Jumat, 27 Desember 2013

Tujuh Kematian

Kematian Pertama

Pada suatu hari kekasih berjingkat-jingkat dekat pelupuk mataku. Diam-diam, tanpa suara. Bahkan ia tidak memakai sepatunya. Aku memergokinya sedang memunguti kembali gula-gula yang pernah ia taburkan di helai-helai rambutku. Ia juga menggulung karpet merah yang pernah ia gelar dan membakar helai bunga yang bersisian diatasnya. Ia meniupi lilin yang menerangi ruang dansa kami semalam. Lalu ia menyeberangi ruangan untuk mematikan musik. Temaran, mencekam. Segala sesuatu jadi dingin.

Ia menjelma jadi sosok yang menjulang begitu tinggi sampai leherku yang terlalu lama memandangnya terasa sakit. Ia sedang berkemas, tampak bergegas.

"Mengapa?" Aku bertanya, membiarkan ia berkemas sendirian.

"Kau akan membiarkan aku pergi?" Ia menjawabnya dengan pertanyaan. Seperti yang sudah-sudah.

Aku mengangguk, "Kenapa tidak?" Aku menegakkan tubuhku. "Kau adalah kekasihku, kau boleh tinggal sampai kau bosan. Tugasmu adalah berbahagia. Aku akan terus merawatmu selama kau ada di rumah."

"Aku akan bosan."

"Aku menemukanmu sebagai pengelana. Mungkin rumah memang tidak cocok untukmu. Tapi kau harus tahu bahwa aku tidak pernah menyuruhmu pergi."

"Seharusnya kau mencegahku."

"Kau pernah bilang tidak akan pergi kalau aku tidak menyuruhmu pergi."

"Situasinya jadi berbeda." Kau tampak gelisah.

"Kau hanya tidak perlu berjanji apapun sedari awal."

Tenggorokanku tercekat. Kesunyian menyergap kami.

Ia juga memilih diam, keheningan seperti ini membuat jantungku mencelos sampai perut. Kupu-kupu yang ada di perutku mengepak dengan gelisah.

Aku menggeleng, "Kau boleh melakukan apapun yang kau suka, Kau sudah tau prinsipnya, jika tidak mencintai, setidaknya jangan menyakiti. Jika mencintai, semestinya juga memerdekakan."

"Naif." Dia bergumam, dan terus berkemas sampai memungut remah-remah terakhir. Kita namakan itu kenangan dan masa lalu.

Kematian Kedua

Aku sedang merawat derita dengan membalutnya pelan-pelan. Hingga segala yang luka tertutupi. Aku sempat memandangi mimpi-mimpi yang pelan-pelan runtuh secara dramatis, satu demi satu.

Sejak awal aku menyerahkan hatiku, aku telah mengizinkanmu untuk berbuat apapun. Memelihara, atau menghancurkannya.

Kau memilih untuk menghancurkannya.

Kematian Ketiga

Pada suatu pagi yang biasa, aku telah lupa caranya menulis puisi untuk mengisi sunyi. Penaku mati dan tanganku menolak berkompromi dengan otakku. Seperti hatiku yang menolak berdamai dengan isi kepalaku.

Kau memang tidak pernah bilang akan datang. Kau hanya mengetuk pintu dan aku hanya membukanya. Keterkejutanku hanya mencipta gumam kalimat, "Kenapa tak bilang kalau mau datang?"

Kau menjawabnya dengan senyum. Seharusnya itu bukan jawaban.

Aku memandangmu sebagai prajurit pengelana yang ada di dalam sebuah buku. Buku tersebut berisi selusin kisah peperangan dan banyak hal tentang kegetiran. Luka-luka yang ada di tubuhmu adalah tanda ketangguhan sekaligus memunculkan berbagai kengerian yang aku abaikan.

Jika kau adalah seorang yang telah menjalani berbagai perang, apakah keselamatanmu saat ini adalah hasil dari membunuh orang lain?

Aku tidak ingin kau memandang rumah ini sebagai sebuah medan laga. Kau perlu istirahat tanpa desing peluru. Simpanlah belatimu karena itu membuatku takut.

Kepalaku berkata bahwa mencintai adalah refleksi sebuah keberanian. Lalu, kali ini, aku mematuhi suara dalam kepalaku karena mengabaikannya, hanya akan menghasilkan bising.

Aku melihatmu memainkan belati sambil tersenyum bangga. Menunjukkan padaku kelihaian yang kau gunakan untuk memenangkan satu perang ke perang yang lainnya.

Padahal, tanpa belati dan kelihaian itu, kau sudah demikian indah.

Belati itu begitu cantik dan bermata dua. Kilaunya memendarkan cahaya yang masuk ke mataku namun sayangnya, bukan sebagai cahaya mata. Aku memperingatkanmu untuk berhati-hati dengan belati itu, salah satu dari kita barangkali akan tumbang jika kau lalai melihat sekitarnya.

Terjadilah.

Aku terseok, merapatkan diri di dinding sambil terpejam. Sakitnya memang hanya sebentar saat belati itu mengenaiku. Tapi lukanya menganga. Tepat di dadaku.

Darah yang belum mengering itu menjadi saksi sebuah keberanian dan kepercayaan yang aku sebut dengan cinta. Dan yang kau sebut naif.

Kematian Keempat

Ia mengukir 3 baris kelimat dalam-dalam. Tentang pamit, maaf dan terimakasih. Apakah ini adalah pertarungannya yang lain? Padahal, kita telah jauh melangkah dan hampir lupa jalan pulang.

Lagi pula, seperti pembicaraan kita yang lalu, seharusnya senja yang merangkak masuk tidak lagi memberikan waktu bagi kita untuk sekedar menguji kilat pedang dan bermain-main dengan perjalanan.

Jika kita memilih untuk beradu pedang, siapa yang akan tertebas?

Sudah jelas. Aku.

Kematian Kelima

Aku tidak akan mengatakan apapun. Aku juga tidak punya energi untuk melakukan apapun selain memandangi punggungmu yang pelan-pelan menghilang dari penglihatanku.

Yang aku tahu, aku mulai memucat.

Kematian Keenam

Seseorang melihatku berlari gembira. Lalu ia bertanya, "Bukankah kau adalah orang yang kemarin rubuh dan memucat?"

Aku tersenyum, aku tahu bahwa suatu hari akan mati. Aku telah menanam masa lalu dan membiarkan masa depan tumbuh diatasnya. Yang kau lihat ini adalah masa depan yang berhasil dirancang. Agar tidak begitu saja habis setelah datangnya kematian demi kematian.

"Seseorang perlu kematian-kematian dan kehilangan yang menyakitkan. Agar kelak, kematian dan kehilangan tidak jadi sesuatu yang menyakitkan lagi." Kata sebuah suara yang menguatkanku.

Kematian Ketujuh

Selamat datang, kematian, Aku sudah bersiap untuk hidup lagi. Ini bukanlah perang yang harus dipuaskan dengan kemenangan. Biar bekas luka jadi saksi sebuah kebangkitan dan perjuangan.

Kepada masa lalu, sekali dua kali, aku akan mampir. Hanya untuk melihat bahwa aku telah tuntas dengan urusan seputar rindu dan dendam. Hingga ia akan menghilang atau teralihkan dengan sendirinya. Seperti yang sudah-sudah.

Ada kemestian yang sulit dipungkiri. Tentang harapan, kenangan, persinggahan, luka, cinta dan rindu. Kemestian itu menanamkan sebuah keyakinan bahwa suara itu benar. Suatu hari akan datang saat-saat dimana kehilangan dan kematian bukanlah perkara yang menyakitkan lagi.


Mampang Prapatan, 27 Desember 2013

Senin, 23 Desember 2013

Citra dan Teman-Temannya

Dulu, pas SMA di jurusan bahasa, aku sempat belajar tentang citraan dalam karya sastra. Citraan itu intinya membedah panca indra mana yang bisa dihubungkan dengan sebuah karya sastra. Sekalipun nilaiku bagus di bagian ini (makasih Pak Soekarno :p) sebenarnya aku nggak banyak tahu. Aku selalu menebak di kelas dengan feeling dan untung-untungan. Lalu aku akan heran kalau jawabannya benar. Selalu seperti itu. Ada banyak kebingungan dalam citraan karya sastra ini. Bagiku, jika kita menemukan kata "melihat" dalam sebuah puisi, maka kata tersebut tidak berarti identik dengan mata. Tapi di citraan dalam mata pelajaran itu, seolah melihat hanyalah hal yang bisa dikerjakan oleh mata. Pas udah kuliah di filsafat, aku baru tahu kalau daridulu ternyata aku ada bakat-bakat filsafat aliran metafisika. >,<

Citraan itu, misal nih ya, dalam puisi karya Amir Hamzah berjudul Padamu Jua. Kaulah kandil kemerlap | pelita jendela di malam gelap |melambai pulang perlahan | sabar, setia selalu. Kata yang digaris bawah adalah citraan mata karena membutuhkan indra mata untuk dapat melihat pelita. Nah... Sebenarnya aku tidak tahu apakah ini benar atau tidak. Tahu-tahu nilai ku secara misterius bisa bagus. Teman-teman suka tanya dan aku terpaksa kasih tahu hal yang kurang aku kuasai karena kalau aku nolak, mereka akan bilang aku sombong. Di mata pelajaran sastra ini, aku merasa tergopoh-gopoh untuk tahu makna kata citra. 

Rasanya, citra memang sudah terlalu identik dengan merk hand body lotion. Sampai pada suatu hari munculah icon baru remaja gaul Indonesia : Bunga Citra Lestari. Citra tidak lagi menghadapi ancaman privatisasi kebahasaan. Setidaknya saat ada orang berkata "citra", pikiranku tidak hanya tertuju pada merk hand body, tapi juga tertuju ke suara "sunny... sunny... Apa kabarmu baik-baik saja...". Jangan harap (dan untungnya sampai sejauh ini tidak ada yang berharap juga) aku akan ingat kata "citra" itu sebagai bagian dari mata pelaran sastra. Karena aku memang tidak suka mengingat bab dalam sebuah mata pelajaran yang kurang memberikan fungsi praktis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan pancasila. Kira-kira begitu. 

8 tahun lamanya, media menyuguhkan sebuah kata yang dulunya tidak pernah aku akrabi, yaitu kata Pencitraan. Sekarang ini pencitraan memiliki arti yang sangat buruk. Tidak seindah yang ada dalam karya sastra. Untuk hal ini, mari kita berterimakasih pada SBY and the gank yang telah membuat kata pencitraan jadi sedemikian rupa.

Di yahoo answer, aku menemukan definisi pencitraan. Jadi definisi pencitraan adalah "membuat suatu hal agar citra kita menjadi baik dimata publik, mungkin para pejabat di negara kita sudah sangan fasih melakukan hal tersebut contoh : update status dan ngetweet di twitter agar dibaca orang banyak (publik)." Tentu saja ini definisi yang keliru. Di kelas logika semester awal dulu, aku belajar bahwa jika kita mendefinisikan sesuatu, kata yang akan kita definisikan tidak boleh ada dalam definisi yang kita jabarkan. Di kalimat itu ada kata citra, padahal kan yang sedang didefinisikan adalah kata pencitraan. Nah, herannya, jawaban itu di vote oleh 9 orang. Oke, selamat kepada 10 orang (9 vote + 1 orang penjawab) yang secara terang-terangan melakukan kesalahan logika. 

Kalau kita cari di kamus besar bahasa Indonesia online, kata pencitraan itu nggak ada. Nggak ada karena memang kata itu udah tercemar sama imbuhan. Tapi arti dari citra menurut KBBI adalah :

cit.ra [kl n] (1) rupa; gambar; gambaran; (2) Man gambaran yg dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk; (3) Sas kesan mental atau bayangan visual yg ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yg khas dl karya prosa dan puisi; (4) Hut data atau informasi dr potret udara untuk bahan evaluasi; -- perbankan gambaran mengenai dunia perbankan: kejadian spt itu jelas tidak menguntungkan dl upaya meningkatkan -- perbankan kita di mata internasional

Yang paling dekat dengan pembahasan kita adalah definisi no 2. Man gambaran yg dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk. Pencitraan sendiri adalah sebuah cara yang digunakan untuk menggambarkan seseorang. Meskipun di dunia perpolitikan kita, pencitraan itu seperti selendang sutra tipis yang menutupi bangkai beruang besar yang sudah mati berhari-hari. Pencitraan juga memuat tentang kebaikan-kebaikan, yang sebenarnya tidak ada. Segalanya serba palsu, dan seolah ada isinya.

Padahal sejatinya, pencitraan adalah hal biasa di dunia politik dan dunia marketing. Tidak ada yang buruk dari situ. Namun, saat pencitraan politisi sudah sampai pada tahap menjijikkan, pencitraan mulai mendapat stigma negatif. Sama-sama diberitakan sedang melakukan kebaikan di media, respon masyarakat pada aksi Abu Rizal Bakrie akan berbeda dengan respon masyarakat pada apa yang dilakukan oleh Jokowi. Keduanya sama-sama bisa disebut pencitraan. Tapi karena kata pencitraan sudah demikian tercemar, akhirnya orang mulai mencari kosa kata yang layak untuk Jokowi. Karena ARB jelas narsis di medianya sendiri dan Jokowi tampak tulus bekerja. Orang melabelkan ARB sebagai pencitraan sekaligus juga mencari-cari kosa kata yang belum tercemar maknanya untuk Jokowi. Kata apa yang tepat? Belum ada yang pakem. 

Aku tidak ingin berbicara mengenai pencitraan politisi lagi. Aku hanya ingin menulis tentang kita, individu-individu yang berada di tengah masyarakat. 

Kita bisa kompak mencaci politisi yang sedang melakukan pencitraan. Tapi kita sendiri sebenarnya sedang melakukan pencitraan. Kita seolah sudah bekerja, padahal tidak. Kita seolah bergaya kaya saat musim mudik tiba, padahal di kota tidak punya apa-apa. Kita seolah memikirkan orang miskin, padahal kita hanya ingin tampak dianggap peduli kemanusiaan. 

Aku belajar bahwa seiring dengan waktu, orang tidak akan bisa membedakan antara pencitraan dengan menjaga nama baik. Okelah, pencitraan itu juga sebuah usaha untuk memperlihatkan nama baik. Perbedaannya, dalam pencitraan sangat dimungkinkan adanya kebohongan-kebohongan yang dibuat bertolak belakang antara fakta dan pencitraannya. Sedangkan menjaga nama baik adalah, menutupi aib dan kesalahan kita dengan tidak mengumumkannya kepada orang-orang. Apalagi yang kita lakukan bukan dosa sosial yang merugikan banyak orang. Sehingga menjaga nama baik tidak dapat disebut dengan munafik.

Misalnya, ada seorang lelaki tampan yang diam-diam senang memakan upilnya sendiri. Jika dia tidak mengatakan pada siapapun hobinya itu, maka itu tidak bisa disebut sedang pencitraan dalam konotasi yang buruk. Tapi ia sedang menjaga nama baik dirinya. Karena ia tahu bahwa hobinya itu bukanlah sesuatu yang umum di masyarakat. Ia bisa habis di bully karena itu. Bayangkan jika hobinya itu dia tulis di sosial media dengan tulisan : "Dingin-dingin memang paling enak makan upil sendiri" disertai foto selfie yang memperagakan gerakan itu. Niscaya orang itu akan mempermalukan dirinya sendiri, pacarnya (kalau ada), dan keluarganya. Kecuali memang dia dari awal berniat untuk mencitrakan diri sebagai seorang yang menjijikkan dan mengira bahwa aksi tersebut adalah hal keren sejagad raya.

Pencitraan itu, sekali lagi, sangat berbeda dengan menjaga nama baik. 

Misalnya begini juga. Kita pernah mendengar kabar tentang pernikahan SBY sebelum bersama Ani. Dari pernikahan itu SBY punya 2 putri. SBY melakukan pencitraan dengan tidak mengakui bahwa peristiwa itu tidak pernah terjadi padahal nyatanya terjadi dengan bukti-bukti yang kuat. Nah, di sini kita mencium bau busuk pencitraan. Karena ada fakta yang keliru dan bertentangan dalam hal ini. 

Jika aku tidak mengatakan tentang aib diriku sendiri, itu bukan karena aku sedang melakukan pencitraan. Karena hal-hal yang ada kaitannya dengan aib yang aku tutupi itu tidak aku kemukakan di publik dengan versi yang berbeda. Bahkan tidak memunculkan isu tersebut di publik. Maka itu bukan pencitraan. Itu sedang menjaga nama baik. Karena aku tahu bahwa hidupku tidak serta merta tentang diriku sendiri. Ada keluarga, sahabat, dan nama organisasi yang barangkali terkena imbas dari buruknya namaku. Justru karena tidak memikirkan diri sendiri, aku menjaga namaku. Meminjam kalimat Anies Baswedan, "supaya ibu kita tidak malu telah melahirkan kita". 

Apa sedang melakukan kemunafikan? Oh jelas tidak. Karena, sekali lagi, menjaga nama baik adalah mengatakan atau memilih untuk tidak mengatakan apa-apa yang tidak bertentangan faktanya. Apalagi jika itu bukan sebuah dosa sosial yang kebenarannya diperlukan untuk kepentingan orang banyak. 

Pada akhirnya, aku ingin berbicara langsung pada orang yang mengaku tidak peduli dengan citra diri (mungkin maksudnya nama baik diri sendiri), jika kamu tidak peduli sama sekali tentang omongan buruk orang disekitarmu, tidak peduli pada stigma buruk masyarakat padamu karena aib pribadi yang tersebar, tidak peduli perasaan orang-orang terdekatmu yang mendengar kabar itu, mungkin seharusnya kamu memilih karir sebagai intelegen. Karena salah satu hal yang sangat dipertimbang kan dalam dunia intelegen adalah tidak memiliki keterikatan kuat dengan orang-orang lainnya. Jangan pilih pekerjaan lain. 

Bisa jadi kamu berkata bahwa kamu tidak peduli pada citramu sendiri. Atau kamu berkata peduli setan orang mau berkata apa tentangmu, justru kamu sedang menerapkan prinsip=prinsip self sentris. Karena ternyata kamu adalah orang yang memikirkan diri sendiri. Jika barangkali kamu memang tidak memiliki keluarga, orang kesayangan, organisasi, komunitas, dan sebagainya yang perlu dijaga dan sangat terikat pada mu. Bukan berarti orang lain juga harus sama. Jika kamu bisa tenang memikirkan diri sendiri atau Self sentris, jangan minta orang lain juga sama sepertimu. Nggak perlu mencela yang memilih untuk menjaga nama baiknya. Respect.

Bagiku, menjaga nama baik diri sendiri itu bukan hanya berbicara tentang kinclongnya nama kita pribadi. Tapi juga bentuk respect pada lingkaran sekitar kita yang telah berusaha keras membentuk pribadi kita menjadi sedemikian rupa. Jika kita malah mengkhianati kepercayaan orang sekitar kita yang menyayangi kita, atau melukai hati mereka karena desas-desus buruk di sekitar kita, jangan harap kita bisa menjaga nama baik hal-hal yang lebih besar. Nama baik agama, negara, bangsa, dsb. 

Jalaluddin Rakhmat dalam salah satu ceramahnya berkata bahwa di dunia ini, ada orang-orang yang memiliki kepercayaan diri tinggi dalam mengungkapkan aib dirinya sendiri. Bukankah akan lebih baik jika kepercayaan diri itu seharusnya digunakan saat melakukan hal-hal baik, bukan saat melakukan hal-hal buruk? []

Jumat, 13 Desember 2013

Aku dan Berhala-berhala

Lewat ini, aku sedang mencoba untuk mengumpulkan potongan-potongan ingatan tentang berhala yang pernah aku candui. Aku juga agak lupa kapan aku akhirnya memutuskan untuk tidak adiktif pada apapun. 

Seingatku begitu aku memutuskan untuk tidak lagi adiktif pada sesuatu ketika aku memutuskan untuk tidak lagi mengkonsumsi kopi. 

Aku tidak perlu mendaraskan daftar manfaat atau bahayanya mengkonsumsi kopi. Bukan karena faktor kesehatan yang membuat aku berhenti ngopi. Aku hanya menyadari bahwa aku mulai mencandu kopi dan hal itu merenggut kebebasanku untuk beraktifitas. Aku merasa perlu sakit kepala karena kepalaku jadi mengirimkan signal aneh untuk segera dijinakkan kalau tidak ngopi. Aku juga sering mendadak bodoh karena belum ngopi. Kadang juga, rasanya hari menjadi begitu lesu kalau aku melewatkan ritual ngopi. Aku pikir kopi yang aku sematkan dengan penuh kemanjaan sebagai bagian dari hidupku sudah begitu kurang ajar mengontrolku. 

Sebagai orang yang percaya betul adanya kehendak bebas dalam diri manusia, aku mencoba tidak menyalahkan siapapun. Ngopi atau tidak itu cuma soal pilihan dan selera. Walau bapak, ibu maupun kakak ku yang memperkenalkan aku dengan enaknya aktivitas ngopi secara tidak langsung juga ikut bertanggung jawab. Kopi hitam kental dan panas ataupun kopi instan dengan campuran macam-macam menjadi sebuah surga kecil yang mesti dinikmati dengan mata terpejam agar nikmatnya merasuk sampai ke batang otak terkecil.

Akhirnya, aku memutuskan untuk bercerai dari kopi. Kesayangan yang menjadi penyemangat hidupku. Aku menyuruh otakku untuk mengabaikan wangi yang menguar darinya. Aku jadi menghindari kopi sama sekali, baik fisik maupun aromanya. Sekalinya aku ngopi atau mencium bau kopi, aku tidak bisa tidur seharian dan itu sangat menyiksaku. Aku benar-benar memusuhinya. Aku juga bersyukur memiliki banyak kesempatan untuk tidak bertemu dengannya lagi. 

Aku jadi sangat menikmati saat aku menolak kesempatan menyesap kopi ini atau kopi itu yang konon enak sekali. Aku merasa telah lulus. Lepas dari satu berhala. Bisa saja suatu hari aku ngopi lagi. Tapi itu artinya aku berdamai dengan berhala itu lagi yang mungkin akan membujukku untuk menghamba lagi. Tapi paradigma ku sudah memunculkan penolakan-penolakan terhadap segala sesuatu yang bersifat adiktif. Aku hanya tidak suka dengan sesuatu yang adiktif karena itu membahayakan hak dasar kebutuhan eksistensial ku. Kebebasan. 

Lalu aku berkenalan dengan berhala baru bernama sosial media. Saat itu twitter belum populer. Rasanya cemas jika aku tidak mengecek apa yang terjadi dengan facebookku. Fecebook adalah media dimana aku sering memperlihatkan diri ku yang pantas dilihat orang. Itu seperti sebuah catwalk pemikiran dan aku merasa perlu juga untuk menunggu dari para kritikus mode maupun komentator. Aku rasa, aku punya masalah dengan konsep eksistensialisme dalam diriku sendiri. Sampai akhirnya pada suatu hari, persoalan pribadi yang timbul dari sana membuatku untuk memutuskan jalur hubunganku dengan facebook. Menutup akun jadi solusinya.

Ternyata itu bukan solusi. Aku membuka lagi dan kembali menemui persoalan eksistensialisme dalam diriku. Aku mulai menganalisa diri sendiri dengan pisau analisa seadanya karena aku belum punya banyak pilihan untuk menggunakan pisau yang mana. Setelah aku membedahnya, aku merasa perlu membuat skala prioritas tentang penting atau tidaknya sesuatu untuk dibagi. Aku tidak perlu punya kewajiban untuk menambah pertemanan lagi. Ternyata menjadi orang yang aktif di dunia maya itu tidak enak dan tidak merubah secara signifikan cara pandangku. Malah aku yang merasa mengalami penurunan kualitas diri. Aku mulai jarang mengunjungi akun facebook lain. Bahkan membalas komentar-komentar yang ada. Mau bagaimana lagi> aku sudah terlanjur ada di facebook. Aku merasa bahwa solusi kali ini adalah bukan dengan anti facebook. Hanya perlu mengurangi aktivitas produksi status maupun komen. Aku juga merasa baik-baik saja kalau sampai berminggu-minggu tidak membuka facebook. Ternyata, aku bebas dari satu berhala lagi. 

Lalu aku berkenalan dengan smartphone yang membuatku senang sekali chatting. Berhala baru telah datang ke hidupku. Aku bisa tidur pagi dan mencari pembenaran bahwa tidur pagi untuk chatting itu sah-sah saja. Sampai akhirnya aku harus mengucapkan selamat tinggal untuk smartphone yang pasrah dibuat berkarat oleh air laut. Bisa dibilang, ini terpisahkan karena keadaan. Aku jadi tidak mencandu lagi. Satu berhala telah dimusnahkan beserta dengan data-data percakapan bersama mantan kekasih. Aku menyikapi tenggelamnya Optimus prime L7 dengan perasaan biasa saja. Dengan tidak mengumumkan ke orang banyak di saat terjadinya hal itu. Oh iya, aku pernah kehilangan handphone sebelumnya yang membuatku bersedih. Kali ini tidak. Ternyata aku mampu untuk tidak terikat lagi oleh hal fana bernama smartphone. Aku juga tidak ngoyo untuk mencari penggantinya. Aku cukup adem ayem dengan hp biasa saja yang kecanggihannya hanya lampu senter. Aku tidak perlu merasa terasing juga ketika orang membutuhkan pin BB, ataupun whatsapp. Hidupku masih normal. Biasa saja. 

Aku masih menyukai banyak hal sambil berjanji untuk menyukainya dengan biasa saja. Seperti film bagus, buku-buku, sepatu wedges, baju-baju, make up berkualitas dan makanan enak. Aku pernah mencandu sop iga depan kostan, pempek samping kostan, dan sate padang samping kostan, Sekarang sudah sembuh dari mencandu itu. 

Aku menghargai mereka yang masih memberhalakan rokok, kopi, games, tokoh dan yang lainnya. Hidup orang tidaklah harus sama dengan idealisme kita. Orang melalui prosesnya masing-masing. Aku hanya perlu tersenyum pada teman yang berkata tidak dapat berpikir jernih jika tidak merokok. Ia sebut itu kenikmatan, aku sebut itu perbudakan. Sekali lagi, soal sudut pandang dan kesadaran.

Salah satu mantan kekasih (ini artinya aku punya lebih dari satu ya) pernah berkata, "Mencintai itu bagiku cari berhala. Aku kadang perlu sesuatu untuk disanjung-sanjung atau dipelihara. Kamu sekarang ini, jadi berhalaku."

Ketika kita berpisah, aku menyikapinya dengan penuh pemakluman. Aku maupun dia punya cara yang tidak sempurna dan tidak indah-indah banget dalam mencintai. Bagiku cara mencintai juga unsur penting dalam sebuah hubungan. Dia sadar bahwa selama ini aku membenci kebiasaannya merokok dan ngopi gila-gilaan tanpa makan apapun. Dia sadar bahwa aku juga membenci gaya hidup begadang habis-habisan atau tidur terlalu lama sampai akhirnya seharian tidak melakukan apa-apa. Dia tahu aku kecewa dengan banyak hal dan tapi aku memilih bertahan setiap kali ada hal yang membuatku ingin lari.

Aku mengajaknya untuk mendengar sebuah lagu dari Soko yang liriknya, "I'm not in love, i'm not in love, with you. But it;s okay to stay with you. I'm not in love..." Aku hanya ingin berkata bahwa aku tidak akan meninggalkan dia cuma karena aku ingin membuat nyaman diriku sendiri. Dia bisa jadi berhala juga di hidupku seperti dia yang menjadikan aku berhala di hidupnya. Tapi dia juga bukan kopi, facebook, sate padang depan kostan, Sop iga depan kostan, chatting dan apapun di dunia ini yang sempat aku candui. Dia manusia. Bukan seonggok daging-tulang-darah yang bisa disimpan dan diperlakukan semau kita. Aku tidak perlu mengusir orang yang memilih berlindung di dalam kubah yang sama denganku kecuali atas keputusannya sendiri. Dia bebas memilih tinggal atau pergi. Aku hanya perlu menyiapkan hati jika suatu hari ada yang pamit. 

Sekalipun dia pernah berkata, "Aku nggak pernah meninggalkan siapapun. Siapapun. Apalagi kamu." Dan kemudian hari di saat kita mesti berpisah dia berkata, "Aku minta maaf, kalau kita bersama keadaannya akan buruk bagi kamu maupun aku. Aku nggak layak buat kamu." Aku menganggap semua ini adalah sebuah titik di semesta yang tidak mempengaruhi jalannya galaksi bima sakti atau orbit siapapun. Itu adalah hal kecil. Sebagai sesuatu yang selama ini ia anggap berhala, aku harus maklum. 

Aku tidak akan mempertahankan atau memaksa orang untuk tinggal. Tidak. Aku juga menghargai diriku sendiri. untuk tidak meminta siapapun agar bertahan atau masuk. Barangkali hujan diluar sudah reda dan ia perlu melanjutkan hidupnya di luar sana setelah merasa cukup hangat berada di dalam rumah yang ada aku di dalamnya. Aku belajar untuk mencintai secara wajar siapapun yang singgah. Benar-benar ingin mencintai secara wajar. Termasuk memaklumi setiap manfaat praktis yang ia dapatkan dari hubungan ini. 

Mencintai juga artinya membebaskan. Termasuk membebaskan seseorang untuk keluar dari hidup kita, Lagipula, hukum kekekalan cinta meniscayakan bahwa cinta itu tidak akan musnah, ia hanya berpindah dari satu hati ke hati yang lainnya. Itu berlaku bagi pecinta dan yang dicintai. Prinsip niscaya juga mengatakan bahwa sesuatu yang ada permulaannya pasti juga pasti ada akhirnya. Kecuali Tuhan. 

Jika sesuatu yang aku cintai mulai jadi berhala, aku akan meniru jejak Ibrahim : membakar para berhala. 

Pada akhirnya, Voltaire pernah berkata, kebebasan itu adalah sebuah hal yang sulit. Terutama bagi orang bodoh yang memuja rantai penjeratnya sendiri.

Aku hanya tidak ingin jadi orang bodoh. Setidaknya di mata Voltaire.

Hujan di Mampang, 13 Desember 2013

Sabtu, 23 November 2013

Aku Belum Tamat Baca Falsafatuna Lho

Sumber gambar : www.goodreads.com
Buku Filsafat yang pertama kali aku baca adalah Novel Dunia Sophie punya kakak ku. Bacanya pas aku SMP. Walau sebenarnya nggak ngerti persis apa yang dibicarakan, rasanya aku punya banyak energi yang nggak bisa tersalurkan lewat aktifitas selain baca buku. Aku bukan tipe anak yang sporty dan suka main lari-larian soalnya. Prinsip bacanya waktu itu adalah, ngerti nggak ngerti, pokoknya baca aja.

Kemudian, calon kakak ipar (sekarang udah jadi kakak ipar beneran) punya buku judulnya Falsafatuna karya Muhammad Baqir Sadr, katanya buku itu keren dan jadi kajian di HMI saat itu. Aku akhirnya ikut baca buku itu cuma karna kakak ipar dan kakak ku bilang buku itu keren. Dulu, aku emang punya kecenderungan untuk meniru apa yang kakakku lakukan. Kalau dia bilang sesuatu itu keren, berarti itu pasti keren. Kakakku kan mahasiswa Sastra di UNS, kakak ipar mahasiswa Fisika di kampus yang sama. Jadi pasti mereka berdua ini keren. Lebih keren dari aku yang baru aja masuk kelas 1 SMA (atau malah masih SMP ya, lupa) dan nggak ngerti apa-apa selain nantangin orang-orang untuk tanding catur. (kakak-kakakku yang baca ini, koreksi ya kalau aku salah periodisasinya :p)

Buku itu nggak selesai aku baca. Aku beneran nggak ngerti sama sekali sama term-term filsafat yang bertebaran di buku itu. Buku itu akhirnya tergulung begitu saja. Karena aku sibuk dengan buku filsafat yang lain, yaitu buku Harry Potter and the Philosopher's Stone. 

Sekalipun aku berhasil lolos seleksi kelas epistomologi (yang masuknya pake tes logika dan masih heran kenapa aku bisa masuk kelas itu padahal aku nggak ngerti apa2) bersama 2 kakak ku, aku tetep aja nggak ngerti buku falsafatuna. Di kelas, aku cuma pendengar dan sesekali mengantuk. Berkat kelas itu, aku berkenalan dengan term filsafat yang sampai sekarang masih melekat. Yaitu ilmu Hudhuri, ilmu Khusuli. Itu kelas 2 SMA. Pengajarnya sekarang jadi temen juga di FB ku. Dia masih inget aku nggak ya... Soalnya aku pendek dan kecil banget dulu. 

Sampai akhirnya, di masa kuliah, aku baru tau ada banyak kesalahan penerjemahan bahasa Indonesia di buku falsafatuna itu. Aku jadi punya pembenaran, kenapa aku nggak ngerti buku itu. Sebenernya kita nggak boleh cari-cari pembenaran sih. Tapi gimana lagi ya. Font buku itu kecil-kecil, aku ngantuk baca bukunya. Seorang dosen menyarankan untuk membaca versi bahasa Inggrisnya saja karena terjemahan inggrisnya jauh lebih baik. Aku mengiyakan, tapi sampai sekarang aku belum baca versi inggrisnya. Maaf ya :((

Buku Falsafatuna, masih jadi buku filsafat yang cukup misterius sampai sekarang. Karena setiap orang bilang betapa kerennya buku itu. Aku juga merekomendasikan buku itu ke orang-orang yang mau belajar filsafat. Dengan harapan, setelah mereka membaca buku itu, mereka bisa mendiskusikannya. Dengan begitu, aku bisa mencuri dengar apa isi buku itu. Orang-orang pikir, aku sudah baca buku itu, karena aku bisa menanggapi apa yang mereka katakan. Padahal tanggapanku adalah hasil bacaan dari buku filsafat lainnya. Bukan Falsafatuna. 

Di Hari Filsafat sedunia yang mulia ini, aku mau mengaku, kalau aku sebenarnya belum tamat memahami dan membaca buku Falsafatuna. Maaf buat teman-teman yang dulu pernah diskusi tentang buku itu. Aku pernah bilang ini sama seorang teman yang sering diskusi filsafat dengan ku kalau aku belum baca buku itu, tapi dia nggak percaya dan malah bilang, "kamu tawadhu sekali." Padahal aku jujur, mengatakan yang sebenarnya. Apakah aku terlalu berwajah pintar??? Ah, anggap saja begitu.

Ps : Sebenernya ini postingan foto di Facebook pas #WorldPhilosophyDay tanggal 21 November kemarin. Mau diposting di sini tapi lupa. Dari komentar teman-teman di Facebook, mereka emang bilang buku ini emang keren. Banyak juga yang nggak ngerti saking berbobotnya. Ada yang harus membacanya berkali-kali. Intinya, I'm not alone. Rasanya, aku berhutang pada ilmu pengetahuan kalau sampai nggak baca buku ini sampai tamat. Aku juga harus paham. 

Dengan nama ilmu Nya yang sangat luas, tuntunlah aku menuju jalan cahaya. Amin.

Oh iya, jangan lupa baca buku-nonton film-diskusi-nulis supaya kita terus mengaktual.

Jumat, 22 November 2013

Cerita Awal Sekolah

Waktu kecil, aku didaftarin ibu di TK Muara Warta di daerah Bekasi. TK nya mbak Umu. Pas mbak Umu lulus TK itu, dia udah bisa nari, baca, nulis, nyanyi, itung-itungan dan sepertinya dia bahagia. Karena TK itu banyak pikniknya. Ada renangnya juga sih. Karena TK itu, mbak Umu bisa masuk SD Jaka Setia yang jadi favorit di Bekasi Selatan. Mbak Umu masuk kelas 1 SD, aku masuk TK kecil.

Dilihat dari namanya, udah jelas kan kalau TK itu nggak jauh-jauh dari dunia wartawan gitu. Bayarannya semahal SPP Mbak Indah di SMA Pondok Gede. Ibuku sepertinya pengen banget aku bisa sepinter mbak Umu. Jadi, dengan seragam biru putih, aku diajak ibu sekolah. Meneruskan tradisi intelektual dengan sekolah TK di Muara Warta. 

Ada sepupu juga yang sekolah bareng. Seumuran. Namanya mas Ridho. Dia ompong, rambutnya jabrik, kupingnya caplang dan mirip sama pak Tile. Kita suka berantem. Setelah itu kita main nikah-nikahan di rumah. Soalnya tetanggaan juga. Tapi aku nggak mau cerita tentang mas Ridho. Aku mau cerita tentang diri sendiri. Kalau mau tau Mas Ridho, cari di FB ku, namanya Ridho Idho. Tapi nggak penting juga sih ya.

Nah, lanjut.
Ternyata, kehidupan di TK tidak seindah yang aku bayangkan. Di sana banyak anak nakal. Hari pertama ku di sekolah sangat buruk. Aku nggak boleh naik ayunan. Padahal ayunan itu bagus, warna warni. Kapan lagi main ayunan kalau nggak disekolahan? Aku rebutan ayunan sama anak cowok nakal yang nggak aku kenal. Dia seenaknya aja ngeludahin bangku ayunan itu. Dia juga masih sempet meletin aku. Ayunan yang ada ludah dia itu dia kuasai. Dia duduk di ludahnya sendiri. Jadi kalau ada ungkapan "Menjilat ludah sendiri" di kasus ini adalah "Menduduki ludah sendiri." Aku nangis, Pokoknya pulang! Aku nggak mau sekolah lagi.

Jadilah, aku cuma ngerasain sehari di TK. Sekolah itu nggak enak. Aku benci sekolah.

Pastinya, ibuku prihatin. Ibu tetep bujuk buat sekolah. Aku nggak mau. Lagian, seragam biru putih itu nggak ada bagus-bagusnya. Nggak keren. Aku ngerengek minta pakai seragam merah putih. Kayak Mbak Ima dan Mbak Umu. 

Aku benar-benar mendapatkan seragam merah putih ku besoknya. Ibu masukin aku ke SD Inpres. Aku senang karena tiap pagi berangkat sekolah bisa sama Mbak Ima dan Mbak Umu. Yang anterin adalah si Bapak, naik motor. Karena ada di SD yang berbeda. Yang dianterin duluan Mbak Ima ke SD Cikunir, Mbak Umu ke SD Jaka Setia, baru deh aku.

Tentu saja, aku nggak bisa baca, nulis, apalagi ngitung. Bahkan aku nggak bisa nyanyi selain lagu selamat ulang tahun. Jadi, jangan heran kalau sampai sekarang aku nggak bisa nyanyi. Itu karena aku nggak pernah TK. TK kan tempat orang belajar nyanyi dan teriak-teriak. 

Setelah masuk SD, aku baru tahu, ternyata, sekolah itu menyenangkan!

Aku nggak inget tas ku isinya apa. Karena semua disiapin sama ibuku. Aku nggak ngerti sama sekali apa yang bu Guru bilang. Sama sekali. Aku bahkan nggak inget kalau di kelas aku ngapain.

Yang aku inget adalah. Aku datang pagi-pagi. Begitu duduk di kursi, kakak-kakak kelas 6 yang badannya gede-gede itu langsung pada ngerubungin aku. Cewek maupun cowok. Setelah itu, aku digendong ke kelas mereka. Iya, di gendong! Di kelas mereka itulah aku dikasih jajanan sambil di cowel-cowel pipinya. Aku suka bingung kenapa yang diperlakukan gitu cuma aku doang.

Akhirnya, setelah terjadi berulang kali. Aku baru tahu dari mereka sendiri. Aku diperlakukan kayak gitu itu karena aku ini lucu, imut, putih, tembem, dan mukaku lebih mirip boneka daripada manusia. 

Oh, jadi aku imut, Aku lucu, Aku putih. Aku mirip boneka. Lalu semua orang mencintaiku. Hidup gampang banget ternyata.

Mereka yang bilang lho, bukan aku. Temen-temen mbak Indah yang anak SMA juga suka ngomong gitu. Kalau nggak percaya, tanya aja mbak Indah. Akun FB nya Indah Koen tuh.

Jadi aku tumbuh sebagai anak caper menggemaskan. Setidaknya bagi orang-orang disekitar ku.

Aku juga suka main di taman yang satu lokasi sama sekolah ku. Di sana ada bunga-bunga indah. Warna putih dan wangi. Aku suka duduk-duduk di taman itu sambil ngumpulin bunga sama temen ku, namanya Pita. Aku dan Pita merangkai bunga dengan model kayak buket bunga pernikahan. Pulangnya, aku bawa bunga itu dan main nikah-nikahan sama Mas Ridho. Pada suatu hari, aku kasihin bunga ke Mbak Ima karena Mas Ridho sama aku lagi marahan. Kita bosen main neng nang neng dong lagi. Mbak Ima bilang, "Yu, ini kan kembangnya orang mati. Elu ngambil kembang di kuburan sekolah elu ya?"

Kenapa nggak ada yang kasih tau kalau itu adalah kuburan? 

Jadi tempat itu bukan taman ya? 

Pertanyaan mbak Ima merusak hari-hari indah saat waktu istirahat datang. Aku nggak tahu sama sekali kalau singgasana yang biasanya aku pakai buat kursi ratu-ratuan sama Pita itu adalah makam. Sejak itu, aku nggak main di kuburan lagi. Soalnya aku lahir pas jumat kliwon. Kata mbak Ima aku gampang dimakan genderuwo.

***

Aku juga nggak punya beban sekolah. Pas ujian, aku minta ditemenin Ibuku karena aku buta huruf. Aku nggak ngerti. Ibuku harus berdiri di pintu kelas dan aku nyuruh Ibu ngisi apa yang harus diisi. Di depan guru kelas. Aku nggak tau kalau itu sebenernya nggak boleh. Tapi kalau nggak gitu, aku nangis. Ibuku sih yang cerita ini. Aku cuma inget dulu aku suka di pintu kelas nyamperin Ibuku sambil bawa buku. Ibuku nggak enak hati sama guru. Tapi dia pasti udah bilang sesuatu sama guruku, Entah minta pemaklumanm entah minta maaf, pokoknya, aku mau Ibuku setiap kali ujian. Malang sekali ibuku punya anak sepertiku. 

SD Inpres itu kumuh. Lapangan upacaranya masih tanah yang becek banget kalau hujan. Padahal untuk mencapai ruang kelas, harus nyebrangin lapangan dulu.

Tiap kali bapak jemput sekolah, kakak-kakak kelas suka manggil, "Ayu Ayu Ayu..." gitu. Aku jadi keki. Tapi kan aku imut, lucu, putih dan kayak boneka. Jadi aku boleh caper. Akhirnya, aku berjingkat-jingkat sok mau lari gitu di tanah yang super becek habis dihajar hujan semalaman. Tanah itu licin dan seluruh sepatuku jadi kotor.

Karena caper, aku jatuh. Seluruh tubuh! Sampai ke rambut dan muka. Aku yang selalu jadi pusat perhatian diketawain orang-orang yang ngeliat. Malu banget. Aku langsung nangis. Kejadian itu tambah menyakitkan karena bapak juga ketawa sambil nolongin aku. Perjalanan dari sekolah ke rumah aku habiskan untuk menangis.

Besoknya, aku nggak mau sekolah lagi. Aku malu. 

Aku lucu, aku imut, aku putih, mukaku kayak boneka dan aku jatuh! Harga diriku rasanya juga ikut ambruk.

3 hari berturut-turut aku nggak mau sekolah. Aku sekolah setelah Ibu bilang mau nemenin aku sekolah dari awal sampai akhir. Aku berangkat sekolah lagi dengan perasaan asing sama lingkungan sekitar. Aku takut semua orang masih menertawakan aku. Aku takut orang nyebut-nyebut tentang jatuhnya aku.

Ternyata nggak!

Semua orang masih suka goda-godain dengan bilang, "Ayu lucuuu... Ayu Imuuut... Ih muka bonekaaaa."

Aku nggak minder lagi.

Aku mengakhiri kelas 1 tanpa keterampilan apa-apa. Nggak bisa nulis, nggak bisa baca, nggak bisa ngitung, nggak bisa ngegambar juga. Tapi aku bisa naik kelas ke kelas 2 SD karena mesti pindah rumah ke Cibitung.

SD Inpres sekarang udah nggak ada. Udah tergusur dan jadi Tol Bekasi itu. Malang sekali nasibnya. 

Akhirnya aku bisa baca juga! Kalimat pertama yang aku baca adalah sebuah iklan rokok di TV. Aku tiba-tiba membaca begitu saja tulisan di TV itu tanpa mengeja. Tulisan itu adalah, "Gudang Garam Filter, Pria Punya Selera." Itu terjadi pas menjelang kelas 3 di SDN Cibitung 2. Tentu saja, itu berkat keras Ibu yang ngajarin aku baca. Bu Kursi, guru SD kelas 2 yang sayang banget sama aku karena aku imut juga ikut berkontribusi ngajarin aku baca. 

Sejak saat itu, aku bisa baca. Apapun aku baca. Kecuali baca soal cerita di pelajaran Matematika. 

Aku juga pisah sama Bu Kursi dan harus tabah menghadapi Bu Endang yang galak. 

Bu Endang ini tetangga satu komplek. Aku ketakutan. Aku harus pura-pura sakit tiap kali aku jenuh di sekolah. Supaya Pak Guru segera memboncengkanku dan mengantarkan ku pulang ke rumah. Supaya nggak diajar sama Bu Endang.

Aku, lagi-lagi, benci sekolah. 

Kehidupan sekolahku berubah jadi tidak ramah setelah itu. Apalagi saat pindah sekolah SD (lagi) ke Boyolali. Sekolah jadi sesuatu yang berat dan membosankan.

Sekarang, aku mengalami banyak hal berat daripada masa-masa sekolah itu. Dan aku pikir, Toh, pada akhirnya nanti, semuanya akan berlalu. Seperti lembaran buku yang kemarin kita baca dan kemudian ingatannya menempel di otak.

Dunia memang tidak berjalan sesuai dengan kemauan kita. Aku rasa, aku hanya harus memainkan seni, tentang bagaimana caranya memilih kebahagiaan.


Tegal Parang, 22 November 2013

Rabu, 20 November 2013

Hidup itu, Drama

Jangan malu atau merasa terhina kalau ada yang bilang hidup kita penuh drama. Bisa saja, kehidupan yang penuh drama justru membawa kita pada jalan-jalan intelektual dan spiritual yang lebih bermutu.

Diantara banyak drama yang dicatat sejarah, aku terkesan pada drama 2 orang ini. Drama, telah merubah kehidupannya jadi lebih tercerahkan. 

Orang pertama adalah Soren Aabye Kierkegaard. Filosof Eksisitensialis dari Denmark. Kisah cintanya dengan Regina Olsen yang penuh drama justru jadi inspirasi utama kelahiran pemikiran-pemikiran briliannya. Regina adalah tunangan Kierkegaard yang sangat Ia cintai. Tapi akhirnya Kierkegaard memutuskan pertunangan di tengah jalan walaupun pihak Regina memohon kepadanya supaya jangan membatalkan. Ayah Ragina berkali-kali menemui Kierkegaard untuk mempertanyakan keputusannya.

Kierkegaard sangat terbebani perasaan takut tidak dapat membahagiakan Regina yang sangat ia cintai. Ia juga merasa sudah berkhianat dan tidak dapat berkata jujur tentang banyak hal pada kekasihnya. Regina -gadis muda yang cantik kesayangan Kierkegaard itu- akhirnya menikah dengan orang lain. 

Kierkegaard sering mengirimkan surat permintaan maaf pada Regina. Dia juga sering menulis betapa Ia sangat mencintai Regina Sikap melankolisnya terbawa sampai pada karya-karyanya. Para profesor universitas sampai bingung membaca tesis Kierkegaard. Ini karya ilmiah atau karya sastra? Bahasa Kierkegaard yang terlalu mendayu-dayu dan cenderung curcol membuat tesis ini jadi kelihatan tidak ilmiah. Toh akhirnya tesisnya bisa diterima. Kierkegaard sampai sekarang dikenal orang sebagai "Orang Denmark yang melankolis." Ia jadi bapak eksistensialime dalam dunia filsafat.
"Hidup bukanlah masalah yang harus dipecahkan, tapi kenyataan yang harus dialami."
Kierkegaard
Orang Kedua adalah Jalaludin Rumi. Perpisahan dengan guru yang sangat Ia cintai -Syamsi Tabriz- adalah titik nadir kelahiran sajak-sajak Mastnawi nya. Sebelum pertemuannya dengan Syamsi, Rumi adalah pengajar agama yang terkenal sangat pintar dan disegani. 

Hingga kemudian, Syamsi muncul. Kehadiran Syamsi membuat Rumi berfikir kalau ternyata dia tidak tahu apa-apa tentang hakikat kehidupan ini, sekalipun ia adalah seorang pengajar agama. Murid-murid Rumi tidak suka dengan persahabatan gurunya dengan Syamsi Tabriz sang pengembara. Bagi mereka, Rumi yang mulia tidak pantas bersahabat dengan Tabriz yang  miskin dan tidak punya apa-apa. Apalagi sejak Tabriz datang, Rumi tidak dapat berpisah darinya sehingga ia mulai mengabaikan para pengagumnya.

Untuk merebut kembali perhatian Rumi yang terserap oleh kehadiran Tabriz, ratusan murid Rumi membuat skenario untuk mengusir Tabriz jauh-jauh dari sisi gurunya. Tabriz pun pergi jauh, mengembara dan menjalani kehidupannya yang zuhud. Ia tidak pernah kembali lagi lagi ke Kunya, kota tempat tinggal Rumi.

Sejak kepergian Tabriz, Rumi yang saat itu berumut 37 tahun mulai melahirkan syair-syair indah mastnawi yang bernafaskan cinta dan kerinduan yang mistikal. Rasa cinta dan takzimnya pada sang guru telah berubah menjadi cinta yang transendental (Ilahiah). Cinta itulah yang membawanya pada jalan sufistik dan jadi penyair. Kalau tidak karena drama perpisahan dengan Sang Guru, mungkin kita tidak akan mengenal Rumi. Karena ia hanya akan menjadi guru agama (baca: ustad) biasa saja. 

"Jika kau menggigit orang dengan gigi hingga terluka, sakit gigi akan menyerangmu ~ apa yang akan kaulakukan?"
Rumi
Drama tentang perpisahan, kesedihan, dan kerinduan seharusnya bisa jadi jalan untuk melangkah ke maqam yang lebih tinggi. Seperti Kierkegaard, seperti Rumi. Kita selalu punya drama tersendiri dalam hidup yang bisa jadi kesempatan buat kita untuk "naik kelas" ke tempat yang lebih tinggi lagi. 

Maaf ya teman-teman kalau tulisan ini kesannya kayak tulisan motivasi. Pokoknya hari ini dan seterusnya kita harus semangat! Harus tahu alasan untuk bahagia. Jangan sedih lama-lama. Karena bad day, pasti berlalu. ^^v


Cheers!!!
Salam Drama Queen...

Selasa, 12 November 2013

Melintasi Ketakutan

Dulu aku begitu kagum dengan kata-kata yang dipilih JK Rowling di dalam buku Harry Potter, ketika Lupin berkata pada Harry, "Ketakutan terbesarmu adalah ketakutan itu sendiri, Harry." Novel Harry Potter sudah tamat sejak aku SMA. Sudah berhasil membaca semua serinya juga berulang kali. Tapi sampai sekarang aku masih memikirkan kalimat itu, di kepalaku. 

Memikirkannya, membuatku merasa bahwa barangkali Dementor sedang berada di dekatku dan menyerap kebahagiaan yang seharusnya bisa aku pilih. Memikirkan ketakutan-ketakutan, serta merta membuat jantungku berdegub keras. Tiba-tiba aku akan terlempar ke bawah kubah kecemasan. Hatiku mencelos turun ke perut dan jantungku rasanya membesar.

Lalu aku berfikir, betapa anehnya ketika aku justru membiarkan diri disiksa oleh hal-hal yang belum terjadi. Atau hal-hal yang sudah terlanjur terjadi. Ketakutan itu mengkristal dalam celah-celah harapan, menjadikan cahaya yang harusnya terang dilingkupi setitik 'ketiadaan cahaya'. 

Bagaimana mungkin ada perasaan takut kehilangan sesuatu yang bahkan belum -atau justru- tak pernah kita miliki? Bagaimana mungkin ketakutan itu datang kepada sebuah masa dimana kita bahkan belum melangkah di dalamnya? 

Kehidupan, kebenaran dan cinta adalah bagian dari semesta, bagian dari manusia yang hingga kini masih terus dipertanyakan. Jika ada jawabnya, kita masih saja tidak selesai memahaminya. Yang aku tahu, pemahaman itu bergradasi. Aku mesti berdarah-darah dan berurai airmata sambil terseok-seok menggapai gradasi terpekat dari puncaknya.

Orang-orang sering berkata bahwa harapan wujudnya bagai tiang gantungan. Ada algojo yang sudah menunggu kita untuk di eksekusi. 

Lalu sejarah bercerita, tentang orang yang memilih mati untuk hidup, tentang orang yang hidup untuk memilih kematiannya sendiri dan tentang orang yang hidup diatas kematian orang lain. Jika aku harus memilih, aku ingin mati untuk hidup. Walau itu tidak akan serta merta menjadikan aku martir. Iya, memang tidak banyak yang sudah aku perjuangkan. Tidak banyak yang aku perbuat selama ini. Lalu bagaimana mungkin aku bisa mati untuk kehidupan itu sendiri. 

Aku perlu menghela nafas, sembari mengeja kehidupan yang memang rumit, kerumitan itu yang menjadikan ia begitu cantik. Begitu misterius sekaligus berbahaya.

Aku tidak pernah selesai untuk bertanya pada diri sendiri, seberapa besar ketakutanku untuk hidup atau seberapa besar ketakutan untuk mati. 

Bukankah ancaman menuju kematian sudah terlalu sering? Tapi aku tidak juga menyingkir ke wilayah aman. Wilayah yang aku pijak adalah wilayah yang aku cintai. Bukankah indah jika akhirnya memilih kematian di wilayah yang kita bela setengah mati. Kita torehkan jiwa raga kita untuk hal yang kita anggap pantas diperjuangkan.

Jika aku sempat berpikir tentang ketakutan, tentu saja, aku juga masih punya waktu untuk keberanian. Aku masih punya tempat untuk berjuang, setidaknya untuk hal-hal kecil yang aku yakini sebagai kebenaran. Aku akan melanjutkan hidupku, yang berisi separuh ketakutan, separuhnya lagi keberanian. Kemudian menghimpunnya sebagai kekuatan.

Yang paling utama, aku ingin membunuh cemas. Tepat di pangkalnya ketika ia datang. Terutama jika ia berbentuk ketakutan akan hilangnya hal-hal yang tidak pernah kita miliki, terhadap yang belum pernah terjadi. Terhadap apapun, yang menjadikan aku takut untuk mati.

--
Jakarta, Menjelang 10 Muharram

Jumat, 08 November 2013

Peran Orangtua dalam Psikososial Erik Erikson

Menurut teori psikososial Erik Erikson, setidaknya ada 8 tahapan perkembangan manusia yang harus dilalui untuk dapat mencapai kehidupan yang matang dan layak. Tahap tersebut dimulai dari usia 0-60 tahun keatas. Tahapan yang dimaksud Erikson itu bukanlah sebuah tahapan gradual yang jika gagal di satu tahap, otomatis gagal juga di tahap berikutnya. Karena bisa saja, gagal di fase pertama namun akhirnya menemukan solusi atas kegagalan itu saat menginjak fase kedua. Sehingga anak dapat menempuh tahap selanjutnya dengan baik.

Kesadaran manusia akan dirinya dapat membantu manusia untuk mencapai keberhasilan di tiap tahapan. 6 tahapan pertama adalah tahapan yang membutuhkan peran keluarga inti sebagai pendukung utama. 2 tahapan berikutnya dilakukan oleh manusia yang mulai terpisah dari keluarga inti dan berencana membuat sebuah ikatan keluarga yang baru. Kali ini, yang akan dibahas adalah 6 tahapan awal dalam kehidupan menurut Erik Erikson yang mengharuskan pentingnya pendampingan orangtua di dalamnya.

Tahap Pertama Usia 0-18 Bulan. 
Di fase paling dasar ini kepercayaan, kebergantungan bayi ditentukan oleh kualitas pengasuh bayi tersebut. Jika tahap ini berjalan dengan baik, dia akan merasa aman, selamat dan percaya diri. Jika pengasuhnya tidak konsisten, tidak tersedia secara emosional, atau menolak untuk memberikan perhatian, maka akan dapat mendorong perasaan tidak percaya diri pada bayi yang diasuh. Selain itu, bayi akan menemukan ketakutan-ketakutan karena merasa ternyata dunia ini tidak konsisten dan susah ditebak. 

Tahap Kedua usia 18 Bulan-3 Tahun
Fase ini menentukan pengendalian diri anak berupa penggunaan toilet, makanan, mainan dan pakaian yang disukai. Hal tersebut penting dilakukan karena berpengaruh pada peningkatan kepercayaan diri balita. Pengasuh/orangtua akan melatih anak untuk memiliki kesadaran pengendalian diri terhadap dirinya sendiri. Kalau gagal dalam fase ini, anak akan merasa selalu tidak cukup, tidak puas dengan apa yang dipunyainya dan ragu-ragu terhadap diri sendiri. 

Tahap Ketiga Usia 3-6 tahun
Fase ini memungkinkan anak untuk memasuki dunianya yang baru dengan interaksi sosial di pra-sekolah atau lewat permainan. Jika pengasuh/orangtua berhasil mendidik anak di fase ini, anak akan memiliki kemampuan inisiatif yang tinggi dan rasa tanggung jawab dalam memimpin. Jika gagal, Ia akan merasakan perasaan bersalah, ragu-ragu dan merasa tidak kreatif atau kurang rasa inisiatif. Anak akan merasa tidak diberi kepercayaan dan merasa cemas. 

Tahap Keempat Usia 6 Tahun-Pubertas
Di fase ini anak akan merasa bangga pada keberhasilan, kemampuan, kompetensi dan berbagai keterampilan yang dimilikinya. Penting bagi mereka untuk terlibat pada pengalaman-pengalaman baru. Mereka mulai merasa perlu memiliki keluasan pengetahuan dan keterampilan intelektual. Di sini, orangtua, guru dan lingkungan sekitar sangat berperan penting dalam menumbuhkan potensi-potensinya tersebut. Jika gagal pada tahap ini, anak akan merasa bahwa ia tidak produktif dan tidak berkompeten di bidang yang ia tekuni. Hal ini berimbas pada ketekunan dia di masa yang akan datang. 

Tahap Kelima Usia 10-20 Tahun
Remaja mulai mandiri, membangun kepekaannya, mencari jati diri dan menentukan tujuan-tujuan hidup. Di fase ini, seorang remaja mulai merasakan romantisme, pekerjaan, tanggung jawab dan berperan di lingkungan untuk membentuk diri menjadi seseorang dengan identitas positif. Peran orangtua dalam memberikan kepercayaan dan arahan (bukan dalam bentuk perintah-perintah) penting untuk dapat menjalani masa depan yang positif. Jika identitas diri yang ditemukan oleh remaja tersebut diabaikan dan ditolak oleh orangtua, maka ia akan mengalami kebingungan jati diri yang akut tentang masa depan dan dirinya sendiri. 

Di masing-masing tahapan ada indikator jika fase itu gagal atau berhasil. Nah, jika kita lihat ada orang yang sudah dewasa tapi masih mengalami masalah yang seharusnya bisa diatasi saat anak melalui 5 tahapan awal kehidupannya, berarti ia memang kurang mendapat dukungan dari orangtua dan lingkungan sekitar untuk menemukan dirinya.

Jika kita lihat teori Erikson ini, kita akan mengetahui betapa pentingnya fase awal dalam perkembangan manusia. Apa jadinya jika pada 5 tahap perkembangan itu, anak hanya diasuh oleh seorang baby sitter yang berpendidikan rendah? Untuk jadi orangtua yang bisa menemani fase itu dengan baik pun harus memiliki bekal yang cukup dan kelayakan. Akan beda anak yang diasuh oleh orangtua yang memiliki pengetahuan luas dengan seorang baby sitter lulusan SD. 

Wanita-wanita pintar dan berpendidikan tinggi semestinya mau fokus mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak demi menyiapkan gen unggul untuk bangsa ini. Karena jika tidak, negara kita ini akan terus menerus berada di lingkaran setan karena kekurangan SDM berkualitas. 

Untuk itu. jika ingin mendidik anak, kita harus mendidik diri sendiri dulu. Sebaik-baiknya, setinggi-tingginya. Mengukir masa muda  dengan pengalaman semanis-manisnya dan petualangan sebanyak-banyaknya. Berjalan sejauh-jauhnya, membaca buku sesering mungkin, belajar sekeras-kerasnya, bergaul seluas-luasnya, mengikuti organisasi sematang-matangnya, bekerja serajin-rajinnya, bahkan, tidak masalah jika kita mencoba berbuat senakal-nakalnya asal kita tahu kapan harus berhenti. Jangan lupa, apapun, ada tanggung jawab yang diemban dan konsekuensi yang harus dijalani. 


Jika itu semua sudah dilakukan, barulah kita siap untuk menjalani kehidupan pernikahan dan berkeluarga. Jika tidak, bagaimana kita akan membicarakan dunia ini kepada anak? Anak, atas petunjuk kita (sekali lagi, bukan perintah-perintah) akan menemukan jati dirinya sendiri yang sesuai dengan perkembangan jamannya. Tugas kita adalah mempersiapkan dengan baik apa yang menjadi jalan mereka kelak. Bahkan, persiapan-persiapan mendidik anak dimulai sebelum pernikahan itu sendiri terjadi. 

Di jaman modern, wanita berada di persimpangan antara mengejar karir (atau bekerja saja, tanpa harus mengejar karir) di luar rumah dengan fokus di keluarga. Ini adalah soal pilihan dan seberapa matang kita mempersiapkan pilihan-pilihan itu. Subhi-Ibrahim, seorang dosen filsafat Paramadina berkata, "Bayangkan jika sejak awal seorang anak dididik oleh seorang Ibu yang Sarjana Filsafat. Bayangkan nantinya anak ini akan secerdas apa." Ia juga menambahkan bahwa semakin tinggi pendidikan seorang wanita, maka tangung jawab untuk fokus mengurusi anak-anaknya sendiri juga seharusnya, semakin tinggi. 

Menjadi Ibu rumah tangga tidak hanya sibuk dengan urusan-urusan domestik di dalam rumah. Seorang Ibu, tetap berkewajiban untuk memberikan kontribusi pada komunitasnya, membangun masyarakatnya. Ibu rumah tangga juga bisa jadi penulis, wirausaha di rumah atau apapun yang menghasilkan. Bukan berarti diam dan membiarkan suami menghandle semua urusan material sendiri. Apalagi jika ternyata penghasilan suami belum terlalu mencukupi untuk keluarga.

Berkat seorang Psikososial berkebangsaan Jerman ini, kita dapat memahami bahwa pilihan menjadi seorang Ibu rumah tangga tidak melulu karena alasan-alasan agama yang sering disebut para feminist sebagai pengecilan peran perempuan. Justru dengan menjadi Ibu rumah tangga, seorang wanita menemukan dirinya dan tanggung jawab besarnya kepada negara, untuk melahirkan generasi terbaik, putra peradaban yang dididik dari rahim yang berkualitas. 

Di dalam tulisan lama berjudul Wanita dan Kemanusiaan, ada pandangan Imam Khomeini tentang bagaimana menjadi perempuan sejati. Jangan sampai, sebagai perempuan kita akhirnya melahirkan generasi yang cengeng, yang takut melakukan perlawanan pada kedzaliman dan takut menyuarakan kebenaran.

Jika kita menengok teori Hegel tentang "Back to Nature" nya, maka kita akan lebih sepakat pada pola pendidikan yang diajarkan oleh Erikson. Karena Hegel meminta kita untuk membiarkan anak dirawat oleh alam, tanpa campur tangan orangtua sekalipun anak tersebut masih di usia dini. Bagi Hegel, dengan cara itulah anak menemukan dirinya. Prinsip itu diterapkan kepada anak dari hubungan incest nya dengan Christiane Burkhardt yang menjalani kehidupan yang miskin dan terlunta-lunta. Sampai akhirnya Ludwig -anak Hegel- yang berkebangsaan Jerman, mendaftarkan diri dalam militer Belanda, bertempur membela kolonial Belanda melawan Pangeran Diponegoro dan meninggal di tanah Jawa. Jauh dari ayahnya yang dibenci sekaligus sangat dirindukannya. 

Nah, sama-sama pemikir Jerman, yang satunya adalah seorang psikososial dan yang satunya adalah seorang filosof, pola mana yang akan kita pilih?

Tulisan ini dibuat tanpa mengurangi rasa hormat kepada para Ibu yang terpaksa bekerja di luar rumah sehingga dengan berat hati harus menyerahkan pengurusan anak pada orang lain (Baby sitter, tetangga, nenek dll). Bagaimanapun, memang selalu ada yang dikorbankan dengan pilihan-pilihan kita. Semoga anak-anak kita dapat melewati tahap-tahap itu dengan baik nantinya.

---
PS :
Tulisan ini dibuat setidaknya karena 3 hal :
  • Iseng nulis dalam tekanan deadline transkip wawancara
  • Kangen nulis untuk majalah keluarga
  • Tentang sebatang rindu yang baru saja dipatahkan kekasih


Mampang, 8 November 2013

Jumat, 11 Oktober 2013

Buat Rasyid Hamid : Maaf untuk 30 Agustus yang Terlewatkan

Kesalahan terbesar kali ini berbentuk: "Aku tidak ingat bahwa aku lupa."
Dear, Rasyid...

Disadari, bahwa kehidupan meniscayakan kita berhadapan dengan berbagai hal yang membuat kita kuat, hal itu bernama masalah. Ia datang seperti anyaman yang terbentang dan menghalangi pandangan mata. Membuat kita abai, bahwa di depan kita masih ada banyak hal yang bisa dilihat dengan senyuman. 

Lucunya, kita sering menunggu orang lain menyobek anyaman itu dan seolah menampar pipi kita, berteriak dengan klise, "Bangun donk! Jalan masih panjang. Ini bukan apa-apa, Belum apa-apa." 

Untunglah, masalah itu -selalu saja- tidak sebesar rasa syukur kita (kalimat sederhana ini keluar setelah refleksi panjang tentunya :P). Bukankah selama ini, kita tidak pernah sendirian saat mesti berhadapan dengan masalah? Ada sahabat yang membantu kita bangkit atau ada kekuatan tersembunyi yang membuat kita mau nggak mau harus terus bertahan. Kalau kata mantan ku sih (You-know-who) "Hidup, terus berjalan, orang jualan bubur masih jualan bubur, orang jualan nasi goreng masih jualan nasi goreng. Masalah toh akan tetap datang. Jangan terpengaruh jadi lemah... Gitu".

Cid, serius deh, aku sering merasa bahwa salah satu hadiah terbaik yang Tuhan berikan adalah kamu, laki-laki baik-baik yang jadi sahabatku tanpa alasan-alasan pragmatis yang menjemukan. Bagiku, kamu masih Laki-laki paling tulus, paling besar maafnya dan paling available dalam hidupku. Kan kamu udah jadi semacam bagian dari keluarga ku, Jadi, aku tidak perlu lagi memilah-milah, mana yang kepentingan keluarga mana yang kepentingan kita. Sama saja. Sadar apa nggak kalau kamu memang seperti itu. Tanya Nila deh kalau kamu nggak percaya tentang kebaikan mu sendiri.

Cid, Kita seringkali berbagi tentang kecemasan-kecemasan yang menggumpal dipikiran kita. Tugas kuliah lah, krisis moneter lah, temen-temen pragmatis lah, keluarga, dan lain-lain. Aku senang waktu kamu betah duduk berjam-jam menyimak kecemasanku, menungguku dandan lama sebelum kita pergi atau bersabar dengan kebiasaanku yang tidak bisa mengunyah makanan dengan cepat sampai-sampai kamu harus menunggu lebih lama supaya aku bisa menyelesaikan makanku.

Saat aku bercerita, aku suka memperhatikan ekspresimu yang datar, seperti laki-laki semestinya. Kedataranmu yang menampakkan kekuatan itu punya sesuatu yang membuat aku merasa harus tegar (apa sih ini bahasanya -__-). Aku sering dengar kamu mengucapkan hal klise, "Sabar ya yu... blablabla." Walau klise, aku tahu bahwa kalimat itu lahir dari rahim ketulusanmu. Bukan berarti aku menuduhmu punya rahim lho ya. Tentu saja, ini konotasi. 

Cid, tentang hal kemarin yang kamu bahas, Aku jadi merasa orang paling tidak tahu diri sedunia. Oke, uhmm.... Jadi, aku akui bahwa aku melakukan kebodohan. Aku abai tentang satu hari yang tidak akan kembali lagi, kecuali jika kita melalui tahun depan lagi. Moment ulang tahunmu. Aku benar-benar... Kelewatan.

Bagaimana bisa, aku yang sudah expert dalam hal lupa bisa mengingat detail keperihan dan hidupku yang penuh drama. Tapi aku lupa hal penting tentang kamu, padahal kamu adalah salah satu tokoh penting protagonis di drama itu.

...Ulang tahunmu 30 Agustus. Jujur saja, aku harus membuka profil Facebook mu untuk memanggil ingatan itu lagi. Terlalu terlambat untuk ingat kan? Aku janji ke diri sendiri, tidak akan pernah lupa lagi.

Aku bahkan lupa apakah tahun lalu aku ingat ulang tahunmu atau tidak. Sejujurnya, lupa kali ini tanpa alasan yang jelas. Aku harus berpikir keras tentang apa yang sepantasnya aku ucapkan sebagai alibi atas kelupaanku. Aku mau bilang, kali ini, aku lupa saja. Lupa, sekali lagi, tanpa alasan yang jelas.

Cid....
Aku tahu aku telah melakukan kesalahan fatal. Hampir 5 tahun kita bersahabat, aku malah tidak menghitung, berapa kali aku melupakan ulang tahunmu. Aku mengingat namamu tiap hari, terutama tiap kali aku lapar, butuh teman makan, sedih, bosan, kesepian, cemas, terlalu gembira, tidak tahu harus mengisi waktu dengan apa, mengabarkan sesuatu, punya ide yang konyol, semua update terkini rasanya selalu aku bagi denganmu. Makanya, rasa bersalahku menggunung.  

Aku pernah bilang kan, makan bersamamu adalah ritual yang membuat semua makanan jadi enak, sekalipun aku tidak suka makanan itu sebelumnya. Sate padang, warteg mampang, pempek, Soto Betawi, sop iga dan semua yang sebelumnya tidak aku suka, jadi suka.

Aku selalu ingat kamu sebagai sosok superhero yang muncul dari dari balik kabut mengendarai elang terbang. Siap menuntaskan permasalahan layaknya jin botolnya Aladin. Ya, seperti itu.

Aku selalu iri bahwa kamu selalu bisa menyelesaikan masalahmu sendiri tanpa harus berpanjang kata dalam keluhan. Memang beberapa kali kamu mengeluh tentang beberapa hal, tapi keluhanmu tidak pernah sebanding dengan banyaknya keluhanku. Ya, aku iri tidak punya kekuatan yang kamu miliki. Barangkali itulah mengapa kita bersahabat.

Mengingat itu semua, makin membuat aku merasa, aku adalah sahabat yang tidak begitu berguna di hidupmu. Barangkali kamu terpaksa memungut dan mengadopsi aku jadi sahabat cuma karena aku terlalu imut untuk diabaikan. Jujur aja, emang gitu kan? 

Dengan segala kekurangan, kesalahan, kelupaan, keteledoran, dll, Kemarin kamu bilang kalau kamu memaafkanku. Aku jadi makin merasa bersalah. Walau aku memang berharap dimaafkan sih... Aku jadi makin merasa bersalah walau itu adalah salah satu alasan kenapa aku bisa bersahabat denganmu begitu lama. 

Oh iya, Kita juga tidak pernah bertengkar. Sama sekali. Itu adalah anugrah terindah sepanjang perjalanan persahabatan kita lho. Serius deh. Aku bangga dengan track record ini. 

Baiklah, akhir kata, kadonya menyusul ya...

Janji. 

Makasih atas 5 tahun yang terlewatkan. Makasih telah jadi kantong ajaib semua problem ku. Bahkan, kamu masih jadi fotografer terbaikku. Hampir semua foto di facebook ku kan kamu yang ambil. Aku juga heran, kenapa orang lain tidak bisa menangkap gambar ku sebagus tangkapan kameramu. Untuk ini, Terimakasih!!

---
PS buat pembaca :
Rasyid Jomblo. Mahasiswa Desain Komunikasi Visual Paramadina yang super kece. Yang minat, PM me. Sumpah. Orangnya Baik banget! Twitternya @rasyidhamied. Follow ya. Mumpung hari jumat, #FF in sekalian. Walau orangnya nggak suka twitteran, tapi pasti dia baca. 

Selasa, 01 Oktober 2013

Guru : Antara Si Pengemban Tugas Kenabian dan Si Pendikte

Socrates pernah berkata pada murid-muridnya, "Aku tidak dapat membuat semua orang mengetahui segalanya, aku hanya dapat membuat mereka berfikir."

Selama aku hidup, selalu ada sosok guru yang membuatku belajar bagaimana caranya mempelajari sesuatu dan menemukan alasan kenapa aku harus mempelajari hal tersebut. Kadang juga, dengan sangat menyebalkan, aku akan bertemu dengan seorang guru yang hanya membutuhkan kehadiran kita sehingga dengan malas, aku akan memaksa diriku untuk tergopoh-gopoh masuk ke kelasnya dan menahan kantuk sisa begadang semalam.

Bagiku, seorang guru yang baik bukanlah yang dapat menjawab semua pertanyaan muridnya dan meminta kita menghafal berderet penuh mantra asing yang tidak kita ketahui kenapa itu begitu penting.

Guru, di dalam pikiran ideal ku adalah seseorang yang bisa membuat kita memiliki kesadaran untuk lebih banyak belajar dan berfikir. 

Guru itu memiliki tugas seperti para nabi, yaitu seseorang yang memberikan petunjuk dan menyampaikan. Guru mengajarkan bagaimana cara berfikir untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita. Sehingga kita tidak perlu bertanya ttg pertanyaan partikuler dan remeh-temeh ke guru kita. Tidak mungkin kita menghabisakan waktu seorang Guru dengan pertanyaan, "Apakah jika bertamu, sebaiknya sendal kita sisihkan ke sebelah kanan atau kiri pintu supaya lebih afdol??" Tentu saja, pertanyaan remeh temeh itu, seharusnya membuat jengkel seseorang yang memiliki pengetahuan mendalam namun dengan terpaksa harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan sepele. 

Kebanyakan guru, hanya menyuruh manusia yang dihadapannya untuk belajar tanpa membuat para insan pembelajar memiliki kesadaran kenapa kita butuh mempelajari hal tersebut. Sebagian guru lainnya, membebani manusia didikannya tentang mantra-mantra asing yang harus dihafal tanpa memberikan celah bagi kita untuk menganalisa mengapa mantra tersebut penting dan relevan untuk kehidupan kita.

Pak Munif benar, guru harus bisa memperlakukan kita seperti manusia. Bukan seperti mesin yang harus patuh terhadap manual book  yang ada di dalam kardus sebuah mesin. Atau, dalam arti lain, manusia itu bukan mesin yang bisa diperlakukan hanya dengan tahap tertentu. Tidak bisa, hanya dengan memencet tombol on, bisa langsung on.

Aku tahu seharusnya semangat belajar ku tidak redup hanya karena barangkali aku kurang cocok dengan caranya mengajar, Semangat seharusnya adalah sebuah elemen terpisah dari kesiapaan . Iya, seharusnya begitu. Tapi akhirnya aku tunduk pada emosi ku. Aku tidak dapat mengingat apapun yang Ia ucapkan. Padahal itu bukanlah sebuah mantra yang teramat sulit. Itu mantra biasa saja. Seharusnya tinggal merapal mantra itu di ujian, tanpa peduli seberapa ampuhnya mantra itu, aku bisa lulus. Aku hanya tidak menemukan alasan, kenapa aku membutuhkan deretan teks ini. Jika aku membutuhkan, mengapa aku tidak tehu mengapa mantra yang satu ini, mengapa bukan mantra yang lain? Jika aku tidak membutuhkan, mengapa aku bisa memilih untuk terkurung di sini bersama seseorang yang menyebalkan dan mengklaim diri sebagai guruku padahal aku tidak pernah belajar apapun darinya? Aku tidak pernah memilihnya. Aku terpaksa bersama nya karena sistem yang ada mengaturku sedemikian rupa. 

Bagaimana jika mantra itu ternyata -di luar pengetahuan ku- benar-benar sakti? Padahal aku terlanjur merapal mantra itu dengan malas-malasan tanpa menyertai jiwa ku di dalamnya? Bagaimana jika mantra itu tanpa aku sadari justru berbalik mengenai kepalaku sendiri? Memantrai semua yang ada di otakku dan semua hal yang tersimpan di dalamnya sehingga semua hal jadi begitu memuakkan seperti perasaan ku atas mantra yang tidak tahu kenapa harus aku hafal.

Akhirnya aku harus berdamai dengan argumen yang ada di kepalaku. Guru meminta aku untuk jadi mesin yang memberikan jawaban kapanpun dia mau dan ada di ruangannya kapanpun. Sekalipun aku harus berada di sana adalah sebuah aturan yang diluar kuasaku -bukan pilihanku-. Barangkali di ruang itu aku harus belajar memahami bagaimana menjaga perasaan seorang pintar yang berharap di dengar. Atau barangkali ini merupakan sebuah siasat dari kepala guru untuk membuatku tahu arti pengendalian diri agar serta merta tidak merusak apapun yang tidak aku sukai. 

Apapun itu, kelak aku juga akan tahu maknanya. Atau, aku mesti berusaha keras agar aku tidak menganggap "penjara" ini sia-sia.

Rabu, 18 September 2013

Tipe-Tipe Mahasiswa Berdasarkan Aktivitasnya

Kalau kamu menganggap semua mahasiswa itu sama saja. Anggapan kamu salah besar! Mahasiswa itu berbeda-beda jenisnya. Nih dikasih tau, jenisnya apa aja.

Tipe Kupu-Kupu
Mahasiswa ini selalu hadir di kelas. Jarang nitip absen. Tapi begitu dia keluar kelas, dia langsung menghilang. Aktivitasnya ya kuliah-pulang-kuliah-pulang. Nggak heran kalau dia nggak banyak dikenal sama junior, senior ataupun yang beda jurusan. Dia langsung ngilang bagai ninja begitu kelas bubar. Bisa jadi dia buru-buru pulang karena mesti ngurusin kucing-kucingnya di rumah atau emang nurut sama pesan mama yang nyuruh langsung pulang tiap habis kuliah. Eh, Tapi bisa juga sih karena dia harus langsung kerja begitu kelar jam kuliah.

Tipe Kunang Kunang
Mahasiswa jenis ini menguasai tempat-tempat nongkrong di kampus atau Mall. Biasanya waktu yang dihabiskan buat nongkrong itu lebih banyak dari waktu kuliah ataupun waktu ngerjain tugasnya. Aktivitasnya ya Kuliah-Nangkring-Kuliah-Nangkring. Biasanya mahasiswa kunang-kunang sering merasa jadi mahasiswa paling gaul dan eksis di kampus. Trus tipe ini juga gampang dapet pacar. Karena banyak dikenal orang dan punya daerah kekuasaan pos di titik-titik tertentu.

Tipe Aktivis Mahasiswa
Kegiatannya seputar organisasi. Dia bisa aja ada di kampus sampai tengah malam buat ngurusin organisasi atau sekedar ngobrol yang topiknya nggak jauh-jauh dari hal yang berbau politik. Kadang pas moment-moment tertentu mereka juga demo. Biasanya, mereka juga kritis dan nggak takut buat ngasih kritik ke manapun, ke siapapun. Mereka lah yang menguasai jabatan di organisasi kampus. Biasanya mahasiswa kayak gini lulusnya lama dan kalau kuliah pagi sering dateng telat. Soalnya mereka sering begadang buat rapat-rapat.

Tipe Aktivis Lomba dan Kontes
Jangan heran kalau tiba-tiba orang yang biasanya ngak pernah nyapa ngajak chat di Facebook dan ngasih link, “vote aku ya, Klik like page dulu, trus buka foto blablabla”. Atau dia tiba-tiba upload foto di sosmed dan bilang, “Mohon doanya, dukung saya jadi Putri blablabla”. Aktifitas nya, ya googling tentang lomba dan kontes apa aja yang bisa diikutin. Dari mulai kontes nulis, fotografi, bikin video, sampai ikutan ajang putri-putrian.

Tipe Banci Konferensi
Jangan heran kalau hari ini dia ada di kelas, tapi besoknya tau-tau dia ada di luar negeri atau luar kota. Misalnya nih, hari ini dia ada di Norwegia buat jadi pembicara di seminar tingkat dunia yang membicarakan tentang punahnya naga Norwegia akibat pemanasan global. Trus sebulan kemudian, dia ada di Yunani buat jadi peserta konferensi pemuda peduli Socrates. Tipe ini sangat menginspirasi generasi muda karena dia jadi kayak leader muda yang sering jadi delegasi Indonesia. O iya, bisa jadi dia juga menjelma jadi sosok populer karena sering bikin orang envy liat dia jalan-jalan ke luar negeri mulu. Aktivitas dia adalah ikutan call for paper, bolak-balik kedutaan negara tujuan buat bikin visa, browsing info konferensi internasional, cek harga tiket pesawat dan bikin proposal sponsorship buat perusahaan-perusahaan potensial yang mau biayain dia ke luar negeri.

Tipe Seleb
Kalau kuliah di Jakarta, kita akan terbiasa liat artis yang biasa kita liat di TV nongol di kampus kita jadi mahasiswa. Tipe kayak gini, sekalipun dia sering mangkir kelas dan jarang dateng ke kampus karena mesti syuting, show, manggung, dll, dia tetep aja punya temen deket yang bisa diandalin buat nanya-nanya kalau pas ada tugas atau ujian. Selalu ada di dunia ini, orang-orang yang seneng punya temen dari kalangan artis. Makanya, kalau kamu udah ngerasa jadi orang baik, cakep, tajir, tapi tetep nggak punya temen, jadi artis aja gih. "Terus, Kalau udah jadi artis tapi tetep nggak punya temen gimana?" Kamu nggak perlu bikin Video di youtube dan bilang, "Buat temen-temen SD gue.., Buat temen-temen kampung gue... Buat...blablabla..." Please, nggak usah gitu ya. Selama masih ada SNSD, hidup akan terasa begitu indah, berwarna, dan semua orang bahagia.

Apalagi kalau Seleb nya kayak gini
(Sumber gambar : wewantkpop.com)
Tipe Diskusi dan Pendebat
Dia ini sering dateng ke acara-acara diskusi apa aja. Dia bisa nguasain banyak topik. Mulai filsafat, politik, agama, seni dan barangkali topik yang nggak kamu pikirkan sebelumnya. Tipe orang kayak gini sering keliatan menonjol di forum-forum karena terbiasa ngomong dan menguasai wacana. Kalau kamu tipe orang yang nggak suka diskusi atau debat, mending jauh-jauh deh. Bisa panjang urusan soalnya. Tipe diskusi dan pendebat ini seringkali bisa muncul sepaket sama tipe aktivis mahasiswa.

Tipe Mahasiswa Misterius
Dia tampak seperti mahasiswa biasa yang dateng ke kampus. Tapi, kita semua nggak tau pas dia ke kampus aktifitasnya apaan. Barangkali dia adalah seorang agen intelegen yang lagi undercover dan sedang menjalankan sebuah konspirasi. Atau barangkali dia adalah seorang hacker hebat, bisa juga dia ini sebenarnya bukan manusia, melainkan alien yang menyamar sebagai mahasiswa Ya namanya aja misterius. Siapa sih yang tau dia ngapain aja. Barangkali Vicky ex Zaskia gotik tu masuk tipe ini karena sampai sekarang, kita sungguh tidak mengetahui mahasiswa macam apa dia. Ada yang tau pas jaman dia masih mahasiswa dia jurusan apa, kuliah dimana, ikut kelas apa aja? Ngakunya sih kuliah di luar negeri gitu soalnya.

Begitulah tipe-tipe mahasiswa. Kamu tipe mahasiswa kayak apa? Ada tipe yang belum disebutin? Share donk.

Jumat, 13 September 2013

Sensasi Baru Ngeblog di Kompasiana

Beberapa waktu lalu, aku nggak sengaja baca banner Iklan di Kompas tentang lomba blogger kompasiana yang menceritakan tentang perjalanan wisata yang berkesan; Sepertinya, hal itu bukan sesuatu yang susah karena aku pernah nulis artikel jalan-jalan juga, 

Akhirnya, aku mengaktifkan kembali akun kompasiana lama ku. Tentu saja, lupa password dan bahkan lupa email mana yang dulu dipakai daftar kompasiana. Setelah urusan teknis sign in beres, mulailah aku menulis.

Di Blogspot, aku biasanya memang hanya membagi tulisan ku di facebook dan twitter. Adapun followe blogger yang masih sedikit dan bukan blogger aktif membuat ku terbiasa dengan tulisan yang dibaca hanya sampai 50 kali dalam sekali posting atau pernah dengan snagat miris hanya 21 kali dengan sekali posting. Apalagi, aku bukan type blogger yang suka blogwalking mengunjungi dan berkomentar dengan blog tetangga. Aku hanya menulis, membagi, dan selesai. Tidak ada target jumlah pembaca. Buat apa? Walau aku cukup senang kalau tulisan ku laris dibaca. Tapi itu bukan hal utama penyebab aku ngeblog.

Kembali ke kompasiana, Waktu aku berhasil masuk ke dashbor kompasiana, ternyata ada 3 orang yang menambahkan aku sebagai temannya. Aku juga baru tau kalau akun itu sudah nganggur dari tahun 2010 tanpa tulisan apapun. Aku sering berfikir, apa sih bagusnya kompasiana? Cuma blogger lokal dari kompas gitu.

Aku pun mulai menulis ceritaku. Untuk pertama, aku masih bingung untuk menambahkan gambar. Tulisan berantakan, papan untuk menulis tulisan kita begitu kecil dan aku sangat merasa tidak nyaman dibandingkan jika dibandingkan tampilan halaman compose pada blogspot. Toh, demi lomba itu, aku mau berlama-lama menulis dengan segala keksulitan format compose nya. Sampai sekarang ada foto yang masih tidak jelas tata letak nya. 

Saat aku klik tombol Publish, 5 menit kemudian sebelum aku sempat share, tulisan ku dibaca lebih dari 50 orang. Saat aku share di facebook, aku justru tidak begitu memperhatikan berapa jumlah pembaca yang bertambah. Aku begitu senang ketika tiba-tiba orang yang tidak mengenal ku dan tidak berteman di kompasiana ikut berkomentar. Beberapa jam setelah itu, tulisan ku menembus 800an pembaca. Padahal aku merasa tidak begitu agresifdalam menshare, Apalagi, twitter bermasalah dengan link yang aku bagi ini http://bit.ly/1awG3Jd

Twitter menganggap link kompasiana ku itu Spam. 

Euforia Kompasiana

Aku yang belum begitu mengenal dunia kompasiana merasa agak terkejut dengan tingginya respon yang diberikan oleh para kompasianer untuk tulisan ku. 

Temen di facebook, namanya Mas Putra memberi selamat padaku kalau tulisan ku ada di kompas. Aku kaget, aku bilang sama dia kalau aku nggak nulis di kompas. Tapi aku nulisnya di kompasiana. Dia bilang, tulisan ku muncul di web kompas. Untuk membuktikannya, dia memberikan link berita online kompas yang dia maksud. Ternyata seperti ini
Ternyata, di Banner blog competition ada nama dan tulisan ku. Karena aku baru aja join kontes blog itu, maka aku masih terdaftar di bagian teratas. Saat aku membuka link Banner itu, aku bersyukur, walau baru bikin tulisannya, hit viewer ku sudah melebihi yang lainnya. walau ada 1 tulisan yang hit nya melebihi hit ku. Setelah mengetahui tentang hal seperti itu, aku jadi lebih sering memantau berapa orang yang mengklik tulisan ku. Aku heran, kenapa jumlah pembaca jadi terasa penting bagiku. Efek kompasianer baru mungkin... Sebenernya setiap yang baru aja posting tulisan emang ditampilin, Jadi nggak perlu kembang kempis juga hidungnya. tapi aku tetep seneng pengalaman pertama di kompasiana nyenengin juga. 

Besoknya, aku membuka lagi kompasiana di kampus. Aku makin kaget, kalau tulisan ku jadi headline dengan pembaca lebih dari 1200 orang. Aku juga di add sama orang-orang. Aku jadi punya temen gitu. hihi, norak abis deh.


Viewer terus bertambah saat aku udah give up nggak bisa share di twitter. Ternyata karena tulisan ku muncul disini juga : 

Aku masih penasaran dengan cara kerja kompasiana dalam menambahkan jumlah pembaca, setelah aku minta tolong seorang teman yang baik gimana caranya buka blokir spam twitter dengan cara kirim email ke twitter support, besoknya, aku bisa share lagi di twitter. Tapi... Nggak banyak yang terjadi. Viewer cuma nambah dikit walau temen kita itu adalah seorang seleb tweet dengan ribuan Follower. Pas aku minta tolong Fatime, viewer tambah 3. Pas minta tolong kak misbah, tambah cuma 2 viewer, pas minta tolong Shei, tambahnya 8 viewer. Nggak banyak berdampak, walau itu udah lumayan banget kalau seandainya kelasnya blogspot.

Ternyata untuk bisa nambah viewer di kompasiana itu, jejaring sosial tidak berpengaruh banyak. Yang pengaruh banyak adalah seberapa lama tulisan kita nangkring di homepage kompasiana dan dikomentari teman-teman. Memang ada banyak orang yang merekomendasikan ke Facebook nya, tapi rekomendasi Facebook yang cuma 74 kali rekomendasi sepertinya tidak begitu banyak pengaruh dibanding 1300an viewer dari kompasiana, 

Aku jadi mempertimbangkan kompasiana sebagai media yang tepat untuk menyampaikan gagasan. jadi, aku memilih untuk menceritakan hal pribadi dan remen temeh di Blogspot dan menulis hal yang agak serius di kompasiana. Menulis itu ternyata tidak sekedar untuk diri sendiri, tapi kita perlu menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Kita perlu berbagi ide. Bukan sekedar berapa banyak jumlah pengunjung halaman blog kita, tapi seberapa usaha kita untuk menyampaikan gagasan kita. Bukankah tulisan itu seringkali bisa jadi sebuah gerakan perubahan?

Dan kali ini aku memilih Kompasiana.