Sabtu, 17 Oktober 2015

Penari Api

"Kau sudah lama memandangiku dari jauh ketika aku pikir, aku sedang sibuk mencarimu."

Berulangkali aku bertekad untuk menggunakan kemahirku dalam berpura-pura tidak peduli. Tapi tak bisa. Ada nyala di dalam dada yang sulit padam. Ada panas menggeliat yang terperangkap dalam gelisah dan kian sulit ditenangkan. 

Aku sudah berlatih untuk tenang sejak pertama kali kita bertemu.

Saat itu, aku sibuk mengabaikan tanganku yang bergetar saking paniknya harus bagaimana saat berjumpa nanti. Aku menahan diri untuk tidak bernafas terlalu keras demi mengontrol derasnya aliran darah yang melintasi arteri hingga jantungku. Aku tak tahu apakah cara tersebut cukup ampuh, aku bahkan tak sempat memikirkan apakah mekanisme biologis itu sudah tepat atau meleset. Karena otakku rasanya membeku untuk beberapa saat. Sejenak, aku lupa caranya berpikir. Aku mencoba sekeras mungkin untuk memerintahkan otakku bekerja. 

Saat itu, aku berharap bisa memikirkan beberapa skenario yang mungkin terjadi dalam 5 sampai 10 menit ke depan, sejak pertama kali aku melangkahkan kaki di kotamu.

Skenario pertama. Begitu bertatap muka, kita akan bersalaman. Kita mulai bertukar senyum gugup sambil berbasa-basi soal cuaca dan perjalanan. Kemudian kau akan langsung mengantarkanku ke penginapan. Tanpa turun dari mobilmu, kau akan melambaikan tangan sambil berkata, "Sampai besok ya..."

Skenario kedua. Kita bertemu, kemudian masing-masing dari kita akan membungkuk dalam-dalam sambil berkata "Senang bertemu denganmu" dengan kikuk. Tak ada yang sepakat siapa diantara kita yang akan memecah kebekuan. Kau mengantarku ke mobilmu seperti yang biasa kau lakukan jika kau harus menjemput seseorang dari bandara. Kita berdua akan membisu sampai aku mengantuk dan jatuh tertidur. Beberapa saat kemudian, kau membangunkanku dengan kalimat, "Bangun. Sudah sampai di penginapanmu. Sampai jumpa besok." Aku menyempatkan diri mengikuti mobilmu lewat ekor mataku sebelum masuk ke penginapan. Aku akan berdiri di sana hingga mobilmu benar-benar hilang ditelan malam.

Skenario ketiga. Kau akan buru-buru menghampiriku. Kemudian kau akan membawakan tasku yang berat sambil berlaku sesopan yang kau bisa. Tak lupa, kau juga akan bertanya apakah aku lapar, karena kau sudah menyiapkan makan malam romantis walau barangkali itu terlalu cepat untuk kita. Sebenarnya aku tidak lapar, tapi toh akhirnya akan mengiyakan saja segala yang kau tawarkan. Setidaknya itulah yang akan aku lakukan untuk menimbulkan kesan bahwa aku telah mengapresiasi caramu menyambutku. Skenario itu tidak terlalu buruk di kepalaku. Lebih seperti picisan. Tapi, hey, apakah aku baru saja berharap ada sebuah makan malam romantis? Rasanya ini terlalu cepat. Ini gila. Tapi mungkin saja. Bukankah hal terbaik yang bisa terpikirkan adalah jangan berharap apapun dulu? Jangan. Aku meralat pendapatku sendiri. Skenario ini buruk, tapi, siapa tahu kau memang sudah menyiapkan segalanya dengan manis? Aaah... Sudahi saja drama ini.

Skenario keempat. Kau memilih berdiri di dekat mobilmu. Kau melihatku tampak kebingungan dari jauh. Tapi kau juga terlalu malas untuk berjalan. Kau memilih untuk melambaikan tangan dari jauh. Kita akan melempar kata "Hai" dengan cara yang paling singkat. Kau akan menyuruhku masuk begitu saja ke mobilmu. Aku sudah gugup setengah mati. Sebagai orang yang tidak ingin tampak amatir dalam menyikapi pertemuan pertama, aku akan menutupinya dengan bicara sebanyak mungkin dengan berbagai topik yang sebenarnya tidak aku kuasai. Aku terlalu khawatir kau mendengar kerasnya degub jantungku. Jika ini benar-benar hal yang aku lakukan, apakah kau akan berpikir bahwa aku perempuan cerewet yang membosankan?

Aku tak sempat memikirkan soal skenario kelima ketika kau menelepon ponselku. "Dimana?" tanyamu saat itu.

Aku mendeskripsikan lokasiku. Kau mengarahkanku untuk berjalan ke sana dan ke mari. Kemudian kau menutup pembicaraan sebelum aku menemukan sosokmu. Aku masih mengedarkan pandanganku ke segala arah ketika kau melambaikan tanganmu dari jauh. Dan setelahnya, terjadilah peristiwa seperti skenario keempat. Bedanya adalah, tidak ada kata "Hai". Aroma mobilmu sudah cukup menenangkan degubku. Suara radiomu meredam debarku. Sepertinya aku berhasil menenangkan diri sendiri. Ini lebih mudah dari yang aku duga. 

Mungkin kau tidak memperhatikan bahwa aku berusaha mati-matian memecah keheningan. Aku memanfaatkan kelihaianku dalam berkomentar tentang segala sesuatu. Alih-alih berbicara soal kita dan panjangnya penantianmu, aku memilih untuk berkomentar tentang hal yang tidak penting. Mulai dari pesawat, bandara, jalan tol, lampu, pajak, pantai, tata kota, pariwisata, pemerintahan, baliho, dan apa saja yang sekiranya tidak membuatmu diam. 

Saat itu, aku begitu lelah dan mengantuk. Tapi di sisi lain, aku begitu bersemangat untuk berkata apa saja denganmu. 

Kau lebih banyak menghindari tatapanku saat itu. Beberapa kali kau tersenyum tanpa aku tahu sebabnya. Mungkin kau sama gugupnya denganku. Tapi aku lebih ahli dalam berpura-pura untuk tidak memperlihatkannya.

Bahkan kau membuat meja kita bergetar dengan gerakan kakimu yang kikuk saat kita duduk berhadapan di sisi pantai yang tak berangin. Aku tertawa sendiri membayangkan gerakan kakimu di meja yang bagiku mirip penjahit dengan mesin tuanya yang perlu dikayuh secara manual. Aku mengingatkanmu dengan nada sedingin mungkin seolah gerak kakimu mengganggu ketenanganku. Dan kau menyambutnya dengan menghisap rokok. Oh ya, bukankah kau berkata padaku sebelumnya bahwa kau bukan perokok?

Tunggu dulu, aku hampir mengingat segalanya. Semuanya. Walau tak mungkin dituliskan detailnya di sini. Kau tahu kan sebabnya?

Sejujurnya, aku tak suka hidangan yang di sajikan di sana. Aku sudah mengatakan itu padamu. Tapi aku tak mengatakan bahwa saat itu aku suka caramu tersenyum sambil mengalihkan pandangan tiap kali ada sesuatu yang kau anggap lucu. Aku tak suka dengan kumis dan jambang berantakanmu yang lebih mirip berandal tengik. Tapi di sisi lainnya, aku suka sekali nada bicaramu yang aneh dan sering aku tirukan. Aku tak suka posisi dudukmu yang membungkuk saat menyetir. Tapi aku selalu suka kebersamaan kita di sana. 

Oh ya, sebenarnya aku juga tak suka saat kita makan siang bersama esok harinya. Kau menambahkan terlalu banyak kecap serta perasan jeruk nipis di mangkuk supku. Lalu dengan lancang, kau mencicipnya. Tak ada seorangpun yang pernah melakukan itu padaku. Aku tak suka ide soal semangkuk berdua dengan seseorang yang belum lama dekat. Tapi kau bilang supku sudah enak dan siap santap. Aku begitu ragu untuk mencicipnya. Untunglah, kali ini kau benar bahwa sup itu memang lebih enak dari sebelumnya. Entah, selalu ada perasaan untuk tak sependapat denganmu.

Aku ingin menemukan sebanyak mungkin hal yang tak aku suka darimu. Namun, setiap kali aku melakukannya, rasa manis yang kita ciptakan bersama dari kehangatanmu melintas. Mengingatnya, serasa ada yang sedang memeras jantungku. Melumat ulu hatiku. Membakar ego yang mengental di kepalaku.

Kau tahu, Alis tebal di atas bola matamu yang mirip dengan warna mataku beserta beberapa helai perak yang bersembunyi malu-malu di rambutmu itu berhasil memaku gerakku untuk melangkah pergi.

Aku akan tersenyum kecil tiap ingat perlombaan kita tentang siapa diantara kita yang matanya lebih besar dan siapa diantara kita yang matanya lebih coklat. Tentu saja aku pemenangnya. Namun, kau tak mau kalah.

"Hidungku lebih mancung dari hidungmu," katamu.

"Iya sih..." jawabku, "tapi hidungmu seperti landak, terlalu banyak komedo yang bercokol di atasnya. Lagipula, bulu hidungmu terlalu panjang."

Kau akan cemberut sambil bercermin, kemudian membenarkan perkataanku. Dengan polos, kau berkata bahwa selama ini kau tak pernah memperhatikan soal panjangnya bulu hidung. Aku memperhatikannya diam-diam sambil tertawa puas dalam hati.

Pelan-pelan, aku terbiasa dengan segala tentangmu. Termasuk tahi lalat di pipimu, rambut anti gravitasimu, kacamata melorotmu, baju bergaris yang membuatmu terlihat makin lebar, perut buncitmu, segalanya.

Oh ya, apakah aku sudah memberitahumu bahwa tahi lalat di wajah sering menjadi perumpamaan dalam puisi sufi tentang keindahan Tuhan? Apakah aku juga sudah memberitahumu juga bahwa aku menahan tawaku tiap kali kau hampir menangis haru karena mendengar lagu kebangsaan diputar di TV, radio, dan di manapun?

Kita tidak pernah benar-benar berlari. Tapi bagaimanapun, kita telah sampai sejauh ini. Belum terlalu jauh. Tapi, mari kita berandai-andai tentang perjalanan selanjutnya, akan seperti apa.

Sebelumnya, aku ingin bertanya padamu tentang beberapa hal.

Bagaimana jika lengkung indah pelangi yang kau kejar ternyata tak berkaki dan tak pernah ada ujungnya? Mengapa kau menciptakan bayanganmu sendiri hingga kau lupa bagaimana percaya pada yang nyata? Bagaimana rasanya sibuk memahat khayalmu sendiri hingga lupa bahwa setiap lekuk indah yang tercipta di sana menyimpan perih di setiap sisinya? 

Sepertinya kita berdua juga dihantui oleh sesuatu yang berbeda. Kita dicekam oleh ketakutan yang kita ciptakan sendiri. Kita begitu takut melangkah karena khawatir akan terjebak pada mimpi buruk. Kita begitu merisaukan segala hal tentangnya sampai lelah. Hingga kita berdua lupa caranya saling menguatkan.

Aku tak pandai menawarkan keindahan pada seseorang yang telah lama bersabar atas keacuhanku.

Tapi, bagaimana jika kau aku ajak menjadi penari api bersamaku? Bukankah selama ini kau senang melihatku menari? Apalagi, kau memang selalu membiarkan aku menari sendirian. Kali ini, aku ingin benar-benar mengajakmu menari. Berdansa denganku bagai geliat api di atas panas baraNya.

Kelak, aku ingin berpijar, menyala, hingga mengabu bersamamu. Dan semoga saja, segalanya demi terang di jalanNya.