Minggu, 15 Juni 2014

Soeharto Bukan Pahlawan!

Kemarin, aku dan Fatimah Zahrah makan malam di sekitar kampus Sanata  Dharma Jogja. Dekat dengan homestay kami. Kami mencari makanan yang sederhana tapi bukan yang edisi masakan Padang. Fatimah ngotot ingin makan sayuran karena dia ingin mempraktekkan Food Combaining, Aku juga ngotot tidak ingin makan di chiness food. Sejak dia di Jogja, dia memang berusaha untuk mempraktekkan food combaining supaya cacing dalam perutnya jadi lebih bahagia. Jadilah, kami makan di warung masakan Jawa.

Warung itu sama sekali tidak menarik. Etalasenya tidak menghadap sisi jalan, agak temaram, dengan televisi di pojok atas. Warung itu menjual bensin, minuman dingin dengan kulkas Coca Cola, dan pulsa. Saat kami datang, mereka sedang menonton TV One.

Aku agak ragu makan di situ. Selain tidak menarik, aku bukan penggemar masakan Jawa maupun warteg. Aku lebih suka makanan Sulawesi, Aceh, maupun Sunda. Sedangkan Fatimah adalah fangirl warteg, masakan Jawa dan warung Burjo. Tapi kami sudah berjalan lebih jauh dari yang biasanya. Akhirnya, kami memutuskan untuk makan di warung itu.

Ternyata pemilik warung itu adalah orang Flores. Menariknya, bapak dan ibu yang ada di warung tersebut menggunakan pin bergambar Prabowo-Hatta di bagian dada kanan bajunya. Dengan wajah sumringah, mereka bilang kalau mereka adalah tim sukses pasangan calon presiden No.1.

Kepada Fatimah, ibu itu bilang, "Sekalipun saya tim sukses capres nomer 1, saya sih tetap ingin mencoblos berdasarkan hati nurani. Jokowi itu orang baik. Dia sudah berbuat banyak dan dicintai rakyat. Terserah orang mau jadi tim sukses siapa. Yang tahu siapa pilihan sesuai hati nurani kita di kotak suara hanya kita dan Tuhan."

Fatimah menyambut pernyataan ibu itu dengan tertawa keras. Dia senang sekali ada orang yang bilang begitu kepada Jokowi. Aku hanya senyum-senyum mendengarnya. Karena tersenyum itu nomer satu. Presidennya nomer 2.

Fatimah dan ibu itu mengobrol seru tentang copras capres, pendidikan, pemberdayaan perempuan, anak, asal tempat tinggal, dan lain-lain.

Aku hanya ikut mengobrol bersama mereka sedikit-sedikit. Bukan karena tidak tertarik dengan tema obrolan. Tapi karena bapak pemilik warung juga mengajakku untuk mengobrol. Sehingga ada 2 forum yang berbeda di satu tempat. Kami sangat berisik. Beruntung tidak ada orang lain di sekitar kami yang ikut bicara maupun sekedar mendengarkan.

Topik yang dibicarakan oleh si bapak tidak jauh beda. Menariknya, bapak ini tetap akan memilih Prabowo dengan alasan, "Prabowo itu hebat, Sehebat Soeharto. Nanti jika Prabowo menang, akan ada kemandirian pangan seperti jaman Soeharto dulu. Indonesia akan berdaulat kembali."

Aku tersenyum, mengangguk-angguk, dan ber, "Oh ya? hmmm... Oh ya..." karena bapak itu berbicara dengan semangat tanpa bisa di interupsi.

Si bapak bilang, bahwa di jaman Soeharto, ada bayak lahan yang diganti dengan sawah sehingga lebih bermanfaat. Karena itulah, warga di luar pulau Jawa tidak perlu membeli nasi lagi dari Jawa. Dia bercerita bahwa ia termasuk yang kena dampak positif di masa Soeharto lewat program Repelita.

Program Repelita Soeharto diabadikan lewat perangko-perangko yang dikoleksi oleh 2 kakak ku yang memang punya hobi filateli. Saat aku SD, aku lebih tertarik dengan buku dan kertas surat yang lucu-lucu daripada filateli. Penyebutan Repelita membawa ingatanku kembali ke masa  lalu. Kalau tidak melihat koleksi perangko kakakku, barangkali aku tidak akan pernah tertarik dengan tema Repelita. Perangko itu bergambar macam-macam pembangunan Indonesia yang menjadi target peningkatan kualitas di berbagai sektor. Aku jadi tahu apa yang dimaksud oleh bapak dari Flores ini.

Berbagai macam gambar perangko Repelita.
(Sumber foto : http://kolektorperangko.blogspot.com/)
Setelah memuji-muji Soeharto, ia tampak sangat senang. Sesekali ia tertawa mengenang kejayaan Orde Baru dan kenyamanan hidupnya di masa lalu.

Aku bilang ke bapak itu, "Saya sih nggak suka sama Soeharto. Soalnya Ibu dan Bapak saya jadi tahanan politik tanpa proses pengadilan. Di jaman Orde Baru, semua yang tampak kritis dan berbahaya akan langsung dipenjara sekalipun tapa bukti yang kuat. Jangankan bapak ibu saya, Iwan Fals yang cuma nyanyi-nyanyi aja juga dipenjara."

Bapak itu memelankan tawanya, dengan agak kikuk, dia berkata, "Oh gitu ya, jadi saya salah sasaran ngomong ya. Hehehe, maaf..."

Kemudian aku bercerita tentang bapak dan ibu. Sudah pernah aku tulis kisahnya di blog. Aku tidak ingin menuliskan detail pembicaraan tentang bapak di postingan ini. Karena aku ingin membahas hal selain soal pemenjaraan.

"Soeharto sama sekali bukan Pahlawan. Dengan program Repelita, Indonesia yang awalnya memiliki makanan pokok bermacam-macam jadi disuruh makan beras semua. Pembukaan lahan itu untuk ditanami padi kan? Itu juga terjadi lho di Indonesia bagian Timur yang masyarakatnya makan sagu. Padahal Sagu itu lebih sehat daripada beras. Sagu punya karbohidrat seperti nasi, tapi dengan kadar gula yang rendah sehingga penderita diabetes aman mengonsumsinya. Dampak politik beras terasa sekali sekarang, kita semua jadi terbiasa makan nasi. Padahal pupuk sangat mahal. Lahan banyak yang sudah rusak karena musim tidak menentu. Gagal panen di mana-mana. Kita terpaksa ambil beras dari Thailand. Coba kalau dulu tidak menjalankan politik beras, ketergantungan kita terhadap nasi tidak akan separah ini."

"Oh iya?"

Si bapak kemudian bercerita bahwa dia lebih suka beras dari pada sagu. Di Flores, hanya orang yang sangat miskin yang mengonsumsi sagu. Sagu di Flores biasanya hanya untuk makanan ternak. Mereka baru tahu kalau sagu bisa dioleh menjadi makanan dari orang Irian Jaya (sekarang Papua dan Papua Barat) dan Maluku. Jika tidak ada nasi, maka mereka akan makan umbi. Jika tidak ada umbi, barulah mereka makan sagu. Sagu sudah ada di hutan-hutan. Tak perlu menunggu panen ataupun menanamnya. Tanaman sagu sudah tumbuh liar sehingga masyarakat Flores dulu mengiranya sagu itu hanya makanan babi.

"Di masa Soeharto juga, ada sebuah bendungan yang sangat besar bernama Kedung Ombo. Kedung Ombo ini ada di wilayah Boyolali, Sragen, Semarang dan banyak kabupaten lain. Saya ini numpang lahir di Boyolali pak, salah satu Kabupaten yang kena dampak Kedung Ombo juga. Saya pernah ke Kedung Ombo dan waduk itu seperti lautan. Sangat luas."

"Wah, ada kayak gitu ya? Sampai kayak Danau?"

"Benar. Sampai kayak Danau. Sampai detik ini, warga yang dulunya tinggal di wilayah Kedung Ombo banyak yang tidak dibayar tanahnya. Kalaupun dibayar, harga tanahnya juga terlalu murah. Tidak akan bisa membeli luas tanah yang sama di daerah lain berikut bangunannya. Orang-orang banyak yang mendadak miskin dan tidak punya apapun. Mereka tidak punya pilihan lain. Waduk akan tetap di bangun sekalipun mereka tidak mau pindah. Seperti Lapindo itu lho pak, saat sudah terbenam, warga bisa apa? Aliran air yang berasal dari sungai-sungai itu akan tetap membanjiri. Sudah puluhan tahun pak, belum dapat ganti rugi. Kalau lihat peta Jawa tengah, akan sangat jelas terlihat ada waduk besar bernama Kedung Ombo."

"Saya tidak pernah tahu ada Kedung Ombo sebelumnya. Jasa Soeharto banyak di Flores. Saya tidak tahu bahwa di daerah lain dan orang lain mengalami hal yang sebaliknya."

"Yang terkena dampak baik hanya segelintir orang pak. Banyak orang yang terkena dampak buruknya sampai sekarang. Kepemimpinan ala militer seperti yang dilakukan oleh Orde Baru dampak buruknya terasa sampai sekarang. Misal tentang apa yang menimpa bapak dan ibu saya. Apa yang menimpa warga yang dulu tinggal di Kedung Ombo. Dan ada banyak hal lain lagi yang bertentangan dengan akal sehat dan kemanusiaan kita."

Setelahnya, aku dan Fatimah berbicara kepada mereka bahayanya jika era Soeharto kembali berjaya. Termasuk gerakan, "Piye Kabare? Penak Jamanku To?"

Sudah pukul 20.30 saat itu. Sudah lebih dari satu jam kami mengobrol. Agak sulit menghentikan pembicaraan soal ini karena bapak dan ibu yang sejak tahun 91 sudah tinggal di Jawa ini begitu antusias dengan tema obrolan kita.

Aku dan Fatimah pamit. Kami membayar makanan yang harganya murah sekali, lalu bersalaman dengan mereka. Mereka bilang mereka senang berbicara dengan kami. Kami mengatakan hal yang serupa sambil berkata bahwa lain waktu, kami ingin makan di sana lagi.

Kemudian kami berpisah.

Dalam perjalanan menuju homestay, Fatimah bilang, "Si ibu itu pinter banget ya orangnya. Dia itu berpendidikan gitu lho. Open minded banget."

Aku mengiyakan. Ibu itu memang bercerita bahwa dia pernah menempuh pendidikan sekretaris. Tapi aku rasa ibu itu memiliki pengetahuan luas bukan karena pendidikan tingginya. Tapi karena ibu itu memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap keadaan sosial dan politik. Aku banyak menemui orang-orang yang berpendidikan tinggi tapi tak tahu apa-apa selain kenyamanan hidupnya sendiri. Bapak itu juga teman diskusi yang sangat baik. Lebih baik daripada orang-orang yang biasanya berdebat di twitter maupun facebook. Jauh lebih baik juga daripada anak-anak kuliahan yang sering berdebat dengan kata, "Pokoknya blablabla..." dengan sederetan ad hominem yang menjengkelkan.

Pulang makan malam itu, kami sangat bahagia. Tidak hanya soal harga makanan yang sangat murah. Tapi pembicaraan dengan ibu dan bapak pemilik warung memang benar-benar menyenangkan.

Kami benar-benar ingin kembali ke warung itu. Lain waktu.

***
Note : 

Jumat, 13 Juni 2014

Ahmadiyah : "Love for All, Hatred for None"

Tempo pernah memuat liputan tentang sejumlah Masjid Ahmadiyah yang disegel oleh golongan tertentu maupun pemerintah melalui SKB (Surat Keputusan Bersama) 3 Menteri. Konsep kerukunan beragama SBY yang melahirkan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) memang membuat minoritas makin terjepit oleh arogansi mayoritas. Pembangunan rumah Ibadah minoritas makin dipersulit. Rumah ibadah yang sudah berdiri jauh lebih lama dari SKB 3 menteri pun ikut terkena dampaknya. Penyegelan rumah ibadah dan persekusi terhadap komunitas Ahmadiyah terus terjadi. Terutama di Jawa Barat.

Ada sebuah kecenderungan bahwa di dunia ini ada banyak orang yang membenci apa yang tidak diketahuinya. Orang yang tidak tahu Syiah akan membenci Syiah. Orang yang tidak tahu Ahmadiyah akan membenci Ahmadiyah dan hal-hal lainnya. Ketidaktahuan membawa seseorang pada perilaku intoleransi. Riset dari Kemenag pada tahun 2010 tentang Kekerasan atas Nama Agama menyimpulkan bahwa semakin sedikit ilmu seseorang tentang agama, semakin membentuk perilaku intoleran. Jadi, silakan bercermin, saat seseorang mengkafirkan orang lain, apakah ilmunya sudah tinggi? Jika ada sebuah lembaga yang mengkafirkan umat beragama lain, apakah ia sudah benar-benar meneliti tentang agama/kepercayaan yang ia kafirkan?

Kata Rumi, dengan mata cinta, segalanya jadi indah. Bagaimana jika kita melihat dengan mata kebencian? Bukankah akan terjadi sebaliknya? Itulah mengapa, sebaiknya orang yang ingin tahu lebih jauh tentang ajaran yang hendak ia tentang mengetahui langsung dari sumber pertama berita. Bukan sekedar kata mereka. Kata ulama. Atau desas desus belaka. Gunakan prinsip verifikasi sekalipun anda bukan jurnalis. Toh agama sudah mengajarkan tentang konsep tabayyun.
Di depan masjid dan perpustakaan Masjid Ahmadiyah Arief Rahman Hakim Yogyakarta
Hari ini aku berkunjung dan sholat Jum'at di satu-satunya masjid Ahmadiyah Jogja. Masjid ini bernama Masjid Arif Rahman Hakim. Arif Rahman Hakim adalah seorang pemuda dalam puisi "Karangan Bunga" karya Taufik Ismail yang ditembak aparat di depan Istana Negara pada 25 Febuari 1966. Belum banyak orang yang tahu bahwa dia adalah seorang muslim Ahmadiyah.

Jamaah Ahmadiyah di masjid ini ramah-ramah. Mereka tidak memandangku dengan aneh saat shalat dengan menggunakan turbah untuk bersujud. Mereka juga tidak mempersoalkan aku yang sholat tanpa bersedekap. Berbeda jika aku shalat di masjid biasa. Orang biasanya akan memandangku dengan aneh dan bertanya ini itu mengenai perbedaan fiqih. Beberapa kali juga pernah langsung dituduh macam-macam hanya karena berbeda dalam fiqih. Bukankah ada perbedaan fiqih juga di tubuh Ahlussunah Waljamaah antara Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali? Sedikit perbedaan itu juga seharusnya bukan sesuatu yang perlu dipertentangkan lebih jauh. Karena sebanyak apapun tafsir maupun intepretasi umat terhadap agama, sumbernya tetap Satu. Kita menyebutnya Tuhan, Allah dan nama-nama Agung lainnya.

Jamaah Ahmadiyah tata cara sholatnya sama seperti Ahlussunah Waljamaah. Dari takbiratul ihram, bersedekap, rukuk, sampai bersujud. Mereka juga bershahadat, melakukan shalat, berpuasa, zakat dan haji. Persis seperti Muslim Sunni. Sayangnya, pemda Tasikmalaya sudah memberlakukan aturan bahwa jamaah Ahmadiyah dilarang melakukan ibadah Haji. Tentu saja ini merupakan pelanggaran terhadap kebebasan melakukan ibadah.

Khatib Shalat Jumat Ahmadiyah siang tadi berbicara tentang pentingnya pertemuan-pertemuan rohani untuk memperkuat silaturahmi antar anggota Ahmadiyah. Tidak ada khotbah kebencian terhadap pengikut aliran lain atau kepada capres tertentu. Wajar, Ahmadiyah memang menjunjung tinggi perdamaian. Di tembok masjid Ahmadiyah ini terpampang motto yang selalu dijunjung tinggi oleh para jamaah Ahmadiyah. "Love for All, Hatred for None."

Siapa yang siang tadi dapet khotbah sholat Jumat yang berisi kebencian dan provokasi? Mau pindah tempat sholat Jumat nggak? :))

PS :
Terimakasih untuk sahabat Ahmadi ku Fatimah Zahrah, yang memperbolehkan aku ikut mengunjungi sekaligus beribadah di masjid Arif Rahman Hakim ini. Terimakasih juga untuk Sita Magfira , mbak-mbak Filsafat UGM yang mau mengantar kami berdua ke masjid ini dan kemana-mana seputar Jogja di tengah kesibukan seputar perkuliahan dan perpacarannya. *peluk satu-satu*

Minggu, 01 Juni 2014

Lewati "Neraka" sebelum sampai ke "Surga"

Tanggal 28 Mei kemarin, untuk pertama kalinya untukku dan untuk teman-teman Yayasan PANTAU yang lain vakansi ke Pulau Pari, salah satu pulau dari banyaknya pulau kecil di gugusan Kepulauan Seribu.

Saat perjalanan menuju Muara Angke, di taksi, Mas Imam bertanya padaku, "Banu pernah ke kepulauan Seribu nggak?"

Aku jawab belum.

Dia tertawa dan bertanya sudah berapa lama aku di Jakarta sampai-sampai aku belum pernah ke sana "Ya, sekitar 4-5 tahunan gitu deh." Jawabku sambil cemberut, aku sadar kalau mau diejek mas Imam.

"Masih mending aku dong kalau gitu. Kamu kemana aja selama ini?." Kata Mas Imam dengan nada suaranya yang di buat setengil mungkin, "Aku lho, 10 tahun di Jakarta malah belum pernah ke kepulauan Seribu, Della juga belum pernah. Bahkan, Eva aja yang sejak lahir di Jakarta juga belum pernah ke sana."

Aku tersenyum, Ternyata toh aku bukan satu-satunya yang belum pernah ke sana. Jadi ini akan jadi pengalaman pertama yang sangat menyenangkan.

Pulau Pari itu kecil dan indah, hanya terdiri dari 4 RT yang bisa dikelilingi seluruhnya dengan bersepeda di jalan setapak yang di semen. Jika kita Kita bisa memilih jalur, mau bersepeda sambil menikmati pemandangan laut yang warnanya bergradasi dari hijau ke biru atau bersepeda di sela-sela rumah penduduk yang rapat.

Lihat sampah yang ada di sebelah kanan jalan setapak
Warga sekitar banyak yang menyewakan rumahnya sebagai homestay. Aku senang bahwa tidak terlihat ada hotel di sana. Beberapa paket wisata sudah menyewakan paket komplit dengan wisata air, homestay, sepeda dan makan sekaligus. Makanan yang disediakan juga khas masakan rumah, tidak ada menu khusus. Selain itu, ada banyak warung kopi dan mie instan di sana. Kira-kira setiap 2 rumah pasti ada warung, tempat penyewaan sepeda atau penyewaan alat snorkling di sana. Sebagian besar warga di Pulau Pari memang bekerja sebagai guide, penyedia katering untuk penghuni penginapan, warung dan nelayan.

Menyenangkan sekali mengetahui bahwa warga masih saling tolong menolong di sana sekalipun persaingan bisnis sangat ketat. Penjual martabak terang bulan mini yang berjualan keliling dengan sepeda bilang harus membeli semua bahan baku martabak di Jakarta untuk dipersediaan selama 2 minggu. Dia tidak khawatir dengan ongkos kapal yang meledak dari Pari ke Muara Angke karena tak perlu membayar tiket kapal. Walau pun berstatus orang rantau dari Banten, ia sudah berteman baik dengan ABK (Anak Buah Kapal) yang akan memberinya tumpangan gratis tiap ke Jakarta. Guide kami juga membawa kamera waterproof yang bisa digunakan untuk memotret di dalam air saat snorkling. Kamera itu ternyata milik bersama yang digunakan secara bergantian dengan guide lain juga. Sedangkan untuk memindahkan data dari kamera itu ke flashdisk turis, guide meminjam laptop teman yang digunakan secara bersama-sama. Guide yang mau memindahkan data cukup mengetuk pintu rumah pemilik laptop, maka pemilik laptop akan membantu guide itu untuk memindahkan data. Atmosfer kekeluargaan antar warga terasa sekali di sana. Bukti lain solidaritas warga adalah, bakso harga warga lokal itu hanya Rp 13.000, sedangkan harga turis Rp 15.000. Mungkin kalau Fahira Idris yang beli bakso di sana harganya juga Rp 13.000 karena dia memang menang pemilu legislatif di Kepulauan Seribu. Barangkali dia bisa dianggap warga lokal juga.

Gradasi warna air laut Pulau Pari
Angin yang berhembus di Pulau Pari tidak terlalu kuat bahkan di malam hari sekalipun. Ombaknya juga tidak besar sehingga kita tidak bisa berselancar. Di Pantai Perawan yang berpasir putih, ketinggian air maksimal hanya setinggi betis dan airnya pun hangat. Bahkan aku yang tidak bisa renang ini bisa tertidur lelap dan mengambang di tengah pantai tanpa takut hanyut atau tenggelam. Yang tidak ingin main air juga bisa duduk berteduh di bawah pohon yang rimbun dengan kursi dan meja berbentuk kayu. Aku sangat menikmati saat-saat di pantai Perawan, sampai-sampai, aku tidak pernah membawa handphone karena ingin main air sepanjang waktu daripada foto-foto. Makanya, aku tidak punya banyak foto yang berisi pemandangan Pantai Perawan.

Sayang sekali, di Pulau seindah ini banyak sampah yang hanyut dari Jakarta. Paling menonjol, sampah itu justru  "parkir" di sekitar Pusat Studi Oceanografi. Jalan setapak yang ada di Pusat Studi itu pun sudah rusak. Sampah juga terlihat di tengah laut maupun di pulau Tikus tempat kami mampir sebentar setelah snorkling. Sulit dipercaya bahwa pulau sekecil itu menampung berton-ton sampah yang semuanya berasal dari Jakarta. Bayangkan berapa jauh perjalanan sampah itu dari Jakarta ke Kepulauan Seribu.

Keluarga Yayasan PANTAU (kami biasanya menyebut dengan isitilah "anak-anak JS, singkatan dari Jurnalisme Sastrawi") tidak semuanya bisa berenang. Termasuk aku. Tapi kita tetap bisa menikmati berbagai olahraga laut seperti snorkling, sofa boat, banana boat, dan permainan random lain. Permainan paling berkesan ada di sofa boat. Kapal karet kami ditarik boat dengan kecepatan tinggi sampai kami terpental, teriak histeris dan harus berpegangan pada tali yang berada bak kemudi kuda milik Prabowo. Kalau tidak berpegang kuat pada "kemudi" itu, kita akan benar-benar jatuh ke tengah laut. Tapi tidak perlu khawatir tenggelam jika jatuh ke laut, kita sudah memakai rompi yang membuat kita mengambang di laut sekalipun tidak bisa berenang. Banana Boat juga epic. Karena kita memang sengaja dijatuhkan di tengah laut saat kecepatan tinggi. Ada guide yang duduk di bagian belakang dan ikut menggulingkan Banana itu agar banana nuya jadi terbalik sehingga kita semua akan jatuh di tengah laut, lalu si guide membantu kita menaikinya kembali.

Norman, berpose hampir jatuh di jalan setapak
 Pusat Studi Oceanografi Pulau Pari yang rusak.
Guide dengan senang hati mengajari yang tidak bisa berenang. Yang diajari itu termasuk aku. Kata guide itu kepadaku, "Jangan takut nahan nafas mbak, gimana bisa berjuang kalau berenang aja nggak bisa." Sekalipun diberi semangat begitu, aku tetap saja gagal berenang.

Aku menguasai prinsip-prinsip berenang, gerakan maupun teorinya. Aku hanya tidak bisa mengatur nafas dan terlalu takut membuka mata saat berada di bawah air. Karena aku memang tidak melepas softlens ku. Jika aku renang dengan melepas softlensku, maka aku akan gagal melihat apapun. Padahal kan keindahan laut dan sekitarnya terlalu sayang jika dilewatkan. Aku tidak punya kacamata minus soalnya. Lagian, siapa yang mau berkacamata minus saat berenang? Aku sempat tidak sengaja menelan beberapa teguk air laut saat belajar renang. Tidak apa-apa. Hanya saja, mulutku jadi terasa sangat asin dan kebas seperti habis makan kuaci.

Sebelum menuju Pulau Pari, kami harus naik kapal di Muara Angke. Heran juga, kenapa daerah yang menjadi akses utama pariwisata menuju Kepulauan Seribu begitu kumuh dan kacau seperti sebuah daerah tanpa pemerintahan. Bau busuk sampah bercampur ikan, genangan rob yang super keruh, semrawut kendaraan, jalanan rusak dan becek seolah jadi sebuah tugu peringatan bahwa kita terpaksa melewati "neraka" dulu sebelum menikmati "surga" di pulau seberang. Padahal ada bangunan pemerintah berarsitektur modern yang mirisnya bersebelahan dengan pasar yang kotor.

Di dermaga Muara Angke, kapal-kapal diparkir sangat rapat satu sama lain. Aku awalnya heran bangaimana kapal yang berdempetan ini bergerak nantinya. Tapi ternyata tambang-tambang yang mengikat dan melintang di sekitar kapal punya peranan penting dalam memposisikan kapal agar muat berjejalan di dermaga yang tidak terlalu luas. Kapal nelayan maupun pengangkut turis sejajar seolah tidak ada kasta antara angkutan untuk manusia dan angkutan untuk ikan. Air di dermaga keruh dan banyak sampah dibuang sembarangan. Aku tidak tahu apa saja upaya yang dilakukan untuk membuat laut bisa bersih.

Muara Angke
Ada sebuah penelitian yang aku baca waktu SMP. Aku lupa penelitian itu dikeluarkan lembaga apa. Penelitian itu bilang kalau Ibu hamil tidak baik terlalu banyak makan seafood karena bisa membuat anak jadi autis. Karena seafood yang berasal dari perairan yang kotor akan membuat ikan-ikan itu jadi tidak sehat dan membuat perkembangan anak dalam kandungan terganggu. Jelas saja begitu penelitian yang keluar, air lautnya sekotor ini. Pasti ikan-ikan itu makan banyak limbah karena sampah ini memang minta ampun banyaknya. Aku perhatikan sepanjang perjalanan, ada banyak ikan-ikan yang mengambang di laut dalam keadaan mati. Aku sih hanya berharap ikan yang mengambang itu tidak mati sia-sia dikarenakan bunuh diri sebab cinta yang tidak terbalas. Aku berharap ikan itu hanya gagal dijaring nelayan.

Hal lain yang disayangkan, tidak semua keluarga JS bisa ikut bersama. Bang Andreas Harsono, Kak Sapariah Saturi terpaksa tidak bisa ikut karena si kecil Diana tidak enak badan. Bang Andreas khawatir Diana akan semakin sakit karena kecapekan.

Kak Ari (Panggilan Sarariah Saturi) bilang, "Wah, paket wisata kalian dikurangi tuh. Harusnya ada bagian tanam Mangrove nya. Sudah kita pesan itu. Mereka kok nggak kasih." Sangat disayangkan ya. Pasti seru kalau pihak guide memenuhi janji mereka untuk ajak kita tanam Mangrove.

Selama di sana, kartu selulerku gagal menangkap signal sehingga aku tidak banyak membuka social media. Setelah merapat ke Muara Angke, notification jejaring sosialku penuh sekali. Dari twitter, facebook, email, whatsapp, Line, dll. Aku juga mendapat kabar buruk tentang penyerangan Paskah di Sleman dan peristiwa-peristiwa lainnya seputar keberagaman.

Aku jadi sadar, ternyata kita memang bisa memilih untuk cari aman dengan mematikan saluran informasi untuk membuat hidup kita lebih tenang dari urusan-urusan yang bukan menyangkut hidup kita secara langsung. Ignorance itu bisa dilatih kok, begitupun tentang kepedulian. Hidup yang berisi kesenangan-kesenagan terus ternyata tidak nyaman untukku. Kalau aku terus menerus berlibur dan tidak tahu apa yang terjadi di luar sana, barangkali aku akan jadi bagian dari silent majority yang terbiasa tak peduli selain tentang keselamatan dan kesenangan diri sendiri. Aku tidak mau menjadi kelas menengah ngehek yang menabung untuk berlibur agar bisa "lari" dari hiruk pikuk kota.

Saat masih di pulau Pari, aku mendengar mas Imam dan kak Della yang handphonenya masih bisa menjangkau internet membicarakan tentang wartawan kompas TV yang dikeroyok. Iya sih, aku nguping pas mau ke kamar mandi dan mereka sedang berada di depan TV. Di TV juga sudah menayangkan peristiwa itu, tapi aku bukan orang yang senang menonton TV sekalipun tidak ada alternatif informasi lainnya. Traveling bersama dengan orang-orang yang tidak hanya sibuk dengan dirinya sendiri itu membawa manfaat positif. Terutama tentang memelihara kepedulian. Di taksi saat perjalanan pulang, mas Imam dan kak Della menjelaskan juga tentang keterlibatan Bakrie di lumpur Lapindo ke supir Taksi. Pengetahuanku tentang kasus itu juga jadi bertambah. Jadi, saat bepergian, yang penting tidak hanya tempat tujuan kita, tapi dengan siapa kita pergi.

Jujur saja, aku suka traveling, tapi aku tidak suka menabung untuk traveling karena ada banyak anak-anak lain yang membutuhkan uang berlibur kita untuk sekolah. Ada banyak kok program orangtua asuh yang hanya butuh sumbangan Rp 50.000/bulan untuk membiayai 1 orang anak asuh. Lagipula, cara hidup senang-senang seperti itu sepertinya bukan tujuan penciptaanku. Aku akan tetap menikmati kesenangan sekali-kali, tapi bukan dengan perencanaan. Aku suka hal yang spontan. Seperti perjalanan ini yang tiba-tiba berangkat vakansi, gratis pula.

Pasukan JS berpose di depan homestay sebelum snorkling
Pada akhirnya, aku mau mengucapkan terimakasih kepada Mas Imam, Mbak Della, Norman, Kukuk, Keluarga mas Udin, Mbak Eva, Kak Ruth yang membuatku merasa nyaman seperti berada di keluarga sendiri. Makasih juga buat Mas Andreas yang tiba-tiba ngajakin piknik bersama PANTAU. Januari lalu aku hanya "nyelonong" sebagai siswa JS biasa seperti yang lainnya. Tiba-tiba aku bisa diajak ikut piknik bersama seperti ini seolah aku juga bagian dari pengurus Yayasan PANTAU. Padahal kan bukan. Kalau begitu, kapan-kapan main bareng lagi ya.