Selasa, 12 Juni 2018

Luka yang sudah-sudah

Mungkin seperti ini rasanya hidup di dalam kutukan. Tiada langkah yang tak menciptakan luka. Ngilu-ngilu yang ditahan pada akhirnya terus digarami seiring berjalannya waktu. Aku mencium bau bacin keputusasaan menguar bersama udara yang menghembuskan api kecil hidup yang setengah mati dipertahankan.

Pada akhirnya semua orang menyelamatkan dirinya sendiri. Saat kita terluka, kita harus tetap tenang karena kemarahan kita bisa memadamkan nama baik seseorang. Bukankah mestinya itu yang harus dilakukan oleh seseorang yang punya nasib terkutuk?

Waktu nyatanya tak berjeda menyisah luka. Sepasang mata yang kering oleh air mata dipaksa terus mengerjab. Dada yang makin lama makin sesak mesti tetap berdetak. Butuh nyali untuk mati, butuh keberanian dan tenaga lebih untuk terus hidup.

Sampai kapan selongsong bernyawa ini menahan perih kutukannya?