Senin, 27 November 2017

Lelaki Pusat Dunia

Pada mulanya, lelaki itu menyapamu lebih dulu dengan panggilan yang senetral mungkin. Ia tahu bahwa beberapa perempuan tak suka ketergesaan. Ia adalah sosok lelaki manis yang akan sering menyapamu di sela kesibukannya dan memastikan bahwa kamu baik-baik saja.

Ia akan menggiring arah pembicaraan ke topik-topik yang kau senangi, sekaligus memastikan bahwa topik itu sangat dikuasainya. Musik salah satunya. Kau selalu suka musik. Ia sendiri adalah seorang musisi. Kalian akan bertukar pengetahuan dan kau pun akhirnya mengakui bahwa selera musiknya bagus. Pengetahuannya di bidang lain pun tak kalah mendalam. Lelaki itu tahu betul bahwa kau akan mengakui kecerdasannya karena ia telah berkali-kali menggunakan trik yang sama pada beberapa perempuan dan selalu berhasil.

Tokoh kita ini paham bahwa perempuan memang selalu menyukai segala sesuatu yang terdengar bagus.



Awalnya, ia akan menunjukkan beberapa karyanya. Kau akan mengapresiasi karyanya dengan komentar positif. Kau menyadari bahwa bakatnya adalah bagian dari hasrat terdalammu yang tak pernah bisa kau gapai sebelumnya.

Kau mulai menyadari bahwa ia berbakat, lembut, cerdas, dan berwajah manis. Rasa-rasanya, ia melengkapi semua yang kau butuhkan dari lelaki. Bersamanya seperti mengencani empat orang sekaligus; dokter, aktivis, penulis, dan musisi. Dunia rasanya tak adil jika menghadirkan semua hal baik dalam satu sosok. Dia adalah lelaki melankolis dan paling bisa mengontrol emosinya.

Namun ia sepertimu juga yang masa lalunya tak sempurna. Duka-duka masa lalunya barangkali seperih yang kau miliki. Lagipula, beberapa masa lalu memang harus dikubur dalam-dalam. Kau juga akan mengabaikan risiko-risiko jika bersamanya karena kau sendiri sudah terbiasa menyelam ke dalam air keruh kehidupan. Kau juga tahu bahwa dirimu harus menghargai setiap manusia yang berusaha menjadi dirinya yang baru, otentik, dan lebih baik. Dalam proses itu, ada banyak hal yang perlu dilewati. Di sini, kau pun berusaha agar dapat menjadi seorang pendamping yang kuat menghadapi suka duka perubahan itu.

Waktu berjalan lebih cepat dari yang direncanakan. Debar jantung saat pertemuan adalah bumbu yang diracik sedemikian rupa hingga jadi terasa melenakan. Rindu adalah sebentuk rasa haus memaksa kalian untuk meminum ramuan bernama perjumpaan.

“Saya merasa, diri saya menggebu-gebu sekali dalam mencintaimu,” kata si lelaki.

Kau mengamini hal itu.

Kalian merasakan hal yang sama. Rasanya seperti remaja yang mencicip cinta untuk pertama kalinya. 

Rasa rindu yang tumbuh jadi bunga-bunga adalah dekorasi dalam perjamuan asmara kalian. Kau menyadari bahwa hadirnya satu orang dalam lantai dansa di hatimu jadi begitu penting. Setidaknya, kau bukan lagi jadi gadis yang berdansa sendirian dengan gaun bercorak kabut duka. Lelaki itu fasih memilihkan musik apa yang tepat untuk mengiringi dansa kalian.

Sayangnya, hidup ini tak hanya soal menari di antara dekorasi bunga-bunga diiringi music klasik kesukaan kalian. Hidup adalah menghadapi kenyataan bahwa di taman terindah pun, selalu ada hama dan belukar di dalamnya.

Ia selalu jadi orang yang memilih lagu dansa kalian karena ia yakin bahwa selera musiknya lebih baik dari siapapun. Tak hanya itu. Ia juga akan mengatur waktu perjamuan kalian.

Ada satu dua pesta dansa yang tak ada kau di dalamnya. Itu bukan sebuah pesta dansa yang serius. Kau akan mengamininya bahwa lantai dansa yang ia bangun tak semegah milik kalian. Namun kau juga mempertanyakan, jika kalian sudah bahagia di lantai dansa ini, mengapa ia perlu menggelar pesta dansanya sendiri?

Tentu saja, kau akan menghibur diri bahwa ini sudah risiko yang mestinya sudah diantisipasi jauh-jauh hari. Namun kau tidak bisa mengabaikan rasa sesak yang timbul di dada setiap kali mengingatnya. Bayangan bahwa lelaki kesayangan yang garis tawanya selalu kau rindukan itu ternyata mengajak orang lain untuk berdansa telah membuatmu hampir gila.

Kau memakan dengan baik janji gulali lengkap dengan hidangannya pada makan malam penebus dosa yang ia gelar. Kau akan menelan apa saja yang ia sajikan sambil meminta dadamu yang masih sesak untuk memberi ruang untuk maaf dan sabar.

Dalam cemas yang mencekam, kau mempertanyakan kemana rasa rindu menggebu miliknya yang dulu selalu minta dituntaskan. Duka membuatmu lupa caranya menari lagi. Kau menyimpan melodi yang ia ciptakan dan menghirup wangi bunga-bunga yang tersimpan di dalamnya. Kau merasa bahwa memaksakan diri untuk tetap menari dalam kesendirian dengan gaun duka seperti ini adalah sebentuk kegilaan yang selama ini perlu kau hindari.

Kau tahu bahwa ia menggelar pesta-pesta dansa yang tak bisa kau datangi. Jikapun hadir, mustahil ia menggenggam jemarimu yang ringkih dan mengumumkan pada semua yang datang bahwa kau adalah perempuan yang selama ini berdansa dengannya. Bahkan, di saat kau melambaikan tangan padanya di tengah kerumunan, ia sibuk bergelak tawa bersama orang lain seolah tak melihatmu.

“Saya tidak terbiasa seperti itu,” katanya suatu hari saat aku melontarkan kecemasanmu di antara kerumunan. “Saya tidak ingin mengumumkan cinta. Saya ingin mencintaimu dalam sunyi.”

Tentu saja kata-kata itu sangat indah. Dengan segenap tekad, kau mengamini hal itu. Untuk apa punya cinta yang gaduh? Cinta seharusnya sepi dan menenangkan, bukan?

Kau berusaha duduk tenang di rumah dekapan yang kalian bangun dengan susah payah. Memang ada tambalan pada atap dan temboknya, tapi kau percaya bahwa tinggal di sini lebih aman daripada menghadapi badai sendirian di luar sana.

Namun ada masa-masa di mana kau terpaksa menghadapi badai sendirian. Tokoh kita memang bukan orang yang bisa setiap saat menggenggam tanganmu saat kau tercekat ketakutan. Badai ini membuatmu sadar bahwa ternyata benih sabar yang kau tanam begitu ringkih hingga membuatmu kalut.

Aku akan balas dendam pada lelaki itu, tekadmu dalam hati. Ratusan surat terkirim tanpa balasan. 

Bayangan soal pesta dansa yang ia gelar tanpamu menerormu sepanjang malam. Hantu-hantu penghisap kebahagiaan terus menerus mendatangi rumah dekapan kalian tanpa permisi dan kau dipaksa menghadapinya sendirian.

Segalanya membuatmu gila. Kau mulai mengamuk di pesta-pesta dansa dan di pasar-pasar. Kau berteriak mencarinya dan melakukan apapun untuk membuat lelaki itu menghangatkan rumah dekapan kalian lagi.

“Saya mencintaimu. Sangat mencintaimu,” katanya sambil memelukmu. Mata lelahnya memintamu untuk tenang.

“Saya merasa sangat bersalah. Seharusnya tidak ada pesta dansa yang saya gelar tanpa kehadiranmu,” ujarnya lagi.

Ia menuntunmu masuk lagi ke dalam rumah dekapan kalian. Ia pun mulai rajin menyirami lagi bunga-bunga di lantai dansa kalian.

Tangan hangatnya meraih tubuhmu. Kalian mulai berdansa seperti biasa sambil membicarakan hal-hal yang pernah membuat kalian membara. Ada pijar di matamu yang berhasil ia nyalakan lagi.

Kau memandanginya dengan tatapan bertanya.

Sumber gambar: Pinterest
“Kita tak tahu akan berdansa sampai kapan. Yang jelas, saya ingin kamu bahagia karena saya bahagia bersamamu,” ucapnya lirih.

Kali ini, bukannya meramu ucapannya jadi gula-gula di dalam ramuanmu, kau justru memahat dan kata-katanya tepat di pusat duniamu. 

Waktu yang akan menjawab. Kelak, kata-kata itu akan jadi prasasti bersejarah, ataukah hanya sekedar onggokan batu nisan.

Sabtu, 11 November 2017

Sebuah Usaha Mencari Celah Positif

Bisa dibilang, dalam tiga tahun terakhir ini aku jadi orang yang ingatan soal ketidakberuntungannya lebih kuat daripada ingatan soal hal-hal baik. Kebiasaan itu terjadi begitu saja tanpa aku sadari. Aku merasa saat ada keberuntungan, maka itu adalah satu hal yang lumrah aku dapatkan setelah beberapa kali sial. Sudut pandang itu mengkristal seperti liontin yang memberatkan leherku dan harus aku bawa kemana-mana.

Tiga tahun belakangan, aku sulit menemukan ingatan indah. Selalu ada badai setelah bunga-bunga. Hal itu terus terjadi hingga aku tak ingat lagi kapan terakhir kali aku bahagia tanpa takut ada hantaman badai setelahnya.

Aku bergumul dengan kesedihan dan babak belur dibuatnya.

Aku tahu pengkhiatan orang yang pernah kita percaya sudah berakhir. Yang lalu biarlah berlalu. Hari baru bersama orang-orang baru. Orang yang ditemui tidak akan sejahat dia. Aku merapal itu berkali-kali di kepala hingga aku rasa aku mulai bisa menerapkannya secara nyata di kehidupan sehari-hari.

Aku belajar untuk mempercayai orang lain lagi. Namun, pengkhianatan kembali berulang. Sial masih membebani dadaku yang selama ini kesulitan bernafas.

Kadang aku merasa bahwa barangkali beberapa orang diciptakan dengan kantung kebahagiaan besar dan orang sepertiku hanya diberi sekantung kecil bahagia. Saking kecilnya sampai lupa kalau punya.

Seharusnya masa lalu yang kelam menjadikan kita jadi makin kuat. Itu benar. Aku merasa tiga tahun lalu aku adalah orang yang kuat. Namun kini tenagaku sudah habis. Bahkan untuk sekedar tampak segalanya baik-baik saja pun aku tak mampu. Sudah terlalu lama "berperang" dengan diri sendiri dan saat ini rasanya lelah luar biasa.

Namun aku tidak menyerah.

Aku mulai berpikir bahwa mungkin mengubah perspektif nelangsa jadi sesuatu hal yang patut disyukuri akan bisa membuatku jadi lebih kuat.

Aku mulai mengingat satu-satu derita yang barangkali bisa aku ubah jadi rasa syukur.

Saat masih kecil, keluarga kami sangat miskin. Bapak dan ibu yang ada di Bekasi tak mampu mengirimkan uang pada tiga anaknya yang masih usia SMP dan SD. Kami harus survive sendiri tanpa mengharap pada siapapun. Sekolah tak terbayar, seragam pun tak punya. Tapi kami tetap menebalkan muka dengan berangkat sekolah sekalipun diejek teman dan dipermalukan guru.

Setiap hari usai pulang sekolah, aku selalu keliling dari satu kebun ke kebun lain, dari satu comberan ke comberan yang lain untuk mencari bayam liar. Bayam itu nantinya kami masak jadi sayur bening. Kadang ada beras kadang tidak. Asal ada bayam dan garam, maka hari itu kami bisa makan.

Di awal cari bayam, aku berebut daun bayam dengan ayam-ayam milik tetangga. Daun bayam yang aku petik tumbuh pendek dengan daun berlubang di mana-mana. Jika ada ayam di sekitar bayam itu, maka bayam itu akan penuh sobekan di sana-sini karena habis dipatuk. Rasa lapar membuat kami tak pernah jijik berebut daun dengan ayam-ayam itu. Aku dan kakakku pun tak pernah memikirkan bahwa bayam itu mungkin subur karena adanya air kencing dan cairan lain dari kamar mandi tetangga yang mengaliri tanah bayam liar itu.

Aku mencoba bersyukur bahwa Tuhan menitipkan ketegaran pada daun bayam yang aku petik. Bahkan di tempat yang dipandang rendah oleh orang lain di sana, ada rezeki tiga anak yang kelaparan di situ. Untung ada bayam tumbuh.

Saat dipermalukan guru karena tidak bisa bayar sekolah dan tidak beli seragam, aku jadi sadar betapa mahalnya pendidikan. Aku selalu minta surat resmi tentang dikeluarkan dari sekolah karena tidak mampu bayar sekolah. Tentu saja sekolah tak akan mengeluarkan surat macam itu. Karena itulah aku tetap berangkat sekolah sekalipun tak pernah menerima rapor dan selalu menggunakan kartu ujian sementara setiap hari.

Kemiskinan mendidikku untuk berempati pada sesama. Aku mulai belajar arti priviledge. 

Bullying saat kecil menyadarkan aku bahwa di dunia ini ada orang yang memang jadi kelompok rentan diskriminasi. Ada orang-orang yang memang diperlukan tidak adil, jika orang kuat di sekitarnya tidak angkat membela, maka ia akan habis dilindas sendirian. Saat itu aku memang dilindas sendirian. Tapi aku belum habis. Hidupku masih berlanjut. Bahkan aku bisa kuliah.

Aku masih mencari memori-memori sial yang mestinya aku syukuri. Apa yang terjadi tidak akan sia-sia. Pasti ada hal yang tak sekedar berkontribusi melemahkan. Pasti ada hal-hal yang bisa menguatkan aku saat ini.

Aku menemukan ingatan itu. Peristiwa ini baru yang terjadi beberapa hari lalu.

Jadi ceritanya, pasanganku baru pulang dari Bangladesh untuk menjalankan misi kemanusiaan pada pengungsi Rohingya. Aku yang excited menyambut kedatangannya berniat untuk masak makanan spesial.

Aku membeli ayam dan meracik bumbunya dengan baik. Tentu saja aku memasaknya dengan penuh cinta. Sekalipun belum makan seharian, aku bertekad menunda rasa lapar agar bisa makan bersama dengan pasanganku jam berapapun ia datang nantinya.

Saat dia datang tengah malam, aku menghidangkan masakan itu. Rasanya perutku luar biasa lapar. Aku bisa merasakan jemariku yang mulai gemetar saat memegang sendok. Namun ada yang aneh, ada semut di dalam masakanku. Tak hanya satu. Jumlahnya banyak.

Aku melihat piringnya. Dia juga menyadari ada semut di sana. Aku bilang padanya untuk tak meneruskan makan karena semutnya terlalu banyak.

Dia bilang, "tidak apa-apa kok. Semua masakanmu akan saya makan. Semutkan protein. Daritadi saya makan semua semutnya."

Aku sendiri tidak sanggup meneruskan makan karena semut itu sampai masuk ke sela-sela daging. Sulit untuk bisa memisahkan semut dan dagingnya. Aku melihatnya terus makan sampai tandas. Ia tak mengajukan komplain apapun tentang makanan yang aku sajikan. Di sana aku menyadari bahwa lelaki ini memang benar-benar mencintaiku. Aku menyembunyikan wajahku yang menangis haru di balik pintu sebelum aku kembali bertatap muka dengannya.

Besoknya aku menelepon ibu untuk menceritakan kejadian itu. Aku bilang pada ibu bahwa mungkin aku tidak teliti saat menuangkan kecapnya. Aku tidak menyadari ada banyak semut berenang di dalam kemasan kecap yang aku gunakan.

Ibu bilang, "tidak apa-apa dibuang. Niatkan untuk memberi rezeki pada bakteri yang akan menghabiskannya."

Aku membungkus masakanku pelan-pelan sambil minta maaf padanya. Kemudian aku letakkan dengan hati-hati di pojok tempat sampah. Aku minta maaf pada semua orang yang lapar di hari itu karena aku membuang makanan enak yang bercampur ribuan semut hitam di dalamnya. Aku merapal maaf berulang-ulang seharian. Sebagai orang yang pernah merasakan derita menggigil berhari-hari karena lapar dan tak punya uang, membuang makanan adalah hal yang sangat emosional bagiku.

Pada pukul 4 pagi keesokan harinya, aku belanja ceker ayam dua porsi di tukang sayur dekat rumah. Aku mengolah segalanya dengan baik. Aku pastikan kali ini tidak ada semut. Sambil menunggu ceker ayam empuk, aku mengabari temanku bahwa aku berniat memberinya sup ceker ayam masakanku. Dia merasa tidak enak hati jika aku repot-repot memasakkan untuknya.

Aku tetap membungkuskan masakan untuknya. Bumbu sup itu pas dan cekernya pun terasa lumer di mulut. Temanku mengucapkan terima kasih sambil bilang bahwa sebenarnya ia memang sedang tak punya uang untuk makan. Kami ngobrol seharian sampai dia komplain soal tetangga sebelah yang membakar sampah. Kami batuk-batuk. Parahnya adalah, adegan di dalam paragraf ini sebenarnya terjadi di dalam mimpiku.

Nyatanya, aku ketiduran setelah memberitahu temanku bahwa aku masak sup ceker. Asap sampah yang membuat kami batuk-batuk berasal dari sup cekerku yang sudah gosong jadi arang di dalam wajan. Seluruh kamar penuh asap. Tak terasa, aku tidur lebih dari 5 jam karena semalaman tak bisa tidur. Aku segera berlari sambil batuk-batuk ke dapur untuk mematikan kompor.
Sup cekerku yang jadi arang
Aku buka pintu kamar lebar-lebar untuk mendapatkan udara segar. Segalanya bau asap. Termasuk mukena yang aku gantung di pintu kamar yang menggabungkan pintu dapur.

Untung saja aku segera bangun sebelum terjadi kebakaran. Untung saja kondisi gas dan komporku sedang baik-baik saja. Untung saja tidak ada benda apapun yang menyambar kompor. Aku menangis di depan kompor dengan wajan berasap itu karena bersyukur tidak terjadi kebakaran di kost ini. Karena beberapa hari lalu, warung bakso langganan yang lokasinya di tikungan Mampang 2 sudah habis dipanggang api.

Aku masih mencari-cari lagi hal yang bisa membuatku bersyukur.

Aku sadar kali ini, dalam masa penyembuhan ini, aku masih bisa menulis. Tentu saja bukan tulisan dengan deadline ketat dan jam kerja yang padat. Dengan segala keterbatasanku, setidaknya aku tetap berkarya.

Aku bersyukur bahwa kali ini aku punya laptop. Aku tahu deritanya tak punya laptop saat passion utama kita adalah menulis. Aku bersyukur selalu ada orang-orang terdekat yang mengingatkan bahwa aku tak seburuk monster yang ada di pikiranku. Aku bersyukur masih bisa berkarya di tengah keterbatasan. Aku bersyukur bahwa kali ini aku bisa dengan lega mengungkapkan perasaanku tanpa beban tanpa takut bahwa akan ada yang terganggu dengan tulisanku.

Aku bersyukur bahwa kali ini, aku merasakan hidup. Aku merasakan baik-baik hembusan nafas, debar jantung, air mata, lengkap dengan rasa lelah yang terus menerus aku rasakan. Karena artinya aku masih jadi bagian dari kehidupan ini.

Aku tahu bahwa pada akhirnya aku memilih untuk hidup setelah berkali-kali mengusir pikiran liar yang selalu mengajakku untuk mengakhirinya.

Aku memilih hidup dan aku harap kehidupan memelukku erat-erat di dalamnya. Sampai saatnya tiba.