Sabtu, 23 November 2013

Aku Belum Tamat Baca Falsafatuna Lho

Sumber gambar : www.goodreads.com
Buku Filsafat yang pertama kali aku baca adalah Novel Dunia Sophie punya kakak ku. Bacanya pas aku SMP. Walau sebenarnya nggak ngerti persis apa yang dibicarakan, rasanya aku punya banyak energi yang nggak bisa tersalurkan lewat aktifitas selain baca buku. Aku bukan tipe anak yang sporty dan suka main lari-larian soalnya. Prinsip bacanya waktu itu adalah, ngerti nggak ngerti, pokoknya baca aja.

Kemudian, calon kakak ipar (sekarang udah jadi kakak ipar beneran) punya buku judulnya Falsafatuna karya Muhammad Baqir Sadr, katanya buku itu keren dan jadi kajian di HMI saat itu. Aku akhirnya ikut baca buku itu cuma karna kakak ipar dan kakak ku bilang buku itu keren. Dulu, aku emang punya kecenderungan untuk meniru apa yang kakakku lakukan. Kalau dia bilang sesuatu itu keren, berarti itu pasti keren. Kakakku kan mahasiswa Sastra di UNS, kakak ipar mahasiswa Fisika di kampus yang sama. Jadi pasti mereka berdua ini keren. Lebih keren dari aku yang baru aja masuk kelas 1 SMA (atau malah masih SMP ya, lupa) dan nggak ngerti apa-apa selain nantangin orang-orang untuk tanding catur. (kakak-kakakku yang baca ini, koreksi ya kalau aku salah periodisasinya :p)

Buku itu nggak selesai aku baca. Aku beneran nggak ngerti sama sekali sama term-term filsafat yang bertebaran di buku itu. Buku itu akhirnya tergulung begitu saja. Karena aku sibuk dengan buku filsafat yang lain, yaitu buku Harry Potter and the Philosopher's Stone. 

Sekalipun aku berhasil lolos seleksi kelas epistomologi (yang masuknya pake tes logika dan masih heran kenapa aku bisa masuk kelas itu padahal aku nggak ngerti apa2) bersama 2 kakak ku, aku tetep aja nggak ngerti buku falsafatuna. Di kelas, aku cuma pendengar dan sesekali mengantuk. Berkat kelas itu, aku berkenalan dengan term filsafat yang sampai sekarang masih melekat. Yaitu ilmu Hudhuri, ilmu Khusuli. Itu kelas 2 SMA. Pengajarnya sekarang jadi temen juga di FB ku. Dia masih inget aku nggak ya... Soalnya aku pendek dan kecil banget dulu. 

Sampai akhirnya, di masa kuliah, aku baru tau ada banyak kesalahan penerjemahan bahasa Indonesia di buku falsafatuna itu. Aku jadi punya pembenaran, kenapa aku nggak ngerti buku itu. Sebenernya kita nggak boleh cari-cari pembenaran sih. Tapi gimana lagi ya. Font buku itu kecil-kecil, aku ngantuk baca bukunya. Seorang dosen menyarankan untuk membaca versi bahasa Inggrisnya saja karena terjemahan inggrisnya jauh lebih baik. Aku mengiyakan, tapi sampai sekarang aku belum baca versi inggrisnya. Maaf ya :((

Buku Falsafatuna, masih jadi buku filsafat yang cukup misterius sampai sekarang. Karena setiap orang bilang betapa kerennya buku itu. Aku juga merekomendasikan buku itu ke orang-orang yang mau belajar filsafat. Dengan harapan, setelah mereka membaca buku itu, mereka bisa mendiskusikannya. Dengan begitu, aku bisa mencuri dengar apa isi buku itu. Orang-orang pikir, aku sudah baca buku itu, karena aku bisa menanggapi apa yang mereka katakan. Padahal tanggapanku adalah hasil bacaan dari buku filsafat lainnya. Bukan Falsafatuna. 

Di Hari Filsafat sedunia yang mulia ini, aku mau mengaku, kalau aku sebenarnya belum tamat memahami dan membaca buku Falsafatuna. Maaf buat teman-teman yang dulu pernah diskusi tentang buku itu. Aku pernah bilang ini sama seorang teman yang sering diskusi filsafat dengan ku kalau aku belum baca buku itu, tapi dia nggak percaya dan malah bilang, "kamu tawadhu sekali." Padahal aku jujur, mengatakan yang sebenarnya. Apakah aku terlalu berwajah pintar??? Ah, anggap saja begitu.

Ps : Sebenernya ini postingan foto di Facebook pas #WorldPhilosophyDay tanggal 21 November kemarin. Mau diposting di sini tapi lupa. Dari komentar teman-teman di Facebook, mereka emang bilang buku ini emang keren. Banyak juga yang nggak ngerti saking berbobotnya. Ada yang harus membacanya berkali-kali. Intinya, I'm not alone. Rasanya, aku berhutang pada ilmu pengetahuan kalau sampai nggak baca buku ini sampai tamat. Aku juga harus paham. 

Dengan nama ilmu Nya yang sangat luas, tuntunlah aku menuju jalan cahaya. Amin.

Oh iya, jangan lupa baca buku-nonton film-diskusi-nulis supaya kita terus mengaktual.

Jumat, 22 November 2013

Cerita Awal Sekolah

Waktu kecil, aku didaftarin ibu di TK Muara Warta di daerah Bekasi. TK nya mbak Umu. Pas mbak Umu lulus TK itu, dia udah bisa nari, baca, nulis, nyanyi, itung-itungan dan sepertinya dia bahagia. Karena TK itu banyak pikniknya. Ada renangnya juga sih. Karena TK itu, mbak Umu bisa masuk SD Jaka Setia yang jadi favorit di Bekasi Selatan. Mbak Umu masuk kelas 1 SD, aku masuk TK kecil.

Dilihat dari namanya, udah jelas kan kalau TK itu nggak jauh-jauh dari dunia wartawan gitu. Bayarannya semahal SPP Mbak Indah di SMA Pondok Gede. Ibuku sepertinya pengen banget aku bisa sepinter mbak Umu. Jadi, dengan seragam biru putih, aku diajak ibu sekolah. Meneruskan tradisi intelektual dengan sekolah TK di Muara Warta. 

Ada sepupu juga yang sekolah bareng. Seumuran. Namanya mas Ridho. Dia ompong, rambutnya jabrik, kupingnya caplang dan mirip sama pak Tile. Kita suka berantem. Setelah itu kita main nikah-nikahan di rumah. Soalnya tetanggaan juga. Tapi aku nggak mau cerita tentang mas Ridho. Aku mau cerita tentang diri sendiri. Kalau mau tau Mas Ridho, cari di FB ku, namanya Ridho Idho. Tapi nggak penting juga sih ya.

Nah, lanjut.
Ternyata, kehidupan di TK tidak seindah yang aku bayangkan. Di sana banyak anak nakal. Hari pertama ku di sekolah sangat buruk. Aku nggak boleh naik ayunan. Padahal ayunan itu bagus, warna warni. Kapan lagi main ayunan kalau nggak disekolahan? Aku rebutan ayunan sama anak cowok nakal yang nggak aku kenal. Dia seenaknya aja ngeludahin bangku ayunan itu. Dia juga masih sempet meletin aku. Ayunan yang ada ludah dia itu dia kuasai. Dia duduk di ludahnya sendiri. Jadi kalau ada ungkapan "Menjilat ludah sendiri" di kasus ini adalah "Menduduki ludah sendiri." Aku nangis, Pokoknya pulang! Aku nggak mau sekolah lagi.

Jadilah, aku cuma ngerasain sehari di TK. Sekolah itu nggak enak. Aku benci sekolah.

Pastinya, ibuku prihatin. Ibu tetep bujuk buat sekolah. Aku nggak mau. Lagian, seragam biru putih itu nggak ada bagus-bagusnya. Nggak keren. Aku ngerengek minta pakai seragam merah putih. Kayak Mbak Ima dan Mbak Umu. 

Aku benar-benar mendapatkan seragam merah putih ku besoknya. Ibu masukin aku ke SD Inpres. Aku senang karena tiap pagi berangkat sekolah bisa sama Mbak Ima dan Mbak Umu. Yang anterin adalah si Bapak, naik motor. Karena ada di SD yang berbeda. Yang dianterin duluan Mbak Ima ke SD Cikunir, Mbak Umu ke SD Jaka Setia, baru deh aku.

Tentu saja, aku nggak bisa baca, nulis, apalagi ngitung. Bahkan aku nggak bisa nyanyi selain lagu selamat ulang tahun. Jadi, jangan heran kalau sampai sekarang aku nggak bisa nyanyi. Itu karena aku nggak pernah TK. TK kan tempat orang belajar nyanyi dan teriak-teriak. 

Setelah masuk SD, aku baru tahu, ternyata, sekolah itu menyenangkan!

Aku nggak inget tas ku isinya apa. Karena semua disiapin sama ibuku. Aku nggak ngerti sama sekali apa yang bu Guru bilang. Sama sekali. Aku bahkan nggak inget kalau di kelas aku ngapain.

Yang aku inget adalah. Aku datang pagi-pagi. Begitu duduk di kursi, kakak-kakak kelas 6 yang badannya gede-gede itu langsung pada ngerubungin aku. Cewek maupun cowok. Setelah itu, aku digendong ke kelas mereka. Iya, di gendong! Di kelas mereka itulah aku dikasih jajanan sambil di cowel-cowel pipinya. Aku suka bingung kenapa yang diperlakukan gitu cuma aku doang.

Akhirnya, setelah terjadi berulang kali. Aku baru tahu dari mereka sendiri. Aku diperlakukan kayak gitu itu karena aku ini lucu, imut, putih, tembem, dan mukaku lebih mirip boneka daripada manusia. 

Oh, jadi aku imut, Aku lucu, Aku putih. Aku mirip boneka. Lalu semua orang mencintaiku. Hidup gampang banget ternyata.

Mereka yang bilang lho, bukan aku. Temen-temen mbak Indah yang anak SMA juga suka ngomong gitu. Kalau nggak percaya, tanya aja mbak Indah. Akun FB nya Indah Koen tuh.

Jadi aku tumbuh sebagai anak caper menggemaskan. Setidaknya bagi orang-orang disekitar ku.

Aku juga suka main di taman yang satu lokasi sama sekolah ku. Di sana ada bunga-bunga indah. Warna putih dan wangi. Aku suka duduk-duduk di taman itu sambil ngumpulin bunga sama temen ku, namanya Pita. Aku dan Pita merangkai bunga dengan model kayak buket bunga pernikahan. Pulangnya, aku bawa bunga itu dan main nikah-nikahan sama Mas Ridho. Pada suatu hari, aku kasihin bunga ke Mbak Ima karena Mas Ridho sama aku lagi marahan. Kita bosen main neng nang neng dong lagi. Mbak Ima bilang, "Yu, ini kan kembangnya orang mati. Elu ngambil kembang di kuburan sekolah elu ya?"

Kenapa nggak ada yang kasih tau kalau itu adalah kuburan? 

Jadi tempat itu bukan taman ya? 

Pertanyaan mbak Ima merusak hari-hari indah saat waktu istirahat datang. Aku nggak tahu sama sekali kalau singgasana yang biasanya aku pakai buat kursi ratu-ratuan sama Pita itu adalah makam. Sejak itu, aku nggak main di kuburan lagi. Soalnya aku lahir pas jumat kliwon. Kata mbak Ima aku gampang dimakan genderuwo.

***

Aku juga nggak punya beban sekolah. Pas ujian, aku minta ditemenin Ibuku karena aku buta huruf. Aku nggak ngerti. Ibuku harus berdiri di pintu kelas dan aku nyuruh Ibu ngisi apa yang harus diisi. Di depan guru kelas. Aku nggak tau kalau itu sebenernya nggak boleh. Tapi kalau nggak gitu, aku nangis. Ibuku sih yang cerita ini. Aku cuma inget dulu aku suka di pintu kelas nyamperin Ibuku sambil bawa buku. Ibuku nggak enak hati sama guru. Tapi dia pasti udah bilang sesuatu sama guruku, Entah minta pemaklumanm entah minta maaf, pokoknya, aku mau Ibuku setiap kali ujian. Malang sekali ibuku punya anak sepertiku. 

SD Inpres itu kumuh. Lapangan upacaranya masih tanah yang becek banget kalau hujan. Padahal untuk mencapai ruang kelas, harus nyebrangin lapangan dulu.

Tiap kali bapak jemput sekolah, kakak-kakak kelas suka manggil, "Ayu Ayu Ayu..." gitu. Aku jadi keki. Tapi kan aku imut, lucu, putih dan kayak boneka. Jadi aku boleh caper. Akhirnya, aku berjingkat-jingkat sok mau lari gitu di tanah yang super becek habis dihajar hujan semalaman. Tanah itu licin dan seluruh sepatuku jadi kotor.

Karena caper, aku jatuh. Seluruh tubuh! Sampai ke rambut dan muka. Aku yang selalu jadi pusat perhatian diketawain orang-orang yang ngeliat. Malu banget. Aku langsung nangis. Kejadian itu tambah menyakitkan karena bapak juga ketawa sambil nolongin aku. Perjalanan dari sekolah ke rumah aku habiskan untuk menangis.

Besoknya, aku nggak mau sekolah lagi. Aku malu. 

Aku lucu, aku imut, aku putih, mukaku kayak boneka dan aku jatuh! Harga diriku rasanya juga ikut ambruk.

3 hari berturut-turut aku nggak mau sekolah. Aku sekolah setelah Ibu bilang mau nemenin aku sekolah dari awal sampai akhir. Aku berangkat sekolah lagi dengan perasaan asing sama lingkungan sekitar. Aku takut semua orang masih menertawakan aku. Aku takut orang nyebut-nyebut tentang jatuhnya aku.

Ternyata nggak!

Semua orang masih suka goda-godain dengan bilang, "Ayu lucuuu... Ayu Imuuut... Ih muka bonekaaaa."

Aku nggak minder lagi.

Aku mengakhiri kelas 1 tanpa keterampilan apa-apa. Nggak bisa nulis, nggak bisa baca, nggak bisa ngitung, nggak bisa ngegambar juga. Tapi aku bisa naik kelas ke kelas 2 SD karena mesti pindah rumah ke Cibitung.

SD Inpres sekarang udah nggak ada. Udah tergusur dan jadi Tol Bekasi itu. Malang sekali nasibnya. 

Akhirnya aku bisa baca juga! Kalimat pertama yang aku baca adalah sebuah iklan rokok di TV. Aku tiba-tiba membaca begitu saja tulisan di TV itu tanpa mengeja. Tulisan itu adalah, "Gudang Garam Filter, Pria Punya Selera." Itu terjadi pas menjelang kelas 3 di SDN Cibitung 2. Tentu saja, itu berkat keras Ibu yang ngajarin aku baca. Bu Kursi, guru SD kelas 2 yang sayang banget sama aku karena aku imut juga ikut berkontribusi ngajarin aku baca. 

Sejak saat itu, aku bisa baca. Apapun aku baca. Kecuali baca soal cerita di pelajaran Matematika. 

Aku juga pisah sama Bu Kursi dan harus tabah menghadapi Bu Endang yang galak. 

Bu Endang ini tetangga satu komplek. Aku ketakutan. Aku harus pura-pura sakit tiap kali aku jenuh di sekolah. Supaya Pak Guru segera memboncengkanku dan mengantarkan ku pulang ke rumah. Supaya nggak diajar sama Bu Endang.

Aku, lagi-lagi, benci sekolah. 

Kehidupan sekolahku berubah jadi tidak ramah setelah itu. Apalagi saat pindah sekolah SD (lagi) ke Boyolali. Sekolah jadi sesuatu yang berat dan membosankan.

Sekarang, aku mengalami banyak hal berat daripada masa-masa sekolah itu. Dan aku pikir, Toh, pada akhirnya nanti, semuanya akan berlalu. Seperti lembaran buku yang kemarin kita baca dan kemudian ingatannya menempel di otak.

Dunia memang tidak berjalan sesuai dengan kemauan kita. Aku rasa, aku hanya harus memainkan seni, tentang bagaimana caranya memilih kebahagiaan.


Tegal Parang, 22 November 2013

Rabu, 20 November 2013

Hidup itu, Drama

Jangan malu atau merasa terhina kalau ada yang bilang hidup kita penuh drama. Bisa saja, kehidupan yang penuh drama justru membawa kita pada jalan-jalan intelektual dan spiritual yang lebih bermutu.

Diantara banyak drama yang dicatat sejarah, aku terkesan pada drama 2 orang ini. Drama, telah merubah kehidupannya jadi lebih tercerahkan. 

Orang pertama adalah Soren Aabye Kierkegaard. Filosof Eksisitensialis dari Denmark. Kisah cintanya dengan Regina Olsen yang penuh drama justru jadi inspirasi utama kelahiran pemikiran-pemikiran briliannya. Regina adalah tunangan Kierkegaard yang sangat Ia cintai. Tapi akhirnya Kierkegaard memutuskan pertunangan di tengah jalan walaupun pihak Regina memohon kepadanya supaya jangan membatalkan. Ayah Ragina berkali-kali menemui Kierkegaard untuk mempertanyakan keputusannya.

Kierkegaard sangat terbebani perasaan takut tidak dapat membahagiakan Regina yang sangat ia cintai. Ia juga merasa sudah berkhianat dan tidak dapat berkata jujur tentang banyak hal pada kekasihnya. Regina -gadis muda yang cantik kesayangan Kierkegaard itu- akhirnya menikah dengan orang lain. 

Kierkegaard sering mengirimkan surat permintaan maaf pada Regina. Dia juga sering menulis betapa Ia sangat mencintai Regina Sikap melankolisnya terbawa sampai pada karya-karyanya. Para profesor universitas sampai bingung membaca tesis Kierkegaard. Ini karya ilmiah atau karya sastra? Bahasa Kierkegaard yang terlalu mendayu-dayu dan cenderung curcol membuat tesis ini jadi kelihatan tidak ilmiah. Toh akhirnya tesisnya bisa diterima. Kierkegaard sampai sekarang dikenal orang sebagai "Orang Denmark yang melankolis." Ia jadi bapak eksistensialime dalam dunia filsafat.
"Hidup bukanlah masalah yang harus dipecahkan, tapi kenyataan yang harus dialami."
Kierkegaard
Orang Kedua adalah Jalaludin Rumi. Perpisahan dengan guru yang sangat Ia cintai -Syamsi Tabriz- adalah titik nadir kelahiran sajak-sajak Mastnawi nya. Sebelum pertemuannya dengan Syamsi, Rumi adalah pengajar agama yang terkenal sangat pintar dan disegani. 

Hingga kemudian, Syamsi muncul. Kehadiran Syamsi membuat Rumi berfikir kalau ternyata dia tidak tahu apa-apa tentang hakikat kehidupan ini, sekalipun ia adalah seorang pengajar agama. Murid-murid Rumi tidak suka dengan persahabatan gurunya dengan Syamsi Tabriz sang pengembara. Bagi mereka, Rumi yang mulia tidak pantas bersahabat dengan Tabriz yang  miskin dan tidak punya apa-apa. Apalagi sejak Tabriz datang, Rumi tidak dapat berpisah darinya sehingga ia mulai mengabaikan para pengagumnya.

Untuk merebut kembali perhatian Rumi yang terserap oleh kehadiran Tabriz, ratusan murid Rumi membuat skenario untuk mengusir Tabriz jauh-jauh dari sisi gurunya. Tabriz pun pergi jauh, mengembara dan menjalani kehidupannya yang zuhud. Ia tidak pernah kembali lagi lagi ke Kunya, kota tempat tinggal Rumi.

Sejak kepergian Tabriz, Rumi yang saat itu berumut 37 tahun mulai melahirkan syair-syair indah mastnawi yang bernafaskan cinta dan kerinduan yang mistikal. Rasa cinta dan takzimnya pada sang guru telah berubah menjadi cinta yang transendental (Ilahiah). Cinta itulah yang membawanya pada jalan sufistik dan jadi penyair. Kalau tidak karena drama perpisahan dengan Sang Guru, mungkin kita tidak akan mengenal Rumi. Karena ia hanya akan menjadi guru agama (baca: ustad) biasa saja. 

"Jika kau menggigit orang dengan gigi hingga terluka, sakit gigi akan menyerangmu ~ apa yang akan kaulakukan?"
Rumi
Drama tentang perpisahan, kesedihan, dan kerinduan seharusnya bisa jadi jalan untuk melangkah ke maqam yang lebih tinggi. Seperti Kierkegaard, seperti Rumi. Kita selalu punya drama tersendiri dalam hidup yang bisa jadi kesempatan buat kita untuk "naik kelas" ke tempat yang lebih tinggi lagi. 

Maaf ya teman-teman kalau tulisan ini kesannya kayak tulisan motivasi. Pokoknya hari ini dan seterusnya kita harus semangat! Harus tahu alasan untuk bahagia. Jangan sedih lama-lama. Karena bad day, pasti berlalu. ^^v


Cheers!!!
Salam Drama Queen...

Selasa, 12 November 2013

Melintasi Ketakutan

Dulu aku begitu kagum dengan kata-kata yang dipilih JK Rowling di dalam buku Harry Potter, ketika Lupin berkata pada Harry, "Ketakutan terbesarmu adalah ketakutan itu sendiri, Harry." Novel Harry Potter sudah tamat sejak aku SMA. Sudah berhasil membaca semua serinya juga berulang kali. Tapi sampai sekarang aku masih memikirkan kalimat itu, di kepalaku. 

Memikirkannya, membuatku merasa bahwa barangkali Dementor sedang berada di dekatku dan menyerap kebahagiaan yang seharusnya bisa aku pilih. Memikirkan ketakutan-ketakutan, serta merta membuat jantungku berdegub keras. Tiba-tiba aku akan terlempar ke bawah kubah kecemasan. Hatiku mencelos turun ke perut dan jantungku rasanya membesar.

Lalu aku berfikir, betapa anehnya ketika aku justru membiarkan diri disiksa oleh hal-hal yang belum terjadi. Atau hal-hal yang sudah terlanjur terjadi. Ketakutan itu mengkristal dalam celah-celah harapan, menjadikan cahaya yang harusnya terang dilingkupi setitik 'ketiadaan cahaya'. 

Bagaimana mungkin ada perasaan takut kehilangan sesuatu yang bahkan belum -atau justru- tak pernah kita miliki? Bagaimana mungkin ketakutan itu datang kepada sebuah masa dimana kita bahkan belum melangkah di dalamnya? 

Kehidupan, kebenaran dan cinta adalah bagian dari semesta, bagian dari manusia yang hingga kini masih terus dipertanyakan. Jika ada jawabnya, kita masih saja tidak selesai memahaminya. Yang aku tahu, pemahaman itu bergradasi. Aku mesti berdarah-darah dan berurai airmata sambil terseok-seok menggapai gradasi terpekat dari puncaknya.

Orang-orang sering berkata bahwa harapan wujudnya bagai tiang gantungan. Ada algojo yang sudah menunggu kita untuk di eksekusi. 

Lalu sejarah bercerita, tentang orang yang memilih mati untuk hidup, tentang orang yang hidup untuk memilih kematiannya sendiri dan tentang orang yang hidup diatas kematian orang lain. Jika aku harus memilih, aku ingin mati untuk hidup. Walau itu tidak akan serta merta menjadikan aku martir. Iya, memang tidak banyak yang sudah aku perjuangkan. Tidak banyak yang aku perbuat selama ini. Lalu bagaimana mungkin aku bisa mati untuk kehidupan itu sendiri. 

Aku perlu menghela nafas, sembari mengeja kehidupan yang memang rumit, kerumitan itu yang menjadikan ia begitu cantik. Begitu misterius sekaligus berbahaya.

Aku tidak pernah selesai untuk bertanya pada diri sendiri, seberapa besar ketakutanku untuk hidup atau seberapa besar ketakutan untuk mati. 

Bukankah ancaman menuju kematian sudah terlalu sering? Tapi aku tidak juga menyingkir ke wilayah aman. Wilayah yang aku pijak adalah wilayah yang aku cintai. Bukankah indah jika akhirnya memilih kematian di wilayah yang kita bela setengah mati. Kita torehkan jiwa raga kita untuk hal yang kita anggap pantas diperjuangkan.

Jika aku sempat berpikir tentang ketakutan, tentu saja, aku juga masih punya waktu untuk keberanian. Aku masih punya tempat untuk berjuang, setidaknya untuk hal-hal kecil yang aku yakini sebagai kebenaran. Aku akan melanjutkan hidupku, yang berisi separuh ketakutan, separuhnya lagi keberanian. Kemudian menghimpunnya sebagai kekuatan.

Yang paling utama, aku ingin membunuh cemas. Tepat di pangkalnya ketika ia datang. Terutama jika ia berbentuk ketakutan akan hilangnya hal-hal yang tidak pernah kita miliki, terhadap yang belum pernah terjadi. Terhadap apapun, yang menjadikan aku takut untuk mati.

--
Jakarta, Menjelang 10 Muharram

Jumat, 08 November 2013

Peran Orangtua dalam Psikososial Erik Erikson

Menurut teori psikososial Erik Erikson, setidaknya ada 8 tahapan perkembangan manusia yang harus dilalui untuk dapat mencapai kehidupan yang matang dan layak. Tahap tersebut dimulai dari usia 0-60 tahun keatas. Tahapan yang dimaksud Erikson itu bukanlah sebuah tahapan gradual yang jika gagal di satu tahap, otomatis gagal juga di tahap berikutnya. Karena bisa saja, gagal di fase pertama namun akhirnya menemukan solusi atas kegagalan itu saat menginjak fase kedua. Sehingga anak dapat menempuh tahap selanjutnya dengan baik.

Kesadaran manusia akan dirinya dapat membantu manusia untuk mencapai keberhasilan di tiap tahapan. 6 tahapan pertama adalah tahapan yang membutuhkan peran keluarga inti sebagai pendukung utama. 2 tahapan berikutnya dilakukan oleh manusia yang mulai terpisah dari keluarga inti dan berencana membuat sebuah ikatan keluarga yang baru. Kali ini, yang akan dibahas adalah 6 tahapan awal dalam kehidupan menurut Erik Erikson yang mengharuskan pentingnya pendampingan orangtua di dalamnya.

Tahap Pertama Usia 0-18 Bulan. 
Di fase paling dasar ini kepercayaan, kebergantungan bayi ditentukan oleh kualitas pengasuh bayi tersebut. Jika tahap ini berjalan dengan baik, dia akan merasa aman, selamat dan percaya diri. Jika pengasuhnya tidak konsisten, tidak tersedia secara emosional, atau menolak untuk memberikan perhatian, maka akan dapat mendorong perasaan tidak percaya diri pada bayi yang diasuh. Selain itu, bayi akan menemukan ketakutan-ketakutan karena merasa ternyata dunia ini tidak konsisten dan susah ditebak. 

Tahap Kedua usia 18 Bulan-3 Tahun
Fase ini menentukan pengendalian diri anak berupa penggunaan toilet, makanan, mainan dan pakaian yang disukai. Hal tersebut penting dilakukan karena berpengaruh pada peningkatan kepercayaan diri balita. Pengasuh/orangtua akan melatih anak untuk memiliki kesadaran pengendalian diri terhadap dirinya sendiri. Kalau gagal dalam fase ini, anak akan merasa selalu tidak cukup, tidak puas dengan apa yang dipunyainya dan ragu-ragu terhadap diri sendiri. 

Tahap Ketiga Usia 3-6 tahun
Fase ini memungkinkan anak untuk memasuki dunianya yang baru dengan interaksi sosial di pra-sekolah atau lewat permainan. Jika pengasuh/orangtua berhasil mendidik anak di fase ini, anak akan memiliki kemampuan inisiatif yang tinggi dan rasa tanggung jawab dalam memimpin. Jika gagal, Ia akan merasakan perasaan bersalah, ragu-ragu dan merasa tidak kreatif atau kurang rasa inisiatif. Anak akan merasa tidak diberi kepercayaan dan merasa cemas. 

Tahap Keempat Usia 6 Tahun-Pubertas
Di fase ini anak akan merasa bangga pada keberhasilan, kemampuan, kompetensi dan berbagai keterampilan yang dimilikinya. Penting bagi mereka untuk terlibat pada pengalaman-pengalaman baru. Mereka mulai merasa perlu memiliki keluasan pengetahuan dan keterampilan intelektual. Di sini, orangtua, guru dan lingkungan sekitar sangat berperan penting dalam menumbuhkan potensi-potensinya tersebut. Jika gagal pada tahap ini, anak akan merasa bahwa ia tidak produktif dan tidak berkompeten di bidang yang ia tekuni. Hal ini berimbas pada ketekunan dia di masa yang akan datang. 

Tahap Kelima Usia 10-20 Tahun
Remaja mulai mandiri, membangun kepekaannya, mencari jati diri dan menentukan tujuan-tujuan hidup. Di fase ini, seorang remaja mulai merasakan romantisme, pekerjaan, tanggung jawab dan berperan di lingkungan untuk membentuk diri menjadi seseorang dengan identitas positif. Peran orangtua dalam memberikan kepercayaan dan arahan (bukan dalam bentuk perintah-perintah) penting untuk dapat menjalani masa depan yang positif. Jika identitas diri yang ditemukan oleh remaja tersebut diabaikan dan ditolak oleh orangtua, maka ia akan mengalami kebingungan jati diri yang akut tentang masa depan dan dirinya sendiri. 

Di masing-masing tahapan ada indikator jika fase itu gagal atau berhasil. Nah, jika kita lihat ada orang yang sudah dewasa tapi masih mengalami masalah yang seharusnya bisa diatasi saat anak melalui 5 tahapan awal kehidupannya, berarti ia memang kurang mendapat dukungan dari orangtua dan lingkungan sekitar untuk menemukan dirinya.

Jika kita lihat teori Erikson ini, kita akan mengetahui betapa pentingnya fase awal dalam perkembangan manusia. Apa jadinya jika pada 5 tahap perkembangan itu, anak hanya diasuh oleh seorang baby sitter yang berpendidikan rendah? Untuk jadi orangtua yang bisa menemani fase itu dengan baik pun harus memiliki bekal yang cukup dan kelayakan. Akan beda anak yang diasuh oleh orangtua yang memiliki pengetahuan luas dengan seorang baby sitter lulusan SD. 

Wanita-wanita pintar dan berpendidikan tinggi semestinya mau fokus mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak demi menyiapkan gen unggul untuk bangsa ini. Karena jika tidak, negara kita ini akan terus menerus berada di lingkaran setan karena kekurangan SDM berkualitas. 

Untuk itu. jika ingin mendidik anak, kita harus mendidik diri sendiri dulu. Sebaik-baiknya, setinggi-tingginya. Mengukir masa muda  dengan pengalaman semanis-manisnya dan petualangan sebanyak-banyaknya. Berjalan sejauh-jauhnya, membaca buku sesering mungkin, belajar sekeras-kerasnya, bergaul seluas-luasnya, mengikuti organisasi sematang-matangnya, bekerja serajin-rajinnya, bahkan, tidak masalah jika kita mencoba berbuat senakal-nakalnya asal kita tahu kapan harus berhenti. Jangan lupa, apapun, ada tanggung jawab yang diemban dan konsekuensi yang harus dijalani. 


Jika itu semua sudah dilakukan, barulah kita siap untuk menjalani kehidupan pernikahan dan berkeluarga. Jika tidak, bagaimana kita akan membicarakan dunia ini kepada anak? Anak, atas petunjuk kita (sekali lagi, bukan perintah-perintah) akan menemukan jati dirinya sendiri yang sesuai dengan perkembangan jamannya. Tugas kita adalah mempersiapkan dengan baik apa yang menjadi jalan mereka kelak. Bahkan, persiapan-persiapan mendidik anak dimulai sebelum pernikahan itu sendiri terjadi. 

Di jaman modern, wanita berada di persimpangan antara mengejar karir (atau bekerja saja, tanpa harus mengejar karir) di luar rumah dengan fokus di keluarga. Ini adalah soal pilihan dan seberapa matang kita mempersiapkan pilihan-pilihan itu. Subhi-Ibrahim, seorang dosen filsafat Paramadina berkata, "Bayangkan jika sejak awal seorang anak dididik oleh seorang Ibu yang Sarjana Filsafat. Bayangkan nantinya anak ini akan secerdas apa." Ia juga menambahkan bahwa semakin tinggi pendidikan seorang wanita, maka tangung jawab untuk fokus mengurusi anak-anaknya sendiri juga seharusnya, semakin tinggi. 

Menjadi Ibu rumah tangga tidak hanya sibuk dengan urusan-urusan domestik di dalam rumah. Seorang Ibu, tetap berkewajiban untuk memberikan kontribusi pada komunitasnya, membangun masyarakatnya. Ibu rumah tangga juga bisa jadi penulis, wirausaha di rumah atau apapun yang menghasilkan. Bukan berarti diam dan membiarkan suami menghandle semua urusan material sendiri. Apalagi jika ternyata penghasilan suami belum terlalu mencukupi untuk keluarga.

Berkat seorang Psikososial berkebangsaan Jerman ini, kita dapat memahami bahwa pilihan menjadi seorang Ibu rumah tangga tidak melulu karena alasan-alasan agama yang sering disebut para feminist sebagai pengecilan peran perempuan. Justru dengan menjadi Ibu rumah tangga, seorang wanita menemukan dirinya dan tanggung jawab besarnya kepada negara, untuk melahirkan generasi terbaik, putra peradaban yang dididik dari rahim yang berkualitas. 

Di dalam tulisan lama berjudul Wanita dan Kemanusiaan, ada pandangan Imam Khomeini tentang bagaimana menjadi perempuan sejati. Jangan sampai, sebagai perempuan kita akhirnya melahirkan generasi yang cengeng, yang takut melakukan perlawanan pada kedzaliman dan takut menyuarakan kebenaran.

Jika kita menengok teori Hegel tentang "Back to Nature" nya, maka kita akan lebih sepakat pada pola pendidikan yang diajarkan oleh Erikson. Karena Hegel meminta kita untuk membiarkan anak dirawat oleh alam, tanpa campur tangan orangtua sekalipun anak tersebut masih di usia dini. Bagi Hegel, dengan cara itulah anak menemukan dirinya. Prinsip itu diterapkan kepada anak dari hubungan incest nya dengan Christiane Burkhardt yang menjalani kehidupan yang miskin dan terlunta-lunta. Sampai akhirnya Ludwig -anak Hegel- yang berkebangsaan Jerman, mendaftarkan diri dalam militer Belanda, bertempur membela kolonial Belanda melawan Pangeran Diponegoro dan meninggal di tanah Jawa. Jauh dari ayahnya yang dibenci sekaligus sangat dirindukannya. 

Nah, sama-sama pemikir Jerman, yang satunya adalah seorang psikososial dan yang satunya adalah seorang filosof, pola mana yang akan kita pilih?

Tulisan ini dibuat tanpa mengurangi rasa hormat kepada para Ibu yang terpaksa bekerja di luar rumah sehingga dengan berat hati harus menyerahkan pengurusan anak pada orang lain (Baby sitter, tetangga, nenek dll). Bagaimanapun, memang selalu ada yang dikorbankan dengan pilihan-pilihan kita. Semoga anak-anak kita dapat melewati tahap-tahap itu dengan baik nantinya.

---
PS :
Tulisan ini dibuat setidaknya karena 3 hal :
  • Iseng nulis dalam tekanan deadline transkip wawancara
  • Kangen nulis untuk majalah keluarga
  • Tentang sebatang rindu yang baru saja dipatahkan kekasih


Mampang, 8 November 2013