Senin, 28 April 2014

Aku Berikan

Aku berikan seutas rambut padamu untuk kenangan
tapi kau ingin merampas seluruh rambutku dari kepala
Ini musim panas atau bahkan tengah musim panas
langkahmu datang dan pergi antara ketokan jam yang berat

Mengapa jejak selalu nyaring menjelang sampai
daun-daun kering risik di pohon ingin berdentuman
ke air selokan yang deras
langkahmu datang dan pergi antara ketokan jam yang berat

Aku berikan sepotong jariku padamu untuk kau bakar
Tapi kau ingin merampas seluruh tanganku dari lengan
Ini musim panas atau akhir musim panas aku tak tahu
Burung-burung kejang di udara terik seakan penatku padamu

Maka kujadikan hari esokku rumah
Tapi tak sampai rasanya hari iniku untuk berjumpa

1974, dalam buku kumpulan puisi Meditasi.

Catatan :
Malam ini, Abdul Hadi WM berhasil membuatku menangis.
Terimakasih telah menulis ini.

Sabtu, 26 April 2014

Pingsan

Janji yang tak selesai, tangis yang terabai dan sekotak waktu yang kian masai adalah cerita tentang sial yang memang belum bosan mengintai
Lelah
Ingin tidur rebah dan nyenyak di rumah Tuhan
Sendiri saja
aku lupa jalan tapi benar-benar ingin pulang
terlalu lama, terlalu jauh, rasanya sudah tak mungkin sampai
beritahu aku apakah Ia sedang bersembunyi?
atau sedang tidak menerima tamu?
Ku ramu cemas dan semai ketakutan-ketakutan
sampai Ia timpakan satu rantingNya tepat di kepalaku.
KataNya, "Tunjukkan padaku di mana saja yang bukan rumah Ku?"

Tegal Parang, 26 April 2014

Jumat, 25 April 2014

Standar Ganda Manusia Serigala

Jika para penulis dituntut harus mengerjakan hal-hal baik nan bermoral persis seperti yang dia tulis, maka tunggu saja saat-saat dimana para penulis tidak lagi menulis tentang hal-hal ideal seputar keluhuran akal budi manusia.

Orang takut dibilang munafik sehingga ia mulai menulis tentang hal-hal buruk dan kotor dalam pikirannya yang berisi nafsu-nafsu kebinatangan daripada kemalaikatannya. Lalu pelan-pelan orang akan lupa terhadap tujuan penciptaannya. Kita semua juga lupa mengapa kita jadi manusia dan kenapa kita sudah tak tahu cara memanusiakan.

Orang-orang akan mulai berpikir, "Ya yang namanya manusia itu isinya hawa nafsu." Atau, "Memang kok, manusia itu serigala bagi sesamanya" tanpa berpikir bahwa diluar sana ada banyak manusia yang tak sekuat serigala dan akhirnya pelan-pelan mati dimangsa serigala lainnya. Betapa menyedihkan ketika hal-hal buruk mulai dianggap sebagai potret manusia yang sejati.

Tiba-tiba iri sama Karl Marx yang dengan santai bilang, "Aku bukan marxist" setelah menulis berjilid-jilid tentang pentingnya kesadaran kelas, kejinya para pemilik modal dan betapa menderitanya para proletar. Atau aku juga mulai iri terhadap Schopenhauer yang pesimismenya dipuja banyak orang sebagai ajaran moral yang baik padahal hidupnya begitu berantakan terutama relasinya yang buruk dengan sesama manusia. Siapa yang berani bilang Marx maupun Schopenhauer itu munafik?

Ketika seorang agamis mengatakan hal baik dan ia tidak melaksanakannya, ramai-ramai orang berkata bahwa ia munafik. Karena membawa nama Tuhan untuk meyakinkan hal-hal buruk adalah buruk. Katanya, ia menjual Tuhannya dengan menaikkan sendiri namanya beserta semua hal buruk tentang betapa berlawanannya kepribadian dengan ucapan.

Mendengar agamawan bicara moral itu memang memuakkan..Belum tentu ia baik kenapa ia tiba-tiba punya hak untuk menceramahi kita? Alih-alih kita melaksanakan apa yang ia katakan tentang moralitas, kita justru sibuk jadi polisi moral yang menilang para pembicara moral yang tak bermoral. Tidak ada manusia yang benar-benar mau diceramahi oleh manusia yang tidak melaksanakan apa yang ia katakan.

Lalu siapa yang berhak untuk menulis dan bicara hal-hal baik sekarang ini ketika menampakkan segala yang baik mulai jadi beban? Menampakkan yang.buruk jadi biasa dan wajar.

Kebaikan, keluhuran, kesempurnaan akan dianggap naif sehingga semua orang takut menuliskannya lagi. Ia hanya milik dongeng dan dianggap sebagai hal fiksi yang mustahil ada, mustahil terwujud.

Kata mereka, "Kita harus jujur dengan diri sendiri tentang hal yang paling disukai oleh manusia. Seputar sex, berhala-berhala berupa materi, dan kehendak berkuasa. Jangan munafik dengan berkata bahwa manusia tidak suka hal tersebut."

Kita berada pada suatu masyarakat yang lebih takut dicap munafik daripada konsisten menulis dan berkata hal-hal luhur tentang kemanusiaannya.

Pada akhirnya, kita akan dipaksa maklum dan terbiasa dengan standar ganda manusia dalam mengkritisi hal baik dan hal buruk. Kita juga dipaksa berhenti menulis dan berkata yang baik karena itu akan dianggap utopia yang mengawang-awang.

Manusia, kata mereka sekali lagi, sudah mati. Yang ada sekarang tinggal serigala. Tak mampu jadi serigala? Siap-siaplah jadi mangsa.

Aku sendiri memilih untuk mati sejak awal cerita jika pilihannya hanyalah menjadi serigala.

Rabu, 09 April 2014

Kerja Keras Hari ini Bernama Pesta Demokrasi

Hari ini, 9 Juli 2014 adalah kedua kalinya aku ikut andil di pemilu. Pemilu Legislatif 5 tahun lalu sangat berbeda dengan sekarang. Dulu aku tidak tahu siapa yang harus aku pilih, bagaimana mekanismenya aku bisa terdaftar sebagai pemilih dan lainnya. Aku benar-benar hanya memilih calon legislatif yang ibuku pilih dan pasrah dengan apa yang terjadi selanjutnya. Aku tidak ingat siapa yang aku pilih saat pemilihan calon legislatif. 5 tahun lalu, suara di sosial media untuk remaja sepertiku tidak senyaring sekarang.

Terbatasnya arus informasi, kurang pergaulan, dan nggak kepikiran untuk ikut andil dalam pemerintahan adalah alasan-alasan yang aku pakai sebagai pembenaran (bukan kebenaran) kenapa aku ngawur menentukan tokoh legislatif yang harus aku pilih. Aku rasa, banyak remaja maupun orang dewasa juga belum tahu siapa yang harus dipilih. Bagaimana kita bisa menentukan sesuatu yang hanya kita tahu dari foto yang terpasang secara serampangan di jalan, tembok maupun pohon. Apalagi jika ditambah dengan pawai yang urakan. Apa menariknya partai seperti itu untuk kemajuan bangsa.

Waktu masih kecil, aku senang sekali ikut kampanye dan rasanya tidak ada yang mempermasalahkan itu. Mungkin orang-orang di Komnas PA belum secerewet sekarang. Maklum, Komnas PA memang baru didirikan pada 26 Oktober 1998 sedangkan pemilu saat itu Juni 1999. Jadi konsentrasi mereka masih terpecah untuk mengurusi lainnya. Atau aku memang tidak ikut dengan perdebatan yang ada tentang etis atau tidaknya mengajak anak-anak berkampanye? Sepertinya memang aku yang tidak tahu.

Saat itu, rasanya keberadaan anak kecil sangat penting di kampanye karena bisa menambah keceriaan. Aku dan teman-teman sangat senang ikut membantu menyebar 3 permen yang direkatkan pada kertas atau stiker PAN, membaginya pada orang-orang yang melihat kami di jalanan. Atau sekedar memungut permen yang disebar partai lain yang kampanye. Siapa lagi yang sudi memungut permen yang disebarkan di sepanjang jalan di siang hari yang sangat terik kalau bukan anak-anak?

Kami, anak-anak bau matahari ini akan bersorak gembira dan dengan bangga memasang stiker partai pilihan orang tua kami di sepeda maupun di pintu rumah. Menganggapnya seolah itu sebagai ideologi suci yang menjadi pembeda dari rumah satu dengan rumah lainnya. Teman sekelasku waktu SD ada yang orang tuanya pegawai negeri. Semua keluarganya adalah orang Golkar, Sedang keluargaku seluruhnya adalah penggemar Amien Rais yang suaranya membahana saat reformasi '98, otomatis kita adalah orang PAN. Kita bermusuhan karena itu. Tapi kita bisa saja tiba-tiba kompak berdiri sejajar di pinggir jalan raya untuk berebut permen dari partai lain yang sedang kampanye.

Tidak ada yang merasa prihatin dengan itu karena toh orang tua jadi tidak perlu keluar uang untuk membeli permen. Bahkan saat suara iring-iringan kampanye dimulai, para orang tua mendorong anak-anaknya untuk melihat pawai parpol dan membandingkannya satu sama lain. Berdasarkan kerasnya suara, permen yang dibagi maupun atribut lainnya.

Saat ini, usiaku sudah 23 tahun. Juni nanti 24 tahun. Oke, aku sudah tua dan rasanya semua orang mulai memanggilku dengan "kak dan mbak". Pemahamanku tentang pemilu tentu saja tidak boleh sama dengan aku 5 tahun lalu ataupun 10 tahun lalu. Ada internet yang tergenggam setiap saat. Adalah kebodohan jika aku sampai tidak tahu apapun tentang seperti apa pemilu kali ini. Kalau punya akses informasi. Kenapa masih belum mengerti?

Demokrasi menorehkan sejarah panjang, seputar trial dan error dalam menyelenggarakan negara ini dan memenuhi hajat hidup orang banyak. Orang Indonesia saat ini bisa menentukan siapa saja orang yang nantinya akan mengolah uang kita untuk membuat negara ini terus berjalan dengan mekanisme yang mengelola berdasarkan prinsip keadilan sosial. Mereka digaji dengan uang pajak kita. Mereka juga yang menentukan uang hasil pajak kita yang masuk kas negara untuk belanja apa saja. Mereka juga yang menentukan berbagai peraturan dan undang-undang untuk kebaikan kita.

Tugas kita adalah memilih wakil kita, dan kemudian mengawasi kinerjanya. Beberapa orang mengawasi secara pribadi dan mengicaukannya di sosial media untuk melancarkan kritik. Beberapa membentuk lembaga khusus untuk mengawasi pelanggaran-pelanggaran mereka saat tidak melaksanakan apa yang seharusnya dilaksanakan. Mereka pembantu kita. Mereka melaksanakan apa yang menguntungkan buat kita. Mereka seharusnya mengabdi, bukan memperkaya diri.

Aku termasuk orang yang kecewa dengan pemerintahan SBY 10 tahun ini. Untuk Pemilihan Presiden 8 Juli 2009, aku golput. Saat itu partai golput hampir mencapai 30%. Prosentasenya lebih besar dari perolehan suara incumbent. Apakah partai golput mengubah sesuatu SBY gagal jadi presiden atau ada pilihan ulang lagi?

Ternyata tidak!

Pilihan untuk Golput bisa jadi sebagai sebuah ideologi, sekedar permasalahan administrastif, apatis dan hal teknis lainnya. Aku Golput karena saat itu aku sedang dalam perjalanan dari Solo menuju Jakarta di dalam sebuah kereta ekonomi. Aku mendengar orang-orang yang berada satu gerbong denganku mengumumkan kemanangan Golput berdasarkan koran pagi yang mereka baca saat itu. Kami bersorak, beberapa menyatakan ketidaksukaannya pada SBY. Beberapa bertanya tentang apa yang dilakukan kalau golput yang menang dan mendiskusikannya dengan orang yang sama butanya dalam hal politik tentang hal itu. Aku meminjam koran orang yang duduk berseberangan denganku dengan penasaran. Isi koran pagi saat itu sebenarnya tidak mengabarkan kemenangan Golput. Tapi kemenangan SBY. Aku lupa koran yang aku baca apa.

Aku tidak begitu peduli saat itu. Aku lebih memikirkan tahun pertamaku di kampus nantinya daripada dampak terpilihnya SBY 5 tahun kedepan.

Sekarang ini, di sosial media sudah banyak informasi yang memuat tentang pemilu. Berbagai link tinggal di klik dan kita bisa tahu tentang apa yang harus kita lakukan hari ini. Di sini, sosial media yang sangat membantuku adalah twitter.

Ada Daftar Caleg Tak Layak Pilih dalam Perspektif Media Penyiaran dari @Remotivi, rekomendasi Caleg bersih dan berbagai informasi seputar pemilu dari jariungu.comBersih2014.net, politikuang.nethttp://pantaupemilu.org/, blognya Bang Andreas Harsono tentang Bagaimana memilih politisi dalam pemilihan umum? website KPU seperti KPU Surakarta, KPU Jakarta dan berbagai pembicaraan di twitter seputar pemilu. Semuanya informatif. Termasuk yang debat berhari-hari tentang pentingnya nyoblos, menyobek surat suara ataupun golput.

Fokus pribadiku adalah para pemimpin yang mau memperjuangkan kebebasan beragama dan anti korupsi. Aku mencoba menentukan prioritas ingin seperti apa negara ini nantinya. Setelah itu, barulah menentukan pilihan yang tepat. Teliti track record calon DPR, DPD dan DPRD kita. Jangan malu dan capek merekomendasikan orang baik untuk dipilih orang-orang sekitar kita. Justru karena tidak dibayar itulah kita mau bergerak. Daripada dibayar tapi dia nanti malah jadi rampok.

Pemilu kali ini sangat berkesan. Karena aku benar-benar meluangkan waktu untuk mencari tahu siapa yang layak aku pilih untuk mengelola uang yang aku setor ke negara lewat DPR, DPD dan DPRD. Selain itu, aku akan mendatangi TPS untuk liputan Majalah Edukrasi edisi pemilu. Jadi mau tak mau aku juga melakukan riset untuk menambah data tulisanku nanti.

Aku sudah mengecek namaku secara online, aku lupa ini menggunakan aplikasi apa. Harsya, teman di mata kuliah Pancasila yang mengecek dataku di ios nya. Bodohnya, aku lupa menanyakan aplikasi yang dia gunakan apa. Sudahlah, yang penting aku terdaftar sebagai pemilih. Aku agak khawatir tidak terdaftar karena aku belum sempat pulang untuk membuat e-ktp. Prosesnya membuat e-ktp ternyata tidak bisa secepat membuat SIM di Solo. Apalagi ketua RT ku saat itu baru saja meninggal dunia sehingga pengurusan e-ktp jadi semakin panjang.

Sekarang tinggal mempersiapkan dokumen seperti KTP beserta fotocopynya, Kartu Mahasiswa, untuk bisa mencoblos di Jakarta. Bahkan aku akan membawa fotocopy KK dari Solo. Aku sudah siap tempur!
Namaku terdaftar! Horeeee!!!!
Aku benar-benar berharap dapat lolos administrasi di TPS Menteng nanti. Aku harus ke TPS Menteng Karena tugas liputan ke sana. Tugas liputanku sih tidak secara jelas menyebut tokoh. Hanya menyebut tentang siapa tokoh nasional yang datang ke TPS. Jadi aku memilih menyorot Jokowi yang nyoblos di TPS 27. Dan Megawati yang ada di TPS 35. Reporter lainnya jaga gawang di TPS Mampang dan sekitarnya untuk meliput tokoh lainnya. Sehingga ada variasi tokoh di dalamnya.

Di paragraf ini, aku baru ingat bahwa ternyata aku belum pernah berpartisipasi sama sekali di pemilu presiden. Aku berusaha keras mengingat pemilu pertamaku sampai sekarang. Bahkan aku juga tidak pernah memilih walikota. Aku jadi tidak sabar untuk 9 Juli 2014 nanti.

Hari ini sepertinya akan penuh petualangan. Karena untuk pertama kalinya aku ngepos liputan di TPS. Untuk pertama kalinya juga aku liputan pemilu sekaligus menggunakan hak pilihku di luar kota.

Mengenai sukses atau tidaknya administrasiku, akan aku update belakangan.

Aku ngantuk sekali. Sudah pukul 3 pagi. Menurut Antara News Jokowi akan nyoblos pukul 8 pagi. Jadi aku harus sampai di lokasi sekitar Taman Surapati jam 7 pagi nanti. Aku berharap bisa bangun pagi. Karena aku tidak bisa tidur sebelum tulisan di blog ini selesai. Kalau ada typo, akan aku ralat belakangan. Aku hanya ingin menerbitkan tulisan ini sebelum TPS dibuka. Hehehe....

Selamat Pesta Demokrasi hari ini!

Selasa, 08 April 2014

Sahabat

Aku tidak ingin kehilangan apapun. Walau itu berarti bahwa aku juga tidak perlu memiliki apapun. Kita merasa memiliki sehingga kita akhirnya juga merasa kehilangan. Kehilangan serupa hantu yang mengoyak ketenangan. Yang kita tahu, tiba-tiba kesepian melankolis menyergap, cekikannya membuat kita sulit bernafas. Ia datang diam-diam, membunuh akal sehat.

Semoga saja, aku termasuk orang yang tidak ingin berkuasa atas apapun diluar diriku. Aku terlalu lemah untuk menguasai diri sendiri dari nafsu-nafsu yang setiap saat minta dipuaskan. Aku anggap hasrat untuk menguasai orang lain hanyalah ketamakan yang dipaksakan.

Barangkali di dunia ini memang ada orang yang setiap saat dikuasai oleh akal sehatnya sehingga apa yang dilakukannya selalu benar. Kalaupun ada, orang itu pastilah bukan aku.

Aku tidak ingin lagi bersetuju dengan apa yang sebenarnya tidak aku setujui hanya untuk menyenangkan pihak lain. Aku ingin berkata salah saat salah dan berkata benar saat benar sambil menghitung berapa langkah yang sudah aku lewati dengan berbagai kesalahan.

Kita bisa dengan mudah menegur orang lain yang salah karena ada jarak ratusan depa dari hati. Itu membuat kita tidak perlu kikuk jika akhirnya saling teriak. Siapa dia, siapa aku. Siapa yang peduli.

Kita seringkali lemah jika yang kita rasa salah itu adalah orang terdekat kita. Kita memiliki pertimbangan tentang perasaan-perasaannya yang kita simpan. Iya, kita menyayanginya, kita pernah membelanya dan barangkali berkorban banyak hal untuknya. Aku belajar bahwa keberanian untuk berkata tidak ternyata jauh lebih sulit didapat di depan yang kita sayangi daripada kepada yang tidak kita kenali. Dia menyimpan sebagian diri kita dan diri kita ternyata juga ada di dalam dirinya.

Aku menyanyanginya. Sangat. Aku selalu berdoa agar dapat berkata yang semestinya untuk membuat akal sehatku tetap bekerja. Tapi selama ini aku masih terjebak dalam kehidupan serba kompromistis yang tidak sesuai dengan apa yang aku yakini. Awalnya berupa pilihan-pilihan hidup individu yang kemudian secara tidak langsung berimbas pada sosial.

Aku hanya ingin berkata salah pada hal yang salah di dalam satu dan dua persoalan. Esoknya kita bisa melakukan apapun bersama lagi.

Kau tidak pernah aku miliki, pun aku. Di beberapa perjalanan hidup, kita hanya bersepakat untuk menjalaninya bersama dan kemudian berpisah di cabang jalan lalu nantinya bertemu lagi di persimpangan. Selalu seperti itu.

Kadang setelah cabang jalan kita berpisah terlalu jauh, aku menungguimu di persimpangan sampai akhirnya aku lihat matamu gagal meresap kembali air mata yang terlanjur tumpah. Kau patah hati dan kembali mengajakku berjalan bersama sambil menceritakan ketakutan-ketakutan terdalammu. Sambil bercerita tentang teman perjalananmu yang lain.

Kita ada, saling memunggungi, pergi, datang kembali, menangis, marah, terkhianati, kecewa, tertawa, cemburu. bermain peran, berpisah dan saling berdiam. Hingga pada suatu hari kita akan saling jenuh dengan teman perjalanan yang bukan sepertimu atau yang bukan sepertiku. Kita mulai saling merindukan dan jenuh dengan perpisahan, itu membuat kita berpeluk lagi.

Jika masa itu terjadi, kau tahu di mana harus menemuiku kembali.

Yang aku tahu, aku lega punya keberanian untuk mengatakan hal yang tidak aku sepakati sekalipun itu denganmu. Melawan diri sendiri sudah setengah mati apalagi melawan kehendakmu.

Berbahagialah karena ada banyak tempat yang bisa dijadikan rumah singgah sementara yang cukup nyaman untuk melanjutkan perjalanan abadi kita.

Berjanjilah untuk tidak merasa kehilangan dirimu sendiri maupun oranglain bahkan disaat yang paling sepi sekalipun.

Nanti, kita bertemu lagi.

Aku menyayangimu.