Sabtu, 21 November 2015

Cristiano Ronaldo, Rana, dan Jilbab


Kabarnya, Cristiano Ronaldo akan berkunjung ke Lebanon. Kunjungan ini dilakukan khusus untuk menemui Haidar, seorang anak yang kedua orangtuanya syahid saat bom di Bourj Al Barajneh Beirut meledak.

Berkat twitter dengan tagar #CR7MeetHaidar dan #CristianoMeetHaidar inilah CR jadi tahu bahwa ia punya fans cilik di Beirut yang perlu dikunjungi. Salah satu orang yang berada di balik layar viralnya tweet itu adalah Rana Harbi (@RanaHarbi). Dalam tweetnya, Rana menulis, "I know this won't bring back his parents but at least it will help restore his faith in humanity.
#CristianoMeetHaidar #Cr7MeetHaidar 🙏🏻". Tweet itu diretweet ratusan orang. Tweet yang mencantumkan foto Haidar diretweet ribuan orang.



Rana Harbi ini Jurnalis koran Al Akhbar Lebanon. Jika tertarik, tulisan-tulisannya bisa dibaca di blog ranaharbi.wordpress.com.

Mbak Rana ini Syiah lho. Tapi dia juga seorang yang Sekuler, feminis pula. Tulisan Rana soal relevannya feminisme dan Islam bisa dibaca di
https://ranaharbi.wordpress.com/2015/03/17/islamic-feminism-fighting-theology-with-theology/ .

Untunglah mbak Rana ini tinggalnya di Lebanon. Sekalipun termasuk Arab juga, tapi agama dan budayanya heterogen. Aku membayangkan gimana kalau dia ada di negara yang mewajibkan perempuannya berjilbab dan di negeri yang kalau jilbabnya nggak sama kayak temen di majelis ta'lim, bakal digunjing?

Bisa-bisa, ga peduli sebanyak apapun kontribusinya, dia akan tetap digunjing oleh para polisi fashion bersyariah yang terhormat. Ya cuma karena bajunya seksi. Ya aku ga suudzon lho ya. Aku maupun beberapa orang di sekitarku juga mengalaminya (haiyah, curhat 😛). Lha wong aku aja yang jilbaban gini masih sering diomongin dari belakang karena suka pakai celana jeans, berjilbab terang, dan kainnya kurang gede kok. Ada juga nih, seorang kawan Syiah perempuan yang awalnya berjilbab rapat. Kemudian, karena perjalanan spiritualnya sendiri, dia jadi lebih melonggarkan jilbabnya ala wanita NU jaman dulu. Sayangnya, temenku ini jadi dibully karna dianggap kurang berjilbab rapet. Padahal, kontribusinya udah banyak juga untuk komunitas. Lha terus apa jadinya kalau kami pakai baju kayak Rana ya 😁.

Aku sih -aku lho ya- Bakal malu kalau jadi orang 'serba syariah' tapi kontribusinya ga lebih banyak dari yang pakaian dan pemikirannya lebih sekuler.

Mengampanyekan jilbab itu ya silakan aja, tapi sebaiknya tanpa mendeskreditkan mereka yang punya cara berbeda dalam

berjilbab. Tak perlu juga menyudutkan mereka yang memilih untuk tidak berjilbab. Yakini saja model dan panjang jilbab untukmu sendiri. Tanpa perlu menganggap yang tidak sepertimu tidak baik, salah, dan berdosa. Rayakan keimanan dan keberagaman ini dalam refleksi keagamaan yang menyejukkan. Pakai saja syariah yang kamu yakini untukmu sendiri, jangan meminta orang lain mengikuti apa yang kamu yakini. Itu baik untukmu, belum tentu bisa cocok untuk orang lain. Seseorang punya perjalanan spiritual dan intelektualnya masing-masing kok. Istri bisa beda sama suami, ibu bisa beda sama anak, anak bisa beda sama bapaknya, kakak bisa beda sama adiknya. Wajar, wong akalnya aja beda-beda kok.

Jika kepada yang berbeda masih suka menyudutkan, maka bisa jadi agama yang dianut belum berhasil menjadi madrasah karakter bagi pengikutnya. Atau mungkin, pengikutnya saja yang kurang berefleksi terhadap ajaran kasih dalam beragama? Bahkan, beberapa orang justru tak perlu agama untuk sekedar jadi orang baik. Bisa banyak kemungkinan. Pikir aja deh sendiri. 😁

Aku sih mikirnya gitu aja ya.

Sumber foto : Twitter Rana Harbi

posted from Bloggeroid

Selasa, 10 November 2015

Agama Orangtua = Agama Anak?

Aku sering bertanya-tanya dalam hati. Apakah sepasang manusia yang sedang berkomitmen untuk menikah dan berencana beranak pinak juga membicarakan bagaimana cara mendidik anaknya kelak? Apakah calon orangtua membaca banyak artikel dan buku-buku sebelum memutuskan bagaimana mendidik anak kelak? Yang lebih spesifik lagi, apakah orangtua pernah memikirkan secara khusus bagaimana cara mendidik anaknya dalam beragama? 

Apakah orangtua memilih untuk mengarahkan anak tentang bagaimana caranya memilih agama/kepercayaan yang dapat membawa hidupnya menjadi manusia yang baik. Atau justru orangtua berharap anak mengikuti agamanya saja tanpa pertanyaan sebagai hadiah yang tidak dapat ditolak? Seperti halnya nama pemberian orangtua, garis keturunan, DNA, dan sebagainya yang bersifat otomatis. Barangkali, ada orangtua yang membebaskan anaknya, terserah ia akan beragama atau tidak sampai anak dewasa karena itu adalah urusannya dengan Tuhannya.

Aku menulis ini sambil tersenyum mengingat adegan film India berjudul PK. Di sana. Ada sebuah adegan yang memperlihatkan si PK sedang memeriksa para bayi yang baru lahir di rumah sakit. Ia penasaran, dimana tanda yang memperlihatkan identitas agamanya? Sayangnya, ia tak menemukan tanda itu. 

Sebagai orang yang terlahir di dalam agama Islam dengan orangtua bermazhab Syiah Imamiyah, aku banyak membaca koleksi buku di rumah. Di salah satu buku parenting yang aku baca saat usiaku 15 tahun tertulis bahwa sebaik-baiknya mendidik anak adalah dengan ilmu dari Al Qur'an. Karena itulah, orangtua menyuruhku mengaji kepada Kyai NU di pemilik pondok pesantren, kata Ibu, "Orang NU itu kalau ngaji Makhrajnya dan Tajwidnya paling bagus." 

Karena tempat ngaji yang terlalu jauh, beberapa waktu kemudian Ibu menyuruhku mengaji ke rumah adiknya kakek yang Muhammadiyah. Sekalipun aku cucunya, di sana aku didik keras dengan bentakan setiap kali salah ucap. Aku takut sekali dengannya. Dari dulu aku tak cocok dididik dengan keras. Lama-lama aku tak tahan dengan cara itu dan berjanji pada ibu akan mengaji di Rumah ustad Muhammadiyah dekat Mushalla sehabis shalat jamaah Maghrib. Ibu setuju. Walau akhirnya toh aku berhenti mengaji padanya setahun kemudian karena sudah mulai dewasa. Anak-anak seusiaku mulai berhenti mengaji pada ustad itu, diganti dengan anak-anak kecil yang lain. Kemudian, aku membuat janji yang lain dengan ibuku. Aku akan mengaji keras-keras di rumah setelah Maghrib. Ibuku hafal beberapa juz Al Qur'an. Makanya, ibu sering menyimak dan mengoreksi bacaan mengajiku sambil bikin kue dan melakukan aktivitas lainnya. Buat yang awam dan termakan propaganda situs intoleran, tentu saja Al Qur'annya Syiah sama dengan Al Qur'annya Sunni. 

Aku yakin bapak dan ibuku tidak sempat berdiskusi tentang bagaimana mereka mendidik anak-anaknya kelak. Dulu bapak dan ibu dijodohkan di sebuah komunitas pengajian Wahabi. Mereka belum bermazhab Syiah ketika bertemu. Bapak maupun Ibuku sudah yakin sekali bahwa mereka satu visi dalam Islam dan pasti sama pandangan soal mendidik anak-anak. Begitu sederhana. Mereka punya kesamaan, sama-sama penggemar majelis ta'lim dan berpikir cukup kritis terhadap agama. Makanya mereka memutuskan untuk hijrah mazhab. 

Namun, tidak semua anak-anaknya punya kebiasaan yang sama. 

Kakak pertamaku belajar dengan cara yang mirip ibuku, tetap Syiah, tapi pandangan kesyiahannya beda dengan ibuku dan beda juga denganku. Kakak keduaku tak begitu tertarik dengan wacana agama. Kakak ketigaku cukup tertarik dengan wacana agama, namun hanya membaca bacaan seputar Syiah saja. Aku sendiri, memulai perjalanan intelektualku dengan buku-buku Syiah di rumah, ikut pengajian tafsir Qur'an, ikut pengajian fiqih, ikut pengajian filsafat. Dari sana mulai membaca banyak buku soal berbagai filsafat yang dikritik oleh filsafat Islam, meminati pemikiran filsafat Perennialisme lebih dari Hikmah Muta'aliyah ala Shadra, tertarik Marxisme, belajar soal agama lain, dan itu semua membentuk pemikiranku yang sekarang. Adikku beda lagi, dia dulunya sempat mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren yang bercirikan Wahabi. Kata Ibu, "Wahabi itu bagus dalam hal hafalan Qur'an." Benar, hafalan Qur'an dan bahasa Arab adikku terus meningkat. Setelah masuk ke lembaga pendidikan Syiah, mulai terlihat bahwa dia menyukai hal-hal teologis daripada filosofis. Kami sering berbeda pendapat soal agama, tapi pada akhirnya mengerti bahwa itu bukan sesuatu yang patut diperdebatkan. Dia tahu bahwa kita cara beragama kita adalah soal tanggung jawab pribadi antara kita dengan Tuhan. Adik keenamku masih SMA. Anak gaul dan tentu saja sekuler. Pemikirannya sederhana dan bagiku hal itu sangat menggemaskan. Adik terakhir belum terlihat akan jadi seperti apa, sepertinya dia akan jadi orang Syiah juga karena ada di lembaga pendidikan Syiah. Syiah macam apa juga belum tahu. Siapa yang tahu sih? 

Dari ketujuh bersaudara, jelas orangtua punya pola yang berbeda dalam mendidik anaknya. Seingatku Ibu tak pernah membujuk kakak kedua dan kakak ketiga mengaji seperti saat Ibu menyuruhku mengaji. Kakak Pertama cukup cerdas untuk mendidik dirinya sendiri sesuai dengan hal yang ibu senangi. Ibu mendidik ketiga adik lelakiku dengan keras juga soal mengaji. Tapi adik keenamku yang pintar merayu sering memanfaatkan keinginan Ibu untuk mendengar anaknya mengaji demi duit. Misalnya dia telepon Ibu, "Bu... Aku nggak punya duit, transferin aku... Aku ngaji deh... Nih aku ngaji. Bismillahirrahman... nirrahimmm..." Lalu dia akan merapalkan beberapa surat dalam Juz Amma yang dihafalnya. Ibu yang berada jauh dari kota adikku akan senang mendengar suara ngajinya. Dengan perasaan tidak tega juga, biasanya ibu akan mentransfer uang untuk adikku. Transaksi selesai. Semua senang.

Dari tadi aku berbicara soal peran ibuku, bagaimana dengan Bapak? 

Jadi begini, sedari kecil, bapakku terbiasa mandiri dengan mencari pengetahuan sendiri dan punya etos belajar yang bagus. Jadi dia berharap anaknya juga akan menemukan jalannya sendiri sebagaimana dia. Jarang sekali Bapak berdebat soal agama dengan anak-anaknya. Sedangkan Ibuku, selalu menyisipkan topik agama di setiap pembicaraan. Cara mereka mendidik pada akhirnya berbeda. Begitulah pernikahan, berisi kumpulan individu yang bersama-sama untuk menyatukan darah, tapi bukan berarti juga punya keterikatan pikiran. 

Ibu tak setuju dengan caraku beragama dan caraku berpikir. Tapi dia mencintaiku. Ibu bilang dia selalu mendoakanku setelah sholat, bahkan lebih dari yang lainnya. Aku juga mencintai Ibu. Tapi bagaimanapun, aku punya konsekuensi logis pengetahuan yang membentuk caraku berpikir dan aku minta maaf jika ternyata kita berbeda. Karena aku bukan orang yang pintar berpura-pura sama dengan siapapun agar lebih dicintai, maka aku tidak tahu bagaimana caranya menyembunyikan perbedaan ini. Barangkali akulah yang kurang bijaksana. Tapi, entahlah. Aku juga penasaran kemana perjalanan ini akan bermuara.

Dari pengalaman pribadi menjadi anak kedua orangtuaku, akhirnya aku paham, seperti apapun modal pengetahuan agama yang dimiliki oleh orangtua, belum tentu anak akan seperti dia. Tak masalah juga jika kelak anakku punya pemikiran yang beda denganku. Aku belajar merayakan perbedaan sejak dini.

Aku pernah mendengar pemilik kontrakanku mengelus kepala anaknya yang masih umur 3 tahun. Dia dan suami mendiskusikan akan les apa anaknya nanti. Ibunya ingin anaknya les ngaji, silat, robotic. Bapaknya ingin anaknya les wayangan, bahasa daerah, dan nembang. Mereka sepakat untuk mendaftarkan anaknya ke semua les tersebut. Walau bapaknya sering mabuk, ia senang juga lihat anaknya mengaji. Anak ini tumbuh dengan serangkaian kegiatan yang tak pernah berhasil dicapai orangtuanya ketika masih kecil. Berapa dari kita yang membesarkan anak kita dengan cara seperti itu?

Sumber Gambar

Dari fenomena yang aku amati, aku pikir pada akhirnya anak akan menemukan jalannya sendiri. Sekalipun orangtua sering berdoa semoga kelak anaknya bisa jadi anak yang patuh pada orangtua dan berguna untuk agamanya.

Ada orangtua yang mendidik anaknya dengan serangkaian pelajaran agama dari pesantren. Saat dewasa, anak tersebut pada akhirnya memilih jadi seorang sekuler liberal. Ia kritisi banyak teks yang ia pelajari di pesantren dulu dan tak segan menyebutnya sebagai dogma belaka. Ia kritik cara mayoritas dalam beragama. Ia keluhkan betapa membosankannya kelompok agama tertentu yang baginya tidak rasional, fanatik, kurang punya nilai kemanusiaan universal, dan sebagainya.

Ada orangtua yang sejak dini mendidik anaknya untuk rajin mengikuti misa dan berbagai kegiatan di gereja, siapa sangka saat dewasa dia justru tumbuh sebagai orang yang apatis dan sinis terhadap gereja. Ia mulai tak percaya dengan para pastur. Ia mulai bosan janji gerejawi.

Ada orangtua yang mendidik anaknya dengan santai tanpa kecenderungan agama tertentu. Ternyata, di masa dewasanya, anak tersebut justru ikut gerakan radikal dan tak segan berkata bahwa orangtuanya itu masih jahiliyah.

Ada anak yang selalu rajin sembahyang mengaji bersama orangtuanya. Ketika akhirnya mengalami masa merantau, ia lama-lama merasa malas untuk melakukan ritual tersebut. Namun, untuk menjaga hati orangtuanya, ketika ia pulang ke rumah nantinya, ia akan kembali jadi anak patuh kepada orangtua dan agama. Orangtua bangga dan bersyukur punya anak yang sesuai harapannya. Anak ini pun aman di balik topengnya. 

Seorang kawan bahkan mengajarkan anak-anaknya dengan agama yang berbeda. Hasilnya, dengan pilihannya sendiri, anak-anaknya memeluk 3 agama yang berbeda. Orangtuanya begitu bangga anaknya bisa memilih agama yang mengantarkannya ke jalan kebaikannya sendiri. Dia bilang, "Kelak, mereka akan membela agama saudaranya jika ada yang terdiskriminasi atas nama agama. Kemanusiaan haruslah melampaui agama."

Ada pula orangtua yang memiliki anak dengan agama yang seperti pendahulu sebelumnya. Tanpa pertanyaan, tanpa banyak perbandingan. Yang ia tahu, orangtuanya bilang bahwa agama merekalah yang paling benar. Itu sudah cukup untuk menjadi bekal dari awal kehidupan sampai kematian. Jika sudah memegang agama yang paling benar, untuk apa mencari-cari yang lain?

Orangtua -yang menurut standar masyarakat- telah berhasil mendidik anaknya juga banyak. Anak terlihat jelas telah mewarisi kealiman orangtuanya. Tanpa banyak percekcokan dan pemberontakan. Anak tumbuh sesuai dengan harapan orangtua. Konon itu berkat doa-doa orangtua. Atau faktor lain. Aku tak tau. Bahkan tak bisa membayangkan ada anak yang pemikirannya dicetak sama persis dengan orangtuanya. Aku kenal dengan teman yang seperti ini. Dia bilang, "Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Lha kamu kira aku harus mirip pemikiran siapa?" Entahlah ya.

Kisah-kisah yang memuat tentang orangtua yang sedih karena merasa tak dapat mendidik anaknya banyak. Ada kekhawatiran bahwa ia nantinya tak bisa bersama-sama dengan anaknya di surga. Betapa kecewanya orangtua yang tak bisa memiliki anak patuh terhadap orangtua. Di sisi lainnya, ada kisah-kisah yang berisi kebanggaan orangtua dengan pencapaian anaknya. Beberapa orangtua berharap anak dapat menjadi sesuatu yang tidak pernah bisa dicapainya saat masih muda. 

Beberapa lagi berharap, sekalipun dia bukanlah orang beragama yang baik, dengan memilih pasangan yang lebih alim darinya atau menyekolahkan anak ke sekolah agama, maka otomatis ia akan punya anak-anak religius yang kelak dapat menebus dosa orangtuanya dengan doa-doa.

Saat anak lahir, orangtua sering memberikan cap agama tertentu. Seolah agama adalah sesuatu yang mesti diterima begitu saja oleh anak sampai kematiannya kelak. 

Aku pernah mendiskusikan dengan sahabat perempuanku soal ini. Sambil tersenyum geli, dia bilang, "Ah, kalaupun suatu hari nikah, aku mah nggak mau punya anak. Melahirkan itu sakit kayaknya. Lagian dunia udah over populated. Kasian anak yang lahir di saat bumi udah rusak gini. Mending ngadopsi anak yang udah terlanjur lahir di dunia. Atau mendingan melihara anjing atau kucing. Hehehe..." 

See? Nggak semua orang menilai bahwa punya anak adalah ide yang bagus kan? Sebagai orang yang biasa mendengar perdebatan antara kaum Pro Choice dengan kaum Pro life, aku tidak kaget sih mendengar ada orang yang bahkan tidak ingin punya anak dan pro terhadap aborsi. Bahkan Richard Stallman -founder GNU- juga menolak untuk punya anak dan menyarankan orang-orang untuk tidak perlu punya anak demi kemanusiaan. Soal pandangan dia, bisa dibaca di artikel Why is it Important not to have Children.

Aku penasaran ingin bertanya lagi. Pernahkah ada yang memutuskan untuk tidak jadi menikah dengan calonnya setelah tahu bahwa ternyata kalian tak sepakat dengan cara mendidik anak? Ya siapa tau ya ada yang apes ngalamin. 

Jadi, cara kamu mendidik anak nanti gimana? Udah dipikirin?

Sabtu, 17 Oktober 2015

Penari Api

"Kau sudah lama memandangiku dari jauh ketika aku pikir, aku sedang sibuk mencarimu."

Berulangkali aku bertekad untuk menggunakan kemahirku dalam berpura-pura tidak peduli. Tapi tak bisa. Ada nyala di dalam dada yang sulit padam. Ada panas menggeliat yang terperangkap dalam gelisah dan kian sulit ditenangkan. 

Aku sudah berlatih untuk tenang sejak pertama kali kita bertemu.

Saat itu, aku sibuk mengabaikan tanganku yang bergetar saking paniknya harus bagaimana saat berjumpa nanti. Aku menahan diri untuk tidak bernafas terlalu keras demi mengontrol derasnya aliran darah yang melintasi arteri hingga jantungku. Aku tak tahu apakah cara tersebut cukup ampuh, aku bahkan tak sempat memikirkan apakah mekanisme biologis itu sudah tepat atau meleset. Karena otakku rasanya membeku untuk beberapa saat. Sejenak, aku lupa caranya berpikir. Aku mencoba sekeras mungkin untuk memerintahkan otakku bekerja. 

Saat itu, aku berharap bisa memikirkan beberapa skenario yang mungkin terjadi dalam 5 sampai 10 menit ke depan, sejak pertama kali aku melangkahkan kaki di kotamu.

Skenario pertama. Begitu bertatap muka, kita akan bersalaman. Kita mulai bertukar senyum gugup sambil berbasa-basi soal cuaca dan perjalanan. Kemudian kau akan langsung mengantarkanku ke penginapan. Tanpa turun dari mobilmu, kau akan melambaikan tangan sambil berkata, "Sampai besok ya..."

Skenario kedua. Kita bertemu, kemudian masing-masing dari kita akan membungkuk dalam-dalam sambil berkata "Senang bertemu denganmu" dengan kikuk. Tak ada yang sepakat siapa diantara kita yang akan memecah kebekuan. Kau mengantarku ke mobilmu seperti yang biasa kau lakukan jika kau harus menjemput seseorang dari bandara. Kita berdua akan membisu sampai aku mengantuk dan jatuh tertidur. Beberapa saat kemudian, kau membangunkanku dengan kalimat, "Bangun. Sudah sampai di penginapanmu. Sampai jumpa besok." Aku menyempatkan diri mengikuti mobilmu lewat ekor mataku sebelum masuk ke penginapan. Aku akan berdiri di sana hingga mobilmu benar-benar hilang ditelan malam.

Skenario ketiga. Kau akan buru-buru menghampiriku. Kemudian kau akan membawakan tasku yang berat sambil berlaku sesopan yang kau bisa. Tak lupa, kau juga akan bertanya apakah aku lapar, karena kau sudah menyiapkan makan malam romantis walau barangkali itu terlalu cepat untuk kita. Sebenarnya aku tidak lapar, tapi toh akhirnya akan mengiyakan saja segala yang kau tawarkan. Setidaknya itulah yang akan aku lakukan untuk menimbulkan kesan bahwa aku telah mengapresiasi caramu menyambutku. Skenario itu tidak terlalu buruk di kepalaku. Lebih seperti picisan. Tapi, hey, apakah aku baru saja berharap ada sebuah makan malam romantis? Rasanya ini terlalu cepat. Ini gila. Tapi mungkin saja. Bukankah hal terbaik yang bisa terpikirkan adalah jangan berharap apapun dulu? Jangan. Aku meralat pendapatku sendiri. Skenario ini buruk, tapi, siapa tahu kau memang sudah menyiapkan segalanya dengan manis? Aaah... Sudahi saja drama ini.

Skenario keempat. Kau memilih berdiri di dekat mobilmu. Kau melihatku tampak kebingungan dari jauh. Tapi kau juga terlalu malas untuk berjalan. Kau memilih untuk melambaikan tangan dari jauh. Kita akan melempar kata "Hai" dengan cara yang paling singkat. Kau akan menyuruhku masuk begitu saja ke mobilmu. Aku sudah gugup setengah mati. Sebagai orang yang tidak ingin tampak amatir dalam menyikapi pertemuan pertama, aku akan menutupinya dengan bicara sebanyak mungkin dengan berbagai topik yang sebenarnya tidak aku kuasai. Aku terlalu khawatir kau mendengar kerasnya degub jantungku. Jika ini benar-benar hal yang aku lakukan, apakah kau akan berpikir bahwa aku perempuan cerewet yang membosankan?

Aku tak sempat memikirkan soal skenario kelima ketika kau menelepon ponselku. "Dimana?" tanyamu saat itu.

Aku mendeskripsikan lokasiku. Kau mengarahkanku untuk berjalan ke sana dan ke mari. Kemudian kau menutup pembicaraan sebelum aku menemukan sosokmu. Aku masih mengedarkan pandanganku ke segala arah ketika kau melambaikan tanganmu dari jauh. Dan setelahnya, terjadilah peristiwa seperti skenario keempat. Bedanya adalah, tidak ada kata "Hai". Aroma mobilmu sudah cukup menenangkan degubku. Suara radiomu meredam debarku. Sepertinya aku berhasil menenangkan diri sendiri. Ini lebih mudah dari yang aku duga. 

Mungkin kau tidak memperhatikan bahwa aku berusaha mati-matian memecah keheningan. Aku memanfaatkan kelihaianku dalam berkomentar tentang segala sesuatu. Alih-alih berbicara soal kita dan panjangnya penantianmu, aku memilih untuk berkomentar tentang hal yang tidak penting. Mulai dari pesawat, bandara, jalan tol, lampu, pajak, pantai, tata kota, pariwisata, pemerintahan, baliho, dan apa saja yang sekiranya tidak membuatmu diam. 

Saat itu, aku begitu lelah dan mengantuk. Tapi di sisi lain, aku begitu bersemangat untuk berkata apa saja denganmu. 

Kau lebih banyak menghindari tatapanku saat itu. Beberapa kali kau tersenyum tanpa aku tahu sebabnya. Mungkin kau sama gugupnya denganku. Tapi aku lebih ahli dalam berpura-pura untuk tidak memperlihatkannya.

Bahkan kau membuat meja kita bergetar dengan gerakan kakimu yang kikuk saat kita duduk berhadapan di sisi pantai yang tak berangin. Aku tertawa sendiri membayangkan gerakan kakimu di meja yang bagiku mirip penjahit dengan mesin tuanya yang perlu dikayuh secara manual. Aku mengingatkanmu dengan nada sedingin mungkin seolah gerak kakimu mengganggu ketenanganku. Dan kau menyambutnya dengan menghisap rokok. Oh ya, bukankah kau berkata padaku sebelumnya bahwa kau bukan perokok?

Tunggu dulu, aku hampir mengingat segalanya. Semuanya. Walau tak mungkin dituliskan detailnya di sini. Kau tahu kan sebabnya?

Sejujurnya, aku tak suka hidangan yang di sajikan di sana. Aku sudah mengatakan itu padamu. Tapi aku tak mengatakan bahwa saat itu aku suka caramu tersenyum sambil mengalihkan pandangan tiap kali ada sesuatu yang kau anggap lucu. Aku tak suka dengan kumis dan jambang berantakanmu yang lebih mirip berandal tengik. Tapi di sisi lainnya, aku suka sekali nada bicaramu yang aneh dan sering aku tirukan. Aku tak suka posisi dudukmu yang membungkuk saat menyetir. Tapi aku selalu suka kebersamaan kita di sana. 

Oh ya, sebenarnya aku juga tak suka saat kita makan siang bersama esok harinya. Kau menambahkan terlalu banyak kecap serta perasan jeruk nipis di mangkuk supku. Lalu dengan lancang, kau mencicipnya. Tak ada seorangpun yang pernah melakukan itu padaku. Aku tak suka ide soal semangkuk berdua dengan seseorang yang belum lama dekat. Tapi kau bilang supku sudah enak dan siap santap. Aku begitu ragu untuk mencicipnya. Untunglah, kali ini kau benar bahwa sup itu memang lebih enak dari sebelumnya. Entah, selalu ada perasaan untuk tak sependapat denganmu.

Aku ingin menemukan sebanyak mungkin hal yang tak aku suka darimu. Namun, setiap kali aku melakukannya, rasa manis yang kita ciptakan bersama dari kehangatanmu melintas. Mengingatnya, serasa ada yang sedang memeras jantungku. Melumat ulu hatiku. Membakar ego yang mengental di kepalaku.

Kau tahu, Alis tebal di atas bola matamu yang mirip dengan warna mataku beserta beberapa helai perak yang bersembunyi malu-malu di rambutmu itu berhasil memaku gerakku untuk melangkah pergi.

Aku akan tersenyum kecil tiap ingat perlombaan kita tentang siapa diantara kita yang matanya lebih besar dan siapa diantara kita yang matanya lebih coklat. Tentu saja aku pemenangnya. Namun, kau tak mau kalah.

"Hidungku lebih mancung dari hidungmu," katamu.

"Iya sih..." jawabku, "tapi hidungmu seperti landak, terlalu banyak komedo yang bercokol di atasnya. Lagipula, bulu hidungmu terlalu panjang."

Kau akan cemberut sambil bercermin, kemudian membenarkan perkataanku. Dengan polos, kau berkata bahwa selama ini kau tak pernah memperhatikan soal panjangnya bulu hidung. Aku memperhatikannya diam-diam sambil tertawa puas dalam hati.

Pelan-pelan, aku terbiasa dengan segala tentangmu. Termasuk tahi lalat di pipimu, rambut anti gravitasimu, kacamata melorotmu, baju bergaris yang membuatmu terlihat makin lebar, perut buncitmu, segalanya.

Oh ya, apakah aku sudah memberitahumu bahwa tahi lalat di wajah sering menjadi perumpamaan dalam puisi sufi tentang keindahan Tuhan? Apakah aku juga sudah memberitahumu juga bahwa aku menahan tawaku tiap kali kau hampir menangis haru karena mendengar lagu kebangsaan diputar di TV, radio, dan di manapun?

Kita tidak pernah benar-benar berlari. Tapi bagaimanapun, kita telah sampai sejauh ini. Belum terlalu jauh. Tapi, mari kita berandai-andai tentang perjalanan selanjutnya, akan seperti apa.

Sebelumnya, aku ingin bertanya padamu tentang beberapa hal.

Bagaimana jika lengkung indah pelangi yang kau kejar ternyata tak berkaki dan tak pernah ada ujungnya? Mengapa kau menciptakan bayanganmu sendiri hingga kau lupa bagaimana percaya pada yang nyata? Bagaimana rasanya sibuk memahat khayalmu sendiri hingga lupa bahwa setiap lekuk indah yang tercipta di sana menyimpan perih di setiap sisinya? 

Sepertinya kita berdua juga dihantui oleh sesuatu yang berbeda. Kita dicekam oleh ketakutan yang kita ciptakan sendiri. Kita begitu takut melangkah karena khawatir akan terjebak pada mimpi buruk. Kita begitu merisaukan segala hal tentangnya sampai lelah. Hingga kita berdua lupa caranya saling menguatkan.

Aku tak pandai menawarkan keindahan pada seseorang yang telah lama bersabar atas keacuhanku.

Tapi, bagaimana jika kau aku ajak menjadi penari api bersamaku? Bukankah selama ini kau senang melihatku menari? Apalagi, kau memang selalu membiarkan aku menari sendirian. Kali ini, aku ingin benar-benar mengajakmu menari. Berdansa denganku bagai geliat api di atas panas baraNya.

Kelak, aku ingin berpijar, menyala, hingga mengabu bersamamu. Dan semoga saja, segalanya demi terang di jalanNya.

Jumat, 07 Agustus 2015

Andreas Harsono

Ini semua gara-gara Misbahudin Muhammad. Dia adalah Senior Editor sekaligus pendiri Parmagz, Pers Mahasiswa Paramadina. Dia yang mendoktrin kami bahwa kami harus meniru Jurnalisme Sastrawi ala Pantau. Di depan kami, Misbah selalu membanggakan kualitas majalah Parmagz edisi pertama yang menurutnya sudah menganut gaya Jurnalisme Sastrawi. Ia juga memuji Priyo, si pendiri Parmagz yang lain. Misbah bilang pada kami bahwa liputan konser musik Priyo di majalah Parmagz edisi pertama sudah setara tulisan wartawan Rolling Stone. 

Karna itulah, kami para juniornya yang berjumlah 10 orang dan seringkali menyusut jadi 4 orang sering melongo sendiri. 

Memangnya, bagaimana caranya supaya kami bisa menulis bagus seperti mereka? Atau paling tidak, bagaimana caranya supaya bisa punya selera menulis yang bagus seperti mereka?

Bahkan, beberapa anak Parmagz yang dari daerah diam-diam berbisik padaku, "Majalah Rolling Stone itu kayak gimana sih?"

Ngok!

Akhirnya aku bilang pada kawanku, "Wajar Misbah dan Priyo tulisannya bagus. Mereka udah tua."

Memang kok. Umur mereka sudah di atas 25 sedangkan kami para juniornya ini masih di bawah 20 tahun. Jadi anggap saja mereka bisa jago karena mereka tua. Problem solved!

Masalahnya, para senior tengil itu tak pernah mengajari bagaimana caranya menulis. Mereka meminta kami belajar sendiri dari banyak membaca. Mereka tak beri tahu bahan bacaan apa yang yang mesti dibaca. Kami makin linglung.

Okelah, aku ini sudah banyak membaca. Masalahnya, aku sendiri tak paham, mana tulisan jurnalisme sastrawi, mana yang bukan. Apakah sebuah feature sama seperti essay? Apakah hardnews yang didramatisasi itu bisa menjadi essay? Aku bingung. 

Seleraku terhadap tulisan jurnalistik tidak terdidik dengan baik. Jika orang yang aku anggap lebih pintar dariku bilang karya jurnalistik ini baik, maka aku akan mengamini hal itu karena aku sadar bahwa aku tidak memiliki kompetensi dalam dunia jurnalistik. Kemampuan literasiku sangat buruk. Aku tidak kenal siapapun yang bisa menjadi rujukan. Aku anggap semua wartawan sama saja. Kalau mereka sudah tua, maka otomatis mereka akan menjadi senior. Sama seperti anggapanku ke Misbah. Dia bisa menulis karena dia sudah tua.

Segalanya terasa payah. Aku merasa sangat sengsara karena ketidaktahuan ini. Apalagi kalau berhadapan dengan pers mahasiswa di kampus lain. Mereka punya proses kaderisasi berjenjang yang baik. Jika di kampus lain seseorang menjadi Pemimpin redaksi pada semester 6, maka di Paramadina, semester 3 pun sudah bisa terpilih jadi pemred karena pada semester 5 seseorang mulai sibuk dengan skripsi dan biasanya memilih untuk tidak aktif lagi di UKM Kampus.

Jujur saja, sebagai Editor in Chief di Parmagz, aku buta literasi. Bagiku semuanya sama saja. Berita ya cuma seperti itu. Pengetahuanku standar. Hanya seputar piramida terbalik, 5 W 1 H, dan hal-hal dalam hardnews. Bodoh.

Dengan bekal merasa bodoh itu tadi, aku googling soal dunia jurnalistik. Spesifiknya, soal Jurnalisme Sastrawi. Kemudian aku menemukan blog Andreas Harsono dalam daftar teratas pencarian google. Di blog nya juga tercantum informasi mengenai Kursus Jurnalisme Sastrawi. Ternyata dia adalah salah satu pengajarnya. Teringat Misbah yang menyebalkan lagi, dia juga pernah menyinggung soal kursus itu sekalipun dia sendiri tidak pernah mengikutinya.

"Keren sih kursusnya. Tapi mahal." Katanya waktu itu.

Saat aku tanya seberapa mahal harganya, dia tidak memberitahuku. Mungkin dia memang tidak tahu tapi gengsi untuk bilang tidak tahu. Atau dia sebenarnya tahu tapi dia pikir aku tak mampu bayar. 

Selama menjadi Editor in Chief dan Chief Operating Officer Parmagz pada periode berikutnya, aku memendam rasa kesal ke Misbah. Aku menganggapnya berdosa besar karena tidak pernah mendidik juniornya untuk bisa menulis dan punya selera bacaan yang baik. Sedangkan dia terus menerus memuji karyanya sendiri dan mengatakan betapa kerennya gaya menulis Pantau. Aku tak pernah baca satupun tulisan dari Pantau. Misbah bilang, Pantau itu bentuknya Majalah. Aku tanya di mana aku bisa beli majalahnya, dia bilang tidak tahu. Informasi soal itu selalu deadlock.

Di blog Andreas lah aku temukan segala yang aku cari. Aku membaca detail kurukulum kursus di Pantau. Sepertinya keren.

Tanggal 18 April 2013, aku memberanikan diri untuk mengirimkan email ke contact person yang tercantum dalam blog Andreas. Namanya Imam Shofwan.

Isi emailnya seperti ini :
Halo, aku baca website nya Andreas Harsono ttg pelatihan Jurnalisme sastrawi juni nanti. Caranya ikut gimana ya? Syaratnya apa? Thx
Mas Imam memberikan balasan pada keesokan harinya.
Halo, tolong kirim 2 contoh tulisanmu dan CV. Setelah itu membayar biaya pendaftaran: Rp. 3juta.
Thanks,
IS
Mendapat balasan email itu, aku makin merasa sengsara. Bagi mahasiswa sepertiku, 3 juta itu banyak.

Aku memutuskan untuk tak mengirimkan balasan email lagi pada mas Imam. Akhirnya aku mengubur keinginan untuk kursus. Kalau Misbah bisa belajar sendiri, mestinya aku bisa. Lagipula, aku belum tentu jadi wartawan.

Siapa tahu aku malah jadi mbak mbak penjaga warnet yang bisa bahagia karena bisa internetan gratis. Atau jadi mbak mbak kelas menengah yang kerja kantoran di ruang berAC sambil mengeluh jalanan macet karena aksi para Buruh.

Tahun itu, aku memang belum punya bayangan akan hidup dengan cara seperti apa nantinya. Siklus hidup yang aku tahu hanya kuliah, kerja, menikah, berhenti kerja karena hamil, jadi ibu rumah tangga yang baik, membesarkan anak, nyekolahin anak, nikahin anak, bercucu, lalu mati. Pikiranku hanya sesederhana itu karena aku tidak tahu apa yang penting di dunia ini. Apa yang perlu diperjuangkan. Apa peran yang harus kita ambil. Dan ya, aku dulu memang seperti itu. Naif.

Awal tahun 2014, aku perlu meliput sebuah konferensi pers di Kuningan. Saat itu aku memang baru saja jadi pemimpin redaksi sebuah media online baru. Karena aku meliput dengan handphone android, maka aku memilih untuk mentranskip konferensi pers dengan cara live tweet. Gara-gara membuka timeline twitter, aku jadi tahu bahwa Andreas Harsono juga ikut hadir dalam konferensi pers itu. Dia juga sedang live tweet.

Karena tak pernah tahu wajah Andreas itu seperti apa. Maka, untuk pertama kalinya, aku mengklik avatar twitternya. Aku sempat melakukan Zoom in dan Zoom out pada avatarnya. Demi mencari sosoknya di kerumunan. Ternyata mudah untuk menemukan dia. Aku kenal banyak orang di konferensi pers itu. Aku tinggal mencari satu-satunya wajah chinese di sana. Gotcha!

Usai acara, aku lihat Andreas sedang berbincang dengan salah satu pembicara konferensi pers. Aku menunggunya selesai bertukar kontak dengan pembicara.

"Maaf, anda Andreas Harsono bukan ya?" 

Aku sudah yakin dia Andreas. Aku hanya ingin memastikan bahwa dia bukan Wiranto yang menyamar.

Ia mengiyakan. 

Saat itu, Andreas juga langsung bertanya balik, aku ini siapa. Aku bilang kalau aku ini Pemimpin Redaksi salah satu media online Islam. Aku sih yakin dia tidak mengenal mediaku. Karena itu memang media nirlaba yang masih baru.

Aku bertanya padanya soal Pantau. Berapa biayanya jika aku berminat ikut. Dia bilang, "Kursus Pantau bayar Tiga Juta Lima Ratus."

Aaaw... 

Bahkan harganya sudah naik dari yang terakhir kali aku tanya ke Mas Imam. 

Sebenarnya, kursus tersebut tidak mahal. Pengajar dan Materinya memang keren. Aku saja yang terlalu kere. Hiks.

Dia menginfokan padaku bahwa kelas Pantau akan dibuka pada hari Senin minggu depan. Sudah terlambat untuk mendaftar.

Aku bilang padanya bahwa aku sangat berminat untuk ikut kelasnya. Tapi aku masih mahasiswa. Belum menghasilkan uang. 

Dia mengatakan hal yang membuatku sangat bahagia, "Datang saja kelasnya besok Senin. Nanti aku akan bilang ke stafku kalau kamu akan bergabung. Aku tidak tahu kebijakannya bagaimana. Mungkin kamu tidak akan dapat buku dan makan siang di sana. Kamu bisa jadi pendengar di sana. Apakah kamu oke jika seperti itu?"

Tentu saja!

Andreas meminta nomer handphoneku. Begitupun sebaliknya. 

Dia bilang, saat di Pantau nanti, aku harus izin dulu dengan Eva. Jika Eva mengizinkan, maka aku boleh ikut kelasnya sampai selesai selama 2 minggu. 

Aku mengerti.

Andreas mengarahkan kameranya handphonenya ke arahku. Itu adalah hal yang tak pernah dilakukan oleh orang lain padaku. 

Saat itu, aku agak bingung dan sempat GR. Apakah pertemuan denganku sangat berarti bagi hidupnya sampai-sampai dia ingin menyimpan fotoku? Bukankah sebagai orang yang lebih keren dari aku, harusnya sebaliknya ya? Aku yang memintanya foto bareng? Apakah aku harus minta foto bareng? Tapi aku ini jarang sekali minta foto bareng sama orang terkenal. Karena aku gengsian. Aku mah orangnya gitu...

Dia bilang, "Aku mau simpan fotomu untuk gambar kontak di HPku. Boleh ya?"

Mungkin dia takut lupa wajahku. Atau itu memang kebiasaannya? Aku mengiyakan saja apa maunya. 

Aku bilang pada diriku sendiri, "Boleh juga nih, difoto orang bisa gratis kursus." Atau malah kebalik? Kursus jurnalistik gratis bonus foto?

Setelah kenal dengannya, aku akhirnya tahu bahwa itu memang kebiasaannya ketika menyimpan nomer HP seseorang yang ditemuinya langsung.

Aku juga sempat bingung, harus memanggil dia dengan sapaan apa. 

Kalau "Pak?" Terlalu tua. Kalau "Om?" dia tidak punya kumis, jadi tidak tampak seperti Om Om. "Mas?" Dia tampak bukan suku Jawa. Kalau manggil "Bang?", aman sih, tapi selalu membuatku berpikir soal orang Timur atau daerah Sumatra. Atau jangan-jangan, dia tipe orang yang lebih senang dipanggil nama tanpa sapaan apapun selain namanya. Macam bule-bule di Barat.

Dengan keputusan agak tergesa, aku memanggilnya dengan "Bang". 

Pertimbanganku saat itu, dia terlalu Chinese untuk dipanggil Mas. Aku belum tahu sama sekali soal asalnya dan dengan apa dia biasa dipanggil. Kalau tahu dia berasal dari Jember, pasti dari awal aku akan memanggilnya dengan Mas. Untunglah dia tidak pernah masalah dengan panggilan apapun.

Malam harinya, aku membaca habis seluruh materi yang tercantum pada silabus Kursus. Yang belum aku baca hanya bukunya saja. Selain itu, aku juga membaca seluruh postingan blognya. Ada soal Norman, pernikahan, ceritanya mengajar jurnalistik, isu HAM, cara belajar menulis dengan bahasa Inggris, dan lainnya.

Di blog itu, aku juga menemukan tulisan soal respon atas kebingungan orang di sekitarnya yang akan memanggil dia dengan panggilan apa. Dia menulis bahwa orang memanggil dia dengan panggilan yang bervariasi. Dia oke disebut dengan sapaan apa saja.

***

Senin pagi, aku mengirimkan pesan whatsapp padanya. Aku mengabarkan padanya kalau aku kesulitan mencari alamat Yayasan Pantau. Dia menjawab pesanku dengan cepat dan memberikan nomer handphone mas Udin yang biasa menunjukkan jalan.

Sebagai orang yang diizinkan untuk masuk ke kelas tanpa bayar, aku sebenarnya agak minder. Apalagi peserta kursus rata-rata adalah orang yang biasa hidup di dunia jurnalistik. Aku memang Pemred saat itu, tapi kualitas tulisanku payah. Aku terpilih jadi Pemred cuma karena orang berpikir aku bisa nulis atau terbiasa menulis di kampus. Alasan kedua, tidak ada orang lainnya. Alasan ketiga, aku keminter. Aku bisa meyakinkan pada orang lain bahwa aku ini cukup pintar dalam bidang tertentu walau sebenarnya kualitasku masih weleh weleh. 

Lagipula, Media yang aku pimpin juga bukan media yang besar. Resikoku untuk mendapat kritikan dari segenap rakyat Indonesia sedikit. Karena pembacanya memang masih sedikit di segmen tertentu. 

Padahal ya, aku selalu kesulitan untuk menulis. Aku sering sulit untuk memulai, mengurai ide, menulis, dan mengakhiri tulisan yang aku buat.

Dengan kikuk, di hari pertama itu, aku berkenalan dengan wartawan beneran, Arsitek, Pegawai LSM, Kontributor koran berbahasa Inggris, dan sebagainya, dan sebagainya. 

Selain aku, ada satu orang lain yang masih mahasiswa. Namanya Diki asal Jember. Tapi, aku tetap merasa jadi yang termuda di sana. Padahal aku tak pernah tanya umur Diki. Bisa jadi dia yang lebih muda. 

Berusia muda membuatku sedikit terhibur. Soalnya, aku seperti dapat pembenaran mengapa pengamanan jurnalistik dan tulisanku tidak bagus. Ups!

Saat itu, aku memutuskan untuk memanggil semua orang dengan panggilan Kak, Mas, Mbak, Bang. Kecuali untuk orang-orang yang merasa keberatan dengan panggilan itu.

Tak ku sangka, Mbak Eva memberiku materi dan makan siang. Aku bilang padanya bahwa aku hanya murid yang disusulkan Bang Andreas. Saat itu, aku bukan peserta yang membayar biaya kursus. Aku tidak ingin dia salah paham. Aku takut di akhir kursus, ada tagihan yang perlu aku bayar.

Sambil tersenyum, dengan mata yang sipit serupa lengkung pelangi itu, mbak Eva bilang, "Nggak papa Banu, kan materi dan makannya memang sudah disiapkan untuk Banu."

Aku senang sekali mendengarnya ^^,.

Rasanya aku tak tahan untuk tidak pamer ke Misbah kalau aku berhasil masuk kelas Pantau yang selalu ia sebut-sebut itu.

Minggu pertama kelas adalah Janet Steele, seorang Profesor asal George Washington University Amerika yang fasih berbahasa Indonesia. Andreas juga hadir di hari pertama walau sebentar.

Melihatnya masih mengenaliku dengan baik, aku mulai berhenti untuk menganggap diriku sebagai murid ilegal di kelas Pantau.

Belakangan, aku baru tahu bahwa beberapa alumni kelas Pantau yang sudah bekerja sering membayari para peserta Pantau yang baru. Yang tahu soal siapa yang membayari siapa hanya Bang Andreas dan Mas Imam yang tahu. Yang jelas, aku sangat berterimakasih atas kesempatan belajar ini.

Suatu hari, usai kelas Pantau, Kak Dian yang jadi redaktur Tribun Pontianak bilang dia akan ke rumah Andreas. Aku boleh ikut kalau punya waktu. Aku mengiyakan ajakan itu. Saat itu, aku main di rumahnya sampai jelang malam. 

Sejak itulah aku jadi sering main ke rumahnya. Sebagian besar karena ada acara makan-makan di sana.

Kak Arie, Istri Andreas, adalah koki handal spesialis makanan sehat. Aku suka sekali Bakso Sapi dan Bakso Ayam buatannya. Aku juga suka nasi campur ubi, pisang dan macam-macam campuran lain yang mengurangi kadar gula pada nasi yang dihidangkan di meja makan. Intinya, ke rumah Andreas adalah perbaikan gizi untuk perut dan otak. Selalu ada diskusi menarik di sana. Selalu banyak wartawan yang lebih berpengalaman yang mampir ke sana untuk berbagi cerita.

D, anak perempuan Andreas juga sangat lucu. Kalau jenuh dengan pekerjaan, aku ingat D. Ingin lihat kelucuannya. Ingin mendampinginya nonton video di youtube dan bernyanyi bersama. Asik sekali~

Andreas sering bilang hal yang aku utarakan sebenarnya adalah hal-hal sederhana. Tapi aku berdalih, "Pas seumuranku, Bang Andreas pasti juga bingung kan mau ngapain kalau punya problem kayak gini."

Dia jawab, "Iya sih, tapi kamu beruntung ada orang dewasa seperti aku yang membimbingmu. Aku dulu nggak punya. Mikir sendiri."

Dia pernah cerita bagaimana dia mengalami masa mudanya. Sepertinya terlalu pribadi. Jadi tidak usah aku tulis di sini ya.

Curhat dengan Andreas memang tak selalu menyenangkan. Misalnya, untuk menceritakan sesuatu, aku butuh 100 kata. Namun, dia akan memotong cerita tersebut dan menyisakan 30 kata. Ini bukan memotong cerita dalam hal tulisan seperti layaknya proses editing. Tapi dia memotong ceritaku secara lisan dan memberikan jawaban yang aku butuhkan. Kebayang?

Dia juga terlalu jujur mengungkapkan pendapat dan kritiknya. Sebagian pait sekali. Sumpah. Tapi aku selalu membutuhkan orang yang bisa menilaiku dengan jujur. Apalagi, aku kurang suka dan tidak pintar berberbasa basi.

Aku sering protes padanya dengan bilang, "Masak sih aku kayak gitu...? Nggak ah. Aku nggak bermaksud seperti itu. Masak anggapannya jadi seperti itu sih? Ah, masak? Nggak gitu ah bang!"

Dia akan bilang bahwa itu adalah penilaiannya. Aku boleh percaya, boleh tidak. Dia hanya berikan pandangannya.

Nantinya, diam-diam aku akan bahwa ada benarnya juga apa yang dia bilang. Lalu, suatu hari yang lainnya lagi, aku akan mengiriminya pesan. 'Apakah aku boleh main ke rumahnya untuk curhat?'

Senang rasanya punya seorang yang bisa jadi guru, abang, orang tua, dan sekaligus teman sepertinya.

Ada banyak pelajaran yang aku ambil setiap kali kita berinteraksi. Selain soal dunia jurnalistik, dia banyak mengajariku soal kerendahan hati dan keberpihakan pada orang yang terdiskriminasi. 

Andreas bukan hanya mendidikku, tapi juga sering mengajakku ikut andil dalam kegiatannya. Yang paling seru adalah saat audiensi di Mabes Polri soal tes keperawanan dan ikut konferensi pers di rumah Iwan Fals bersama Jokowi. 

Dia sering memperkenalkan aku ke banyak orang keren lainnya. Hal yang aku tunggu-tunggu dari proses perkenalannya adalah, predikat apa yang dia rekatkan padaku.

Pernah, suatu hari Andreas bilang pada seseorang, "Ini Banu. Pemimpin Redaksi media yang jadi lawannya Arrahmah dot com."

Pernah juga, ia bilang pada kawannya, "Kenalin, ini Banu. Orang Syiah tapi genit."

Lain waktunya lagi, dia bilang, "Kenalkan, ini Banu. Calon mantunya Abu Jibril." Dia merujuk ceritaku di blog soal bapakku yang dulu berteman baik dengan Abu Jibril. Kini Abu Jibril jadi Wali Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Bapakku malah jadi orang Syiah yang Moderat. Maksudnya moderat di sini adalah, bapakku bukan seorang yang fiqih oriented.

Predikat yang ia sematkan padaku selalu lucu-lucu. Aku menunggu-nunggu kesempatan untuk membalasnya.

Aih, sebenarnya aku malu padanya karena aku belum menulis banyak hal yang ia sarankan. Ia memintaku menulis isu-isu tertentu untuk media nasional. Aku selalu punya banyak alasan. Sampai sekarang belum ada satupun yang aku kerjakan. Maaf ya bang. Karena itulah, aku merasa tak pernah masuk dalam circle orang keren. :(

Permintaannya yang sering aku penuhi hanyalah soal membaca. Aku sering membaca setiap buku yang ia rekomendasikan. 

Beberapa minggu yang lalu, Andreas ulang tahun. Lagi-lagi aku lalai mengucapkan selamat padanya. Aku baru tahu berhari-hari setelah dia ulang tahun. Itu pun berkat facebook. Padahal, saat ulang tahunku, aku main ke rumahnya hanya karena aku ingin merasakan suasana keluarga di rumah. 

Aku emang nggak asik nih. :/

Tentu saja ada banyak hal baik yang aku doakan untuknya. Aku juga berharap, hal baik yang aku harapkan untuknya bisa lebih banyak daripada hal baik yang telah dia lakukan untukku. 

Semoga Bang Andreas selalu ada, dan berlipat ganda. *macak Munir*

Aku juga berharap, semoga dia diberi kesabaran menghadapi anak muda yang sering galau dan merepotkan sepertiku. 

Selamat ulang tahun Bang! Ayo makan-makan.

Senin, 27 Juli 2015

Feodal itu Menyebalkan

Sering kali, saat perlu ke lembaga tertentu untuk liputan, aku temui orang-orang bergaya feodal. Mau bertemu atau minta kontaknya saja rumit sekali.

Ada tiga cerita soal ini.

Cerita Pertama :
Ketika perlu ke salah satu kementerian. Bertemu dengan ajudan. Kemudian ajudan meminta isi formulir janjian, menunggu sampai beberapa jam, itu saja belum tentu bisa bertemu pejabat terkait. "Maklum, bapak sibuk mbak." katanya.

Ketika minta kontaknya, ajudan tidak mau beri. Alasannya soal privasi. Jika seseorang jadi pejabat publik, mestinya sudah menyiapkan diri punya beberapa nomer telpon. Ada yang public, ada yang privat.

Ujung-ujungnya, ajudan bilang, "Maaf mbak, mungkin besok bapak baru bisa ditemui."

Si pejabat keluar dari ruangannya. Lihat wartawan menunggu. Dia langsung nyapa, "ada apa?", sudah menunggu dari jam berapa?", "Mau tanya soal apa?", tak lama kemudian dia akan minta maaf karena tak bisa wawancara lama. Dia berikan kontaknya dan bilang, "SMS dan telpon aja mbak. Pasti saya jawab."

Ajudannya cuma bengong karena begitu mudah komunikasi sama bosnya.

Bahkan Dirjen tersebut ikut ucapkan selamat lebaran lebih dulu. Dengan sapaan "Mas Sahar" kepadaku. Mungkin dia lupa bahwa wartawan yang ada di daftar nama kontaknya itu perempuan. tapi setidaknya dia ingat untuk mengirim SMS hari raya lebih dulu.

Yang ada di kepalaku adalah, apa ajudannya tidak tahu kalau bosnya itu ramah sama wartawan? Apakah Ajudannya tidak diberi instruksi bagaimana caranya berhubungan dengan wartawan? Atau gimana? Di jaman sekarang, menduduki jabatan tertentu dengan lagak sok birokratis tak akan membuat si pejabat jadi keren. Malah sebaliknya. Kalau kamu jadi asisten, penting untuk tahu kebiasaan bosnya. Jangan bikin rumit sesuatu yang mestinya simpel.

Cerita Kedua :
Pengalaman juga urusan sama salah satu DPP Partai. Sebut saja partai Hitam. Awalnya aku telepon dulu ke DPPnya lewat nomer telpon kantor yang tercantum di website. Tak ada yang mengangkat. Berkali-kali hasilnya zonk.

Pas datang ke DPPnya, disambut oleh security yang bilang, "Kalau mau ke sini, telpon dulu mbak. Kalau belum ada janji, maaf sekali tidak bisa bertemu dengan yang bersangkutan."

Aku bilang padanya bahwa aku sudah mencoba telepon kantornya tapi tidak ada yang mengangkat. Dia melihat nomer telepon yang aku maksud dan ternyata itu memang benar-benar nomer telepon yang ada di depannya. "Tapi ada satu nomer lagi yang aktif mbak. Coba mbak hubungi nomer yang ini dulu. Besok bisa kembali ke sini lagi."

Aku bilang, berita tak bisa menunggu. Aku minta dia hubungkan saja ke Humas atau jabatan yang relevan dengan pertanyaanku.

Dia jawab, "Tidak bisa mbak. Prosedurnya begitu. Mbak datang saja besok, dengan janji di telepon lebih dulu."

Aku minta dia catat nomer teleponku dan berikan ke Humas. Humas mestinya bisa lebih tahu bagaimana berhubungan dengan wartawan. Dia mau mencatat nomer teleponku sambil bilang bahwa sebaiknya aku datang lagi besok. Sesuai dengan prosedur yang tadi dia bilang.

Aku diminta menulis pertanyaan yang akan aku ajukan ke Narasumber. Baiklah. Aku mengalah. Aku tulis dengan syarat dia sampaikan nomer ponselku ke Humas dan minta Humas kontak aku.

Esoknya, Humas SMS ke ponselku. Minta maaf dan berikan kontak Narasumber yang aku butuhkan. Aku kontak Narasumbernya. Ternyata dia tak menguasai tema yang aku tanyakan. Dia berikan nomer kontak orang lain lagi sambil bilang, "Nanti tanya dia saja. Bilang, dapat kontaknya dari saya. Dia akan jawab semua pertanyaanmu karna itu jobdesk dia."

Baiklah. Aku berterimakasih. Setelahnya, aku kontak nomer tersebut lewat telepon, Tak diangkat. Aku coba SMS, tak ada jawaban, Aku Whatsapp, hanya dibaca.

Akhirnya aku kontak ulang ke DPPnya. Diberi prosedur yang sama. Kontak ulang Humas dan pejabat yang beri nomer pejabat partai lainnya. Kembali tak ditanggapi sama sekali. Wah, susah. Ya sudah. Mungkin mereka memang tak mau terbuka pada wartawan. Tak ada berita apapun dari Partai itu.

Partai Biru lain lagi ceritanya. Sekalipun sudah datang langsung ke DPPnya, Dapat kontaknya, tidak ada satu pun yang mau bicara sekalipun jabatannya adalah Humas. Begitulah akhirnya. Tidak ada berita dari Partai itu. Bukan mauku. Bukan salahku.

Cerita Ketiga

Aku datang begitu saja ke DPP tanpa telepon. Langsung disambut petugas Parpol. Diarahkan ke penanggung jawab dan diberi kontak juga. Betapa mudahnya. Berita dibuat. Wawancara bisa dilakukan lewat telepon atau di tempat yang dijanjikan. Semuanya senang. Sebut saja ini terjadi di partai Kuning dan Hijau.

Memangnya, bersikap feodal dan birokratis itu keren? Nggak lah yaw!!

Sabtu, 25 Juli 2015

Tragedi, Fiksi, dan Nyata

"Tiba-tiba da memperhatikan bahwa kecantikan sudah runtuh berantakan pada dirinya, bahwa itu sudah mulai melukainya secara fisik seperti tumor atau kanker. Dia masih ingat bobot hak istimewa yang telah ditanggung oleh seluruh tubuhnya selama masa remaja, yang telah dilepaskannya sekarang. ---- Dia lelah menjadi pusat perhatian, di bawah kepungan pandangan lelaki. Pada malam hari, ketika insomnia menusukkan jarum pada matanya, dia akan menjadi perempuan biasa, tanpa daya tarik istimewa apapun." 
Eva di Dalam Kucingnya, Gabriel Garcia Marquez.
Libur lebaran yang lalu membuatku punya banyak waktu untuk maraton membaca buku-buku Fiksi. Buku yang aku baca diantaranya kumpulan cerpen "Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Lewat Mimpi" Karya Eka Kurniawan, kumpulan novel dan cerpen"Innocent Erendira and other stories" karya Gabriel Garcia Marquez -aku membaca terjemahan bahasa Indonesianya-,  "My Sister's Keeper" karya Jodi Picoult yang aku baca dalam bahasa Inggris, dan buku-buku lainnya yang menurutku berhasil memotret kesedihan dengan "Indah".

Sebenarnya, kesedihan itu bukan sesuatu yang indah sih. Malah sebaliknya. Menggoreskan luka. 

Dalam sebuah kuliahnya di kelas kami, Prof Abdul Hadi​ WM pernah berkata bahwa kesedihan manusia itu sifatnya abadi. Kenangan akan kesedihan akan menancap dalam mengalirkan air mata dan darah yang akan terus menyakitkan. Makanya, sastra yang banyak diminati oleh orang sepanjang zaman kebanyakan adalah cerita-cerita yang menggambarkan tragedi. Jujur saja, aku belum mengecek apa kata sastrawan lain soal ini. Yang jelas, aku setuju dengan Pak Hadi.

Saat itu, secara otomatis aku menghitung Novel dan Cerpen favoritku. Memang sih, kebanyakan berkisah seputar tragedi. Atau jangan-jangan, selera bacaanku saja yang cukup muram?

Aku sendiri selalu mengagumi setiap penulis yang berani menceritakan kesedihan-kesedihan yang ia alami langsung. Misalnya Gayatri Wedotami Muthari​ yang bercerita soal penyakit Lupusnya dan soal pelecehan seksual yang menimpanya lewat status facebooknya. Aku juga mengagumi keberanian Ninin Damayanti​ yang bersuara tentang KDRT yang dialaminya. Tentu saja ada nama lain yang punya keberanian menulis tragedinya sendiri untuk publik. Hanya saja, aku tidak bisa menuliskan secara lengkap siapa saja nama yang cukup aku perhatikan.

Sedangkan aku? Aku tidak punya keberanian macam itu untuk diriku sendiri. Aku terlalu pengecut untuk mengungkapkan lewat tulisan tragedi yang pernah terjadi dalam hidupku. Mestinya aku lebih berani untuk bercerita lewat tulisan. Selain untuk terapi, bisa juga dijadikan pelajaran bagi orang lain. 

Tapi aku yang cengeng ini sering menghibur diri sendiri dengan berkata pada pikiranku sendiri, "Suatu hari, akan tiba saatnya aku akan bersuara. Pasti."

Tidak semua orang berani menyuarakan kesedihan-kesedihannya. Sebagian menggantinya dengan kisah fiksi berikut deretan nama-nama samaran dan serangkaian drama. Beberapa penulis melakukan itu karena ada sebuah anggapan bahwa jika kita sering menulis soal diri sendiri, maka kita akan dicap dengan label Self Sentris. Begitukah? 

Aku punya beberapa orang di sekitarku yang merasa perasaannya jadi lebih baik ketika mendengar ada yang lebih menderita daripada dirinya. Ada juga tipe orang yang sering berkata dengan enteng bahwa masalahmu belum ada apa-apanya dibandingkan masalah orang itu yang lebih berat lagi. Ada lagi orang yang merasa lebih menderita dari orang lainnya.

Bagiku, tidak ada kesedihan yang sepele. Jika tidak bisa bersimpati dan memberi solusi, maka seseorang mesti belajar diam dan sekedar mendengar. Bukan mengeluarkan komentar-komentar menyalahkan yang membuat orang yang bersedih itu semakin merasa hidupnya payah. 

Beberapa yang lainnya, justru mengecilkan tragedi orang lain hanya karena ia merasa bahwa ia pernah lalui tragedi lebih dahsyat. Lebih penting. Lebih menyayat. Sehingga tragedi yang dialami orang lain tampak sepele. 

Aku percaya bahwa seseorang punya porsinya masing-masing dalam merasai kesedihan. Tidak ada kesedihan yang sepele. Satu-satunya yang berhak mengatakan kesedihannya lebih berat dari kesedihan yang lain hanyalah individu yang merasakan kesedihan itu sendiri. Bukan orang lain. Ada kaca yang mesti ia bawa terus menerus untuk mengukur apakah kesedihannya memang layak untuk membuatnya ambruk atau tidak.

Aih, ngomong apa sih aku ini...

Tapi ngomong-ngomong. Aku kangen lho sama kamu. Kalau kamu nggak kangen balik, apakah artinya ini sebuah tragedi lainnya? Kalau iya, maka aku sudah berani menuliskannya. 

Minggu, 12 Juli 2015

Apa Kabarmu, Satu Tahun?

Sebenarnya, ada hal menyenangkan yang terjadi pada tanggal 11 Juli tahun lalu. Hari tersebut tak pernah direncanakan akan seperti apa. Hari yang tak pernah aku duga akan datang.

Entah bagaimana alurnya, hal kecil yang terjadi di hari itu bisa jadi sebuah kenang yang ikut menentukan bagaimana situasi yang terjadi sampai hari ini.

Namun, seperti hari yang lainnya yang tertelan oleh kesibukan, luka, dan hantu-hantu, 11 juli akan berlalu begitu saja. Sangat mungkin jika suatu hari terlupa. Aku memang ingat persis apa yang terjadi. Hanya saja, aku hampir lupa kapan harinya.

Aku sengaja menyimpan jejak dalam-dalam sebagai sebuah monumen yang setiap saat bisa aku kunjungi. Jika terlupa, aku akan tahu bagaimana cara menemukannya. Tepat di sana, di jantung kenang yang hampir terlupa, aku akan menunduk dalam-dalam sambil memejamkan mata. Demi menziarahi setiap debar yang lahir begitu saja. Entah dari mana.

Aku membayangkan, kau akan berkata padaku bahwa hari ini bukanlah sesuatu yang cukup penting hingga perlu jadi drama. Seolah-olah kisah yang terjadi adalah cerita penuh konflik klimaks anti-klimaks dengan sederet picisan.

Ini memang bukan kisah soal apapun. Ini sama sekali bukan apa-apa. Anggaplah begitu.

Rasanya seperti cookies manis yang telah habis dinikmati seorang anak kecil gemuk nan lucu. Dan kita tahu bahwa yang akan ia tinggalkan di sekitarnya hanyalah remah-remahnya saja.

Aku masih ingat, kita telah sampai pada satu hari yang melelahkan, yang akhirnya membuatmu berkata bahwa ini semua tak berguna untukmu. Tak berarti apa-apa.

Lagi pula, kau selalu punya satu toples cookies lezat yang bisa kau bagikan ke orang lain sambil bercerita tentang apapun.

Dengan debar yang tak kunjung padam, setiap serpih remah-remah yang tersisa -entah bagaimana- masih terasa.

Oh ya, halo. Apa kabar?

Kamis, 09 Juli 2015

Puskesmas adalah Kita

Kamu pernah berobat ke Puskesmas?

Hatiku rasanya dekat sekali dengan Puskesmas. Aku lahir di Puskesmas. Rumah kakek hanya berjarak 10 menit jalan kaki ke sana. Jadi, ketika Ibuku mulai kontraksi, pilihan terdekat hanyalah ke Puskesmas itu. Rumah sakit lokasinya berkilo-kilo meter dari rumah. Ada opsi dukun beranak. Tapi Ibuku lebih percaya bidan untuk urusan melahirkan. 

Saat masih kecil, mbakku pernah mengolok-olokku karena aku satu-satunya anak dalam keluarga yang lahir di Puskesmas. Semuanya lahir di rumah sakit yang nyaman di Jakarta atau di Bekasi. Aku hanya numpang lahir di kampung. Dan pas banget, lokasinya di Puskesmas.

Saat itulah aku punya anggapan bahwa Puskesmas identik dengan tempat orang kampung berobat yang pelayanannya serba minim. 

Waktu SD, Aku pernah protes sambil menangis ke Ibu kenapa harus dilahirkan di Puskesmas kampung? Padahal selama hamil Ibu tinggal di Jakarta. Numpang lahir kok ya di kampung. Gara-gara itu aku jadi diejek mbakku.

"Sini..." Ibu memegang tangan kananku dan mendekatkannya ke mulut, "kamu ibu balikin ke perut lagi. Ibu makan. Tangannya dullllu yaaaa.... Aum… Lehernya mana sini lehernya, Auuuum… Sini sini mana perutnyaaaa... Auuuum... Nyam...nyam.. nyam... Enaaaak..." Aku kegelian. Ibu pura-pura mengunyah, " Nanti kalau udah di perut semua, ibu mau pindah ke luar negeri. Naik pesawat. Biar kamu bisa lahir lagi di Rumah Sakit bagus, di luar negeri sekalian."

Gara-gara Ibu begitu, aku jadi lupa kenapa tadi mesti menangis. 

Beranjak dewasa, aku jadi orang yang sinis banget sama pemerintah. Lahir di mana saja juga sama paitnya. Tapi, setelah aku pikir-pikir, lama kelamaan aku paham bahwa sebenarnya keberadaan Puskesmas di sebuah desa adalah salah satu hal keren yang sudah dirintis pemerintah. Beberapa Puskesmas sudah menyediakan ruang rawat inap, poli gigi, poli Ibu dan anak yang cukup memadai untuk keperluan tahap awal pengobatan.

Teteup loh ya, kalau pelayanannya busuk, males banget muji-muji Pemerintah. 

Di Kecamatan Mampang Prapatan sini, setiap desanya ada satu Puskesmas yang berdiri. Kalau penyakit kita tak bisa ditangani Puskesmas desa karena butuh fasilitas yang lebih lengkap, kita akan dirujuk ke Puskesmas daerah yang punya fasilitas dan dokter ahli. Kalau di Mampang Prapatan, Puskesmas Daerahnya sedang dalam proses metamorfosis jadi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dengan dilengkapi kamar inap, dokter, dan laboratorium yang memadai.

Mestinya keadaan di daerah lain tidak jauh beda. Semoga saja ada Puskesmas bagus di sana.

Jika kita periksa ke Klinik Swasta, untuk pemeriksaan standar yang ditanyai sakit apa sambil diperiksa tekanan darah dan detak jantung, seorang pasien mesti keluar uang sekitar IDR 50.000-150.000 plus tebus obat. Dengan pemeriksaan yang sama di Puskesmas, biayanya cuma IDR 2.000 sudah plus obatnya. Kalau punya BPJS malah bisa gratis. 

Waktu pertama kali ke Puskesmas lagi, aku girang luar biasa karena ternyata berobat bisa lebih murah dari naik Kopaja.

Biaya untuk cek darah di Klinik dan laboratorium swasta bisa ratusan ribu sampai jutaan. Tapi di Puskesmas, cek darah lengkap cuma butuh biaya IDR 50.000. Tentu saja bisa gratis untuk pasien BPJS.

Bahkan untuk penderita kelainan darah maupun antibody seperti Lupus, Anemia, Thalasemia dan lainnya, tes darah di laboratorium Puskesmas untuk deteksi dini juga sudah sangat memadai, dan yang penting, Murah! Untuk pengobatan selanjutnya bisa tanya ke dokter yang bersangkutan. Kemungkinan besar, -menurut perkiraanku- akan dirujuk dan diarahkan untuk bertemu dokter ahlinya.

Beberapa Puskesmas daerah yang bekerjasama dengan lembaga-lembaga macam Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) malah sudah bisa melakukan visum kepada korban kekerasan seksual plus cek HIV/AIDS/PMS (Penyakit Menular Seksual) dengan pendampingan. P2TP2A ini ada di berbagai wilayah di Indonesia. Silakan browsing sendiri ya.

Pegawai P2TP2A di Bandung pernah bilang padaku, "Biasanya, korban pemerkosaan yang meminta bantuan pendampingan atau advokasi ke sini dalam keadaan bersih. Maksudnya, dia sudah mandi. Padahal, untuk keperluan visum, sebaiknya korban tidak mandi dulu biar semua jejaknya masih utuh dan bisa jadi tanda bukti yang kuat jika korban mau menindaklanjuti laporan ke pihak kepolisian."

P2TP2A belum ada di banyak kota. Makanya, kalau tidak ada, kita bisa melakukan pemeriksaan itu secara mandiri. Lebih baik periksa untuk tahu keadaan tubuh kita daripada terlanjur. Jika ada sesuatu yang mengkhawatirkan dan tidak dapat ditangani Puskesmas, langsung bisa dirujuk ke rumah sakit daerah yang masih punya koneksi dengan puskesmas.

Di Puskesmas Kemang, ada dokter Rebbeca yang sudah terkenal sebagai orang yang bisa ditanya dan melakukan pemeriksaan soal HIV/AIDS. Rahasia juga terjamin. Bisa Gratis juga kok. Paling bayar pendaftaran tetep IDR 2000 ya. Kabarnya di RS Carolus juga bisa Gratis.

Tidak harus jadi nakal dan gonta ganti pasangan untuk tes HIV/AIDS. Karena kita tak tahu transfusi darah jenis apa yang masuk ke dalam tubuh kita. Kita tak tahu apakah pasangan kita benar-benar hanya mengonsumsi "menu" di rumah atau "jajan". Karena pengidap HIV/AIDS belakangan ini justru Ibu Rumah Tangga baik-baik yang tak pernah macam-macam di luar rumah. Makanya, lebih baik deteksi sejak dini. Tidak perlu malu untuk kesehatan. 

Di Puskesmas daerah Bangka, Pela Mampang, Tegal Parang, dan berbagai Puskesmas daerah lainnya di luar Jakarta, ada kampanye gerakan IVA (Intip Vagina Anda). Jangan salah paham ya karena ada kata intip intipnya, IVA itu sebuah gerakan untuk meraih kepedulian perempuan terhadap organ reproduksinya. Fungsi utamanya adalah deteksi awal kanker Serviks dengan kapas dan Cuka. Caranya, kapas dibasahi cuka, lalu dokter akan mengintip vagina kita dengan menempelkan kapas dan cuka itu ke Vagina. Jika ada pengapuran di kapas, maka dikhawatirkan ada bibit kanker serviks di sana. Metode ini harus dilakukan oleh dokter beneran lho ya. Don't try this at home. Nggak usah sok sok an main dokter dokteran sama pacar buat mraktekin metode ini ya. Itu mah 100% modus doang. Amannya, ya IVA aja di Puskesmas. 

Di Puskesmas, periksa IVA cuma perlu bayar IDR 5.000. Kalau terdeteksi ada kanker, akan langsung cek cryo dengan biaya IDR 70.000. Sepertinya kalau punya BPJS bisa gratis. 

Sayangnya, fasilitas dan pelayanan yang ada di berbagai puskesmas tidak sama. Tahun 2010, aku masih mengalami Puskesmas di Jakarta yang jam 11 pagi sudah tutup. Di tahun 2015, keadaan berubah. Puskesmas buka dari jam 7 atau 8 pagi sampai jam 4. Berkat Ahok juga yang minta Puskesmas buka sampai sore.

Jam pelayanan Puskesmas di daerah sekarang ini bagaimana ya? Yang jelas, jika jam 11 dan 12 pagi sudah tidak menerima pasien, maka Pueskesmas itu melakukan pelanggaran. Sila laporkan dinas terkait di Kabupaten/Kecamatan terdekat.

Masalah pendidikan, kesejahteraan, dan kesehatan di Indonesia itu adalah tingginya ketimpangan antar daerah. Di suatu daerah bisa saja ada satu Puskesmas yang lengkap pelayanannya. Tapi di tempat lain, fasilitasnya mengenaskan. Pelayanan dokternya busuk, obatnya kadaluarsa.

Pas ketemu fasilitas kesehatan yang kacau, orang jadi hilang minat untuk periksa. Takut nggak ditangani dengan benar lah, takut kurang bisa jaga privasi lah. Khawatir ini itu. Kalau aku sih selalu khawatir saat ke poli gigi Puskesmas. Menurut pengalaman, biasanya alat kesehatannya masih bau mulut orang lain walau sekilas tampak sangat bersih. Awalnya aku ingin menyalahkan Puskesmas. Wajar aja bau karena bayarnya murah. Tapi, suatu ketika aku periksa gigi ke Rumah Sakit dan ke dokter Gigi yang buka praktek di rumah. Ternyata bau juga.

Mestinya pelayanan itu tidak ditentukan karena harga. Ini menyangkut integritas tenaga kesehatan di tempat masing-masing. Masalah kesehatan itu dekat dengan masalah kemanusiaan. Masak iya, kemanusiaan tergantung bayarnya berapa. Kalaupun itu realitas yang terjadi, sayang sekali jika terus dilenggangkan.

Untuk orang sepertiku yang sering kena Panic Attack tiap kali ke Rumah Sakit dan di alam bawah sadarku yang oknyol takut hantu-hantu yang gentayangan di sana, Puskesmas sih cocok. Walau beberapa kali komplain sama pelayanannya, bukan berarti aku jadi membenci. Toh RS negeri dan swasta yang bayar mahal pun juga sering salah-salah pelayanannya. Jadi ya nggak sampe bikin kapok untuk periksa ke sana.

Dengan adanya Puskesmas, semua orang bisa berobat. Kalau pakai BPJS atau kartu-kartu lainnya, biasanya perlu rujukan ke fasilitas kesehatan Tingkat I. Ya Puskesmas itu salah satunya.

Tentu saja tidak optimal. Tentu saja masih ada kekacauan di sana sini dibanding Rumah Sakit. Tapi, adanya Puskesmas itu udah lumayan banget. Menjangkau sampai ke pelosok desa. Asal administrasi kenegaraan kita beres, hampir semua orang bisa periksa. Gampang banget cara manfaatin fasilitas kesehatan itu. Karena mestinya, Puskesmas adalah Kita.

Aku sih gitu ya, nggak tau kalau mas Anang.

Minggu, 05 Juli 2015

Jadi Saksi Kanonik Pernikahan Islam-Katolik

Kemarin malam, aku menjadi saksi Kanonik untuk pernikahan beda agama antara sahabatku yang Islam dan tunangannya yang Katolik.

Sahabatku seorang perempuan Islam berjilbab. Sedangkan tunangannya seorang Katolik taat yang sempat menempuh pendidikan calon Imam tingkat satu di Malang. Alih-alih jadi Romo, ia lebih memilih untuk jadi programmer yang hadapi algoritma daripada umat.

Hanya dengan melihat mereka sekilas, kita akan tahu bahwa mereka adalah dua orang yang sedang jatuh cinta.

Ditunjuk jadi saksi Kanonik awalnya adalah hal mendebarkan. Aku perlu meyakinkan diri sendiri apakah mungkin seorang muslim bisa jadi saksi Kanonik? Aku kontak Romo sahabatku untuk menanyakan keabsahan "syariatnya". Romo bilang, saksi Kanonik itu yang penting mengenal calon mempelai non Katoliknya. Tidak harus beragama Katolik. Aku jadi lega. Setidaknya, sebagai sahabat yang sudah bertahun-tahun bersama, ternyata aku berguna juga.

Aku ke gereja Katedral Jakarta bersama pasangan pengantin dan teman SMA sahabatku yang juga berperan sebagai saksi Kanonik. Setelah shalat Maghrib di Istiqlal, kami menyeberang ke Gereja Katedral dan buka puasa di depan pasturan. Misa Jumat Malam belum usai. Jadilah kami menunggu sampai Romo selesai memimpin Misa.

Tepat saat Misa Jumat usai, kami berempat dipersilakan masuk ke ruang tamu Pasturan. Kedua mempelai masuk lebih dulu ke ruang kerja Romo. Romo yang menangani pernikahan ini bernama Romo Broto, Pr. Kesanku padanya, Beliau seseorang yang murah senyum dan ramah.

"Siapa yang akan jadi saksi pertama?" Tanya Romo Broto pada aku dan teman sahabatku saat kami berdua ada di ruangannya.

"Dia saja Mo, yang lebih tua." Kataku.

Romo dan teman sahabatku tertawa.

Romo memulai pertanyaan seputar sejauh mana kami mengenal calon mempelai perempuan. Dia juga bertanya soal asal wilayah, pekerjaan, alamat, dan lainnya. Kami harus mengisi selembar formulir setengah halaman kertas HVS yang isinya adalah kesaksian kami berdua bahwa mempelai perempuan non Katolik tersebut memang belum pernah menikah.

Setelah mengisi formulir, kami berdua tanda tangan di bawah kalimat sumpah yang ditutup dengan, "Demi Allah". Bukan demi Yesus dan bukan pula demi Roh Kudus. Aku senang dengan pilihan kata di dalam surat kesaksian tersebut.

"Di Katolik memang ada dispensasi dalam hal pernikahan. Kami meyakini bahwa yang namanya iman itu tak dapat dipungkiri oleh hati. Bisa saja seseorang bohong di KTP dalam hal agama hanya untuk menikah. Tapi yang namanya iman dalam hati, sulit untuk diganti-ganti. Jadi, Disparitas Cultus ini untuk memudahkan, bahwa pernikahan tak pernah jadi penghalang keimanan seseorang dan sebaliknya. Untuk apa yang Katolik pindah Islam jika hatinya tetap Katolik? Dan untuk apa yang Islam pindah Katolik jika yang nyaman baginya adalah beragama Islam? Ini adalah solusi yang diberikan gereja untuk umatnya."

Kami mengangguk mendengar penjelasannya.

Saat melakukan penelitian di gereja Santo Alfonsus Paroki Nandan, Jogja pada tahun lalu, aku sudah diberi penjelasan oleh Romo Kris mengenai hukum pernikahan dalam gereja Katolik.

Oh ya, Romo Kris ini ketua Paroki Nandan. Tema Disertasi S3 nya adalah tentang Disparitas Cultus. Saat aku menyebut bahwa aku kuliah di Paramadina, dia langsung bertanya soal pernikahan beda agama yayasan Paramadina. Aku tak tahu banyak soal pernikahan beda agama di yayasan. Jadi aku berjanji padanya untuk mencarikan info seputar itu.

Romo Kris lah yang memberi penjelasan padaku bahwa di dalam gereja Katolik memang tak ada perceraian. Adanya pembatalan pernikahan yang harus diurus sampai Vatican. Seseorang yang beragama non Katolik yang pernah menikah sebelumnya, lalu bercerai baik secara agama maupun secara negara tidak dapat lagi menikah dengan seorang Katolik karena punya halangan pernikahan. Makanya, salah satu fungsi diumumkannya pernikahan setelah Misa, selama tiga kali Misa adalah untuk mendeteksi adanya halangan pernikahan itu tadi.

Aku bercerita kepada Romo Broto soal sedikit interaksiku dengan Romo Kris yang mengenalkan aku pada konsep disparitas kultus. Dia tampak girang.

"Walaupun satu kampung sudah tahu bahwa calon mempelai belum pernah menikah, kesaksian kanonik ini tetap harus dilakukan. Ini sebagai formalitas saja." Lanjut Ketua Paroki Katedral ini.

Di tengah diskusi singkat kami, Romo memujiku dengan berkata, "Wah, kamu sudah banyak tahu Katolik."

Aku tersenyum geli.

Sebenarnya aku tak banyak tahu soal Katolik. Seorang kawan yang mengaku sebagai Katolik sesat karena tak beribadah lagi ke Gereja pernah memberikan banyak penjelasan soal kekatolikan padaku sebagai bahan riset. Selain itu, aku sering berdiskusi dengan Romo dan Frater kenalanku dan membanding-bandingkan penjelasan mereka dengan tradisi agama Samawi yang ada.

Tentu saja aku masih sering bingung dengan istilah-istilah spesifik yang dipakai orang Katolik. Jelas banyak sekali hal yang belum aku tahu soal agama lain. Bahkan aku baru tahu kalau di Katolik sunat untuk lelaki itu bukan sebuah keharusan setelah nonton film bareng di kampus yang memuat sebagian sejarah gereja Katolik abad pertengahan. Tentu saja, tidak penting untuk mengetahui apakah pengikut agama tertentu punya tradisi sunat untuk lelakinya atau tidak. Tapi, aku akhirnya paham bahwa ternyata aku tidak banyak tahu.

Mengetahui ketidaktahuan adalah sebuah pengetahuan yang berharga juga.

Hanya 5 menit waktu yang dibutuhkan untuk jadi seorang saksi Kanonik. Tunangan sahabatku bilang, waktu yang dibutuhkan tiap orang beda-beda. Tergantung Romonya juga.

Tunangan sahabatku heran, kenapa beberapa kali terdengar tawa kami.

"Kamu becandain Romo ya Ban?" Tanyanya.

Aku menggeleng. Memang ada banyak lelucon yang menyenangkan selama kami ngobrol dengan Romo sambil mengisi formulir tadi.

Sangat berbeda saat sahabat dan tunangannya menghadapi Romo. Suasananya serius. Mereka bilang, mereka ditanyai Romo dengan hal-hal yang sudah mereka pelajari saat Kursus Pernikahan.

Aku sempat bertanya pada tunangan sahabatku, kenapa dia tak membawa saksi Kanonik juga. Dia jawab, "Saksi Kanonik itu cuma dibutuhin calon mempelai non Katolik. Data diriku kan udah ada di parokiku."

Oh, begitu. Tuh kan, aku baru tahu.

Bagiku, mereka pasangan yang lucu, saling melengkapi dan menjaga. Tunangannya selalu menyarankan sahabatku untuk konsisten berjilbab. Sahabatku sering meminta tunangannya untuk membawa serta dirinya tiap Misa. Aku berbahagia untuk mereka.

Tentu saja, pernikahan beda agama masih jadi pro dan kontra di kalangan umat beragama. Keluarga sahabatku juga masih banyak yang menentang terjadinya pernikahan tersebut. Tapi, ayah sahabatku sungguh hebat. Dia berani pasang badan demi kebahagiaan anaknya. Dengan senang hati, ayahnya mengantarkan anaknya menikah di Gereja Katolik tanpa perlu pindah agama. Dulunya, ayahnya adalah seorang Kristen Protestan yang masuk Islam karena menikah dengan ibunya.

Aku mengikuti perjalanan cinta mereka. Beberapa kali, aku ikut membantu untuk menjawab setiap pertanyaan dan hujatan dari keluarga yang menentang pernikahan mereka.

Seorang yang sedang berusaha mengikuti laku sebagai seorang Sophia Perennis sepertiku, memang tidak memiliki masalah yang ada hubungannya dengan syariat pernikahan beda agama. Tentu saja, ada banyak sekali orang yang bilang betapa salahnya pandanganku. Betapa kelirunya pilihan hidup yang aku pilih.

Tapi, aku meyakini, bukankah tiap orang sedang menjalani Dharmanya masing-masing? Jika memungkiri konsekuensi pengetahuanku, alih-alih menjalankan dharma, aku malah menjalankan adharma.

Aku menerima risiko apa kata orang terhadap apa yang aku lakukan dengan hati gembira. Aku memaklumi, beberapa orang yang menghujatku memang senang menjadi juru bicara kebenaran "tuhan" yang diyakininya. Aku sih tak pernah memaksa mereka meyakini apa yang aku yakini.

Orang yang pernah dekat denganku pernah cerita bahwa beberapa kali dia berpisah karena agama dengan orang yang dia cintai. Aku sangat sedih mendengarnya. Rasanya aku ingin hadir di masa lalunya dan meyakinkan orang yang dicintainya agar tak perlu merasa berdosa mencintai orang yang berbeda iman. Cinta itu indah. Agama dan kasih Tuhan juga indah. Keindahan hanya akan bersatu dengan sesamanya. Kenapa harus ada perpisahan karena agama?

Yang aku yakini, Tuhan yang disebut dengan berbagai nama, Tuhan seluruh umat manusia, telah memberikan potensi cinta pada siapa saja tanpa memandang agamanya apa.

Kita hanya perlu menjaga pijarnya, agar jadi terang bagi sesama.

Selasa, 09 Juni 2015

Labirin Mimpi Mimpi


Pipiku menempel di meja hangat berbahan kayu jati yang tebal tanpa furnish. Aku mengintip lewat sudut mataku yang setengah mengantuk. Meja makan ini mirip kepunyaan nenekku. Pasti aku sudah tertidur di sini dalam beberapa waktu hingga membuat leherku pegal. Aku mengangkat pipi sedikit untuk meraba tekstur kulitku. Gara-gara rambut panjang yang mengurai kemana-mana ini, pipiku jadi serupa peta yang jalurnya bermuara di hidung, mulut, atau dahiku.

Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Cahaya lampu temaram yang memberikan kesan hangat dan mengantuk memasuki mataku. Aku berusaha beradaptasi dengan pencahayaan yang tak biasa itu. Saat aku memandang berkeliling, aku baru sadar bahwa dinding ruangan itu berwarna hitam di sisi kanan dan berwarna putih di seberangnya. Entah itu memang cat, ataukah kain warna hitam yang biasa dipakai di berbagai pementasan teater.

Aku menegakkan kepalaku tinggi-tinggi, berusaha duduk tegak sepenuhnya. Agak pusing. Rasanya tak pernah sepusing ini sebelumnya. Aku meraba pipiku lagi untuk memeriksa apakah peta yang timbul dari rambut-rambutku sudah hilang atau belum. Sampai aku menyadari sesuatu.

Rambut?

Apakah aku sampai ke tempat ini tanpa jilbab?

Sesorang lelaki terhuyung menyenggol meja, menarik kursi dengan kakinya dan duduk di hadapanku. Meja kayu jati yang lebar itu membuat kita sangat berjarak. Aku merasa belum pernah bertemu dengannya. Tapi aneh, sebuah nama muncul di kepalaku tiba-tiba. Dia Pontoh. Ken Pontoh, Bahkan aku, entah darimana asalnya pengetahuan ini- tahu bahwa dia adalah seorang penulis. Dia menyulut rokok dan tersenyum padaku.

“Masih pusing? Apa aku harus mengantarmu ke rumah?” Tanyanya.

“Apa kamu selalu melihat aku seperti ini?” Aku bertanya balik sambil menggeretakkan leherku yang pegal.

“Maksudmu?”

“Aku, tanpa jilbab.”

“Memangnya kapan kamu pernah pakai jilbab?”

Aku mengernyitkan kening. Begitukah?

Aku menunduk memandang pakaianku sendiri. Kaos dan celana pendek. Jika merentangkan tangan, ketiakku akan terlihat jelas. Aku selalu mencemaskan setiap bulu yang tumbuh dari ketiakku. Aku tak menyukai bulu itu dan tak suka jika ada orang yang melihatnya. Tak ingat kapan terakhir kali aku mencukur bulu-bulu itu. Tapi, mestinya bukan itu yang perlu aku cemaskan.

“Ini seperti meja nenekku.” Kataku agak melamun.

“Kamu bilang, ini memang tempat minum milik keluarga besarmu. Wajar jika meja ini milik nenekmu.”

“Aku bilang begitu? Kapan?”

“Apa kau sebegitu mabuknya sampai tak ingat ucapanmu sendiri?”

Aku? Mabuk? Seingatku bahkan aku tak pernah minum alkohol. Aku tak masalah dengan Wine. Beberapa kali, aku sempat minum Wine dan tak pernah sekalipun mabuk.

Seorang lagi menarik kursi di samping Ken Pontoh. Aku tahu namanya. Dia Andri, wartawan lepas yang selalu sinis dengan media mainstream. Dia banyak menulis soal Papua hingga dia punya banyak musuh dari kalangan tentara dan so called aktivis NKRI.

Ken menyalakan koreknya. Andri menunduk, menyulut rokok dari korek Ken, dan menghembuskan asapnya. Tampak sangat menikmati.

Tunggu dulu. Andri merokok? Bukankah dia punya asma dan sangat benci perokok? Setahuku dia bukan perokok.

“Sejak kapan kamu merokok, ndri?”

“Aku memang merokok dari dulu.” Jawabnya sambil bersandar di bahu Ken.

Andri menempelkan wajahnya di leher Ken, tampak sangat akrab. Aku tidak tahu jika mereka berdua adalah sepasang kekasih. Aku bahkan tak tahu Ken dan Andri adalah Gay. Tapi, tampak intim seperti itu bukan berarti mereka pacaran. Sesekali aku juga bersandar di bahu sahabat lelakiku tanpa pernah sekalipun berkencan dengannya.

Ken mengecup puncak kepala Andri dan mengelus rambut pendeknya. Aku memalingkan wajah demi memberi mereka privasi.

Pandanganku tertuju pada piring dengan tulang yang bertumpuk-tumpuk. Harum Asem-Asem Kambing khas masakan Nenek tercium. Aku menengok ke belakang. Ada tungku dengan panci besar milik nenekku di sana.

Tampak seorang perempuan yang tampak rapuh, dengan tubuh kurus, rambut abu-abu yang terikat rapi dan punggung tegak tampak sedang mengaduk masakan.

Itu Nenek.

Seingatku dia sudah meninggal bertahun-tahun lalu. Atau, adakah seseorang yang perawakan dan gerak geriknya begitu identik?

Aku mengedarkan pandanganku sekali lagi ke seluruh ruangan. Ada tiang kayu bambu khas ruang makan rumah Nenek. Apakah aku benar-benar ada di rumah Nenek? Seingatku rumah Nenek sudah berubah setelah diwariskan pada anak-anak cucunya.

Rumah itu tak seluas dulu. Saat aku masih kecil, aku bisa bersepeda dari ruang depan sampai ke ruang makan saking luasnya. Setelah Kakek meninggal dan Nenek mulai sakit-sakitan, pembagian bangunan dimulai. Setiap anak mendapatkan jatah ruang dan tanahnya. Mulailah ada tembok pemisah ruang satu dengan yang lainnya. Kamar Nenek beserta ruang makan keluarga yang luas memanjang telah berubah jadi satu rumah tersendiri milik sepupu. Tiang bambu yang kini aku lihat seingatku diganti dengan tiang beton. Rumah itu akan ditingkat agar sepupu bisa membuat kamar-kamar baru untuk anaknya.

Yang aku lihat sekarang adalah rumah nenek yang masih alami. Rumah yang mengalami masa pendudukan Belanda dan Jepang. Rumah yang konon sempat jadi tempat pengungsian warga di tahun 1945an, baik beragama Islam maupun Kristen. Dapurnya belum dikeramik. Masih berupa tanah dengan kompor yang terbuat dari tungku beserta kayu bakarnya.

Nenek tak menoleh padaku. Ia terus berkutat dengan alat-alat masaknya. Aku merindukan mata biru yang mengabu jelang kematiannya. Aku ingin menghirup dalam-dalam wangi minyak rambut cap urang-aring yang membuat rambut panjangnya begitu lembut. Aku ingin menyentuh setiap senti kulit keriputnya yang putih bercahaya. Kata para paman dan sepupu, aku sangat mirip Nenek di waktu muda. Bedanya, hidung nenek lebih mancung dan bola mataku warna coklat terang. Selebihnya, semuanya mirip.

Aku tak sabar ingin bertanya pada Ken maupun Andri, kenapa kita bisa ada di sini. Di lain sisi, aku juga tak mau mengganggu kemesraan mereka. Mereka tampak saling merindukan.

Ken melingkarkan tangannya pada bahu Andri. Mereka berpelukan. Aku menunggu sampai mereka bisa melepaskan diri sebelum menyela.

Andri batuk-batuk.

Dengan sigap Ken menarik tisu yang terletak di meja dan menyerahkannya pada Andri. Ia menutup hidungnya dengan tisu sambil batuk-batuk. Aku mengkhawatirkan asmanya dan masih penasaran sejak kapan dia merokok.

Saat Andri menjauhkan tisu dari hidungnya, aku kaget saat menyadari, dia Nina. Perempuan. Wartawan lingkungan yang sering maliput soal kasus tanah adat. Dia memang merokok sejak dulu. Hanya saja, aku tak tahu sebelumnya jika Ken dan Nina dekat. Bahkan aku tak tahu jika mereka saling kenal.

Bagaimana mungkin citra Andri di mataku tiba-tiba saja berubah jadi Nina?

Apakah aku begitu mabuk? Atau segalanya memang berubah? Apakah perubahan yang berjalan terlalu cepat ataukah otakku yang berfungsi terlalu lambat hingga aku ketinggalan banyak informasi?

“Aku punya pertanyaan.” kataku setelah Ken dan Nina menyingkirkan tisu-tisu itu.

“Ya?” Kata mereka.

Aku berdiri tegak. Sempat menoleh ke belakang. Nenekku sudah tidak tampak. Mungkin ke tempat cuci piring atau yang lainnya.

“Apakah kalian biasa melihatku berpakaian seperti ini? Dengan kaos, dan hanya bercelana pendek?”

“Kamu memang selalu berpakaian seperti itu jika sedang di Jakarta. Tentu saja kamu akan bercelana panjang jika perlu masuk hutan atau rumah ibadah. Lagipula, ngapain sih kamu tanya soal diri sendiri?” Jawab Nina.

“Aku bingung.”

“Kamu mabuk berat.” Kata Ken.

“Aku bahkan merasa tak pernah minum alkohol.”

“Jangan becanda.”

“Kita ada di tahun berapa?”

“Katamu, ini tahun-tahun di mana kemanusiaan telah mati. Manusia modern lupa berpijak pada bumi. Kamu mengucapkan itu berkali-kali saat mabuk tadi.” Kata Ken lagi. Nina melongo, mengangguk-angguk.

“Dengar. Mungkin ini aneh. Tapi, demi Tuhan, aku melihat Nenekku di sana, dia hidup lagi. Bahkan aku berada di rumahnya. Tapi aku jadi sangat berbeda dari aku yang aku kenal, berbeda dengan aku yang selama ini hadir di dunia. Aku jadi asing dengan diriku sendiri. Bahkan aku sebenarnya tak pernah bertemu dengan Ken, dan langsung tahu bahwa Ken adalah Ken. Aku hanya mengenalmu dari tulisan-tulisanmu di media. Tanpa aku melihat fotomu sebelumnya.”

Mereka tampak khawatir.

Nina menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kamu hanya kebanyakan minum.”

“Ini aneh.” Kataku lebih ke diriku sendiri daripada ke mereka.

Aku berjalan cepat-cepat melintasi ruangan, menghindari tatapan bertanya mereka. Menuju pintu hitam yang tadinya aku kira kain hitam yang biasa dipakai dekorasi teater.

Ruangan berubah.

Aku berada di sebuah aula dengan dinding kaca dan lampu yang terang benderang. Lantainya marmer putih. Tampak licin. Sangat bersih. Ada troli di mana-mana. Orang-orang di sana tampak sangat terburu-buru. Aku menoleh ke belakang, memeriksa pintu yang membawaku di sini. Tapi tak ada apapun di sana. Aku menyesal kenapa aku menuju pintu hitam tadi alih-alih menghampiri Nenekku.

Setelah melihat berkeliling. Aku tahu, ini adalah sebuah bandara.

Seseorang meraih tanganku. Aku tak mengenal wajah dan namanya. Rambutnya pirang sebahu dengan bintik-bintik kemerahan di wajahnya. Dia sangat cantik dan tampak sangat mengenaliku. Matanya yang berwarna Hazel tampak cemas.

“Kami mencarimu dari tadi. Kamu menghilang. Penerbangan kita satu jam lagi. Bisa lebih cepat. Cuaca sedang tidak menentu.” Dia masih mengibarkan tiket di depan wajahku.

“Mau ke mana?”

“Norwegia. Oslo. Kemana lagi? Bukannya kamu yang memesan semua tiket kita? Kok bisa lupa.”

“Kita?”

“Iya. Kita semua. Kita dapat suaka penuh di sana. Apakah kamu sudah selesai bicara pada keluargamu tentang kepergian kita?”

“Sebentar. Aku tidak paham.”

Aneh sekali, dia bicara bahasa yang kedengarannya seperti bahasa Rusia. Dan aku yakin bahwa aku menjawabnya dengan bahasa Indonesia. Otakku otomatis menerjemahkan apa yang dia katakan ke dalam bahasa Indonesia.

“Maksudnya suaka?”

“Kamu buang-buang waktu bertanya tentang hal yang kamu ketahui persis. Kamu juga tampak sangat lelah. Kita berkumpul di gerbang keberangkatan 4. Mari kita ke sana. Ada kursi pijat yang nyaman di sana. Mungkin bisa membantu.”

Aku mengikutinya. Norwegia? Suaka? Dan apa sih maksud orang-orang bule ini?

Kami sampai di ruangan yang lebih kecil, melewati pintu detector metal biasa yang ada di bandara. Aku melihat kakiku sendiri dan takjub, kapan aku sempat mengganti celana pendekku dengan celana panjang ini? Aku masih penasaran, kemana jilbabku.

“Apakah ini nyata?” Tanyaku padanya.

“Tergantung pikiranmu sendiri. Konon apa yang kita alami sekarang ini hanyalah ilusi di dalam kepala kita.”

“Jadi ini alam seperti apa?”

“Kamu mau mencoba mendebatku soal filsafat lagi ya? Kita kan pernah bahas ini. Kamu sudah tahu bahwa aku ini seorang postmo yang meragukan banyak hal. Saat ini satu-satunya hal yang aku yakini adalah ketidakwarasanmu sendiri.”

“Bukan, ini bukan pertanyaan filosofis. Ini pertanyaan yang biasa. Apakah aku bermimpi, atau yang lainnya? Rasanya baru beberapa menit yang lalu aku meninggalkan rumah nenekku dan tiba-tiba aku sekarang berada di Bandara bersamamu, bersama kalian. Dengan alasan suaka yang aku tak mengerti alurnya.”

“Kamu seperti kaum romantis. Seperti orang tua yang merindukan masa kecil anaknya dan berkata, 'Aaaah... Anakku sudah besar. Rasanya baru kemarin aku melahirkanmu'. Begitulah kamu sekarang.”

Dia mendorongku duduk di salah satu deretan kursi pijat elektrik. Tubuhku rasanya tenggelam di kursi yang besar dan empuk itu. Serasa ada banyak tangan yang mencengkeram bahu dan punggungku.

Nyaman sekali.

Rasanya aku tertidur tanpa bermimpi apapun.

Aku bangun dengan sendirinya. Udara begitu hangat. Ada bantal di kepalaku. Rasanya bukan mencengkeram lagi. Tapi hangat. Sangat nyaman. Rasanya aku sulit untuk beranjak. Aku begitu takut saat bergerak semuanya akan berubah.

“Kamu sudah bangun?”

Suaranya berasal dari belakang kepalaku. Begitu menenangkan. Nafasnya berhembus di puncak kepalaku. 

Aku menyadari bahwa sensasi hangat ini timbul karena aku sedang tidur di pelukannya. Dia memelukku dari belakang. Rasanya begitu akrab. Kursi pijat itu telah menghilang entah kemana.

Aku mengangguk pelan. Dia mengeratkan pelukannya.

“Aku suka aromamu, aroma rambutmu, aroma tubuhmu. Apakah kamu selalu harum seperti ini? Merasakan seperti ini bersamamu. Sangat membahagiakan.”

“Aku tidak mengerti.”

“Apa yang tidak kamu mengerti?”

“Rasanya aku tadi sedang bermimpi. Di mimpi tadi aku tertidur. Dan kini, rasanya aku memasuki mimpi yang lain.”

“Mimpi yang lain? Apa maksudmu?”

“Bersamamu. Ini seperti mimpi. Kecuali kamu bisa membuktikan bahwa aku sedang tidak bermimpi.”

Dia mempererat pelukannya. Tangannya melingkar di depan dadaku yang tak berpakaian. Punggungku menempel di dadanya. Tangannya mengelus-elus anak-anak rambut pada keningku.

“Aku melalui hari-hari penuh kesedihan saat aku harus kehilangan segalanya. Ditambah Kamu menyuruhku pergi di saat segalanya serba runyam. Kamu menyuruhku pergi bahkan sebelum aku pernah masuk ke hidupmu.”

“Itu sebuah kesalahan.” Katanya lirih sambil mengecup puncak kepalaku.

Aku menyamankan diri di pelukan lelaki yang aku cintai ini. Rasanya aku baru sekali mendengar suaranya, tapi aneh, aku merasa begitu akrab dengannya.

“Bagaimana jika ini adalah sebuah mimpi di dalam mimpi. Karena aku yakin bahwa kamu belum memutuskan untuk kembali. Ini bukan kenyataan. Mungkin aku sedang terperangkap di dunia mimpiku sendiri.”

“Jika ini mimpi atau bukan, apakah akan mempengaruhi kebahagiaanmu?”

“Tentu saja,” kataku dengan nada merajuk, “saat aku bangun tidur dan menyadari kebersamaan ini hanyalah mimpi, itu berarti buah dari keputusasaanku karena ketidakhadiranmu selama ini. Aku sampai bermimpi aneh.”

Kita diam selama beberapa waktu.

“Panasmu sudah turun.” Katanya. Memecah keheningan.

“Apa aku demam?”

“Iya. Kamu juga banyak mengigau.”

Masih sambil memunggunginya, aku mengarahkan tangan kiriku yang bebas ke pipinya. Nafasnya terasa terasa hangat dan menenangkan di telapak tanganku. Jika ini mimpi, rasanya terlalu nyata.

“Aku ingin melihat wajahmu.” bisikku.

“Kenapa?”

“Rindu.”

“Aku ada di sini,” katanya sambil berbisik juga, “berbaliklah.”

Aku membalikkan tubuhku, kepaku tepat berada di dadanya yang bidang.

“Aku mencintaimu. Kamu membuatku begitu sedih ketika kita berpisah.”

Ia menghembuskan nafas pelan-pelan. Dengan mantap, ia berkata, “Tak akan terjadi lagi. Janji.”

Aku menenggelamkan kepalaku di dadanya. Harum. Aku mendongakkan kepalaku pelan-pelan. Siap bertatap mata dengan lelaki yang aku cintai ini.

Tapi sosok yang mendekapku berubah. Aku berada dipelukan seseorang yang mencintaiku. Bukan lelaki itu. Aku sedang berada di pelukan Ibu. Ibuku.

Aku memandanginya lekat-lekat. Memastikan bahwa mataku tak salah tangkap. Memang Ibu.

Mungkin aku tak pernah benar-benar menatap mata lelaki itu.

Ibu mengecup keningku, “Kamu pergi lama sekali.”

“Begitukah? Tapi aku merasa, segalanya berjalan terlalu cepat dan aku kehilangan sesuatu yang bahkan tak benar-benar pernah aku miliki. Kenapa Ibu merasa bahwa aku pergi terlalu lama?”

“Beritahu Ibu,” nadanya mengandung senyum. Nada yang sama seperti saat pertama kali aku bisa membaca sebuah kalimat di usiaku yang sudah 7 tahun, “sejak kapan kita bisa kehilangan sesuatu yang bahkan tak pernah kita miliki?”

“Mungkin seharusnya di dunia ini ada sesuatu yang menetap. Sehingga sesuatu itu bisa bersama kita, dan jadi milik kita. Menemani kita. Atau, apakah ternyata selama ini kita hidup tidak untuk apa-apa dan terus menerus tak punya apa-apa? Untuk apa kehidupan kalau begitu?”

“Jika kamu tak punya, lalu merasa punya, dan kemudian tak punya lagi, artinya itu bukan milikmu. Kita memang tak punya apa-apa. Merasa punya hanya mencipta penjara. Hei, bukankah berkali-kali kamu bilang sendiri bahwa kamu benci mencipta berhala? Barangkali berhala adalah hasratmu sendiri saat merasa memiliki sesuatu. Masalahnya, apakah kita benar-benar pernah memiliki sesuatu?”

“Aku punya Ibu,”

“Suatu hari Ibu pun akan pergi. Dalam bentuk kematian, atau apapun bentuknya. Dan kamu harus berdiri di kakimu sendiri tanpa Ibu. Tanpa segala sesuatu yang selama ini kamu anggap milikmu.”

“Jika itu terjadi, aku tak pernah benar-benar kehilanganmu. Bukankah kenangan tentang Ibu akan kekal di hatiku?”

“Mestinya itu kamu terapkan jika kamu mulai merasa kehilangan orang-orang dan sesuatu yang kamu cintai. Mereka yang pergi, tak pernah benar-benar pergi. Mereka kembali. Kadang hanya berupa kenangan, mungkin juga dengan bentuk yang berbeda. Kadang hanya kamu yang merasakan, atau kadang hanya mereka yang merasakan. Kadang kalian mungkin saling memikirkan diam-diam. Ingat. Yang pernah singgah, tak akan benar-benar pergi.”

“Begitukah?”

Ibu mengangguk.

“Akan menyakitkan mengingat kenang saat semuanya pergi. Kebahagiaan yang pernah kita rasakan rasanya tak pernah kembali.” Kataku lagi.

“Setidaknya, dengan kenangan itu, kamu mengingat bahwa kamu pernah bahagia.”

Ibu mengelus rambutku. Usianya sudah tua, tapi wajahnya masih begitu muda. Aku mengagumi bentuk keningnya yang halus tanpa cela. Kening warisan Nenekku.

“Apakah pembicaraan kita ini adalah mimpi?” tanyaku lagi.

“Tergantung apakah kamu ingin menjadikannya sebagai sebuah kesadaran baru, ataukah hanya kau anggap sebagai mimpi yang remeh temeh.”

“Bagaimana caranya membedakan apakah yang sedang kita alami ini mimpi atau bukan?”

“Saat seseorang tiba-tiba tertimpa kesulitan atau tiba-tiba mendapatkan keberuntungan, mereka akan berkata seolah-olah sedang bermimpi. Kamu barangkali memang sedang bermimpi, tapi kamu bisa mewujudkannya. Ingatlah, hanya orang tertidur yang bermimpi. Jika kamu memasuki terlalu banyak mimpi, yang harus kamu lakukan adalah bangun. Sadar. Atau kamu akan terus terperangkap di dalamnya. Terperangkap di hidup yang seharusnya tidak perlu kamu jalani.”

Aku menyimpan kesimpulan itu untuk diriku sendiri. Rasanya aku ingin kembali ke kursi pijat empuk di bandara yang menenggelamkanku tadi. Rasanya aku ingin kembali ke pelukan hangat milik lelaki yang aku cintai tadi. Rasanya aku juga ingin kembali memandangi punggung Nenekku yang sibuk di dapur. Tapi aku menyadari bahwa hal realistis yang paling bisa aku rasakan saat ini hanyalah pelukan ibuku.

“Kamu sudah siap untuk bangun.” Kata Ibuku, “bangunlah.”

Tubuhku mengejang. Mataku terbelalak. Aku meraba-raba sekitarku dan menemukan ponsel yang dilayarnya menunjukkan angka 04.38. Barangkali apa yang baru saja aku lakukan hanya mimpi yang lain.

Yang perlu aku tahu adalah, ini waktu yang tepat untuk sadar dan bangkit dari kungkungan yang aku ciptakan sendiri.

Surreal underwater photography by Mallory Morrison


Kalibata, 9 Juni 2015