Senin, 16 Juli 2018

Setelah Gaduh

Dunia kita mendadak gaduh. Telinga kita penuh oleh tanya dan tuduhan-tuduhan. Sementara kepala juga terlalu sesak dengan suara-suara kebencian. Kau yang sengaja begitu, atau aku yang memang membuatmu begitu. Kita berdua saling tikam, lalu menimbang-nimbang darah yang tercecer dari luka itu.

Kita mungkin jadi dua orang yang saling menyesalkan hal yang sudah-sudah. Kau bilang urat malumu hampir putus, aku bilang urat nadiku yang putus. Kita sudah berusaha untuk saling membalut luka. Menghangatkan gigil dalam dekap ibu, menguatkan kepala dalam belaian lembut ayah. Kita berdua kalah oleh keadaan. Aku yang bertahan hidup dengan obat, kau yang mencoba selamat dengan infus di tangan. Kita berdua pesakitan yang sama sekali tidak baik-baik saja.

Aku pikir, babak belur kali ini adalah sebuah tanda babak selanjutnya. Tapi ternyata itu hanya berlaku padamu. Kau selalu kuat dan indah dengan semua daya hidup yang selalu membuatku mencintaimu dengan sangat, berkali-kali. Sedangkan aku terus tersengal-sengal di jurang kematian. Aku masih takut untuk terjun, tapi terlalu enggan terus berada di puncak keputus-asaan.

Hidupmu berjalan. Kau tak kehabisan aksara untuk digadaikan. Dari dulu, aku sudah tahu bahwa kau lebih kokoh dariku. Tapi kita bermain peran sebagai dua orang yang saling menyembuhkan. Kau akan berbicara dengan dokterku sementara di hari lain, aku akan memasakkan sup krim atau kare ayam Jepang favoritmu saat kau demam.

Kita tak pernah benar-benar saling menguatkan sayang...

Aku membutuhkanmu karena aku begitu rapuh. Kau mempertahankanku berkali-kali karena kau gamang. Kita berdua adalah infeksi dari dua luka.

Suatu hari... Jika masih ada hari... Aku ingin bicara padamu sambil duduk di rumput, memakan bekal makanan yang telah kusiapkan untukmu dan tanpa tangis. Aku pernah bahagia dan memang salah mengira bahwa itu selamanya. Tapi bukan berarti aku tak berterimakasih atas segalanya.

Selama ini, aku adalah seorang nyinyir dan pembangkang di depanmu. Kau juga harus akui bahwa kau melakukan pembangkangan-pembangkangan di balik punggungku. Kita bukan dua orang yang saling menggenggam. Kau bersembunyi dalam diam, aku berteriak dalam keputus asaan.

Sementara, kita saling mengawasi dari kejauhan. Kita perlu sembunyi di ketiak ibu masing-masing yang luar biasa baik bagi kita berdua. Ibuku dan ibumu memang bidadari jatuh ke bumi yang jadi peneduh kita.

Jelang tidurmu, ingat-ingatlah aku yang setiap malam diam-diam memintamu untuk sikat gigi dan membersihkan wajah dengan sabun. Jangan lupa mengganti pakaian rutin dan sering-seringlah makan sayur. Aku tak masalah dengan siapapun teman makanmu. Aku juga tak mengapa jika kamu mengajak orang lain makan ke warung tenda sup kaki kambing, sate taichan, maupun sop konro kesukaan kita. Ajaklah seseorang ke festival musik yang kau sukai. Kita pernah sangat bahagia di tempat-tempat seperti itu. Jika rindu, dengarkan lagu klasik dan musik elektro pop kesukaanku (kau tahu betul soal itu dan menjadikan salah satu musik favoritku sebagai rujukan tulisanmu. Untuk ini, terimakasih!).

Bukan berarti, aku benar-benar tak ingin lagi kita bersama. Atau aku lupa cara bahagia denganmu. Tapi mungkin kita tak bisa bertemu lagi. Mungkin baik bagiku jika berpindah ke dunia yang lain. Dunia yang asing dan barangkali lebih menyeramkan. Tidak sepertiku, kau selalu punya mimpi, wujudkanlah.

Aku akan mengecup keningmu diam-diam seperti biasa jika memungkinkan. Jadi, baik-baik ya. Kau harus tahu, setiap tetes darah yang berasal tebasan pedang darimu selalu berdesir ngilu seolah berkata, "aku menyayangimu."

Minggu, 15 Juli 2018

Sadness

Maybe, some people wasn't allow to be happy. I'm one of them. Period.