Jumat, 11 Oktober 2013

Buat Rasyid Hamid : Maaf untuk 30 Agustus yang Terlewatkan

Kesalahan terbesar kali ini berbentuk: "Aku tidak ingat bahwa aku lupa."
Dear, Rasyid...

Disadari, bahwa kehidupan meniscayakan kita berhadapan dengan berbagai hal yang membuat kita kuat, hal itu bernama masalah. Ia datang seperti anyaman yang terbentang dan menghalangi pandangan mata. Membuat kita abai, bahwa di depan kita masih ada banyak hal yang bisa dilihat dengan senyuman. 

Lucunya, kita sering menunggu orang lain menyobek anyaman itu dan seolah menampar pipi kita, berteriak dengan klise, "Bangun donk! Jalan masih panjang. Ini bukan apa-apa, Belum apa-apa." 

Untunglah, masalah itu -selalu saja- tidak sebesar rasa syukur kita (kalimat sederhana ini keluar setelah refleksi panjang tentunya :P). Bukankah selama ini, kita tidak pernah sendirian saat mesti berhadapan dengan masalah? Ada sahabat yang membantu kita bangkit atau ada kekuatan tersembunyi yang membuat kita mau nggak mau harus terus bertahan. Kalau kata mantan ku sih (You-know-who) "Hidup, terus berjalan, orang jualan bubur masih jualan bubur, orang jualan nasi goreng masih jualan nasi goreng. Masalah toh akan tetap datang. Jangan terpengaruh jadi lemah... Gitu".

Cid, serius deh, aku sering merasa bahwa salah satu hadiah terbaik yang Tuhan berikan adalah kamu, laki-laki baik-baik yang jadi sahabatku tanpa alasan-alasan pragmatis yang menjemukan. Bagiku, kamu masih Laki-laki paling tulus, paling besar maafnya dan paling available dalam hidupku. Kan kamu udah jadi semacam bagian dari keluarga ku, Jadi, aku tidak perlu lagi memilah-milah, mana yang kepentingan keluarga mana yang kepentingan kita. Sama saja. Sadar apa nggak kalau kamu memang seperti itu. Tanya Nila deh kalau kamu nggak percaya tentang kebaikan mu sendiri.

Cid, Kita seringkali berbagi tentang kecemasan-kecemasan yang menggumpal dipikiran kita. Tugas kuliah lah, krisis moneter lah, temen-temen pragmatis lah, keluarga, dan lain-lain. Aku senang waktu kamu betah duduk berjam-jam menyimak kecemasanku, menungguku dandan lama sebelum kita pergi atau bersabar dengan kebiasaanku yang tidak bisa mengunyah makanan dengan cepat sampai-sampai kamu harus menunggu lebih lama supaya aku bisa menyelesaikan makanku.

Saat aku bercerita, aku suka memperhatikan ekspresimu yang datar, seperti laki-laki semestinya. Kedataranmu yang menampakkan kekuatan itu punya sesuatu yang membuat aku merasa harus tegar (apa sih ini bahasanya -__-). Aku sering dengar kamu mengucapkan hal klise, "Sabar ya yu... blablabla." Walau klise, aku tahu bahwa kalimat itu lahir dari rahim ketulusanmu. Bukan berarti aku menuduhmu punya rahim lho ya. Tentu saja, ini konotasi. 

Cid, tentang hal kemarin yang kamu bahas, Aku jadi merasa orang paling tidak tahu diri sedunia. Oke, uhmm.... Jadi, aku akui bahwa aku melakukan kebodohan. Aku abai tentang satu hari yang tidak akan kembali lagi, kecuali jika kita melalui tahun depan lagi. Moment ulang tahunmu. Aku benar-benar... Kelewatan.

Bagaimana bisa, aku yang sudah expert dalam hal lupa bisa mengingat detail keperihan dan hidupku yang penuh drama. Tapi aku lupa hal penting tentang kamu, padahal kamu adalah salah satu tokoh penting protagonis di drama itu.

...Ulang tahunmu 30 Agustus. Jujur saja, aku harus membuka profil Facebook mu untuk memanggil ingatan itu lagi. Terlalu terlambat untuk ingat kan? Aku janji ke diri sendiri, tidak akan pernah lupa lagi.

Aku bahkan lupa apakah tahun lalu aku ingat ulang tahunmu atau tidak. Sejujurnya, lupa kali ini tanpa alasan yang jelas. Aku harus berpikir keras tentang apa yang sepantasnya aku ucapkan sebagai alibi atas kelupaanku. Aku mau bilang, kali ini, aku lupa saja. Lupa, sekali lagi, tanpa alasan yang jelas.

Cid....
Aku tahu aku telah melakukan kesalahan fatal. Hampir 5 tahun kita bersahabat, aku malah tidak menghitung, berapa kali aku melupakan ulang tahunmu. Aku mengingat namamu tiap hari, terutama tiap kali aku lapar, butuh teman makan, sedih, bosan, kesepian, cemas, terlalu gembira, tidak tahu harus mengisi waktu dengan apa, mengabarkan sesuatu, punya ide yang konyol, semua update terkini rasanya selalu aku bagi denganmu. Makanya, rasa bersalahku menggunung.  

Aku pernah bilang kan, makan bersamamu adalah ritual yang membuat semua makanan jadi enak, sekalipun aku tidak suka makanan itu sebelumnya. Sate padang, warteg mampang, pempek, Soto Betawi, sop iga dan semua yang sebelumnya tidak aku suka, jadi suka.

Aku selalu ingat kamu sebagai sosok superhero yang muncul dari dari balik kabut mengendarai elang terbang. Siap menuntaskan permasalahan layaknya jin botolnya Aladin. Ya, seperti itu.

Aku selalu iri bahwa kamu selalu bisa menyelesaikan masalahmu sendiri tanpa harus berpanjang kata dalam keluhan. Memang beberapa kali kamu mengeluh tentang beberapa hal, tapi keluhanmu tidak pernah sebanding dengan banyaknya keluhanku. Ya, aku iri tidak punya kekuatan yang kamu miliki. Barangkali itulah mengapa kita bersahabat.

Mengingat itu semua, makin membuat aku merasa, aku adalah sahabat yang tidak begitu berguna di hidupmu. Barangkali kamu terpaksa memungut dan mengadopsi aku jadi sahabat cuma karena aku terlalu imut untuk diabaikan. Jujur aja, emang gitu kan? 

Dengan segala kekurangan, kesalahan, kelupaan, keteledoran, dll, Kemarin kamu bilang kalau kamu memaafkanku. Aku jadi makin merasa bersalah. Walau aku memang berharap dimaafkan sih... Aku jadi makin merasa bersalah walau itu adalah salah satu alasan kenapa aku bisa bersahabat denganmu begitu lama. 

Oh iya, Kita juga tidak pernah bertengkar. Sama sekali. Itu adalah anugrah terindah sepanjang perjalanan persahabatan kita lho. Serius deh. Aku bangga dengan track record ini. 

Baiklah, akhir kata, kadonya menyusul ya...

Janji. 

Makasih atas 5 tahun yang terlewatkan. Makasih telah jadi kantong ajaib semua problem ku. Bahkan, kamu masih jadi fotografer terbaikku. Hampir semua foto di facebook ku kan kamu yang ambil. Aku juga heran, kenapa orang lain tidak bisa menangkap gambar ku sebagus tangkapan kameramu. Untuk ini, Terimakasih!!

---
PS buat pembaca :
Rasyid Jomblo. Mahasiswa Desain Komunikasi Visual Paramadina yang super kece. Yang minat, PM me. Sumpah. Orangnya Baik banget! Twitternya @rasyidhamied. Follow ya. Mumpung hari jumat, #FF in sekalian. Walau orangnya nggak suka twitteran, tapi pasti dia baca. 

Selasa, 01 Oktober 2013

Guru : Antara Si Pengemban Tugas Kenabian dan Si Pendikte

Socrates pernah berkata pada murid-muridnya, "Aku tidak dapat membuat semua orang mengetahui segalanya, aku hanya dapat membuat mereka berfikir."

Selama aku hidup, selalu ada sosok guru yang membuatku belajar bagaimana caranya mempelajari sesuatu dan menemukan alasan kenapa aku harus mempelajari hal tersebut. Kadang juga, dengan sangat menyebalkan, aku akan bertemu dengan seorang guru yang hanya membutuhkan kehadiran kita sehingga dengan malas, aku akan memaksa diriku untuk tergopoh-gopoh masuk ke kelasnya dan menahan kantuk sisa begadang semalam.

Bagiku, seorang guru yang baik bukanlah yang dapat menjawab semua pertanyaan muridnya dan meminta kita menghafal berderet penuh mantra asing yang tidak kita ketahui kenapa itu begitu penting.

Guru, di dalam pikiran ideal ku adalah seseorang yang bisa membuat kita memiliki kesadaran untuk lebih banyak belajar dan berfikir. 

Guru itu memiliki tugas seperti para nabi, yaitu seseorang yang memberikan petunjuk dan menyampaikan. Guru mengajarkan bagaimana cara berfikir untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita. Sehingga kita tidak perlu bertanya ttg pertanyaan partikuler dan remeh-temeh ke guru kita. Tidak mungkin kita menghabisakan waktu seorang Guru dengan pertanyaan, "Apakah jika bertamu, sebaiknya sendal kita sisihkan ke sebelah kanan atau kiri pintu supaya lebih afdol??" Tentu saja, pertanyaan remeh temeh itu, seharusnya membuat jengkel seseorang yang memiliki pengetahuan mendalam namun dengan terpaksa harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan sepele. 

Kebanyakan guru, hanya menyuruh manusia yang dihadapannya untuk belajar tanpa membuat para insan pembelajar memiliki kesadaran kenapa kita butuh mempelajari hal tersebut. Sebagian guru lainnya, membebani manusia didikannya tentang mantra-mantra asing yang harus dihafal tanpa memberikan celah bagi kita untuk menganalisa mengapa mantra tersebut penting dan relevan untuk kehidupan kita.

Pak Munif benar, guru harus bisa memperlakukan kita seperti manusia. Bukan seperti mesin yang harus patuh terhadap manual book  yang ada di dalam kardus sebuah mesin. Atau, dalam arti lain, manusia itu bukan mesin yang bisa diperlakukan hanya dengan tahap tertentu. Tidak bisa, hanya dengan memencet tombol on, bisa langsung on.

Aku tahu seharusnya semangat belajar ku tidak redup hanya karena barangkali aku kurang cocok dengan caranya mengajar, Semangat seharusnya adalah sebuah elemen terpisah dari kesiapaan . Iya, seharusnya begitu. Tapi akhirnya aku tunduk pada emosi ku. Aku tidak dapat mengingat apapun yang Ia ucapkan. Padahal itu bukanlah sebuah mantra yang teramat sulit. Itu mantra biasa saja. Seharusnya tinggal merapal mantra itu di ujian, tanpa peduli seberapa ampuhnya mantra itu, aku bisa lulus. Aku hanya tidak menemukan alasan, kenapa aku membutuhkan deretan teks ini. Jika aku membutuhkan, mengapa aku tidak tehu mengapa mantra yang satu ini, mengapa bukan mantra yang lain? Jika aku tidak membutuhkan, mengapa aku bisa memilih untuk terkurung di sini bersama seseorang yang menyebalkan dan mengklaim diri sebagai guruku padahal aku tidak pernah belajar apapun darinya? Aku tidak pernah memilihnya. Aku terpaksa bersama nya karena sistem yang ada mengaturku sedemikian rupa. 

Bagaimana jika mantra itu ternyata -di luar pengetahuan ku- benar-benar sakti? Padahal aku terlanjur merapal mantra itu dengan malas-malasan tanpa menyertai jiwa ku di dalamnya? Bagaimana jika mantra itu tanpa aku sadari justru berbalik mengenai kepalaku sendiri? Memantrai semua yang ada di otakku dan semua hal yang tersimpan di dalamnya sehingga semua hal jadi begitu memuakkan seperti perasaan ku atas mantra yang tidak tahu kenapa harus aku hafal.

Akhirnya aku harus berdamai dengan argumen yang ada di kepalaku. Guru meminta aku untuk jadi mesin yang memberikan jawaban kapanpun dia mau dan ada di ruangannya kapanpun. Sekalipun aku harus berada di sana adalah sebuah aturan yang diluar kuasaku -bukan pilihanku-. Barangkali di ruang itu aku harus belajar memahami bagaimana menjaga perasaan seorang pintar yang berharap di dengar. Atau barangkali ini merupakan sebuah siasat dari kepala guru untuk membuatku tahu arti pengendalian diri agar serta merta tidak merusak apapun yang tidak aku sukai. 

Apapun itu, kelak aku juga akan tahu maknanya. Atau, aku mesti berusaha keras agar aku tidak menganggap "penjara" ini sia-sia.