Senin, 27 Juli 2015

Feodal itu Menyebalkan

Sering kali, saat perlu ke lembaga tertentu untuk liputan, aku temui orang-orang bergaya feodal. Mau bertemu atau minta kontaknya saja rumit sekali.

Ada tiga cerita soal ini.

Cerita Pertama :
Ketika perlu ke salah satu kementerian. Bertemu dengan ajudan. Kemudian ajudan meminta isi formulir janjian, menunggu sampai beberapa jam, itu saja belum tentu bisa bertemu pejabat terkait. "Maklum, bapak sibuk mbak." katanya.

Ketika minta kontaknya, ajudan tidak mau beri. Alasannya soal privasi. Jika seseorang jadi pejabat publik, mestinya sudah menyiapkan diri punya beberapa nomer telpon. Ada yang public, ada yang privat.

Ujung-ujungnya, ajudan bilang, "Maaf mbak, mungkin besok bapak baru bisa ditemui."

Si pejabat keluar dari ruangannya. Lihat wartawan menunggu. Dia langsung nyapa, "ada apa?", sudah menunggu dari jam berapa?", "Mau tanya soal apa?", tak lama kemudian dia akan minta maaf karena tak bisa wawancara lama. Dia berikan kontaknya dan bilang, "SMS dan telpon aja mbak. Pasti saya jawab."

Ajudannya cuma bengong karena begitu mudah komunikasi sama bosnya.

Bahkan Dirjen tersebut ikut ucapkan selamat lebaran lebih dulu. Dengan sapaan "Mas Sahar" kepadaku. Mungkin dia lupa bahwa wartawan yang ada di daftar nama kontaknya itu perempuan. tapi setidaknya dia ingat untuk mengirim SMS hari raya lebih dulu.

Yang ada di kepalaku adalah, apa ajudannya tidak tahu kalau bosnya itu ramah sama wartawan? Apakah Ajudannya tidak diberi instruksi bagaimana caranya berhubungan dengan wartawan? Atau gimana? Di jaman sekarang, menduduki jabatan tertentu dengan lagak sok birokratis tak akan membuat si pejabat jadi keren. Malah sebaliknya. Kalau kamu jadi asisten, penting untuk tahu kebiasaan bosnya. Jangan bikin rumit sesuatu yang mestinya simpel.

Cerita Kedua :
Pengalaman juga urusan sama salah satu DPP Partai. Sebut saja partai Hitam. Awalnya aku telepon dulu ke DPPnya lewat nomer telpon kantor yang tercantum di website. Tak ada yang mengangkat. Berkali-kali hasilnya zonk.

Pas datang ke DPPnya, disambut oleh security yang bilang, "Kalau mau ke sini, telpon dulu mbak. Kalau belum ada janji, maaf sekali tidak bisa bertemu dengan yang bersangkutan."

Aku bilang padanya bahwa aku sudah mencoba telepon kantornya tapi tidak ada yang mengangkat. Dia melihat nomer telepon yang aku maksud dan ternyata itu memang benar-benar nomer telepon yang ada di depannya. "Tapi ada satu nomer lagi yang aktif mbak. Coba mbak hubungi nomer yang ini dulu. Besok bisa kembali ke sini lagi."

Aku bilang, berita tak bisa menunggu. Aku minta dia hubungkan saja ke Humas atau jabatan yang relevan dengan pertanyaanku.

Dia jawab, "Tidak bisa mbak. Prosedurnya begitu. Mbak datang saja besok, dengan janji di telepon lebih dulu."

Aku minta dia catat nomer teleponku dan berikan ke Humas. Humas mestinya bisa lebih tahu bagaimana berhubungan dengan wartawan. Dia mau mencatat nomer teleponku sambil bilang bahwa sebaiknya aku datang lagi besok. Sesuai dengan prosedur yang tadi dia bilang.

Aku diminta menulis pertanyaan yang akan aku ajukan ke Narasumber. Baiklah. Aku mengalah. Aku tulis dengan syarat dia sampaikan nomer ponselku ke Humas dan minta Humas kontak aku.

Esoknya, Humas SMS ke ponselku. Minta maaf dan berikan kontak Narasumber yang aku butuhkan. Aku kontak Narasumbernya. Ternyata dia tak menguasai tema yang aku tanyakan. Dia berikan nomer kontak orang lain lagi sambil bilang, "Nanti tanya dia saja. Bilang, dapat kontaknya dari saya. Dia akan jawab semua pertanyaanmu karna itu jobdesk dia."

Baiklah. Aku berterimakasih. Setelahnya, aku kontak nomer tersebut lewat telepon, Tak diangkat. Aku coba SMS, tak ada jawaban, Aku Whatsapp, hanya dibaca.

Akhirnya aku kontak ulang ke DPPnya. Diberi prosedur yang sama. Kontak ulang Humas dan pejabat yang beri nomer pejabat partai lainnya. Kembali tak ditanggapi sama sekali. Wah, susah. Ya sudah. Mungkin mereka memang tak mau terbuka pada wartawan. Tak ada berita apapun dari Partai itu.

Partai Biru lain lagi ceritanya. Sekalipun sudah datang langsung ke DPPnya, Dapat kontaknya, tidak ada satu pun yang mau bicara sekalipun jabatannya adalah Humas. Begitulah akhirnya. Tidak ada berita dari Partai itu. Bukan mauku. Bukan salahku.

Cerita Ketiga

Aku datang begitu saja ke DPP tanpa telepon. Langsung disambut petugas Parpol. Diarahkan ke penanggung jawab dan diberi kontak juga. Betapa mudahnya. Berita dibuat. Wawancara bisa dilakukan lewat telepon atau di tempat yang dijanjikan. Semuanya senang. Sebut saja ini terjadi di partai Kuning dan Hijau.

Memangnya, bersikap feodal dan birokratis itu keren? Nggak lah yaw!!

Sabtu, 25 Juli 2015

Tragedi, Fiksi, dan Nyata

"Tiba-tiba da memperhatikan bahwa kecantikan sudah runtuh berantakan pada dirinya, bahwa itu sudah mulai melukainya secara fisik seperti tumor atau kanker. Dia masih ingat bobot hak istimewa yang telah ditanggung oleh seluruh tubuhnya selama masa remaja, yang telah dilepaskannya sekarang. ---- Dia lelah menjadi pusat perhatian, di bawah kepungan pandangan lelaki. Pada malam hari, ketika insomnia menusukkan jarum pada matanya, dia akan menjadi perempuan biasa, tanpa daya tarik istimewa apapun." 
Eva di Dalam Kucingnya, Gabriel Garcia Marquez.
Libur lebaran yang lalu membuatku punya banyak waktu untuk maraton membaca buku-buku Fiksi. Buku yang aku baca diantaranya kumpulan cerpen "Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Lewat Mimpi" Karya Eka Kurniawan, kumpulan novel dan cerpen"Innocent Erendira and other stories" karya Gabriel Garcia Marquez -aku membaca terjemahan bahasa Indonesianya-,  "My Sister's Keeper" karya Jodi Picoult yang aku baca dalam bahasa Inggris, dan buku-buku lainnya yang menurutku berhasil memotret kesedihan dengan "Indah".

Sebenarnya, kesedihan itu bukan sesuatu yang indah sih. Malah sebaliknya. Menggoreskan luka. 

Dalam sebuah kuliahnya di kelas kami, Prof Abdul Hadi​ WM pernah berkata bahwa kesedihan manusia itu sifatnya abadi. Kenangan akan kesedihan akan menancap dalam mengalirkan air mata dan darah yang akan terus menyakitkan. Makanya, sastra yang banyak diminati oleh orang sepanjang zaman kebanyakan adalah cerita-cerita yang menggambarkan tragedi. Jujur saja, aku belum mengecek apa kata sastrawan lain soal ini. Yang jelas, aku setuju dengan Pak Hadi.

Saat itu, secara otomatis aku menghitung Novel dan Cerpen favoritku. Memang sih, kebanyakan berkisah seputar tragedi. Atau jangan-jangan, selera bacaanku saja yang cukup muram?

Aku sendiri selalu mengagumi setiap penulis yang berani menceritakan kesedihan-kesedihan yang ia alami langsung. Misalnya Gayatri Wedotami Muthari​ yang bercerita soal penyakit Lupusnya dan soal pelecehan seksual yang menimpanya lewat status facebooknya. Aku juga mengagumi keberanian Ninin Damayanti​ yang bersuara tentang KDRT yang dialaminya. Tentu saja ada nama lain yang punya keberanian menulis tragedinya sendiri untuk publik. Hanya saja, aku tidak bisa menuliskan secara lengkap siapa saja nama yang cukup aku perhatikan.

Sedangkan aku? Aku tidak punya keberanian macam itu untuk diriku sendiri. Aku terlalu pengecut untuk mengungkapkan lewat tulisan tragedi yang pernah terjadi dalam hidupku. Mestinya aku lebih berani untuk bercerita lewat tulisan. Selain untuk terapi, bisa juga dijadikan pelajaran bagi orang lain. 

Tapi aku yang cengeng ini sering menghibur diri sendiri dengan berkata pada pikiranku sendiri, "Suatu hari, akan tiba saatnya aku akan bersuara. Pasti."

Tidak semua orang berani menyuarakan kesedihan-kesedihannya. Sebagian menggantinya dengan kisah fiksi berikut deretan nama-nama samaran dan serangkaian drama. Beberapa penulis melakukan itu karena ada sebuah anggapan bahwa jika kita sering menulis soal diri sendiri, maka kita akan dicap dengan label Self Sentris. Begitukah? 

Aku punya beberapa orang di sekitarku yang merasa perasaannya jadi lebih baik ketika mendengar ada yang lebih menderita daripada dirinya. Ada juga tipe orang yang sering berkata dengan enteng bahwa masalahmu belum ada apa-apanya dibandingkan masalah orang itu yang lebih berat lagi. Ada lagi orang yang merasa lebih menderita dari orang lainnya.

Bagiku, tidak ada kesedihan yang sepele. Jika tidak bisa bersimpati dan memberi solusi, maka seseorang mesti belajar diam dan sekedar mendengar. Bukan mengeluarkan komentar-komentar menyalahkan yang membuat orang yang bersedih itu semakin merasa hidupnya payah. 

Beberapa yang lainnya, justru mengecilkan tragedi orang lain hanya karena ia merasa bahwa ia pernah lalui tragedi lebih dahsyat. Lebih penting. Lebih menyayat. Sehingga tragedi yang dialami orang lain tampak sepele. 

Aku percaya bahwa seseorang punya porsinya masing-masing dalam merasai kesedihan. Tidak ada kesedihan yang sepele. Satu-satunya yang berhak mengatakan kesedihannya lebih berat dari kesedihan yang lain hanyalah individu yang merasakan kesedihan itu sendiri. Bukan orang lain. Ada kaca yang mesti ia bawa terus menerus untuk mengukur apakah kesedihannya memang layak untuk membuatnya ambruk atau tidak.

Aih, ngomong apa sih aku ini...

Tapi ngomong-ngomong. Aku kangen lho sama kamu. Kalau kamu nggak kangen balik, apakah artinya ini sebuah tragedi lainnya? Kalau iya, maka aku sudah berani menuliskannya. 

Minggu, 12 Juli 2015

Apa Kabarmu, Satu Tahun?

Sebenarnya, ada hal menyenangkan yang terjadi pada tanggal 11 Juli tahun lalu. Hari tersebut tak pernah direncanakan akan seperti apa. Hari yang tak pernah aku duga akan datang.

Entah bagaimana alurnya, hal kecil yang terjadi di hari itu bisa jadi sebuah kenang yang ikut menentukan bagaimana situasi yang terjadi sampai hari ini.

Namun, seperti hari yang lainnya yang tertelan oleh kesibukan, luka, dan hantu-hantu, 11 juli akan berlalu begitu saja. Sangat mungkin jika suatu hari terlupa. Aku memang ingat persis apa yang terjadi. Hanya saja, aku hampir lupa kapan harinya.

Aku sengaja menyimpan jejak dalam-dalam sebagai sebuah monumen yang setiap saat bisa aku kunjungi. Jika terlupa, aku akan tahu bagaimana cara menemukannya. Tepat di sana, di jantung kenang yang hampir terlupa, aku akan menunduk dalam-dalam sambil memejamkan mata. Demi menziarahi setiap debar yang lahir begitu saja. Entah dari mana.

Aku membayangkan, kau akan berkata padaku bahwa hari ini bukanlah sesuatu yang cukup penting hingga perlu jadi drama. Seolah-olah kisah yang terjadi adalah cerita penuh konflik klimaks anti-klimaks dengan sederet picisan.

Ini memang bukan kisah soal apapun. Ini sama sekali bukan apa-apa. Anggaplah begitu.

Rasanya seperti cookies manis yang telah habis dinikmati seorang anak kecil gemuk nan lucu. Dan kita tahu bahwa yang akan ia tinggalkan di sekitarnya hanyalah remah-remahnya saja.

Aku masih ingat, kita telah sampai pada satu hari yang melelahkan, yang akhirnya membuatmu berkata bahwa ini semua tak berguna untukmu. Tak berarti apa-apa.

Lagi pula, kau selalu punya satu toples cookies lezat yang bisa kau bagikan ke orang lain sambil bercerita tentang apapun.

Dengan debar yang tak kunjung padam, setiap serpih remah-remah yang tersisa -entah bagaimana- masih terasa.

Oh ya, halo. Apa kabar?

Kamis, 09 Juli 2015

Puskesmas adalah Kita

Kamu pernah berobat ke Puskesmas?

Hatiku rasanya dekat sekali dengan Puskesmas. Aku lahir di Puskesmas. Rumah kakek hanya berjarak 10 menit jalan kaki ke sana. Jadi, ketika Ibuku mulai kontraksi, pilihan terdekat hanyalah ke Puskesmas itu. Rumah sakit lokasinya berkilo-kilo meter dari rumah. Ada opsi dukun beranak. Tapi Ibuku lebih percaya bidan untuk urusan melahirkan. 

Saat masih kecil, mbakku pernah mengolok-olokku karena aku satu-satunya anak dalam keluarga yang lahir di Puskesmas. Semuanya lahir di rumah sakit yang nyaman di Jakarta atau di Bekasi. Aku hanya numpang lahir di kampung. Dan pas banget, lokasinya di Puskesmas.

Saat itulah aku punya anggapan bahwa Puskesmas identik dengan tempat orang kampung berobat yang pelayanannya serba minim. 

Waktu SD, Aku pernah protes sambil menangis ke Ibu kenapa harus dilahirkan di Puskesmas kampung? Padahal selama hamil Ibu tinggal di Jakarta. Numpang lahir kok ya di kampung. Gara-gara itu aku jadi diejek mbakku.

"Sini..." Ibu memegang tangan kananku dan mendekatkannya ke mulut, "kamu ibu balikin ke perut lagi. Ibu makan. Tangannya dullllu yaaaa.... Aum… Lehernya mana sini lehernya, Auuuum… Sini sini mana perutnyaaaa... Auuuum... Nyam...nyam.. nyam... Enaaaak..." Aku kegelian. Ibu pura-pura mengunyah, " Nanti kalau udah di perut semua, ibu mau pindah ke luar negeri. Naik pesawat. Biar kamu bisa lahir lagi di Rumah Sakit bagus, di luar negeri sekalian."

Gara-gara Ibu begitu, aku jadi lupa kenapa tadi mesti menangis. 

Beranjak dewasa, aku jadi orang yang sinis banget sama pemerintah. Lahir di mana saja juga sama paitnya. Tapi, setelah aku pikir-pikir, lama kelamaan aku paham bahwa sebenarnya keberadaan Puskesmas di sebuah desa adalah salah satu hal keren yang sudah dirintis pemerintah. Beberapa Puskesmas sudah menyediakan ruang rawat inap, poli gigi, poli Ibu dan anak yang cukup memadai untuk keperluan tahap awal pengobatan.

Teteup loh ya, kalau pelayanannya busuk, males banget muji-muji Pemerintah. 

Di Kecamatan Mampang Prapatan sini, setiap desanya ada satu Puskesmas yang berdiri. Kalau penyakit kita tak bisa ditangani Puskesmas desa karena butuh fasilitas yang lebih lengkap, kita akan dirujuk ke Puskesmas daerah yang punya fasilitas dan dokter ahli. Kalau di Mampang Prapatan, Puskesmas Daerahnya sedang dalam proses metamorfosis jadi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dengan dilengkapi kamar inap, dokter, dan laboratorium yang memadai.

Mestinya keadaan di daerah lain tidak jauh beda. Semoga saja ada Puskesmas bagus di sana.

Jika kita periksa ke Klinik Swasta, untuk pemeriksaan standar yang ditanyai sakit apa sambil diperiksa tekanan darah dan detak jantung, seorang pasien mesti keluar uang sekitar IDR 50.000-150.000 plus tebus obat. Dengan pemeriksaan yang sama di Puskesmas, biayanya cuma IDR 2.000 sudah plus obatnya. Kalau punya BPJS malah bisa gratis. 

Waktu pertama kali ke Puskesmas lagi, aku girang luar biasa karena ternyata berobat bisa lebih murah dari naik Kopaja.

Biaya untuk cek darah di Klinik dan laboratorium swasta bisa ratusan ribu sampai jutaan. Tapi di Puskesmas, cek darah lengkap cuma butuh biaya IDR 50.000. Tentu saja bisa gratis untuk pasien BPJS.

Bahkan untuk penderita kelainan darah maupun antibody seperti Lupus, Anemia, Thalasemia dan lainnya, tes darah di laboratorium Puskesmas untuk deteksi dini juga sudah sangat memadai, dan yang penting, Murah! Untuk pengobatan selanjutnya bisa tanya ke dokter yang bersangkutan. Kemungkinan besar, -menurut perkiraanku- akan dirujuk dan diarahkan untuk bertemu dokter ahlinya.

Beberapa Puskesmas daerah yang bekerjasama dengan lembaga-lembaga macam Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) malah sudah bisa melakukan visum kepada korban kekerasan seksual plus cek HIV/AIDS/PMS (Penyakit Menular Seksual) dengan pendampingan. P2TP2A ini ada di berbagai wilayah di Indonesia. Silakan browsing sendiri ya.

Pegawai P2TP2A di Bandung pernah bilang padaku, "Biasanya, korban pemerkosaan yang meminta bantuan pendampingan atau advokasi ke sini dalam keadaan bersih. Maksudnya, dia sudah mandi. Padahal, untuk keperluan visum, sebaiknya korban tidak mandi dulu biar semua jejaknya masih utuh dan bisa jadi tanda bukti yang kuat jika korban mau menindaklanjuti laporan ke pihak kepolisian."

P2TP2A belum ada di banyak kota. Makanya, kalau tidak ada, kita bisa melakukan pemeriksaan itu secara mandiri. Lebih baik periksa untuk tahu keadaan tubuh kita daripada terlanjur. Jika ada sesuatu yang mengkhawatirkan dan tidak dapat ditangani Puskesmas, langsung bisa dirujuk ke rumah sakit daerah yang masih punya koneksi dengan puskesmas.

Di Puskesmas Kemang, ada dokter Rebbeca yang sudah terkenal sebagai orang yang bisa ditanya dan melakukan pemeriksaan soal HIV/AIDS. Rahasia juga terjamin. Bisa Gratis juga kok. Paling bayar pendaftaran tetep IDR 2000 ya. Kabarnya di RS Carolus juga bisa Gratis.

Tidak harus jadi nakal dan gonta ganti pasangan untuk tes HIV/AIDS. Karena kita tak tahu transfusi darah jenis apa yang masuk ke dalam tubuh kita. Kita tak tahu apakah pasangan kita benar-benar hanya mengonsumsi "menu" di rumah atau "jajan". Karena pengidap HIV/AIDS belakangan ini justru Ibu Rumah Tangga baik-baik yang tak pernah macam-macam di luar rumah. Makanya, lebih baik deteksi sejak dini. Tidak perlu malu untuk kesehatan. 

Di Puskesmas daerah Bangka, Pela Mampang, Tegal Parang, dan berbagai Puskesmas daerah lainnya di luar Jakarta, ada kampanye gerakan IVA (Intip Vagina Anda). Jangan salah paham ya karena ada kata intip intipnya, IVA itu sebuah gerakan untuk meraih kepedulian perempuan terhadap organ reproduksinya. Fungsi utamanya adalah deteksi awal kanker Serviks dengan kapas dan Cuka. Caranya, kapas dibasahi cuka, lalu dokter akan mengintip vagina kita dengan menempelkan kapas dan cuka itu ke Vagina. Jika ada pengapuran di kapas, maka dikhawatirkan ada bibit kanker serviks di sana. Metode ini harus dilakukan oleh dokter beneran lho ya. Don't try this at home. Nggak usah sok sok an main dokter dokteran sama pacar buat mraktekin metode ini ya. Itu mah 100% modus doang. Amannya, ya IVA aja di Puskesmas. 

Di Puskesmas, periksa IVA cuma perlu bayar IDR 5.000. Kalau terdeteksi ada kanker, akan langsung cek cryo dengan biaya IDR 70.000. Sepertinya kalau punya BPJS bisa gratis. 

Sayangnya, fasilitas dan pelayanan yang ada di berbagai puskesmas tidak sama. Tahun 2010, aku masih mengalami Puskesmas di Jakarta yang jam 11 pagi sudah tutup. Di tahun 2015, keadaan berubah. Puskesmas buka dari jam 7 atau 8 pagi sampai jam 4. Berkat Ahok juga yang minta Puskesmas buka sampai sore.

Jam pelayanan Puskesmas di daerah sekarang ini bagaimana ya? Yang jelas, jika jam 11 dan 12 pagi sudah tidak menerima pasien, maka Pueskesmas itu melakukan pelanggaran. Sila laporkan dinas terkait di Kabupaten/Kecamatan terdekat.

Masalah pendidikan, kesejahteraan, dan kesehatan di Indonesia itu adalah tingginya ketimpangan antar daerah. Di suatu daerah bisa saja ada satu Puskesmas yang lengkap pelayanannya. Tapi di tempat lain, fasilitasnya mengenaskan. Pelayanan dokternya busuk, obatnya kadaluarsa.

Pas ketemu fasilitas kesehatan yang kacau, orang jadi hilang minat untuk periksa. Takut nggak ditangani dengan benar lah, takut kurang bisa jaga privasi lah. Khawatir ini itu. Kalau aku sih selalu khawatir saat ke poli gigi Puskesmas. Menurut pengalaman, biasanya alat kesehatannya masih bau mulut orang lain walau sekilas tampak sangat bersih. Awalnya aku ingin menyalahkan Puskesmas. Wajar aja bau karena bayarnya murah. Tapi, suatu ketika aku periksa gigi ke Rumah Sakit dan ke dokter Gigi yang buka praktek di rumah. Ternyata bau juga.

Mestinya pelayanan itu tidak ditentukan karena harga. Ini menyangkut integritas tenaga kesehatan di tempat masing-masing. Masalah kesehatan itu dekat dengan masalah kemanusiaan. Masak iya, kemanusiaan tergantung bayarnya berapa. Kalaupun itu realitas yang terjadi, sayang sekali jika terus dilenggangkan.

Untuk orang sepertiku yang sering kena Panic Attack tiap kali ke Rumah Sakit dan di alam bawah sadarku yang oknyol takut hantu-hantu yang gentayangan di sana, Puskesmas sih cocok. Walau beberapa kali komplain sama pelayanannya, bukan berarti aku jadi membenci. Toh RS negeri dan swasta yang bayar mahal pun juga sering salah-salah pelayanannya. Jadi ya nggak sampe bikin kapok untuk periksa ke sana.

Dengan adanya Puskesmas, semua orang bisa berobat. Kalau pakai BPJS atau kartu-kartu lainnya, biasanya perlu rujukan ke fasilitas kesehatan Tingkat I. Ya Puskesmas itu salah satunya.

Tentu saja tidak optimal. Tentu saja masih ada kekacauan di sana sini dibanding Rumah Sakit. Tapi, adanya Puskesmas itu udah lumayan banget. Menjangkau sampai ke pelosok desa. Asal administrasi kenegaraan kita beres, hampir semua orang bisa periksa. Gampang banget cara manfaatin fasilitas kesehatan itu. Karena mestinya, Puskesmas adalah Kita.

Aku sih gitu ya, nggak tau kalau mas Anang.

Minggu, 05 Juli 2015

Jadi Saksi Kanonik Pernikahan Islam-Katolik

Kemarin malam, aku menjadi saksi Kanonik untuk pernikahan beda agama antara sahabatku yang Islam dan tunangannya yang Katolik.

Sahabatku seorang perempuan Islam berjilbab. Sedangkan tunangannya seorang Katolik taat yang sempat menempuh pendidikan calon Imam tingkat satu di Malang. Alih-alih jadi Romo, ia lebih memilih untuk jadi programmer yang hadapi algoritma daripada umat.

Hanya dengan melihat mereka sekilas, kita akan tahu bahwa mereka adalah dua orang yang sedang jatuh cinta.

Ditunjuk jadi saksi Kanonik awalnya adalah hal mendebarkan. Aku perlu meyakinkan diri sendiri apakah mungkin seorang muslim bisa jadi saksi Kanonik? Aku kontak Romo sahabatku untuk menanyakan keabsahan "syariatnya". Romo bilang, saksi Kanonik itu yang penting mengenal calon mempelai non Katoliknya. Tidak harus beragama Katolik. Aku jadi lega. Setidaknya, sebagai sahabat yang sudah bertahun-tahun bersama, ternyata aku berguna juga.

Aku ke gereja Katedral Jakarta bersama pasangan pengantin dan teman SMA sahabatku yang juga berperan sebagai saksi Kanonik. Setelah shalat Maghrib di Istiqlal, kami menyeberang ke Gereja Katedral dan buka puasa di depan pasturan. Misa Jumat Malam belum usai. Jadilah kami menunggu sampai Romo selesai memimpin Misa.

Tepat saat Misa Jumat usai, kami berempat dipersilakan masuk ke ruang tamu Pasturan. Kedua mempelai masuk lebih dulu ke ruang kerja Romo. Romo yang menangani pernikahan ini bernama Romo Broto, Pr. Kesanku padanya, Beliau seseorang yang murah senyum dan ramah.

"Siapa yang akan jadi saksi pertama?" Tanya Romo Broto pada aku dan teman sahabatku saat kami berdua ada di ruangannya.

"Dia saja Mo, yang lebih tua." Kataku.

Romo dan teman sahabatku tertawa.

Romo memulai pertanyaan seputar sejauh mana kami mengenal calon mempelai perempuan. Dia juga bertanya soal asal wilayah, pekerjaan, alamat, dan lainnya. Kami harus mengisi selembar formulir setengah halaman kertas HVS yang isinya adalah kesaksian kami berdua bahwa mempelai perempuan non Katolik tersebut memang belum pernah menikah.

Setelah mengisi formulir, kami berdua tanda tangan di bawah kalimat sumpah yang ditutup dengan, "Demi Allah". Bukan demi Yesus dan bukan pula demi Roh Kudus. Aku senang dengan pilihan kata di dalam surat kesaksian tersebut.

"Di Katolik memang ada dispensasi dalam hal pernikahan. Kami meyakini bahwa yang namanya iman itu tak dapat dipungkiri oleh hati. Bisa saja seseorang bohong di KTP dalam hal agama hanya untuk menikah. Tapi yang namanya iman dalam hati, sulit untuk diganti-ganti. Jadi, Disparitas Cultus ini untuk memudahkan, bahwa pernikahan tak pernah jadi penghalang keimanan seseorang dan sebaliknya. Untuk apa yang Katolik pindah Islam jika hatinya tetap Katolik? Dan untuk apa yang Islam pindah Katolik jika yang nyaman baginya adalah beragama Islam? Ini adalah solusi yang diberikan gereja untuk umatnya."

Kami mengangguk mendengar penjelasannya.

Saat melakukan penelitian di gereja Santo Alfonsus Paroki Nandan, Jogja pada tahun lalu, aku sudah diberi penjelasan oleh Romo Kris mengenai hukum pernikahan dalam gereja Katolik.

Oh ya, Romo Kris ini ketua Paroki Nandan. Tema Disertasi S3 nya adalah tentang Disparitas Cultus. Saat aku menyebut bahwa aku kuliah di Paramadina, dia langsung bertanya soal pernikahan beda agama yayasan Paramadina. Aku tak tahu banyak soal pernikahan beda agama di yayasan. Jadi aku berjanji padanya untuk mencarikan info seputar itu.

Romo Kris lah yang memberi penjelasan padaku bahwa di dalam gereja Katolik memang tak ada perceraian. Adanya pembatalan pernikahan yang harus diurus sampai Vatican. Seseorang yang beragama non Katolik yang pernah menikah sebelumnya, lalu bercerai baik secara agama maupun secara negara tidak dapat lagi menikah dengan seorang Katolik karena punya halangan pernikahan. Makanya, salah satu fungsi diumumkannya pernikahan setelah Misa, selama tiga kali Misa adalah untuk mendeteksi adanya halangan pernikahan itu tadi.

Aku bercerita kepada Romo Broto soal sedikit interaksiku dengan Romo Kris yang mengenalkan aku pada konsep disparitas kultus. Dia tampak girang.

"Walaupun satu kampung sudah tahu bahwa calon mempelai belum pernah menikah, kesaksian kanonik ini tetap harus dilakukan. Ini sebagai formalitas saja." Lanjut Ketua Paroki Katedral ini.

Di tengah diskusi singkat kami, Romo memujiku dengan berkata, "Wah, kamu sudah banyak tahu Katolik."

Aku tersenyum geli.

Sebenarnya aku tak banyak tahu soal Katolik. Seorang kawan yang mengaku sebagai Katolik sesat karena tak beribadah lagi ke Gereja pernah memberikan banyak penjelasan soal kekatolikan padaku sebagai bahan riset. Selain itu, aku sering berdiskusi dengan Romo dan Frater kenalanku dan membanding-bandingkan penjelasan mereka dengan tradisi agama Samawi yang ada.

Tentu saja aku masih sering bingung dengan istilah-istilah spesifik yang dipakai orang Katolik. Jelas banyak sekali hal yang belum aku tahu soal agama lain. Bahkan aku baru tahu kalau di Katolik sunat untuk lelaki itu bukan sebuah keharusan setelah nonton film bareng di kampus yang memuat sebagian sejarah gereja Katolik abad pertengahan. Tentu saja, tidak penting untuk mengetahui apakah pengikut agama tertentu punya tradisi sunat untuk lelakinya atau tidak. Tapi, aku akhirnya paham bahwa ternyata aku tidak banyak tahu.

Mengetahui ketidaktahuan adalah sebuah pengetahuan yang berharga juga.

Hanya 5 menit waktu yang dibutuhkan untuk jadi seorang saksi Kanonik. Tunangan sahabatku bilang, waktu yang dibutuhkan tiap orang beda-beda. Tergantung Romonya juga.

Tunangan sahabatku heran, kenapa beberapa kali terdengar tawa kami.

"Kamu becandain Romo ya Ban?" Tanyanya.

Aku menggeleng. Memang ada banyak lelucon yang menyenangkan selama kami ngobrol dengan Romo sambil mengisi formulir tadi.

Sangat berbeda saat sahabat dan tunangannya menghadapi Romo. Suasananya serius. Mereka bilang, mereka ditanyai Romo dengan hal-hal yang sudah mereka pelajari saat Kursus Pernikahan.

Aku sempat bertanya pada tunangan sahabatku, kenapa dia tak membawa saksi Kanonik juga. Dia jawab, "Saksi Kanonik itu cuma dibutuhin calon mempelai non Katolik. Data diriku kan udah ada di parokiku."

Oh, begitu. Tuh kan, aku baru tahu.

Bagiku, mereka pasangan yang lucu, saling melengkapi dan menjaga. Tunangannya selalu menyarankan sahabatku untuk konsisten berjilbab. Sahabatku sering meminta tunangannya untuk membawa serta dirinya tiap Misa. Aku berbahagia untuk mereka.

Tentu saja, pernikahan beda agama masih jadi pro dan kontra di kalangan umat beragama. Keluarga sahabatku juga masih banyak yang menentang terjadinya pernikahan tersebut. Tapi, ayah sahabatku sungguh hebat. Dia berani pasang badan demi kebahagiaan anaknya. Dengan senang hati, ayahnya mengantarkan anaknya menikah di Gereja Katolik tanpa perlu pindah agama. Dulunya, ayahnya adalah seorang Kristen Protestan yang masuk Islam karena menikah dengan ibunya.

Aku mengikuti perjalanan cinta mereka. Beberapa kali, aku ikut membantu untuk menjawab setiap pertanyaan dan hujatan dari keluarga yang menentang pernikahan mereka.

Seorang yang sedang berusaha mengikuti laku sebagai seorang Sophia Perennis sepertiku, memang tidak memiliki masalah yang ada hubungannya dengan syariat pernikahan beda agama. Tentu saja, ada banyak sekali orang yang bilang betapa salahnya pandanganku. Betapa kelirunya pilihan hidup yang aku pilih.

Tapi, aku meyakini, bukankah tiap orang sedang menjalani Dharmanya masing-masing? Jika memungkiri konsekuensi pengetahuanku, alih-alih menjalankan dharma, aku malah menjalankan adharma.

Aku menerima risiko apa kata orang terhadap apa yang aku lakukan dengan hati gembira. Aku memaklumi, beberapa orang yang menghujatku memang senang menjadi juru bicara kebenaran "tuhan" yang diyakininya. Aku sih tak pernah memaksa mereka meyakini apa yang aku yakini.

Orang yang pernah dekat denganku pernah cerita bahwa beberapa kali dia berpisah karena agama dengan orang yang dia cintai. Aku sangat sedih mendengarnya. Rasanya aku ingin hadir di masa lalunya dan meyakinkan orang yang dicintainya agar tak perlu merasa berdosa mencintai orang yang berbeda iman. Cinta itu indah. Agama dan kasih Tuhan juga indah. Keindahan hanya akan bersatu dengan sesamanya. Kenapa harus ada perpisahan karena agama?

Yang aku yakini, Tuhan yang disebut dengan berbagai nama, Tuhan seluruh umat manusia, telah memberikan potensi cinta pada siapa saja tanpa memandang agamanya apa.

Kita hanya perlu menjaga pijarnya, agar jadi terang bagi sesama.