu bahagia karena saya bahagia bersamamu,” ucapnya lirih.

Kali ini, bukannya meramu ucapannya jadi gula-gula di dalam ramuanmu, kau justru memahat dan kata-katanya tepat di pusat duniamu. 

Waktu yang akan menjawab. Kelak, kata-kata itu akan jadi prasasti bersejarah, ataukah hanya sekedar onggokan batu nisan.

Sabtu, 11 November 2017

Sebuah Usaha Mencari Celah Positif

Bisa dibilang, dalam tiga tahun terakhir ini aku jadi orang yang ingatan soal ketidakberuntungannya lebih kuat daripada ingatan soal hal-hal baik. Kebiasaan itu terjadi begitu saja tanpa aku sadari. Aku merasa saat ada keberuntungan, maka itu adalah satu hal yang lumrah aku dapatkan setelah beberapa kali sial. Sudut pandang itu mengkristal seperti liontin yang memberatkan leherku dan harus aku bawa kemana-mana.

Tiga tahun belakangan, aku sulit menemukan ingatan indah. Selalu ada badai setelah bunga-bunga. Hal itu terus terjadi hingga aku tak ingat lagi kapan terakhir kali aku bahagia tanpa takut ada hantaman badai setelahnya.

Aku bergumul dengan kesedihan dan babak belur dibuatnya.

Aku tahu pengkhiatan orang yang pernah kita percaya sudah berakhir. Yang lalu biarlah berlalu. Hari baru bersama orang-orang baru. Orang yang ditemui tidak akan sejahat dia. Aku merapal itu berkali-kali di kepala hingga aku rasa aku mulai bisa menerapkannya secara nyata di kehidupan sehari-hari.

Aku belajar untuk mempercayai orang lain lagi. Namun, pengkhianatan kembali berulang. Sial masih membebani dadaku yang selama ini kesulitan bernafas.

Kadang aku merasa bahwa barangkali beberapa orang diciptakan dengan kantung kebahagiaan besar dan orang sepertiku hanya diberi sekantung kecil bahagia. Saking kecilnya sampai lupa kalau punya.

Seharusnya masa lalu yang kelam menjadikan kita jadi makin kuat. Itu benar. Aku merasa tiga tahun lalu aku adalah orang yang kuat. Namun kini tenagaku sudah habis. Bahkan untuk sekedar tampak segalanya baik-baik saja pun aku tak mampu. Sudah terlalu lama "berperang" dengan diri sendiri dan saat ini rasanya lelah luar biasa.

Namun aku tidak menyerah.

Aku mulai berpikir bahwa mungkin mengubah perspektif nelangsa jadi sesuatu hal yang patut disyukuri akan bisa membuatku jadi lebih kuat.

Aku mulai mengingat satu-satu derita yang barangkali bisa aku ubah jadi rasa syukur.

Saat masih kecil, keluarga kami sangat miskin. Bapak dan ibu yang ada di Bekasi tak mampu mengirimkan uang pada tiga anaknya yang masih usia SMP dan SD. Kami harus survive sendiri tanpa mengharap pada siapapun. Sekolah tak terbayar, seragam pun tak punya. Tapi kami tetap menebalkan muka dengan berangkat sekolah sekalipun diejek teman dan dipermalukan guru.

Setiap hari usai pulang sekolah, aku selalu keliling dari satu kebun ke kebun lain, dari satu comberan ke comberan yang lain untuk mencari bayam liar. Bayam itu nantinya kami masak jadi sayur bening. Kadang ada beras kadang tidak. Asal ada bayam dan garam, maka hari itu kami bisa makan.

Di awal cari bayam, aku berebut daun bayam dengan ayam-ayam milik tetangga. Daun bayam yang aku petik tumbuh pendek dengan daun berlubang di mana-mana. Jika ada ayam di sekitar bayam itu, maka bayam itu akan penuh sobekan di sana-sini karena habis dipatuk. Rasa lapar membuat kami tak pernah jijik berebut daun dengan ayam-ayam itu. Aku dan kakakku pun tak pernah memikirkan bahwa bayam itu mungkin subur karena adanya air kencing dan cairan lain dari kamar mandi tetangga yang mengaliri tanah bayam liar itu.

Aku mencoba bersyukur bahwa Tuhan menitipkan ketegaran pada daun bayam yang aku petik. Bahkan di tempat yang dipandang rendah oleh orang lain di sana, ada rezeki tiga anak yang kelaparan di situ. Untung ada bayam tumbuh.

Saat dipermalukan guru karena tidak bisa bayar sekolah dan tidak beli seragam, aku jadi sadar betapa mahalnya pendidikan. Aku selalu minta surat resmi tentang dikeluarkan dari sekolah karena tidak mampu bayar sekolah. Tentu saja sekolah tak akan mengeluarkan surat macam itu. Karena itulah aku tetap berangkat sekolah sekalipun tak pernah menerima rapor dan selalu menggunakan kartu ujian sementara setiap hari.

Kemiskinan mendidikku untuk berempati pada sesama. Aku mulai belajar arti priviledge. 

Bullying saat kecil menyadarkan aku bahwa di dunia ini ada orang yang memang jadi kelompok rentan diskriminasi. Ada orang-orang yang memang diperlukan tidak adil, jika orang kuat di sekitarnya tidak angkat membela, maka ia akan habis dilindas sendirian. Saat itu aku memang dilindas sendirian. Tapi aku belum habis. Hidupku masih berlanjut. Bahkan aku bisa kuliah.

Aku masih mencari memori-memori sial yang mestinya aku syukuri. Apa yang terjadi tidak akan sia-sia. Pasti ada hal yang tak sekedar berkontribusi melemahkan. Pasti ada hal-hal yang bisa menguatkan aku saat ini.

Aku menemukan ingatan itu. Peristiwa ini baru yang terjadi beberapa hari lalu.

Jadi ceritanya, pasanganku baru pulang dari Bangladesh untuk menjalankan misi kemanusiaan pada pengungsi Rohingya. Aku yang excited menyambut kedatangannya berniat untuk masak makanan spesial.

Aku membeli ayam dan meracik bumbunya dengan baik. Tentu saja aku memasaknya dengan penuh cinta. Sekalipun belum makan seharian, aku bertekad menunda rasa lapar agar bisa makan bersama dengan pasanganku jam berapapun ia datang nantinya.

Saat dia datang tengah malam, aku menghidangkan masakan itu. Rasanya perutku luar biasa lapar. Aku bisa merasakan jemariku yang mulai gemetar saat memegang sendok. Namun ada yang aneh, ada semut di dalam masakanku. Tak hanya satu. Jumlahnya banyak.

Aku melihat piringnya. Dia juga menyadari ada semut di sana. Aku bilang padanya untuk tak meneruskan makan karena semutnya terlalu banyak.

Dia bilang, "tidak apa-apa kok. Semua masakanmu akan saya makan. Semutkan protein. Daritadi saya makan semua semutnya."

Aku sendiri tidak sanggup meneruskan makan karena semut itu sampai masuk ke sela-sela daging. Sulit untuk bisa memisahkan semut dan dagingnya. Aku melihatnya terus makan sampai tandas. Ia tak mengajukan komplain apapun tentang makanan yang aku sajikan. Di sana aku menyadari bahwa lelaki ini memang benar-benar mencintaiku. Aku menyembunyikan wajahku yang menangis haru di balik pintu sebelum aku kembali bertatap muka dengannya.

Besoknya aku menelepon ibu untuk menceritakan kejadian itu. Aku bilang pada ibu bahwa mungkin aku tidak teliti saat menuangkan kecapnya. Aku tidak menyadari ada banyak semut berenang di dalam kemasan kecap yang aku gunakan.

Ibu bilang, "tidak apa-apa dibuang. Niatkan untuk memberi rezeki pada bakteri yang akan menghabiskannya."

Aku membungkus masakanku pelan-pelan sambil minta maaf padanya. Kemudian aku letakkan dengan hati-hati di pojok tempat sampah. Aku minta maaf pada semua orang yang lapar di hari itu karena aku membuang makanan enak yang bercampur ribuan semut hitam di dalamnya. Aku merapal maaf berulang-ulang seharian. Sebagai orang yang pernah merasakan derita menggigil berhari-hari karena lapar dan tak punya uang, membuang makanan adalah hal yang sangat emosional bagiku.

Pada pukul 4 pagi keesokan harinya, aku belanja ceker ayam dua porsi di tukang sayur dekat rumah. Aku mengolah segalanya dengan baik. Aku pastikan kali ini tidak ada semut. Sambil menunggu ceker ayam empuk, aku mengabari temanku bahwa aku berniat memberinya sup ceker ayam masakanku. Dia merasa tidak enak hati jika aku repot-repot memasakkan untuknya.

Aku tetap membungkuskan masakan untuknya. Bumbu sup itu pas dan cekernya pun terasa lumer di mulut. Temanku mengucapkan terima kasih sambil bilang bahwa sebenarnya ia memang sedang tak punya uang untuk makan. Kami ngobrol seharian sampai dia komplain soal tetangga sebelah yang membakar sampah. Kami batuk-batuk. Parahnya adalah, adegan di dalam paragraf ini sebenarnya terjadi di dalam mimpiku.

Nyatanya, aku ketiduran setelah memberitahu temanku bahwa aku masak sup ceker. Asap sampah yang membuat kami batuk-batuk berasal dari sup cekerku yang sudah gosong jadi arang di dalam wajan. Seluruh kamar penuh asap. Tak terasa, aku tidur lebih dari 5 jam karena semalaman tak bisa tidur. Aku segera berlari sambil batuk-batuk ke dapur untuk mematikan kompor.
Sup cekerku yang jadi arang
Aku buka pintu kamar lebar-lebar untuk mendapatkan udara segar. Segalanya bau asap. Termasuk mukena yang aku gantung di pintu kamar yang menggabungkan pintu dapur.

Untung saja aku segera bangun sebelum terjadi kebakaran. Untung saja kondisi gas dan komporku sedang baik-baik saja. Untung saja tidak ada benda apapun yang menyambar kompor. Aku menangis di depan kompor dengan wajan berasap itu karena bersyukur tidak terjadi kebakaran di kost ini. Karena beberapa hari lalu, warung bakso langganan yang lokasinya di tikungan Mampang 2 sudah habis dipanggang api.

Aku masih mencari-cari lagi hal yang bisa membuatku bersyukur.

Aku sadar kali ini, dalam masa penyembuhan ini, aku masih bisa menulis. Tentu saja bukan tulisan dengan deadline ketat dan jam kerja yang padat. Dengan segala keterbatasanku, setidaknya aku tetap berkarya.

Aku bersyukur bahwa kali ini aku punya laptop. Aku tahu deritanya tak punya laptop saat passion utama kita adalah menulis. Aku bersyukur selalu ada orang-orang terdekat yang mengingatkan bahwa aku tak seburuk monster yang ada di pikiranku. Aku bersyukur masih bisa berkarya di tengah keterbatasan. Aku bersyukur bahwa kali ini aku bisa dengan lega mengungkapkan perasaanku tanpa beban tanpa takut bahwa akan ada yang terganggu dengan tulisanku.

Aku bersyukur bahwa kali ini, aku merasakan hidup. Aku merasakan baik-baik hembusan nafas, debar jantung, air mata, lengkap dengan rasa lelah yang terus menerus aku rasakan. Karena artinya aku masih jadi bagian dari kehidupan ini.

Aku tahu bahwa pada akhirnya aku memilih untuk hidup setelah berkali-kali mengusir pikiran liar yang selalu mengajakku untuk mengakhirinya.

Aku memilih hidup dan aku harap kehidupan memelukku erat-erat di dalamnya. Sampai saatnya tiba.

Selasa, 31 Oktober 2017

Negara yang Melukai, Negara lah yang harus Bertanggung Jawab

Ibuku, Aminatun Najariyah (59) adalah satu-satunya wanita korban pelanggaran HAM berat Tanjung Priok 1984. Ia pernah merasakan dingin dan mencekamnya sel penjara yang terpaksa ia tempati tanpa proses pengadilan. Pakdhe ku Abdul Bashir (69) juga jadi korbannya. Berbeda dengan ibu yang banyak mengalami siksaan psikis, Pakdhe mengalami siksaan psikis dan fisik. Padahal, saat ditangkap itu ibu dan Pakdhe tak mengikuti organisasi tertentu. Ibu hanya sering shalat dan pengajian di Musholla Saidah, tempat awal bermula kejadian Tanjung Priok 1984.

Saat itu, usia ibuku masih 26 tahun, sedangkan Pakdhe 36 tahun. Mereka sedang berada di usia produktif dalam menggerakkan ekonomi keluarga. Penjara dan siksaan sempat "melumpuhkan" keduanya.

Mendengar suara siksaan tahanan lelaki lain dan teror dari sipir penjara membuat mental ibu sangat hancur. Sipir penjara selalu berkata pada ibu bahwa Pakdhe sudah meninggal setelah habis disiksa. Belum lagi siulan dan pelecehan seksual verbal yang harus ibu terima setiap harinya dari petugas sekalipun saat itu ibu sudah memakai berjilbab besar.

Setelah 3 bulan dipenjara, ibu dilarikan ke poli jiwa karena sudah mulai sulit diajak berkomunikasi. Orang sekitarnya mendengar ibu terus mengigau. Karena itulah ibu perlu dirawat di rumah sakit dalam beberapa waktu.

Ibu bilang, ia merasa baik-baik saja setelahnya. Ia berkata bahwa selama ibu berpegang teguh pada agama, maka tak akan ada yang bisa "menggoda" ibu.

Ibu bercerita bahwa selama di penjara sampai di rumah sakit jiwa, ia sering "diganggu" oleh makhluk halus yang membujuknya agar mau jadi istri simpanan seorang atasan militer yang saat itu berkuasa. Ibu menolak bisikan-bisikan itu dengan ayat-ayat Al Qur'an hafalannya. Namun, ayat-ayat yang ibu baca bagi orang lain hanyalah gumaman yang tak ada artinya apa-apa. Ibu melawan semua yang ia rasakan sendirian karena orang di sekitarnya hanya akan berkata, "Amin sudah gila."

Keadaan sebagai mantan tahanan politik yang dianggap menolak asas tunggal Pancasila di jaman Orba memang membuat hidup tak pernah baik-baik saja setelahnya. Alat-alat pembuat kuenya sudah disita tentara sebagai barang bukti makar pada negara, ibu harus memulai segalanya dari awal. Rumah yang ditempati olehnya pun seringkali digeledah tentara. Dari penggeledahan itu, ibu kehilangan sertifikat salon, ijazah, dan beberapa surat berharga lainnya. Pakdhe juga terpaksa menjual rumahnya di Cempaka Putih dan membeli sebuah rumah di sebuah kampung di daerah Bekasi Selatan. 

Belum selesai dengan itu semua, bertahun-tahun setelahnya pun duka terus berdatangan. Ibu yang sebenanrnya adalah anak pejuang kemerdekaan RI dicap sebagai musuh pemerintah. Tetangga sekitar dan orang-orang kampung halaman ibu di Boyolali memberikan label buruk pada ibu. Apalagi ibu sama sekali bukan orang Golkar.

Almarhum Cak Munir ikut memperjuangkan agar korban Tanjung Priok mendapat keadilan. Persidangan demi persidangan yang dijalani ibu menemui jalan buntu. Mahkamah Agung menganulir putusan pengadilan HAM tentang kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi yang seharusnya menjadi hak korban. 

Terlepas dari proses persidangan yang panjang dan tanpa hasil hingga kini, mimpi buruk ibu tak pernah berakhir. Bisa dibilang, aku adalah anak yang dibesarkan oleh ibu yang seringkali berteriak-teriak di dalam mimpinya soal dikejar tentara, diinjak oleh sepatu lars, maupun ditembak oleh polisi. 

Saat aku tanya apakah ibu membutuhkan dukungan psikologis untuk membuat mimpi buruknya tak datang lagi, ibu bilang, "tidak perlu. Ibu baik-baik saja. Asal kita mencintai Allah, maka hidup kita akan damai."

Ibu memang pernah "mencicipi" proses terapi psikologi. Tetapi ibu tak merasakan adanya perubahan signifikan dalam hidupnya. Ia lebih memilih untuk tetap konsisten memegang teguh agama sebagai solusi atas rasa traumanya. Sekalipun, mimpi buruknya memang tak pernah benar-benar berakhir.

***

Ibu adalah seorang wanita yang tangguh. Sekalipun putusan sidang tak menghasilkan apa-apa, ia bertekad melanjutkan hidup sehormat-hormatnya. Apalagi, paska kerusuhan Mei 1998, bapak adalah salah satu pengusaha kecil pengemas makanan yang kena dampak hancurnya perekonomian negara. Banyak toko langganannya yang merugi tanpa bisa membayar tagihan makanan kemasan yang dipasok dari usaha bapak.

Di saat bapak jatuh, ibu yang jadi tulang punggung suami dan 7 orang anaknya. Usaha ibu macam-macam. Mulai dari jualan nasi uduk, jualan nastar, onde-onde, ayam goreng, kerajinan tangan manik-manik, membuat tas payet, hingga membuat berbagai macam kerajinan tangan dari kain flanel. Ia meminta semua anaknya, dari yang paling besar sampai yang terkecil untuk ikut berkontribusi membantu. Ada yang ikut produksi, ada yang ikut jualan. Ibu bilang tanpa bantuan anak-anak sebagai pegawai, kami tak akan bisa makan. Dengan pegawai anak-anaknya sendiri inilah, ibu membiayai kontrakan selama di Solo, transport untuk anak-anak sekolah, dan makan sehari-hari.

Dengan motornya, ibu sanggup berkendara hingga lintas kabupaten dengan beban dagangan yang tak sedikit. Dulunya kami menggunakan terpal kain sehingga yang ikut menemani ibu jualan harus rela kakinya pegal karena posisi mengkangkang sepanjang jalan. Kemudian sekitar tahun 2005, kami mulai memiliki sebuah gerobak seng dua roda yang ditarik oleh motor Suzuki GX yang bermesin dua tak.

Ibu sering jadi supir gerobak, bergantian dengan kakak kedua, Mbak Himma. Kegiatan jualan pernak pernik berbahan flanel kami berjalan setiap hari dari satu pasar malam ke pasar malam lainnya di sekitar Solo, Sukoharjo, dan Sragen secara kaki lima. Khusus hari minggu, lapak jualan kaki lima kami digelar di Stadion Manahan Solo.

Sebagai pedagang kaki lima, kami memang sering diusir oleh satpol PP, terutama di Stadion Manahan Solo. Kami sampai kehilangan beberapa pelanggan setia karena harus pindah lapak. Lucunya adalah, seringkali, adu argumen ibu dengan satpol PP berujung pada pengungkitan ibu atas kasus yang pernah menimpanya.

Ibu bilang di depan para Satpol PP, "sampai kapan saya jadi korban HAM terus. Dulu saya didzolimi negara dengan kasus Priok! Sekarang ekonomi saya diganggu negara lagi. Kalian ini orang-orang berseragam yang menindas sesama warga sendiri!!"

Tentu saja omelan ibu hanya membuat Satpol PP melongo. Mereka tak tahu kasusnya. Mereka merasa tak ikut bertanggung jawab. Satpol PP juga tak ikut andil dalam Tanjung Priok. Tapi dalam perspektif ibu, semua petugas berseragam pada dasarnya adalah orang-orang yang ditugaskan negara untuk menyakiti rakyatnya sendiri.

Di usianya yang menginjak 50an tahun, ibu masih gagah mengendarai motornya. Sampai pada suatu hari, saat berboncengan motor dengan bapak dalam perjalanan Jepara-Solo, mereka kecelakaan di Salatiga. Truk gandeng yang dikendarai oleh supir mengantuk membuat sepeda motor yang disupiri bapak oleng. Kaki ibu tersangkut ban truk dan tergiling saat truk terus melaju berusaha kabur. Daging betis kanannya nyaris habis di dalam ban belakang truk.
Ibu sekarang, tetap semangat walau kemana-mana harus pakai kursi roda
Ibu menjalani prosedur operasi hingga lebih dari 20 kaki untuk kakinya. Ia dirawat di Rumah Sakit Ortopedhi Solo dan dr. Muwardhi Solo. Bantuan dari para aktivis HAM dan Jamkesmas tak dapat menutupi sebagian besar dananya. Apalagi pengobatan yang harus ibu tempuh sifatnya jangka pan

IKAPRI (Ikatan Keluarga Tanjung Priok) dengan IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) menginformasikan bahwa ibu bisa mendapatkan jaminan kesehatan BPJS tingkat 1 dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) sekalipun kecelakaan yang ibu alami bukan dari peristiwa dari kekerasan Tanjung Priok itu. 

Sebagai anak korban, bapak, aku dan saudaraku yang lain juga bisa mendapat layanan pemulihan psikologis jika diperlukan. Namun, hingga kini belum ada anggota keluarga kami yang memanfaatkan fasilitas tersebut.

Sebenarnya, semua korban HAM di Indonesia bisa mendapatkan layanan jaminan kesehatan dari LPSK ini. Hanya saja, belum banyak yang tahu. Bawalah surat pengantar berupa keterangan sebagai korban HAM dari KOMNAS HAM, maka Anda dan keluarga yang jadi korban HAM bisa mendapatkan BPJS dari LPSK. Hingga kini, BPJS ibu terpisah dari BPJS milik bapak dan anak-anaknya. Karena LPSK lah yang akan menanggung biaya bulanannya.

Sekalipun negara belum benar-benar menuntaskan kasus pelanggaran HAMnya, setidaknya lewat LPSK ini, negara sudah bisa sedikit bertanggung jawab dalam menanggung ongkos medis korban HAMnya.

Sebagai anak dari korban HAM berat Tanjung Priok, saya merasa bahwa #DiamBukanPilihan. Saya akan terus bersuara untuk membuat banyak orang ingat peristiwa memilukan tersebut dan menyadari bahwa pelanggaran HAM berat dari negara kepada warganya bisa berdampak sedemikian panjang untuk korbannya. Jika ibu saya tidak pernah semena-mena dipenjara, bisa jadi ekonomi kami lebih baik karena ibu bisa mengejar impiannya untuk kuliah atau minimal memanfaatkan ijazahnya.

Namun bagaimanapun caranya, negara harus bertanggung jawab menuntaskan semua kasus pelanggaran HAM Beratnya, mulai dari peristiwa 1965, Tanjung Priok 1984, Talang Sari 1989, Mei 1998, hingga operasi militer Aceh. Lembaga seperti LPSK dan Komnas HAM harus terus ada untuk jadi teman bagi korban. Agar korban tahu bahwa setidaknya ada lembaga negara yang berpihak pada mereka tanpa diskriminasi apapun,


Catatan:
1. Suara korban tragedi Tanjung Priok pernah dibukukan dalam sebuah buku berjudul "Mereka bilang di sini Tidak Ada Tuhan." Unduh bukunya di sini.
2. Aku pernah membuat catatan soal ibu yang lebih lengkap di dalam tulisan berikut Ibu Aminah, Saksi Hidup Potret Suram Tragedi Tanjung Priok ‘84 (Bagian 1)Ibu Aminah, Saksi Hidup Potret Suram Tragedi Tanjung Priok '84 (Bagian 2).
3. Besarnya kompensasi negara yang harus dibayarkan kepada korban Tanjung Priok dapat dilihat dalam surat berikut ini.

Sabtu, 05 Agustus 2017

Cita-Cita

Aku pernah punya cita-cita. Tapi butuh waktu panjang untuk tahu bahwa cita-citaku terlalu kecil.

Saat masih usia di bawah 10 tahun, aku bercita-cita jadi penjual roti. Penjual roti di sini bukan a la Holland Bakery maupun merk terkenal lain. Tapi penjual roti Putri yang berjualan di jalanan macet Bekasi-Jakarta.

Jadi, saat SD kelas 2 di Bekasi, aku sempat putus sekolah. Bapak dan ibu ikut komunitas agama dengan ada Nabi di dalamnya. Ajaran Nabi saat itu, anak-anak yang sekolah itu bagaikan diceburkan orangtuanya ke comberan. Tak hanya itu, semua orang dewasa yang awalnya punya pekerjaan tetap di berbagai kantor juga berganti haluan kerja sebagai tukang roti. Ada yang ngasong di jalan, dan ada yang produksi. Merk rotinya saat itu adalah Roti Putri.

Para ibu bersama-sama membuat dapur umum untuk makan bersama karena semua penghasilan diatur berdasarkan managerial sang Nabi. Karena ketaatan akan risalahnya, orangtuaku termasuk satu dari ratusan jamaahnya saat itu.

Saat ditanya soal masa depan dan cita-cita, karena doktrin dan lingkungan sekitar, aku menjawab, "jualan roti Putri."

Rabu, 19 Juli 2017

Hancur

Gadis itu telah mengalami banyak hal di dalam hidupnya. Namun ternyata, di dalam dirinya masih tersimpan sesuatu yang naif dan membuatnya percaya bahwa suatu hari nasib baik akan menyembuhkan lukanya.

Pikiran naifnya mulai bertanya-tanya, "kenapa ya, ada orang yang menyakiti orang lain yang tidak pernah menyakitinya? Rasanya dalam kasus ini, balas dendam itu lebih logis daripada menyakiti seseorang yang tak melakukan kesalahan apa-apa pada orang lain."

Lalu pikiran rasional bilang, "Hey, gadis bodoh. Orang jahat itu seringkali tak punya alasan untuk melakukan kejahatannya. Bahkan barangkali, seseorang jahat karena ia tidak tahu kalau yang dilakukannya itu jahat dan akan membabat habis pertahanan hidup seseorang."

Entahlah ia ini seorang Kantian atau Hobbes. Tapi ia masih menyimpan banyak pertanyaan soal, "mengapa kamu tega begini," dan "mengapa kamu melakukan itu..."

Yang jelas, hal paling menyakitkan dari pengkhianatan adalah, dia yang menyakiti kita adalah seseorang yang sama sekali bukan musuh.

Rasanya, di sekelilingmu ada banyak oksigen. Tapi nafasmu tetap sesak. Ada yang salah dengan kemampuan bernafas yang selama ini dimiliki.

Mungkin perasaan ini disebut patah hati karena kita benar-benar merasa ada organ di dalam dada yang terasa nyeri. Seperti ada yang sedang patah dan terinfeksi pelan-pelan sehingga sakitnya menguasai seluruh tubuh hingga membuatnya terlalu lumpuh untuk bangkit.

Ada banyak tempat di dunia, tapi rasanya segala sesuatunya jadi sempit.

Kamis, 29 Juni 2017

1am Thoughts

Orang bilang, "kalau kamu tidak mencintai dirimu sendiri, bagaimana mungkin kamu bisa dicintai orang lain?"

Iya, sepertinya kalimat itu benar.

Lalu bagaimana nasib orang-orang depresi yang gagal mencintai dirinya sendiri?

Bagaimana dengan orang depresi yang setiap saat takut bahwa orang lain akan melihatnya dengan pandangan buruk, sebagaimana ia melihat dirinya sendiri selama ini?

Apakah mereka memang tidak berhak untuk mendapatkan cinta dari orang lain?

Senin, 24 April 2017

Resep Japanese Curry Alias Kare Jepang Sederhana

Para penggemar setia Naruto, pasti akan tahu makanan kesukaan Rock Lee dan Guy Sensei. Jika Naruto suka sekali sama Ramen, Ino-Shika-Cho suka Barbaque, maka Rock Lee dan Guy Sensei itu sukanya sama Curry of Life.

Episode soal Curry of Life ini muncul di session 7 episode 4. Di episode itu, baru akan diketahui kalau Neji Hyuga (RIP Neji TT__TT) tidak suka makanan pedas. Sebaliknya, Rock Lee suka sekali makanan pedas. Naruto sih kepedesan ya, tapi dia masih bisa makan sampai habis.

Curry of Life ini pernah menyelamatkan Rock Lee. Jadi, seperti biasa, si Rock Lee latihan lari beribu-ribu kali mengelilingi Konoha. Saking capeknya, dia tumbang di dekat warung Kare. Karashi, cucu si pemilik warung Kare menyelamatkan Rock Lee dengan menyuapinya Kare super pedas berwarna merah menyala.

Begitu makan Kare tersebut, Rock Lee sadar dari pingsannya dan semangat latihan lagi keliling kampung. Kare itu adalah makanan terenak yang pernah ia makan seumur hidup. Ia sangat percaya bahwa hanya orang baiklah yang bisa memasak Kare seenak itu.

Saat menonton adegan itu, aku juga jadi pengen makan Jappanese Curry yang pedas a la Curry of Lifenya Rock Lee. Tapi, karena tidak semua bahan untuk Kare Jepang ada di kostan, maka aku memilih untuk memasak dengan bahan a la kadarnya dengan rasa yang tak jauh beda dengan Kare di Restoran Jepang.

Dari berbagai percobaan, aku sih yakin bahwa Kare bikinanku lebih enak dari Kare di resto Jepang. Kekentalannya pun sama kok. *Kyaaaa, asal klaim.

Sabtu, 22 April 2017

Udah deh, Nggak Usah Datang ke Big Bad Wolf 2017

Tahun ini, akhirnya Big Bad Wolf datang juga!

Aku memang penasaran sama serigala ini karena tahun lalu tidak bisa datang ke sana. Beruntunglah, kerja di media membuatku punya kesempatan untuk mendapatkan tiket VIP untuk tanggal 20 April 2017.

Apa keuntungan VIP?

Well, tak banyak. Kita cuma dapat kesempatan untuk masuk arena pameran buku yang luas sehari sebelum BBW 2017 dibuka untuk umum. Tidak ada diskon, tidak ada perlakukan khusus lainnya. Undangan ini adalah untuk para pemenang kuis. blogger, dan media yang memang diberi maupun mendaftarkan diri sebagai VIP.

Aku ke BBW bersama Yusni. Di sanalah aku tahu bahwa dia adalah partner pencari buku yang sempurna untuk diajak belanja ke BBW. Apalagi dia juga punya pengalaman pergi ke BBW tahun lalu.
Ini foto yang aku kirimkan ke Tesa pas dia tanya, "udah berangkat ke BBW?" Baru sampai Stasiun Rawa Buntu

Senin, 17 April 2017

Mati Rasa

Aku rasa aku sedang marah sampai mendidih dan aku tak tahu bagaimana cara memadamkannya.

Aku rasa aku sedang panas sampai meletup dan aku tak tahu bagaimana cara mendinginkannya.

Aku rasa aku sedang kesal sampai meradang dan aku tak tahu bagaimana cara menenangkannya.

Aku rasa aku sedang kalap sampai meluap dan aku tak tahu bagaimana cara membendungnya.

Aku rasa, lama-lama bisa jadi aku mati rasa.

(lagi).

Sakit. Sakit sekali.


Minggu, 09 April 2017

Pengalaman Waxing untuk Pertama Kali demi Melawan Trauma.

Warning! Postingan ini tidak cocok untuk kamu yang judgemental dan anti sama awareness seputar kesehatan reproduksi dan kebersihan intim kewanitaan. Tidak cocok juga untuk yang punya otak ngeres tiap kali membahas selangkangan perempuan. 

Hai hai...

Maaf ya jadi jarang ngeblog. Nulis setiap hari di tempat kerja membuatku jadi malas menulis untuk diri sendiri nih. Padahal menulis untuk diri sendiri adalah salah satu cara untuk menyehatkan jiwa. Yhaaaa...

Kali ini, aku mau cerita pengalamanku yang seru dan aku sarankan para perempuan mencobanya juga.

Yak! Kayak di judul. Aku mau bagi pengalaman pertamaku waxing. Nggak cuma bagian underarms alias ketyperi, tapi juga half legs alias betty dan vagina pake Brazilian Monte.

Sebenarnya, aku udah waxing tanggal 9 Februari lalu. Tapi, sengaja belum aku review karena aku perlu nunggu reaksi dewan perbuluan di dalam tubuhku. Biar tahu pasti apa yang terjadi setelah dua bulan masa waxing berlalu.

Kita awali ceritanya dari kondisi perbuluanku yaaa...

Sejarah perbuluan Banu (apaan sih judulnya gini amat)


Jadi, dulunya aku adalah orang yang biasa mengatasi masalah perbuluan dengan cara dicukur. Terutama bagian ketyperi dan betty.

Mungkin mencukur bulu adalah salah satu hal bodoh yang aku lakukan di masa remaja hingga dewasa. Karena hal itulah yang membuat bulu makin lebat dan bertambah tebal. Selain itu, untuk bagian ketyperi, kulitnya juga jadi lebih gelap daripada bagian lain. Sekalipun, menurut orang-orang yang melihat kulit ketyperiku, di bagian ini sih aku ga menghitam ya. Tapi tetep aja, ada rasa insecure yang merayap tiap kali ngaca di bagian itu. Hiks! Lemah!

Aku pernah mencoba krim perontok bulu Veet. Tapi, selain panas di kulitku yang sensitif, krim itu tidak tuntas mencerabut sampai ke akarnya. Jadi si bulu masih sangat meranggas dengan lebatnya. Hanya butuh waktu seminggu untuk tumbuh panjang lagi. Sorry menyori ya 'bok, eike nggak bisa upload fotonya hutan belantara ketyperi.

Kakakku Himma adalah orang yang sering mencabut bulu ketyperi dengan pingset. Memang akan tercerabut sampai ke akarnya. Tapi, setelah rutin melakukan itu, ada masalah di kelenjar payudara yang membuatnya harus dioperasi. Untunglah benjolan itu sudah diangkat dan sekarang dia baik-baik saja. Itu juga yang membuatku tak mau lagi main-main dengan pingset untuk urusan perbuluan. Apalagi untuk daerah ketyperi.

Mencabuti bulu ketyperi dengan pingset itu bahaya! Serius!

Sampai akhirnya, teman kantor ngajakin untuk waxing bareng. Nggak cuma ketyperi dan betty, tapi aku juga ditantangin untuk nyobain Brazilian Monte. Brazilian Monte itu artinya bulu di sekitar vagina kita akan diwaxing sampai bersih mulus seperti bayi lagi.

Sebenarnya aku adalah orang yang jarang sekali ke tempat-tempat perawatan tubuh. Karena aku orangnya sangat pemalu dalam hal buka baju di depan orang lain. Apalagi sampai bagian bawah tubuh.

Misalnya, sampai umur segini pun, aku merasakan yang namanya creambath baru bulan Maret kemarin saat kepala pusing dan ingin dipijat. Itu pun nggak sampai buka seluruh bahuku.

Baru nyobain pijat tubuh di tukang pijat profesional pada umur 24 tahun.

Baru potong rambut di salon umur 25 tahun karena biasanya selalu dipotongin rambut sama ibu atau potong rambut di depan kaca sendiri.

Baru pertama kali facial di skin care umur 22 tahun karena diajak kakak kelas yang sempat prihatin dengan wajahku yang dijajah jerawat. Walau akhirnya aku nggak pernah lagi facial sampai 5 tahun berlalu.

Ya intinya, aku bukan orang yang rempong dengan urusan perawatan tubuh, terutama yang melibatkan orang lain dan bayar :p.

Aku sadar, sebagai perempuan, semakin dewasa kita harus makin memperhatikan kebersihan organ intim kita. Apalagi, aku harus "latihan" untuk berani buka celana demi perawatan.

Iya. Aku benar-benar harus latihan untuk hal sesederhana ini.

Aku punya trauma yang buruk saat periksa obgyn jaman SMP dulu. Ceritanya, aku punya masalah dengan masa menstuasi yang sangat panjang dan sempat mengalami over bleeding. Akhirnya, kakakku ngajak periksa ke obgyn dan diperiksa oleh dokter lelaki. Saat itu prosedur pemeriksaan yang harus aku lalui adalah, aku harus buka celana dan mekangkang lebar-lebar di kasur yang biasa dipakai oleh ibu melahirkan, yang ada jepitan betisnya itu lho.

Nah, dalam keadaan kayak gitu, dokternya mamasukkan kapas di anus untuk mendeteksi kelainan apa yang terjadi di tubuhku.

Saat prosesi itu terjadi, dokter rekannya yang lelaki juga masuk di kamar pemeriksaan dan mereka ngobrol dengan santainya di depan vaginaku yang terbuka lebar!

Sebagai anak SMP polos yang sangat sangat sangat pemalu, hal ini sangat menggangguku.

Beneran deh...

Malu! Malu sekali!!

Kalau dokter obgyn yang memeriksaku adalah seorang lelaki, oke lah ya... Masih bisa dimaafkan karena di rumah sakit itu memang tidak ada dokter perempuan. Terutama, saat itu aku memang butuh pertolongan. Tapi, teman si dokter itu lho! Ngapain sih dia masuk-masuk ruang pemeriksaan juga? Toh dia bukan dokter yang memeriksaku. Apalagi mereka ngobrol dengan santai di depan pasien yang tidak pakai celana selama kurang lebih 5 menit! Bayangkan!!

Maluuuuuu banget!!!

Sejak saat itu aku jadi takut sama semua dokter dan rumah sakit.

Sialnya lagi, di hari itu, aku juga hampir saja menabrak ranjang berjalan berisi jenazah di koridor rumah sakit karena tubuhku terlalu lemas dan anemia membuat pandangan mataku sangat buram sehingga gagal fokus. Horror!

Kenapa ke WaxTime?


Aku pilih di WaxTime karena emang kemarin dulu itu bareng-bareng banget sama temen kantor. Sebagai buruh yang bekerja dari rumah, momen bertemu dengan teman sekantor itu sangat jarang terjadi. Jadi, pas diajakin barengan, ya ayo aja. Apalagi semuanya kumpul.

Lokasinya juga strategis, sebelahan banget sama Pasar Santa. Jadi pas naik Gojek, tinggal cari jalan Cisanggiri 1, udah deh nyampe. Dari Mampang sih cuma bayar IDR 4000 pakai Gopay. Hemat banget kan.

Tempatnya rapi dan cantik banget. Jadi, aku udah terkesan banget sejak pertama kali ke sana.

Kita juga bisa mengira-ngira berapa harga yang harus kita bayar karena mereka mengunggah price list di instagram.


Sebuah kiriman dibagikan oleh WaxTime (waxing & relaxing) (@waxtime_id) pada

Awalnya, aku memang malu-malu. Tapi, aku sudah niat banget mau lawan satu-satu traumaku dan menggantinya dengan kenangan yang lain. Jadilah aku mau-mau aja. Apalagi mbak yang waxing aku orangnya ramah dan sabar banget sama aku yang cerewet ini.

Jadi, ada rasa percaya dan nyaman saat si mbak merawat perbuluanku yang sensitif. Makanya, aku sampai bertekad ingin waxing lagi di sini kalau dijajah bulu lagi,

Sakit nggak?

Untuk bagian ketyperi, wax di WaxTime itu nggak sakit sama sekali. Malah nyaman banget dan enak karena sensasi hangatnya bikin tubuh sangat rileks. Untuk bagian betty, bagian kulit yang empuk rasa cekit-cekit rasanya. Tapi masik oke. Nggak sampai teriak-teriak.

Barulah pas Brazilian Monte ini. Aku merasa sensasinya beda.

Selain soal tantangan buka celana, di bagian kulit yang empuk emang rasanya bikin hemhemhem~. Sempet teriak karena lumayan sakit. Tapi untuk daerah kulit yang nggak begitu empuk, rasanya enak banget kok.

Mbaknya juga telaten mempelajari anatomi tubuh kita, mana yang bagian sensitif untukku, mana yang netral. Jadi, setelah aku kasih tau di bagian situ agak sensitif, mbaknya dengan sigap langsung tahu harus melakukan apa di bagian kulit yang sensitif itu.

Hanya di detik-detik awal sih sensasi sakitnya ada. Tapi selanjutnya, nyaman banget.

Kondisi bulu setelah 2 bulan

Bulu-buluku tumbuh dengan lambat dan malas-malasan. Selain itu, ketebalannya berkurang dan lokasi tumbuhnya juga jadi jarang-jarang.

Aku memutuskan untuk kembali lagi hari Jumat kemarin untuk bagian Ketyperi. Kali ini aku juga ngajakin si Lia, temen kuliah yang bilang kalau dia takut mau Brazilian juga.

Caritanya hari ini pergi waxing di @waxtime_id bareng ama @syahar.banu sekalian jalan bareng setelah sekian lama (re: terakhir pas zaman pilkada Presiden Jokowi). Banu adalah orang pertama yang berhasil ngajak aku Waxing (dulu sering temen2 ngajak aku nyoba waxing tapi gak pernah mau karna takut, haih cemen kali aku ini 😂). Kenapa berani mau nyoba? Karna Banu pinter ngerayu aku, sabar jelasin ini itu. Wah kamu cocok loh jadi marketingnya, karna berhasil buat aku luluh leleh. Hasyeeeekk 😂 . . So, walo cuma berani waxing underarms (masih cemen gak berani yang lebih extreme​). Karna masih coba2, eh ternyata gak sakit. So, akhir bulan Mei (insyaallah), mau nyoba Brazilian ama Banu. Banu uda pernah coba dan katanya cuma sakit dikit aja. Thanks Banu uda ngasih pengalaman baru.💗🙊 . . Sebenernya pengen upload fotonya seluruh badan tapi gak bisa 🙈😔 . #girlstime #girl #waxing #testimoni #sharestories #story #waxtime #waxingjakarta #hangout #girls #indonesiangirl #qualitytime #lfl #instastory #lifestory #potd #loli #chibi #cute
Sebuah kiriman dibagikan oleh otak gesrek (@beibie.jr) pada


Niat awalnya sih aku pengen Brazilian Monte lagi. Tapi apa daya, aku sedang haid. Jadi ditunda sampai haidnya selesai dulu dan sampai ada diskon lagi. Hohoho... Promonya sih kalau kita ulang tahun, maka otomatis kita dapat diskon khusus. Jadi, akhir Mei atau awal Juni nanti, aku pasti balik lagi ke sana! Nantikanlah kedatanganku kembali duhai mbak-mbak WaxTime!

Membuka celana di depan mbak yang mewaxing aku itu adalah pengalaman yang sangat berharga untukku. Karena itu adalah salah satu cara menantang rasa trauma dalam hal memperlihatkan paha beserta isinya di depan orang yang akan merawat kita.

Ini penting sekali untukku. Sebelum aku harus menghadapi obgyn jelang menikah nanti untuk keperluan medical check up. *uhuk*

Oh ya, selain berhasil melewati trauma membuka paha, aku juga berhasil melawan ketakutanku sama dokter dan rumah sakit lho. Karena aku pernah menjaga almarhum keponakan yang sakit Atresia Bilier di RSCM dan sekarang pasanganku pun seorang dokter. Tepatnya, dia adalah seorang dokter gigi yang bercita-cita ingin jadi wartawan. (lho!)

Jadi, begitulah ceritanya pemirsa.

Aku tidak mencantumkan instagramku sendiri ya, karena percuma. Lha wong digembok kok. :p

But, I let you see how happy I'm after waxing in WaxTime.


Sampai ketemu di blogpost lainnya. Aku usahakan untuk menulis pengalaman-pengalaman lainnya ya. :*

Rabu, 01 Maret 2017

Makan Baksomu!

Malam ini aku membentak seseorang hanya karena ia terus mengoceh tanpa henti soal tulisan sementara badannya bertambah hangat karena demam dan ada sepiring bakso yang semakin dingin karena dipaksa menunggu jamahannya sejak sepuluh menit yang lalu.

Membaca tanpa tanda baca melelahkan, bukan?

Itulah dirinya. Saat ia membahas tulisan seseorang di media dan membandingkan dengan segala kemungkinan yang berhubungan dengan tulisannya sendiri. Ia akan mengulang kalimat yang sama delapan kali banyaknya serta pertanyaan yang itu-itu saja. 

Tidakkah ia merasa lapar? Tidakkah ia ingin mencicipi gilingan daging yang aku masak khusus untuknya sementara ia terus menunda diri untuk sekedar makan?

Terisikah lambungnya setelah memakan barisan huruf di layar bercahaya itu padahal tubuhnya bertambah kurus dengan pipi yang semakin tirus?

Sesaat setelah aku membentaknya, ia meraih piring dan makan dengan tenang seperti anak penurut yang takut pada ibunya.

Aku menyesali pilihanku menggunakan nada tinggi untuknya. Tapi ia tampak tak mengeluh. Untuk ke sekian kalinya, beberapa menit setelah ia menuntaskan makan malamnya, ia mengulang pertanyaan yang sama lagi.

Kali ini pertanyaan personal, bukan lagi soal tulisan.

"Kok bisa ya kamu mau sama saya?" tanyanya dengan mata berbinar penuh kebahagiaan.

Huh!

Kau memang dokter yang sembrono dalam hal kesehatan dan seorang maniak redundant, sayang...

Kamis, 16 Februari 2017

Aku Mau Menunggu, Asal...

Aku mau menunggu, asal orangnya kamu.

Pukul 9.48 malam. Stasiun sudah agak sepi. Awalnya aku pikir barangkali para pekerja memang hanya berjejalan pada pukul 5 sampai 8 malam. 

Aku keliru. Ternyata orang-orang masih berjejalan di dalam kereta. Kamu hanya satu dari ribuan pengguna kereta lainnya.

Tadinya aku tak berencana di sini lama-lama. Lagipula, apa sih enaknya membawa beban ransel lima kilogram sambil berdiri sendirian di peron?

Apalagi, ada tiga macam tulisan yang antri untuk diselesaikan dengan total 5 judul. Satu soal pekerjaan, satu soal janji, dan satunya lagi soal masa depan. Dan di menit ini aku malah menulis blog.

Belum lagi soal pakaian kotor yang berteriak minta dicuci sejak minggu lalu.

Bukan, aku belum mencuci bukan karena malas. Aku harus mengunci pintu kamar rapat-rapat dan mematikan semua lampu untuk bekerja di tempat lain selama 2 hari.

Rasanya awal minggu memang baru kemarin. Awal minggu yang membuat kita berdua perlu mengeluarkan pakaian kotor dari ransel sisa bepergian akhir pekan lalu. Kamu menitipkan beberapa helai bajumu untuk kucuci hanya karena aku senang melakukannya, kamu sendiri tak pernah meminta hal tersebut.

Aku mulai merasa bahwa hari terlampau cepat berderap, melibas hari libur berisi kerja tanpa pertemuan kita. Hari yang membuat jari kita lebih sibuk menyentuh deret huruf di laptop daripada menggamitkan jemari kita satu sama lain. Apalagi sejak kamu memilih untuk mengurangi rasa lelah di perjalanan yang terlampau jauh dengan konsekuensi bahwa kita tak akan sesering biasanya untuk bertemu.

"Saya sudah selesai menulis sih..." ujarmu mengabarkan pada pukul 4 sore tadi di layar gawaiku.`

Tentu saja itu kabar baik. Kamu memanfaatkan waktu dengan apik di tengah kesibukanmu memeriksa gigi pasien dan seabrek kegiatan sosialmu. Kamu memang tidak akan meneleponku lewat panggilan video sesering dulu hanya dengan alasan, "rindu melihat wajahmu." 

Tapi segalanya akan tampak cukup dan baik-baik saja bagiku karena toh kita harus memberikan waktu kepada diri kita sendiri agar lebih berdedikasi terhadap apa yang disebut sebagai kewajiban orang dewasa seputar karir, dengan lingkaran sosial yang berbeda satu sama lainnya.

Sampai sepuluh detik lalu, aku pikir ini adalah hari ketiga dalam minggu ini. 

Rasanya hari-hari terasa sangat panjang untuk menunggu akhir pekan. Pada akhirnya untuk kesekian kalinya, aku keliru menghitung hari sekalipun ada kalender di layar gawaiku. Padahal, ada akhir pekan yang aku tunggu kedatangannya.

Seperti yang kau janjikan lewat pesan empat jam lalu, akhir pekan ini kita akan berjumpa. Aku pikir itu artinya tiga hari lagi. Ternyata bukan tiga hari. Melainkan hanya dua hari.

Lagi-lagi, 46 detik telepon darimu pada 40 menit yang lalu membuat hitunganku buyar.

"Ya sudah. Tunggu saya disitu," katamu sambil mengakhiri pembicaraan. Aku terlambat mengiyakan saat kamu sudah mengakhiri sambungan telepon. 

Toh pada akhirnya, lewat keyakinan dan kesepakatan tak langsung, aku dan kamu sama-sama tahu bahwa kita akan saling menunggu.

Ada sensasi aneh yang terjadi di pikiranku. Seolah drama dalam kepala tentang kekasih yang hendak berjumpa tepat di tempat kali pertama pertemuan kita terputar dengan rekaman slow motion. Tempat ini memang jadi saksi di mana mataku pertama kali menemukan sosokmu.

Aku tak pernah mengatakan bahwa aku benci menunggu. Aku hanya tak suka jika seseorang tidak melakukan apa yang dia ucapkan. Menunggu selalu membuatku berpikir bahwa akan ada satu dua pekerjaan yang bisa aku lakukan. Hanya saja, kali ini aku menulis beberapa cuitan di lini kala Twitter, menulis blog, sembari bersandar di penyangga tubuh yang tak layak disebut kursi demi menunggumu di peron.

Sekarang pukul 10.12 malam. Peron semakin sepi. Tubuh kurus jangkungmu dengan kulit gelap khas Timur itu tak juga muncul.

Tenang saja. Kataku pada diri sendiri. Dia pasti segera datang.

Karena aku mau menunggu, asal orangnya kamu...

Waktu sudah menunjukkan pukul 10. 34 malam.

Akhirnya, aku melihat punggungmu yang berusaha keluar dari salah satu gerbong kereta. Tepat di seberangku. Dengan jaket hoody, ransel yang sudah kepalang lusuh, dan beberapa buku di tangan. Hangat senyummu perlahan menenangkan hatiku yang seringkali tiba-tiba membeku. 

Mestinya juga kamu tidak perlu melontarkan pertanyaan, "kenapa wajahmu tanpa ekspresi seperti itu?" tiap kali hatiku mulai menggigil sepi dimakan ketakutan.

Kita berpandangan dari jauh. Lalu tersenyum. Astaga, melihatmu dari jarak 10 depa ini membuatku benar-benar semakin merindukanmu!

Saat jarak kita tinggal satu kelingking, aku ingin mengatakan padamu rasa terima kasihku karena telah benar-benar datang. Terima kasih telah menyempatkan bertemu walau hanya 10 menit bersama. Terima kasih atas senyum yang kamu tampakkan saat pertama kali pandangan mata kita bertemu.

Alih-alih mengatakan itu, aku menggunakan kesempatan pertemuan singkat kita untuk merajuk tentang tema yang sama. Persoalan yang berkali-kali telah kita bahas. Hal yang akan membuatmu memberikan jawaban yang sama karena pertanyaanku pun belum berubah.

Seperti biasa, kamu menyambut rajukanku dengan senyuman geli. Ada kerut halus nan indah yang bermuara dari bibir yang sampai ke matamu dan selalu membuatku malu. Saking malunya, aku akan membalikkan badan maupun menghindari pandanganku dari matamu sementara tanganmu masih erat memeluk jemariku.

Yang jelas, dengan berakhirnya waktu menunggu, kini aku jadi tahu waktu yang tepat untuk mengakhiri tulisan ini.