Rabu, 27 Mei 2015

Daripada Googling, Mendingan Ducking

Kalau pakai komputer umum di perpustakaan Kampus Paramadina, kita bakal ketemu sama OS Ubuntu dengan browser Mozilla Firefox, sepaket sama search engine Duck Duck Go sebagai defaultnya.

Awalnya, responku adalah, "Duck Duck Go? Ini apaan deh?" -___-

Panca Indraku selalu sensitif kalau menyangkut Bebek. Kemunculan sesuatu yang ada hubungannya dengan Bebek bisa langsung bikin perut laper. Inget, betapa nikmatnya sepiring penuh Nasi Bebek Madura traktiran yang diracik secara ajaib lewat tangan orang Madura sampe dagingnya bisa empuk gitu, plus sambelnya yang pedes, berminyak, dan kehitaman. Mestinya pencipta resep Nasi Bebek Madura dikasih penghormatan setinggi pencipta Nutella. Tapi karena humble, ia lebih milih jadi semacam Zorro di dunia kuliner. Seorang pahlawan bertopeng pembasmi makanan nggak enak yang identitasnya nggak dikenal warga sekitar karena niatnya yang tulus pengen jadi pemadam kelaparan siapa aja yang di kantongnya ada duit sekitar Rp 15.000.

Baiklah, ini bukan mau ngeblog soal makanan, ini mau ngeblog soal Search Engine. Ada baiknya, kita melupakan Nasi Bebek Madura sejenak dan kembali ke Duck Duck Go.

Laman yang ditampilin duckduckgo.com adalah Bebek unyu berdasi kupu-kupu yang bukan Donald Bebek dengan lingkatan warna orange. Background putihnya sih sama kayak google.com ya.

Perhatianku yang awalnya fokus di tanda Bebek berpindah ke jargon bawahnya, "Search engine that doesn't track you"

Wah, menarik!

Aku sadar bahwa google menggunakan informasi yang aku berikan pada mereka untuk iklan dan kepentingan lainnya. Lebih ekstrimnya -kalau menurut Edward Snowden sih- google memang memata-matai aktivitas online kita. Iya. Kerasa kok.

Misalnya, pas Google suka kasih saran bacaan yang ada hubungannya dengan hal-hal yang aku sukai, kayak Taylor Swift. Ada juga soal tempat yang pernah aku cari lokasinya, orang-orang yang pernah aku stalking, gambar yang pernah mampir di HPku dan sebagainya. Ngeri aja jika suatu hari akun googleku -karena satu dan dua hal- tiba-tiba berpindah tangan, orang itu akan tahu sepenuhnya hal-hal privacy yang membuatku penasaran sampe-sampe mesti nyari lewat internet. Padahal, rasa penasaranku yang tinggi terhadap sesuatu kadang membawaku pada hal-hal tabu yang cukup "gelap".

Aku pernah baca, seorang kawan Facebook ikut mempromosikan Duck Duck Go dengan penekanan soal privacy. Nggak banyak yang keliatan minat. Mungkin karena dia emang bukan seleb Facebook macam Jonru.

Berdasarkan pengalamanku saat mengobrol dengan orang lain soal privacy berinternet, kebanyakan orang justru tak peduli hak-hak privacynya sendiri dan malah bilang, "Emang gue sepenting apa sampe segitunya amat ngurusin privacy? Kalau gue orang penting kek pejabat, presiden, intel, baru deh ati-ati. Nggak ada aktivitas gue yang aneh-aneh sampe perlu ngelindungin diri segitunya banget lah."

Kalau kata Edward Snowden, "Kalau elu nggak ngehormatin privacy diri elu sendiri pas internetan dan pasrah gitu aja diintipin sama negara dan korporasi, artinya elu nggak ngehargain diri sendiri."

Aku sendiri, sekalipun sadar soal privacy, masih sering bolong di sana sini. Buktinya, sampe kemaren, aku masih pake google di laptop sebagai default search engine. Cuma karena males utak-atik settingan Google Chrome sik. Bukan alesan lain.

Sampai akhirnya, aku menemukan masalah ini selama berhari-hari tiap kali lagi googling


Kenapa bisa begitu? Kata Mbak Courney yang nulis Support Google, ada lalu lintas tak biasa di jaringanku dengan berbagai penjelasannya. Aku merasa tak ada yang salah dengan lalu lintas, internet, browser, OS, maupun laptopku. Aman. Aku pakai OS Linux Mint yang bebas virus juga kok. Nggak ngerti lah cara benerinnya gimana. Berasa gaptek.

Lama-lama nyadar juga, mungkin solusinya bukan benerin. Mestinya cukup ganti default search enginenya pake yang lain.

Ganti settingan default di laptop juga gampang ternyata.

Klik bagian kanan browser, tepat di bawah tombol close yang ada tanda strip 3. Klik Setting di atas About Google Chrome.

Di menu Search, Duck Duck Go tak ada dalam daftar search engine. Adanya Yahoo, Ask, Bing, Delta, dan sebagainya. Kita mesti ngatur mesin pencari yang dimaksud secara manual.

Klik Manage Search Engine, scroll terus ke bagian paling bawah di bagian Other Search Engines. Ada kolom kosong, ketik aja di sana Namanya pake Duck Duck Go dan Urlnya pake duckduckgo.com.

Setelah itu, arahin kursor ke bagian yang baru aja kita ketik. Muncul tulisan Make default dengan background warna biru di sebelah paling kanan kolom URL. Klik aja tuh.

Berdasarkan pengalamanku, Tulisan Make Defaultnya  nggak langsung muncul di list yang bisa dijadiin default. Eh, pas nyoba besoknya, baru bisa.

Nah, kalau gagal muncul Make Defaultnya, jangan putus asa yak.

Setelah jadiin Duck Duck Go default search engine dalam setting, kita bakal disambut layar kayak gini tiap kali ngetik pencarian di kolom URL pada browser.


Kalau belom yakin soal udah keganti defaultnya apa belom, Duck-Duck Go masih nawarin ke user buat jadiin mereka default search engine di laman depannya. Klik aja, bakal muncul jendela kayak gini. Abaikan URL yang aku ketik di browser yak. Tadi rencananya emang mau cari info soal NPWP (ups! Privacy nih :p). Jangan salah kira kalau itu emang URL buat nyetting Duck Duck Go ya ya ya.



Klik aja bagian "Klik Di Sini". Selesai deh. Udah keganti.

Karena masih penasaran, aku klik Help Spread Duck Duck Go yang posisinya ada di bawah kolom keyword laman depan.

Ketemu laman ini. Khas Open Source, mentingin privacy dan kolaborasi


Sebagai seseorang yang ehm sebisa mungkin melakukan perlawanan terhadap hegemoni ehm, kalimat, "We're up against billion-dollar giants, but we've got awesome people like you on our side" ini menggetarkan sekali.

Gara-gara itu, jadi inget demontrasi 99% nya Occupy Wall Street, Inget kapitalisasi OS Windows yang harganya mahal dan bikin orang mesti ngebajak software karena orang-orang nggak mampu beli OS asli. Dan inget juga banyak hal baik lainnya yang bersifat perjuangan melawan mentalitas populer. Yaitu mental yang berisi hal mainstrem tapi sebenernya nggak mutu.

Gara-gara tergugah sama kalimat itu, aku juga langsung login di website resmi Duck Duck Go.


Ngomong-ngomong, Handphone yang auto-correct nya aktif biasanya nggak akan ngenalin kosa kata "Fucking" sebelum kosa kata itu diinput secara manual. Kata "Fucking" bakal langsung ketulis "Ducking". Gara-gara itulah, kosa kata Slang "Ducking" mulai muncul dan dipake misuh.


Kita selalu nyebut aktivitas nyari informasi lewat mesin pencari Google dengan kata "Googling". Kalau pake Duck Duck Go, aktivitas yang kita lakuin jadi Ducking kali ya. Meskipun ada sih kosa kata "Duckling" dengan arti yang beda. Milih pake kata apa? Ducking apa Duckling?

Aku sih pilih Ducking.

Jadi, kalau pas ditanya orang, "Eh, Lagi ngapain lo? Sibuk amat."

Tinggal dijawab, "Lagi Ducking nih."

Anggep aja mulutnya lagi auto-correct.

Update!

Alternatif aja nih, kalau pakai Google Chrome, sebenarnya bisa langsung add extention via Google store, klik di sini. Tinggal add to chrome aja.

Hasilnya bakal kayak gini, aku tandain pas logonya ya di bagian kanan atas. Ini lebih gampang daripada berbelit kayak cara di atas. :p


Coba gih.

Minggu, 24 Mei 2015

Sebuah PAUD Tak Biasa yang Aku Lupa Ada di mana...

Tahun 2008, selepas SMA, aku pernah mengajar di sebuah PAUD gratisan, khusus orang miskin di daerah Sukoharjo. Lupa nama pasti desanya apa. Apakah Gatak, Baki, atau Gawok. Aku tak familiar dengan pelosok desa di daerah satelit Solo. Apalagi, lokasinya lumayan jauh dari pusat Kota Solo, mesti lewati pinggiran sawah-sawah dulu. Jalur yang dilewati untuk bisa sampai sekolah lebih mirip sungai kering daripada jalanan biasa.

Setiap kali berangkat ke sekolah, aku naik motor bermesin 2 tak milik Ibu. Padahal, saat itu, sudah ada anjuran dari kepolisian untuk mulai mengganti mesin motor 2 tak dengan mesin 4 tak. Gasnya berat, suaranya berisik, guncangan yang ditimbulkan saat jalanan tak rata ampun-ampunan.

Di pelataran PAUD, ada arena permainan mandi bola. Entah sumbangan donatur, atau memang dibeli oleh pemilik sekolah. Sayangnya, anak-anak hampir tak pernah bisa main di "kandang" mandi bola itu karena tempat itu sering dihuni oleh Ular sawah. Entah dipakai si Ular untuk ganti kulit, kawin, pipis, tidur, dan lainnya. Segala macam trik sudah dicoba untuk mencegah ular masuk. Tapi sia-sia. Anak-anak jadi tak bisa main mandi bola yang jadi kemewahan bagi mereka. Apalagi saat itu memang ada video klip lagu anak-anak yang salah satu adegannya si penyanyi dan kawan-kawannya sedang asik mandi bola, lupa judulnya. Anak-anak suka curhat ingin sekali bisa main seperti itu. Ingin bisa seperti anak-anak yang lain.

Mindset 'ingin seperti anak-anak yang lain' inilah yang sering kita lawan. Pembina sekolah mewanti-wanti kami -para guru yang jumlahnya hanya 3 orang- untuk tidak menanamkan rasa 'ingin seperti orang lainnya' itu ke anak-anak. Mereka tak perlu diajari sebuah standar "normal" seperti yang ada pada umumnya. Menjadi beda karena pilihan atau karena keadaan itu mestinya adalah hal yang biasa.

Kita menerapkan konsep itu mulai dari hal yang terkecil.

Misalnya, tak perlu pakai seragam, tak perlu pakai sepatu jika memang tak punya. Boleh pakai baju apa saja yang dipunyai. Tak harus bagus. Kami sudah bersyukur jika para orangtua yang rata-rata dari kalangan tidak mampu itu sudah mau peduli pendidikan anak. Rasanya sangat bahagia jika melihat para orangtua rela antar anaknya sebelum berangkat ke sawah atau tunggui anaknya sampai selesai. Sekolah memang tak ingin merepotkan orangtua lebih banyak.

Sekalipun judulnya adalah PAUD, tetap saja ada anak usia 7 dan 8 tahun yang bergabung bersama kami. Mereka belum bisa baca buku dan orangtuanya terlalu minder untuk masukkan anaknya ke SD. Takut disuruh bayar seragam dan pungutan macam-macam. Guru utama mengajari 2 orang siswa yang lebih dewasa dari teman-temannya itu agar siap masuk SD, nanti PAUD akan bertanggung jawab memasukkan siswa tersebut ke SD yang mau menampung mereka dengan gratis.

Guru yang mengajari anak membaca dengan metode Desa Huruf itu menjamin bahwa anak ini bisa tetap ikuti sekolah seperti biasa sesuai umurnya. Bahkan sudah bisa membaca. Metode Desa Huruf memang berbeda dengan metode belajar membaca pada umumnya. Yang aku sesalkan, aku belum sempat belajar detail-detail metodenya. Yang jelas, anak bisa lebih cepat bisa membaca berbagai macam kosa kata tanpa perlu repot menghafal banyak nama-nama huruf. Sehingga belajar jadi sangat menyenangkan.

Selain soal kebebasan memakai pakaian apapun, pemilik dan pendiri sekolah, Bu Dewi Kuhnle, mewanti-wanti kepada kami untuk tidak mengajarkan hal-hal seperti 4 Sehat 5 Sempurna karena tak mau anak-anak jadi menuntut orangtuanya makanan sesuai standar pemerintah yang tak beri solusi konkrit soal kelaparan dan gizi buruk tertentu. Orang tua belum tentu mampu beli susu dan daging. Paling pol, gurulah yang minta ke orang tua langsung untuk memberi makan anak sayur-sayuran sederhana dari kebun sendiri, seadanya. Bisa Daun Singkong, Bayam, Daun Katu', Kangkung, dan sebagainya. Syukur-syukur kalau ada telur, daging atau ikan. Walau jika tak ada makanan itu, tentu saja tak apa-apa.

Tapi sekolah sediakan Susu gratis untuk semua anak setiap hari Jumat. Merk apa saja. Yang penting susu.

Yang membagikan susu itu adalah Michelle, anaknya Bu Dewi. Katanya, biar Michelle belajar sejak dini untuk memberi dan tak kikuk berhadapan dengan anak-anak yang kurang mampu. Michelle suka sekali menyanyi, modeling, mendalang, dan kini beberapa kali tampil di TV.  Dia juga sekolah di PAUD tersebut. Sekalipun sekolah itu gratis dengan berbagai keterbatasannya, Bu Dewi sangat percaya diri bahwa apa yang diajarkan di sekolahnya adalah pendidikan yang berkualitas. Buktinya, anaknya sendiri sekolah di sana. Bukan sekolah di PAUD mahal yang saat itu sedang menjamur di Solo, dengan berbagai merk berbahasa Inggris maupun dengan embel-embel terpadu.

Soal tak diajarkannya 4 Sehat 5 Sempurna itu, aku pikir, benar juga sih. Gara-gara konsep 4 Sehat 5 Sempurna ini, aku pernah menyalahkan orang tua, kenapa tidak selalu ada daging? Kenapa tidak selalu ada susu? Kenapa makanan kita begini dan begitu? Kenapa di meja makan tidak ada makanan yang telah diajarkan oleh guru di sekolah?

Sebagai guru art and craft, aku mengajari anak-anak untuk mewarnai dengan warna apapun yang sesuai dengan imaginasi mereka. Seorang ibu yang sedang tunggui anaknya pernah melarang si anak untuk mewarnai buah pisang dengan warna merah. Dia bilang, seharusnya pisang itu warna kuning. Aku bilang, tak masalah jika pisang warna kuning, hijau, merah, ungu, coklat atau apapun. Anak juga dibebas mau menggunakan sarana spidol, crayon, pensil warna ataupun cat air. Apa saja dibolehkan sesuai dengan kenyamanan mereka.

Ibu itu tetap merasa aneh, dia melihat di TK Komersil lainnya, guru menginstruksikan warna dan sarana mewarnai supaya anak tahu apa yang harusnya diketahui siswa soal warna pada buah-buahan. Karena, bagaimana pun, di dunia ini tak ada wortel berwarna biru. Aku katakan padanya lagi, suatu hari dunia akan makin maju. Akan ada orang-orang -yang disebut peneliti- yang akan berhasil membuat Pisang berwarna Merah, Anggur berwarna Pink, Semangka berwana orange, dan sebagainya. Bahkan mungkin, anak-anak sendirilah yang mewujudkan imaginasi mereka yang saat ini tampaknya belum pernah ada. Ibu itu mengerti bahwa warna, seperti halnya pikiran, tak perlu seragam, tak perlu harus sesuai dengan ketentuan yang biasa diyakini masyarakat pada umumnya.

Selain soal mewarnai, yang aku ajarkan adalah craft, menyadur barang bekas. Kadang membuat wayang-wayangan dari tusuk lidi, membuat hiasan rumah dari gelas air mineral, origami dari kertas koran, membuat boneka dari kulit telur, dan sebagainya. Karena masih sangat kecil, sebagian alami gagal gunting, gagal tempel dan gagal hias. Tapi mereka tetap gembira karena bisa membuat mainannya sendiri. Dengan bahan-bahan yang ada di sekitar mereka.

PAUD ini sempat terhambat karena dituduh lakukan Kristenisasi. Pendiri dan Guru utama memang beragama Kristiani. Tapi kan ada aku dan satu pengajar berjilbab lain yang ikut berkontribusi. Jelas kami muslim, bahkan ada pelajaran mengaji di PAUD. Tapi yang namanya prasangka buruk itu ya ada saja. Warga desa sampai adakan rapat yang undang pengurus sekolah untuk berdialog dan klarifikasi tuduhan yang ada.

Aku tak sempat mengikuti perkembangan kasusnya karena mesti pindah ke Jakarta, mempersiapkan hal-hal terkait kuliah.

Aku tidak tahu apakah PAUD Mutiara Hati saat ini masih berjalan atau tidak. Sekalipun berteman di Facebook dengan Bu Dewi dan Michelle, aku tak pernah bersapa dengan mereka. Hanya saja, postingan Michelle -yang kini sudah tampak lebih dewasa dan sudah jadi artis- sering muncul di lini kala Facebookku.

Tadi siang, aku bersama seorang kawan mengobrol di sebuah taman sekitar Kalibata. Ada banyak anak-anak dan arena bermain di sana. Tiba-tiba aku teringat PAUD kecil itu dan jadi rindu. Rindu sekali mengajar dan temani anak-anak bermain.

Rindu tiba-tiba dipeluk dari belakang atau dilendoti oleh anak-anak, dan dengan kemanjaan yang menggemaskan, mereka bilang, "Aku sayaaaaang... sama Bu Guru."

Rasa rindu itu bercampur geli. Mengingat, betapa kikuknya aku yang baru saja lulus SMA dipanggil Bu Guru oleh para orang tua dan anak-anak. Merasa tua. Padahal, sama sekali belum tua. Masih 18 tahun saat itu. Merasa kurang pengalaman juga. Pun, segala aktivitas di sana segalanya bisa dilalui dengan sangat menyenangkan. Walau pastinya, tetap ada kekurangan di sana sini. Misal, aku pernah terlambat datang karena alasan konyol.

Aku nyasar. Padahal, berulang berhasil sampai lokasi tepat waktu, tepat lokasi.

Karena itulah, aku tak mau lagi mencoba jalur alternatif lainnya menuju PAUD. Aku pikir, mungkin ada alternatif jalan yang lebih beraspal yang barangkali bisa aku lewati. Aku jelas-jelas salah kalkulasi, baik arah, jarak, maupun waktu.

Aih... Suatu hari, aku ingin punya kesempatan untuk mengajar anak-anak PAUD lagi. 

Sabtu, 23 Mei 2015

Indah Koen

Setiap kali berkomunikasi dengannya baik secara langsung maupun lewat chatting, aku selalu lupa bertanya kenapa dia menyingkat namanya dengan nama Indah Koen. Padahal, dari nama panjangnya, dia bisa memilih beberapa nama nyentrik, seperti Indah Koes (tanpa Plus), Indah Kust, Indah Kusut, Indah Kunty dan sebagainya.

Dia menulis besar-benar nama penanya itu di rak buku kamar yang sebagian besarnya berisi novel, buku kuliah maupun filsafat. Saat itu dia hanya bercerita padaku, kalau hampir setiap sastrawan punya nama pena. Untuk melindungi diri, maupun sebagai jati diri. Misal, Motinggo Busye  -tokoh yang karyanya ia jadikan skripsi- bilang bahwa sesungguhnya hanya Malaikat dan Tuhanlah yang berhak tahu nama aslinya. Ada juga Remy Sylado, Marga T, dan lainnya.

Selain menulis nama penanya, dia juga menulis sebuah sajak pendek di rak buku itu.
Aku ingin jadi Zulaikha,
yang mencintai Yusuf
tanpa harus terluka
Menurutku yang masih SD, sajak itu sangat keren. Tapi di akhir masa SD, setelah membaca Novel Roman Alegoris Yusuf dan Zulaikha karya Abdurrahman Jami', aku jadi kurang sepakat dengan sajak itu. Dari yang aku baca, Zulaikha mengalami berkali-kali masa patah hati dan penderitaan karena cinta sebelum bisa bersatu dengan Yusuf. Setelah Yusuf meninggal, Zulaikha bahkan lebih menderita lagi. Jadi, aku setengah mati ingin mengganti nama Yusuf dan Zulaikha dalam sajak itu.

Ternyata aku kesulitan mencari tokoh yang sesuai. Aku rasa, tokoh Zulaikha dan Yusuf di sajak itu tidak perlu diganti. Karena pembacaan Mbak Indah terhadap tokoh tersebut dan makna yang dimaksudnya pasti berbeda dengan pembacaan dan makna yang aku tangkap. Kenyataannya, kami memang tak pernah membahas sajak itu lebih lanjut.

Di mataku, dia adalah gambaran ideal seorang mahasiswa. Dia pintar, banyak baca buku, bergelut di dunia sastra, pengurus organisasi pecinta alam di kampus yang hobi naik gunung dengan ospek yang sangar, ikut organisasi yang isinya orang-orang pinter, jadi gebetan banyak orang, jago Silat pula.

Dulu, begitu membuka sepatu, jempol kakinya akan mengeluarkan bau busuk karena kebiasaan naik gunung dan menapak di berbagai medan menghancurkan struktur jarinya, Dia juga sering melakukan ritual ngutak atik jempolnya itu dengan gunting kecil yang runcing di ujungnya. Seram. Mukanya juga gosong berbintik-bintik kehitaman karena terlalu lama terbakar matahari. Alas bedak tak bisa menutupi bintik-bintik itu. Kulit tangan dan wajahnya juga belang-belang. Betisnya juga sebesar tiang listrik. Dia sering ngotot bilang kalau dia itu tidak gendut, tapi bertulang besar. Sekalipun begitu, dia cantik, pintar, pemberani, dan mandiri. Dia itu cewek intimidating.

Dia pernah pingsan karena kena gas air mata dari aparat saat demo Reformasi. Solo membara saat itu. Aku masih 7 atau 8 tahun saat mendengar kabar dia masuk rumah sakit karena keracunan. Hingga kini, aku tak tahu detail ceritanya. Saat itu aku tak begitu khawatir dengan kondisinya. Sederhana sih, aku tak paham gas air mata itu apa. Yang jelas gas itu cukup membuat kakakku yang tangguh pingsan. Lagipula, jika aku khawatir, aku harus berbuat apa? Boyolali-Solo cukup jauh dan tak ada tempat aman. Aku juga lupa detail kejadiannya. Sampai sekarang aku tak dapat cerita lengkapnya bagaimana. Saat itu, hampir semua mahasiswa yang demo dihadiahi gas air mata. Untunglah dia tak ditembak ataupun diculik tentara.

Saat membaca komik politik soal Reformasi yang tokoh utamanya Amien Rais, aku sering membayangkan mbak Indah adalah salah satu mahasiswa yang di ilustrasikan dalam barisan mahasiswa yang ikut berdemo itu. Ada beberapa scene dalam komik tersebut yang menggambarkan betapa rusuhnya demonstrasi mahasiswa di Solo.

Setelah lulus kuliah, mbak Indah cerita kalau IPKnya tidak tinggi. Hanya rata-rata. Aku maklum, dia sibuk beraktivitas di luar urusan kelas dan bekerja. Bagiku, itu lebih bermanfaat dari pada mahasiswa yang rajin ikut kelas dan meraih nilai tinggi tapi cuma ikuti sistem perkuliahan yang gitu-gitu aja.

Aku sangat menikmati suara mesin ketik pada tengah malam saat dia harus mengerjakan tugas kuliah dan saat dia mesti menulis puisi atau cerpennya. Karya yang ia buat biasanya dikirim ke koran lewat pos. Tentu saja, email belum populer saat itu.

Kami -aku dan mbakku yang lain- sering menanti datangnya koran Suara Merdeka Minggu sampai ke rumah kami. Siapa tahu ada karya mbak Indah yang dimuat. Karya mbak Indah tak pernah dimuat. Aku membaca judul cerpennya ada dalam daftar cerpen yang tidak dimuat redaksi.

Aku tetap menjadi fans kecilnya walau dia tampak tidak suka padaku. Terutama ketika aku suka nimbrung ngobrol bersama teman-teman kampusnya yang main ke rumah atau saat aku bercerita sesuatu yang dilebih-lebihkan. Maklum, aku kecil adalah bagian dari generasi korban sinetron.

Belakangan, aku bertanya padanya kenapa saat aku masih SD, dia tampak tidak terlalu suka padaku? Dia jawab, “Habis kamu masih kecil banget sih pas itu, dadi yo angger ra tak gagas wae omongane.

Ngok!

Pernah, suatu hari, sepulangnya kuliah, dia duduk di bale-bale rotan di pelataran rumah kami. Dia memanggilku. Aku menghampirinya lewat jendela kaca depan rumah yang ditopang besi, tepat di atas bale-bale, siap menerima perintah apapun darinya. Biasanya disuruh beli kwaci, disuruh ambilkan minum, atau ke pasar buat belanja.

Karena bagiku, dia adalah seorang bos karismatik dalam keluarga kami yang harus dipatuhi seluruh perintahnya.

Dia tidak menyuruhku beli sesuatu. Dia bilang, ada oleh-oleh untukku.

Aku merasa sangat bahagia!

Kalau kata anak twitter jaman sekarang, akhirnya aku dinotice senpai!

Dia senyum-senyum melihat ekspresi bahagiaku. Hampir cekikikan malah.

Apa yang dia bawa? Permen kah? Siomay kah? Batagor kah? Fried Chicken? Jajanan kampus selalu enak-enak.

Mbak indah membuka ritsleting tasnya perlahan-lahan. Aku makin menjulurkan kepala ke jendela.

Makin penasaran.

Dia membuka lebar-lebar tasnya, yang ternyata berisi…

Ular!

Hitam. Hidup. Menggeliat diantara bukunya. Tanpa toples. Tanpa kandang. Berbaur dengan semua isi tasnya.

"Aaaaaaakkkk....!!!!"

Aku panik. Menjerit-jerit.

Kepalaku kejedot jendela dalam usahaku melarikan diri. Sakit. Aku benar-benar shock. Dia tertawa karena berhasil mengerjaiku.

Dia menaruh ular itu di tangannya tanpa takut sedikit pun sambil mencari toples kosong. Aku begitu shock hingga lupa adegan apa yang terjadi selanjutnya. Yang jelas, beberapa saat kemudian, aku melihat ular itu sudah ada di dalam toples bening.

Aku jadi tak nafsu makan ketika mengingatnya tubuh lentur ular yang meliuk-liuk. Geli. Seolah ular itu berpindah ke perutku dan bermain-main di sana.

Apalagi mbak Umu -kakak ketigaku- selalu  bilang kalau perutku cacingan sebesar ular. Karena makanku sangat banyak sedangkan aku tak juga cepat besar. Semua yang aku makan dihabiskan oleh ular cacing dalam perutku, makanya aku pendek, kurus dan jelek. Kalau sudah besar, rambutku juga akan berganti dengan ular seperti dalam film horror Suzanna. Jika tidak, sewaktu-waktu ular-ular itu akan keluar dari lubang kupingku atau membuat lubang di leberku seperti dalam film horror Indonesia yang kita tonton malam-malam soal Nyi Blorong atau semacamnya. Aku selalu marah dan pura-pura tak percaya. Tapi diam-diam, aku percaya apa katanya. Aku sering melotot sambil membuka mulut lebar-lebar di depan kaca lemari kamar Ibu, berharap ular dalam tubuhku bisa keluar. Aku merahasiakan perasaan takut ini karena khawatir malah makin diejek mbak Umu. Selain itu, takut juga jika ular yang menghuni perutku ini membahayakan keluarga dan juga warga sekitar.

Makin lama, setelah sadar bahwa aku mulai berhenti diminumi combantrin oleh Ibu dan belajar biologi, aku baru tahu bahwa tak mungkin ada ular di dalam perut. Mustahil juga ketika dewasa nanti aku jadi titisan Medusa atau Nyi Blorong. Setiap kali mbak Umu mencoba trik menakut-nakutiku lewat tokoh yang dia tonton di TV, leluconnya jadi tak lucu lagi. Dia harus tahu bahwa adik kecilnya ini perlahan tumbuh. Aku mulai merasa bahwa kebohongan mbak Umu terlalu tidak masuk akal.

Ular yang dibawa oleh mbak Indah ada di rumah kami selama berhari-hari. Aku cuma berani meliriknya tanpa berani untuk dekat-dekat.

Dulu, saat mbak Indah masih SMA, di rumah kami yang Bekasi sering didatangi berbagai jenis ular. Mulai yang senjatanya lilitan, bisa, sampai gigitan. Mbak Indah sering membunuh ular-ular yang datang ke rumah kami dengan linggis dan menguburnya dalam-dalam tanpa rasa takut. Cuma mbak Indah dan tetangga yang berani. Karena bapak pun gagal menghadapi ular-ular itu.

Ada banyak anak kecil di sana, terlalu bahaya kalau ular berkeliaran di sana.

Dia memang punya keberanian mengagumkan, yang tidak pernah aku punyai.

Sekalipun tomboy, mbak Indah pintar sekali memasak. Dia juga suka mencoba berbagai resep kue. Biskuit kopi buatannya gosong, pait, dan ampas kopinya pun nyangkut di tenggorokan. Bagaimanapun, aku tetap suka sampai ke remah-remahnya. Aku adalah orang yang mau menghabiskan segala macam kue percobaannya yang gagal. Maklum, dalam masa pertumbuhan, makanku banyak. Lapar terus.
Karena itulah, saat mbak Indah di rumah, moodku jadi baik karena selalu ada makanan.

Bahkan, saat kami berempat -Aku, Mbak Indah, Mbak Ima dan Mbak Umu- mesti berlebaran tanpa bapak, ibu dan adik-adik kami, mbak Indah membelikan Indomie, telur dan Saus yang boleh kami masak sendiri-sendiri. Dia mengizinkan adik-adiknya memasukkan sebanyak apapun telur dan saus dalam masakan. Bagiku, memasak Mie, Telur dengan saus yang dimasak dan dimakan sendiri adalah sebuah kemewahan. Biasanya, kami hanya memasak mie saja atau telur saja. Salah satu. Kalaupun dicampur Mie dan telur, perbandingannya adalah 2 bungkus mie plus 1 butir telur untuk bertiga. Mesti tambah nasi banyak-banyak supaya kenyang. Mbak Ima biasanya menambahkan macam-macam sayuran supaya porsi Mie nya bertambah. Karena ada Mie itu tadi, aku tak peduli jika tetangga memasak berbagai lauk istimewa untuk lebaran. Karena berlama-lama di rumah tetangga dan keluarga besar itu sangat tidak nyaman. Biasanya mereka akan mengasihani kami karena berlebaran tanpa orangtua dan menyebut kalau orangtua kami tidak bertanggung jawab karena malah enak-enakan di Jakarta. Kami paham, di Jakarta situasinya juga sulit. Jakarta kan tak seindah bayangan orang kampung yang referensinya dari sinetron. Kami paham, Ibu dan kawan-kawan, ditemani aktivis HAM yang belakangan aku ketahui bernama Munir, masih sibuk bersidang di pengadilan untuk keadilan kasus Tanjung Priok saat itu. Sehingga tidak maksimal dalam bekerja. Tiket mudik tak terbeli.

Bahkan saat aku sakit, ibu tak bisa pulang menemaniku. Mbak Indah yang mesti repot mengantarkanku periksa ke Rumah Sakit. Untunglah tak perlu sampai dirawat inap karena pasti mahal sekali.

Lagipula, kehadiran mbak Indah bersama kami di segala suasana sudah sangat membahagiakan.

Mbak Indah suka masak keripik Bayam. Itu juga jadi camilan favorit kami, adik-adiknya. Hari itu, dia terlihat sibuk di dapur, di depan wajan besar, di depan sebaskom adonan dan daun-daun bayam berdaun lebar.
Aku masuk ke rumah dengan wajah berseri-seri. Dari ruang tengah aku bertanya, "Mbaaaak, masak apa sih? Keripik Bayem kan? Baunya kok enak banget sih?"
Aroma yang aku cium saat itu adalah Daging yang dimasak ala Barbeque. Aku tak tahu kalau hari itu kami akan makan daging. Aku masih berseri-seri ketika mbak Ima dan Mbak Umu mengerumuni mbak Indah sambil mengipasi dan meneteskan kecap serta mentega. Setelah mendekatkan tubuh ke mereka, aku baru tahu kalau ternyata kecap dan mentega yang dikipasi itu diteteskan ke...
...betisnya.
Iya. Ke betisnya mbak Indah. Tepatnya, ke betis kiri mbak Indah yang melepuh. Tersiram minyak panas saat masak keripik Bayam.
Aku melihat ada cairan putih di sana yang ternyata... pasta gigi.
Betisnya benar-benar mirip dengan daging Barbeque baik bentuk dan aromanya. Kalau di restoran steak, kematangannya setara dengan level Well done.
Sejak awal, penanganan lukanya sudah salah. Saat itu tak ada yang tahu bagaimana cara menangani luka bakar dari siraman minyak panas. Yang ditahu saat itu adalah, bagaimana caranya supaya luka tersebut bisa adem. Tak panas lagi.

Berbulan-bulan, mbak Indah berjalan dipapah pacarnya ke kampus untuk ujian dan periksa ke dokter. Kegiatan sehari-harinya bukan lagi ngutak atik jempol kaki, tapi mengoleskan salep luka bakar dan bersakit-sakit. Aku terlalu kecil untuk membantunya. Tapi aku sangat sedih. Dia jadi tak bisa naik gunung lagi dalam waktu yang lama. 
Beberapa waktu setelah luka bakarnya mengering dan dia tak perlu dipapah lagi untuk jalan, kami berpisah dengan alasan yang terlalu rumit dijelaskan. Tak pernah bertemu lagi. Entah siapa yang pergi dari siapa.

Aku jadi benci padanya, Ketidaksukaanku bukan karena mbak Indah jahat padaku atau apapun. Tapi karena orang-orang mulai tak suka pada pilihan-pilihan hidupnya. Sebagai anak kecil yang bisanya hanya ikut-ikutan, aku mengikuti arus tanpa tahu bagaimana duduk persoalan sebenarnya. Mbak Indah tak pernah lagi terlihat di rumah. Aku sering merindukannya diam-diam dengan tiduran di kamarnya yang penuh buku, membaca cerpen dan puisinya, memeluk mesin ketiknya yang tak lagi difungsikan, dan duduk di jendela kamarnya yang menghadap ke kebun jati sambil melamun. Aku kangen sekali, tapi tak bisa bertemu.

Aku benci mengenang, betapa aku juga turut mengiyakan semua penyebab kebencian orang-orang padanya tanpa aku tahu permasalahannya. 
Di masa dewasa, aku minta maaf padanya dan mengerti bahwa dia telah lakukan hal yang menurutnya benar. Hal yang tak bisa diganggu gugat keputusannya. Jika aku jadi dia, aku akan melakukan hal yang sama dengannya. Mbak Indah memaafkan aku dan tahu bahwa aku hanya anak SD yang cuma ikut-ikutan orang dewasa di sekitarku. Dia bercerita hal-hal sulit yang harus dia lalui sendirian.
Ada sesak yang terasa saat perpisahan, ada sesak yang terasa juga saat dia akhirnya kembali. Aku ingin menyambutnya, tapi ada sesuatu yang harus aku jaga. Aku perlu beradaptasi lagi dengannya. Butuh waktu yang lama. Lama sekali. Begitupun keputusanku untuk bersikap seperti apa padanya. Ada segan yang hinggap sekalipun mbak Indah telah berusaha melakukan segalanya untuk bisa dekat dengan adik-adiknya lagi.

Dia sudah tidak bersastra lagi. Tidak bercita-cita jadi wartawan lagi. Bukan pendaki gunung seperti dulu. Sekarang dia adalah seorang istri, crafter dengan sekitar 25 pegawai, dan dua anak yang cerdas-cerdas.

Dia masih menggunakan nama pena Indah Koen sebagai identitasnya.

Aku dan 5 adiknya yang lain masih sering merepotkan dia sampai sekarang. Sekalipun kami sudah bukan adik kecilnya yang bisa disuruh-suruh lagi.

Aku mulai menemukan apa yang tidak aku suka darinya, dan apa yang aku suka darinya. Tapi aku tak menemukan alasan untuk tidak mencintainya. Ia tetap seorang Indah Koen yang aku idolakan dan jadi panutan dari aku kecil, sampai sekarang.

Di setiap perdebatan kami mengenai pilihan-pilihan hidup, dia seringkali mengalah berargumentasi denganku karena sudah terlalu lelah bekerja. Pada akhirnya, dia hanya akan berkata, "Ya udah, terserah kamu aja. Mbak akan tetap dukung kamu apapun yang terjadi."

Sama mbak. Aku juga ingin selalu berada di pihak mbak. 

Selamat ulang ya tahun mbak...

Sabtu, 16 Mei 2015

Rasyid Things

Belakangan ini aku mulai tak suka Mall. Rasanya pusing melihat berbagai macam barang yang sebagian besar diskonnya menipu. Selain itu, seorang kawan yang bekerja di Mall bercerita betapa menyiksanya berdiri sepanjang jam kerja sambil tersenyum kepada semua orang. Jika ketahuan duduk maka ia akan dapat teguran dari supervisor. Aku sangat berempati padanya dan berharap dia segera naik jabatan sehingga bisa duduk kapanpun dia mau. Kondisi di luar Mall yang macet, lingkungan kumuh korban penggusuran Mall. titik banjir sekitarnya dsb menambah kegetiran-kegetiran tiap kali aku melangkahkan kakiku ke Mall.

Aku sendiri bukan orang yang suka belanja. Seringnya jadi orang yang hanya temani belanja. Belanja sering jika hanya butuh. Seringnya sih merasa tak butuh. :p

Salah satu orang yang sering ku temani belanja adalah Rasyid. Aku sampai hafal selera, ukuran baju, parfum, sabun, dan kebutuhan dia yang lainnya.

Menyenangkan sekali bisa memilihkan dia baju dan segala macam kebutuhannya karena dia adalah orang yang tak bermasalah dengan sesuatu yang tampak nyeleneh potongan maupun warnanya. Gitu lah kalau calon Sarjana Seni. Jadi ya oke-oke aja kalau pakai warna pink, ungu, dan paduan cerah lain. Tak pernah mempersoalkan merk juga. Bahan, warna, design dan rasionalitas harga jadi pertimbangan utama.

Karena ketidaknyamananku dengan Mall, kita berdua harus berkompromi untuk tidak belanja di Mall jika ada opsi lain yang bisa ditempuh. Kenapa harus ke Mall jika di toko biasa tersedia? Kenapa harus di Mall jika di pasar tradisional tersedia? Tapi, aku tak bisa memaksakan prinsipku pada sahabat dan orang-orang yang aku sayang juga sih. Apalagi Rasyid adalah seseorang yang tak pernah mengeluarkan jargon-jargon tertentu yang menolak ini itu yang rentan membawanya jadi seorang hipokrit. Jadi, aku sama sekali tak bermasalah jika dia memang minta ditemani belanja. Apalagi jika itu bagian dari kebutuhannya yang memang seorang *ehm* ekskutif muda unyu, yang sering bertemu dengan banyak klien dan jadi image perusahaan.

Yang jadi opsi jika kita tak ke mall salah satunya adalah belanja online. Karena Window Shopping di toko online itu lebih gampang, makanya aku nyoba liat-liat produk Zalora yang cocok buat Rasyid.

Berikut ini adalah daftar belanjaan yang mungkin bisa dipertimbangkan Rasyid. 

Untuk kemejanya, aku pilihkan yang ini, ada pilihan warna merah. Tapi baju terakhir yang kita beli bersama juga warna merah. Jadi, ini juga oke. Dia tak perlu pakai sweeter tambahan karena modelnya udah unik.

Capture gambar dari website Zalora 

Kemeja di bawah ini cocok jika dia ingin tampil kasual. Beberapa event kantor emang nggak mengharuskan karyawan berpakaian yang resmi-resmi amat. Jadi, ini cukup necis untuknya. Seingatku, dia belum punya model yang seperti ini. Ini akan oke kalau dipadukan dengan koleksi sweeternya. Apalagi pas AC kantornya lagi dingin banget.

Capture gambar dari website : Zalora 

Seperti biasa, setelah belanja, aku akan melihat muka bahagianya yang seperti ini. Lucu. Tampang-tampang polos yang minta dijitak setelah ketahuan betapa tengilnya dia.


Tentu saja baju yang aku pilihkan belum final. Zalora juga perlu menambah koleksi baju lelaki yang cerah untuk lelaki kreatif macam Rasyid seperti ini. Menurutku sih lelaki yang pakai baju gelap terus menerus itu sangat membosankan. Warna itu merdeka, bisa melekat di tubuh manapun yang memang menghargai keberagaman dan netralitas.

Tapi ya, terserah aja sih. Karena, soal pakaian itu, yang penting nyaman. percaya diri dan simpel sesuai sikonnya. Gitu...

Musimnya Bisnis Muslim Musliman

Saat masih riset di Yayasan LKiS​, sempat diajak Mas Hairus Salim​ ke forum yang dihadiri guru-guru agama SMA se-Jogja. Salah satu materi yang disampaikan Mas Salim di depan guru-guru itu adalah munculnya kost khusus Muslim dan Muslimah di Jogja dalam 10 tahun terakhir ini. Dulu, kost macam itu tak ada, Muslim dan Non Muslim bisa berbaur dalam kost yang sama.

Selain munculnya kost muslim, ada pula kost yang menolak mahasiswa dari Indonesia Timur. Berkat sikap eksklusif orang Islam dan Jawa, Non Muslim dan Orang Timur sulit mencari kostan.

Fenomena itu ada juga di Solo, dan aku yakin ada di banyak kota lainnya. Kost khusus Muslim dan Muslimah bermunculan dengan berbagai aturan yang sangat ketat soal lelaki dan perempuan, jam malam, dan sebagainya.

Buat apa?
Jika yang dimaksud Muslim dan Muslimah adalah yang berKTP Islam, maka agama ini benar-benar hanya berupa hal sepele macam label. Untuk apa membuat peraturan soal kost muslim seperti ini jika ternyata kost tersebut kotor, kecurian dari orang dalam, pelayanannya payah, dan pemilik kostannya tidak ramah? Wajah Islam macam apa yang ingin ditampilkan oleh pemilik kostan?

Bayangkan jika di sebuah kota mulai bermunculan Kost khusus Islam, Kost khusus Katolik, Kost Khusus Kristen, Kost khusus Budha, Kost khusus Hindu, dsb. Kapan umat beragama bisa berdampingan dalam satu rumah nantinya? Tanpa berhubungan baik dengan yang beda pandangan agama, susah untuk berprasangka baik kepada hal yang berbeda. Intoleran jadinya.

Hitung saja dirimu sendiri, berapa teman beda agama yang kamu kenal? Berapa yang bisa benar-benar akrab?

Jika konon agama yang dianut adalah agama sempurna, dan umatnya jadi mayoritas, kenapa mentalnya begitu insecure? Gampang amat merasa terganggu sama umat agama lain. Kalau emang sempurna dan jumlahnya banyak, mestinya lebih tangguh, bisa jadi pelindung yang lemah, bisa membuktikan bahwa agamanya adalah agama yang membawa kabar gembira.

Kalau mau bawa nama Islam, mestinya diwujudkan dengan keberpihakan kepada orang miskin, penolong mereka yang tak punya rumah, penghormatan kepada perempuan, perlindungan kepada Non Muslim, dan hormati Hak Asasi Manusia yang telah ada di Piagam Madinah jaman Rasul. Mau sampai kapan sih agama ini dijadikan alat kekuasaan, ngurusi privasi orang, nyerewetin persoalan kelamin, dan hal printilan yang mestinya jadi urusannya individu sama Tuhannya?

Ini yang dibahas baru soal kost berlabel khusus Muslim. Masih ada lagi komoditas bisnis lain yang jualan agama sebagai daya tarik. Bank, Hotel, Perumahan, Bimbel, Fitnes, Laundry, dsb. Seolah mengemban label Islam itu gampang. Justru karena mengklaim jadi agama sempurna, maka beban yang ditanggung umat Islam jadi lebih berat. Malu kalau bawa nama Islam tapi bikin sistem yang merugikan orang lain.

Hypatia -filsuf perempuan yang akhirnya dibakar oleh orang-orang Kristen Alexandria- berkata pada  para pejabat yang sedang ingin mengkristenkan semua penduduk, "Jika agama baru ini (Kristen, atau yang saat ini dikenal dengan Katolik) memang sebuah kebenaran, apakah perang agama ini adalah bukti bahwa agama ini akan menjadi lebih baik dari Agama sebelumnya (Yahudi dan Penyembah Dewa Yunani)?"

Mestinya bisa belajar dari agama sebelumnya. Tapi ya gitu, sibuk urusi masalah printilan yang sebenernya otomatis bisa harmonis kalau sistem yang dibangunnya bener.

Kita sudahi saja sesi curcol dini hari ini.

Sekian.

Senin, 04 Mei 2015

Perempuan "Pembajak" Pajak

Tahun 2006. Bulan dan hari ke sekian. Sekitar pukul 11 siang.

Udara panas di luar tak terasa sama sekali di dalam ruang yang berpendingin ruangan ini. Beberapa orang yang namanya dipanggil menuju ke teller untuk menerima uang atau menyetorkan uang. Bukan uang siapa-siapa. Uang mereka sendiri yang disimpan melalui mekanisme perbankan. Bank Lippo tepatnya.

Ibu itu berusia jelang 50 tahunan. Ada uang Rp 100.000 di genggamannya yang hendak ia setorkan ke bank. Uang yang ia sisihkan baik-baik di antara penghasilannya yang sedikit. 100.000 yang hendak ia simpan sangat berarti. Karena dalam keadaan yang serba minim, semua uang di kantongnya akan habis. Entah untuk makan, entah untuk biaya transportasi sekolah anak, atau hal lain. Tidak ada cadangan biaya yang bisa dipakai jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit atau ada kebutuhan lainnya. Sedangkan, orang sepertinya tak mungkin mendaftar asuransi.

Ia menyerahkan buku tabungannya ke teller. Terakhir kali ke bank, di buku tabungannya tercetak saldo Rp 300.000. tak ada transaksi apapun yang ia lakukan di luar itu.

Tapi teller bank berkata lain, “Saldo Ibu Rp 50.000 ya. Ibu menabung Rp 100.000. Jadi total saldo Ibu di sini adalah Rp 150.000.”

“Tapi saldo saya yang terakhir adalah 300.000 mbak.”

“Sudah dipotong pajak administrasi bu. Sehingga yang tersisa di sini adalah Rp 50.000.”

“Jadi saya bayar pajak untuk 3 bulan tanpa transaksi apapun sebanyak Rp 250.000?”

“Benar Ibu. Karena, semakin sedikit uang Ibu yang ada di bank kami, maka akan semakin besar administrasi yang Ibu bayarkan.”

Ibu itu terdiam. Rp 250.000 adalah uang yang sangat banyak baginya. Uang yang akhirnya termakan begitu saja oleh sistem perbankan.

Ia paham bahwa uang yang dipotong pajak adalah konsekuensi dari menabung di bank. Tapi ia tak menyangka akan berkurang sebanyak itu. Ia tak paham regulasi soal semakin sedikit uang, maka pajak yang diambil semakin banyak. Berarti orang miskin sepertinya yang punya sedikit uang di bank akan makin dihisap. Sedangkan orang kaya yang punya banyak uang di bank justru akan semakin diuntungkan dengan pajak yang sedikit dan bunga yang banyak.

Ia menyadari bahwa ia sedang berurusan dengan sistem yang tak sehat. Sistem yang makin menginjak mereka yang tak punya banyak uang di bank.

“Kalau begitu, saya nggak jadi nabung aja mbak. Bisakah saya tutup rekeningnya dan meminta sisa uang 50.000 di saldo saya dikembalikan?”

“Rekeningnya bisa ditutup Ibu. Tapi saldo Rp 50.000 ibu tak bisa ditarik.”

“Jadi saya, orang miskin, menyumbang bank sebanyak Rp 300.000 begitu saja?”

“Bukan menyumbang. Tapi itu sudah regulasi kami bu.”

Saya punya 6 orang anak yang mesti saya tanggung. Saya masih harus bayar kontrakan dan kebutuhan lainnya. Uang berapapun akan sangat berarti bagi saya. Biarlah saya relakan uang 250.000 saya dimakan oleh sistem perbankan. Tapi tolong kembalikan sisa uang 50.000nya.“

“Tidak bisa Ibu. Rekening juga otomatis akan tertutup jika uang Rp 50.000 itu tidak bertambah saldonya. Karena sisa uang akan menjadi biaya administrasi bulanan.”

Ibu itu menghela nafas. Uang yang setengah mati ia sisihkan di antara kebutuhan hidupnya yang tinggi dimakan begitu saja oleh sistem.

“Sebentar mbak, saya duduk dulu. Tahan dulu transaksinya. Biar antrian yang lain dulu. Saya masih akan di sini. Kepala saya pusing.”

Ia duduk di deret kursi terdepan. Tubuhnya terasa lemas. Ada darah rendah yang dipadu asam urat di tubuhnya. Selain itu, teringat juga dengan anaknya yang masih SMA, kemarin dipanggil oleh administrasi sekolah karena belum bayar SPP sekolah. Ada beasiswa dari negara, tapi besarnya beasiswa tak pernah cukup untuk membayar 12 bulan SPP. Hanya bisa 4 bulan pertama. Sehingga anaknya hanya membayar administrasi sekolah sesuai dengan jumlah beasiswa. Sebagai orangtua, bukan tak mau membayar, tapi memang tak ada uang. Sementara ada banyak orangtua menyerah begitu saja dengan kemiskinan hingga tak sekolahkan anaknya, ia memilih untuk tetap menyekolahkan anaknya.

Tentu saja sekolah yang ia pilih adalah sekolah negeri. Sekolah milik pemerintah. Yang dipahaminya, pemerintah wajib menanggung pendidikan warganya. Benar, wajib belajar hanya sampai SMP. Tapi apa berarti orang miskin artinya tak boleh sekolah SMA? Apakah artinya orang miskin harus mengubur dalam-dalam keinginannya untuk berpendidikan tinggi? Bagaimana jika anak-anaknya adalah orang yang kelak mampu mengubah sistem negara ini dengan baik? Bukankah pendidikan adalah salah satu jalan untuk menuju jalan ke sana? Karena jika anaknya tak berpendidikan, ia hanya akan habis dilindas sistem negara seperti dirinya sekarang. Ia tak bisa bayangkan jika anaknya akan jadi korban dari negara yang tak berpihak pada rakyatnya.

Jadi, tiap kali dipanggil oleh pihak sekolah soal biaya SPP dan uang bangunan, ia berkata pada anaknya, “Bilang ke kepala sekolah dan guru. Kalau orangtua kamu nggak punya uang untuk biaya sekolah. Kalau gara-gara biaya itu kamu nggak dibolehin ujian dan nggak dapet kartu ujian sementara kayak semester lalu, minta sama mereka buat bikin surat keterangan bahwa anak ini nggak boleh ikut ujian dan nggak bisa lanjut sekolah karena miskin. Bilang sama mereka, surat itu nanti ditujukannya ke Wakil Ketua MPR, A.M Fatwa. Ditembuskan ke Presiden dan Menteri Pendidikan. Kepala sekolahmu yang tandatangan. Nanti suratnya biar Ibu yang kirim ke Jakarta.”

Itu bukan gertak sambal. Ia memang mengenal pejabat itu. Rekannya dulu yang sama-sama pernah ditindas negara. Bedanya, rekannya itu dari awal memang tokoh karena keterlibatannya di beberapa organisasi dan berpendidikan hingga bisa berkiprah di politik, sedangkan ia tak pernah sempat mengenyam pendidikan tinggi dan sibuk bersusah payah membangun dirinya sendiri dari trauma berkepanjangan setelah kejadian itu.

Biasanya sekolah akan memperbolehkan anaknya ujian. Tapi tak boleh menerima rapor. Tak apa. Bukan hasil nilai yang ia pentingkan. Berapapun nilai yang diraih anak, asal dia bisa tetap sekolah sudah sangat melegakan. Ada 2 anaknya yang masih SMA, keduanya bersekolah di tempat yang berbeda. Semua sedang alami masalah yang sama.

Ia juga ingat anaknya yang masih kuliah D3. Biaya kuliah di Desain Komunikasi Visual sangat tinggi dan mesti dibayar. Tidak bisa menggunakan surat apapun selain minta keringanan ke rektor. Itu pun hanya bisa dilakukan sesekali. Bukan keringanan biaya, tapi hanya penundaan pembiayaan. Jika tak kuat bayar, maka berhenti kuliah. Sedangkan biaya yang dibutuhkan untuk mengerjakan tugas yang sebagian besar harus berurusan dengan percetakan, komputer, kamera dan sebagainya juga tak sedikit. Bagaimana pun, harus tetap diperjuangkan.

Anaknya yang SD belum mengerti apa-apa. Biaya sekolahnya masih sedikit. Jadi bisa dibayar, apalagi sesekali anaknya yang pertama dan sudah menikah juga membantu.

Kontrakan yang dibayar tahunan sebentar lagi akan mulai habis. Ia tak boleh patah semangat. Ada anak-anak yang bergantung padanya sekarang. Ia tak diizinkan untuk lemah. Ia berpikir, bukankah dibalik kekokohan bangunan bank dengan sistem perbankan yang menggurita ini ada manusia-manusia yang punya hati nurani? Yang bisa melakukan pengecualian di hal-hal tertentu. Teller ini hanya pegawai, tapi ada atasannya yang barangkali bisa mendengar. Lagipula, tak masalah jika bank mengambil 250.000 nya. Yang penting uang 50.000 yang masih ada bisa dikembalikan.

Ia menghampiri teller lagi ketika seorang nasabah menyelesaikan transaksinya, sebelum teller memanggil nama nasabah lain, ia buru-buru mengonfirmasi ulang, “Jadi, apa tetap tidak bisa diambil uang Rp 50.000 saya?”

“Mohon maaf Ibu, tidak bisa. Sudah peraturannya begitu.”

“Bisakah bicara dengan manager, direksi atau pejabat bank yang lainnya? Boleh siapa saja, yang penting atasan mbak.”

Teller memanggil atasannya. Ibu itu menceritakan keadaan yang sekarang ini dialaminya. Jawaban sama dengan teller. Tanpa solusi.

Ibu itu mengerti.

Semua yang di sini adalah robot. Tak berperasaan.

Atas nama peraturan, keuntungan dengan sistem ekonomi sedemikian rupa, orang lebih patuh pada hal administratif yang kaku. Mereka bergeming. Tak mau kembalikan yang sedikit dari harta orang miskin sepertinya. Hati mereka tak bisa disentuh sama sekali.

Tapi, siapakah yang bisa mengerti kesusahan orang miskin daripada orang miskin itu sendiri? Bagi orang kaya, Rp 50.000 hanyalah uang kecil sekali makan yang pantas dilupakan. Bagi kelas menengah, Rp 50.000 adalah uang yang bisa dimaklumi jika hilang begitu saja. Apalagi, ia juga sudah "mengikhlaskan" Rp 250.000 pada korporasi itu.

Itu benar-benar jumlah yang tak sedikit baginya.

Ia menarik nafas panjang, mundur beberapa langkah. Kemudian mengambil pot yang terdekat dari jangkauan tangannya.

Ia angkat pot itu tinggi-tinggi. Dan,

PYAAAR!!!

Salah satu monitor komputer bank hancur dihantam pot keramik besar.

Semua orang di ruangan itu kaget.

Satpam dan Polisi yang ada di bank segera mendekati perempuan berkerudung itu. Satpam mengarahkan pentungannya ke kepala Ibu itu sambil memegang tangannya ke belakang.

“Jangan dipukul! Jangan dipukul!!” Bentak Polisi itu pada Satpam sambil berlari.

“Hayo! Bawa saja saya ke kantor Polisi! Penjarakan saya! Penjarakan orang miskin!” Teriak Ibu itu. Menantang.

“Tidak, saya tahu duduk persoalannya. Saya melihatnya.” Kata Polisi itu, menjauhkan Ibu dari ancaman Satpam. “Sekarang Ibu pulang, tenangkan diri. Biar kami di sini yang urus.”

Polisi melepaskan pegangannya. Manager, Teller, Satpam dan orang-orang lainnya hanya terdiam. Ada kebekuan mencekam, tak ada siapapun yang berani bicara.

Ibu itu menegakkan diri. Matanya berkaca-kaca, namun tanpa isak dan air mata. Ia pergi dari bank itu. Begitu saja.

Ia lupakan uang Rp 300.000 nya. Biarlah.

Ia selalu benci polisi dan hal-hal berbau militer. Ada trauma tersendiri soal itu. Dan kini, yang berpihak padanya justru seorang polisi. Ia berdoa dalam hati semoga polisi ini, kelak, tidak ditugaskan atasannya untuk membunuh, menculik, menyiksa, menembak, memeras, atau memenjarakan sipil yang tak bersalah. Karena, sebaik-baiknya polisi yang ada, mereka hanya akan dilindas komando atasannya.

Perempuan yang sepanjang cerita ini bernama “Ibu” ini, adalah Ibuku.
---

Catatan :
Bank Lippo telah lama dinyatakan tutup dan digantikan Bank CIMB Niaga. Kasus penutupan Bank Lippo bisa dibaca di sini.