Senin, 28 Juli 2014

"Kapan Nikah?"

"Saat ini aku jatuh cinta terhadap ilmu pengetahuan. Dia memahamiku dan membuatku paham segala sesuatu. Sedangkan lelaki, kebanyakan yang aku temui malah justru membuatku tidak paham dan sulit bagi kami untuk saling memahami.  Aku tidak akan menyebut secara spesifik merujuk ke satu orang lho ya...
Lagipula, aku karena tidak ingin banyak drama lagi. Aku akan mencintai siapapun yang aku nikahi. Bukan semata-mata menikahi orang yang aku cintai. Aku bisa mencintai siapapun yang punya sesuatu untuk diperjuangkan diluar kenyamanan dirinya sendiri dan keluarganya. 
Memiliki pasangan yang memperjuangkan sesuatu untuk masyarakat itu penting. Karena, pada suatu hari, jika dalam pernikahan kita mulai membosankan, aku tetap akan mencintai apa yang dia perjuangkan. Karena bagiku, pernikahan itu bukan soal mengamankan diri sendiri dan membuat area nyaman untuk diri sendiri dan keluarga. Pernikahan itu justru soal mengurangi kenyamanan diri sendiri untuk orang lain, baik untuk yang kita cintai maupun kepada manusia yang bahkan tidak kamu kenali. Kita harus siap membunuh ego kita sendiri setiap saat. 
Kembali ke soal ilmu pengetahuan, untuk mencapai itu, tentu saja dibutuhkan seorang yang intelektual, Dalam ilmu tradisi yang aku pegang, seseorang yang intelektual itu pasti seorang yang spiritual dan sebaliknya. Bukan seorang yang hanya sibuk dengan berbagai ritual pribadinya. Jadi,ya... Seperti itu mauku..."
Pernyataan panjang diatas aku pakai untuk menjawab orang yang tanya 'kapan nikah?' Aku benar-benar sudah mengatakannya ke orang-orang yang bertanya soal itu sekalipun pertanyaan yang mereka ajukan cuma iseng.

Pernikahan, sama sekali bukan hal main-main.

Menghadapi ini, membuatku makin sadar, waktu berlari begitu cepat. Ada banyak hal-hal baru yang datang,

...dan pergi.

3 tahun lalu, saat lebaran tiba, aku berpikir tentang kata-kata apa yang tepat untuk dikirimkan ke orang-orang lewat SMS dan sosial media. Apalagi aku adalah tipe orang yang tidak suka menyalin ucapan lebaran yang pernah dikirimkan orang lain sebelumnya. Aku lebih senang memikirkan kalimat-kalimat baru yang tentu saja belum pernah digunakan orang lain sebelumnya. Ternyata sekarang berubah! Aku tidak lagi memikirkan hal itu. Aku malah memikirkan ini karena pertanyaan soal itu makin sering diajukan. Mungkin karena semua kakak sudah menikah dan beranak pinak. Bisa juga arena sebagian teman-teman sebayaku sudah menikah.

Saat menghadapi pertanyaan ini, menjawab dan melihat respon orang yang menanyakan hal ini, aku cuma bisa menyimpulkan satu hal.

Lucu.

Selasa, 15 Juli 2014

Bertanya tentang Pertanyaan

“Bagaimana bentuk hujan sebenarnya? Apakah bentuknya berupa rintik, atau lurus seperti benang?"

Itu adalah dialog dalam sebuah film Korea, aku lupa judulnya. Dialog itu terjadi antara seorang nenek yang buta kepada anak laki-laki kecil di teras rumah. Saat itu hujan sedang sangat lebat. Anak itu terdiam, berpikir, tapi ia gagal menemukan jawabannya. Ia memikirkan ini hingga dewasa. Sampai sang nenek meninggal, ia tidak pernah bisa menjawab, hujan yang deras itu berupa rintik-rintik atau serupa benang yang tak terputus.

Bagaimana meyakinkan seorang yang buta, kapan hujan berupa rintik dan kapan hujan berupa benang tanpa putus? Bagaimana bisa sesuatu yang tampaknya jelas tiba-tiba menjadi sebuah pertanyaan yang sulit dijawab? Yang ada di sekitar kita sehari-hari dan cenderung tak berjarak seringkali luput dari perhatian kita.

Kita juga seringkali abai mengenali sesuatu yang menjadi bagian dari diri kita sendiri. Karena ia tak berjarak, terlalu dekat, maka kita tak melihat atau menyadarinya. Periksalah peglihatan kita, sedekat apa mata kita bisa mengidentifikasikan sesuatu dengan benar? Apakah kita bisa membaca sebuah kertas bertuliskan huruf yang terletak di depan mata kita dengan jarak hanya sepanjang bulu mata kita?

Orang sering meminta afirmasi tentang keadaan dirinya sendiri kepada orang lain. Dia seharusnya tahu apa yang terjadi dengannya tanpa perlu bertanya pada orang lain. Diri dan perasaan maupun pikiran kita adalah sebuah kesatuan yang tak berjarak. Mestinya kita mengenal semuanya. Tapi seringkali, kita abai mengenalnya. Sehingga kita perlu bertanya pada orang lain apa yang terjadi pada diri kita.

Pun kita.

Kita tahu bahwa kita saling peduli. Pertimbangan setelahnya yang jadi serba sulit. Awalnya berupa 'cita saja tak cukup.' Lalu 'Peduli bukan berarti apa-apa. Kadang kita hanya ingin berbuat baik satu sama lain' lalu 'Aku takut jika suatu hari bosan dan tak tahu bagaimana caranya menghadapi ego kita' atau 'bagaimana kalau kamu dan aku ternyata bukan final,waktu masih berjalan dan barangkali kita hanya belum bertemu orang yang lebih tepat. Apa jaminannya bahwa di masa depan tidak akan muncul orang yang lebih cocok dan nyaman?' Lalu segala sesuatu seputarnya hanya jadi wacana. Kita saling menghindar untuk membahasnya lagi.

Bagiku, perasaan yang hadir diantara kita yang kikuk ini adalah sebuah swabukti. Seperti halnya kamu tahu kapan kamu lapar, kapan kamu merasa sakit, kapan kamu merasa sangat lelah. Hanya kamu sendiri yang tahu hal sebenarnya. Kamu tidak memerlukan perantara sesuatu yang lain untuk mengetahui kebenarannya. Kamu tahu. Kamu hanya perlu mengakui lalu berkata padaku.

Tapi toh kita sering bertanya tentang diri kita sendiri pada orang lain.

Barangkali karena pernah salah menilai sesuatu sehingga kepercayaan diri untuk meyakini apa yang kita anggap benar jadi begitu sulit. Akhirnya kita sering mempercayakan apa yang terjadi di hati dan pikiran kita pada oranglain. Barangkali kita sering terjebak dengan pendapat-pendapat orang yang menurut kita lebih pakar, malahnya, bagaimana jika dua orang pakar mengomentari satu hal dan hasil yang mereka rekomendasikan berbeda? Bagaimana akhirnya kamu melangkah setelahnya sedang kamu sedang tidak bisa berdiri tegak di tempat yang kamu yakini kekokohannya?

Kita hilang dalam pencarian terhadap diri sendiri. Di depan kita begitu buram, dibelakang kita ada jejak luka, kamu ingin melangkah ke mana? Kamu berdiam diri, berusaha menantang waktu, tapi kamu tahu kalau kamu harus melangkah, Sebelum es yang kamu pijak itu melelah atau retak.

Beri tahu aku setelah selesai bicara pada dirimu sendiri ya.