Senin, 17 Juni 2013

Tradisi Purba itu Bernama Makan Bersama

Saat itu, di akhir kelas Mata kuliah Sejarah Pergerakan Islam, Dosen ku, Pak Luthfi Assyaukanie sudah mengumumkan kalau itu kelas terakhir kita. Aku nyeplos, "Pak, sebelum UAS nanti kita makan-makan donk... Yuk pak yuk"

Pak Luthfi jawab, "Boleh juga, tolong nanti kita koordinasi ya. Mau makan dimana??"

"Enaknya dimana Pak? Langganan Bapak?"

"Ya udah, Ke Bumbu Desa Cikini saja, saya suka itu yang ruangan atasnya. Suasanya oke. Tolong kamu reservasikan restoran Bumbu Desa Cikini itu, gimana?"

"Oke pak." Jawab ku. Disambut kata-kata "Asiiik" dari teman-teman yang lain.

Akhirnya, aku mengorganisir kegiatan tutup kelas itu. Tentu saja, Pak Luthfi yang akan mentraktir kita semua sekelas. Jumlahnya sekitar 12 Orang. Jarkom teman-teman dan reservasi tempat via telpon sudah. Tinggal datang aja. Kita ibarat sedang dalam sesi "The Last Supper", 1 Guru dan 12 orang murid nya makan berderet di sebuah meja panjang dengan berbagai lauk pauk khas Bumbu Desa. 

Malam itu, Kak Misbah dateng telat. Dia jauh-jauh dateng dari Bogor katanya, hanya untuk mendatangi undangan makan itu. Dia juga harus naik Taxi entah dari mana untuk sampai di lokasi acara. Ongkos taksi pulang pergi dengan harga makanan yang dia makan itu lebih mahal ongkos taxinya, Dia bilang di taxi pas kita pulang bareng (Aku nebeng pulang sampai gang depan kostan, karena dia senior jurusan, pastilah, dia yang harus bayar Taxi :P), "Gue tu selalu menghargai orang yang ngajak makan. Tradisi makan bareng itu tradisi purba yang harus selalu di junjung tinggi. Dengan ngundang makan bareng, satu sama lain itu nunjukin respect nya. Kayak keluarga gitu. Peradaban mana coba yang nggak ada tradisi makan barengnya?"

Aku pikir, benar juga! Aku senang dengan istilah yang digunakan kak Misbah, Tradisi Purba. Nggak semua yang Purba itu buruk. purba, tradisional, antik atau apapun Istilahnya memang lebih aku minati daripada sesuatu yang bersifat modern. Sama seperti orang-orang penganut tradisional yang menganggap tidak ada yang buruk dengan kata Tradisional. Bahkan Dosen Mata kuliah Kosmologi ku, Pak Bagir bilang bahwa sesuatu yang sifatnya menuju Ilahi itulah yang disebut dengan tradisional. Lihat saja sesuatu yang tradisional itu cenderung lebih memiliki kearifan daripada sesuatu yang bersifat modern. Oke, tentang ini masih debatable ya. Apalagi bagi mereka yang membanggakan semangat Modernisme. Mungkin bisa dibahas secara khusus. 

Kembali ke persoalan makan bareng. Aku juga lebih senang makan bareng daripada harus makan sendirian. Aku yang lahir dari keluarga besar (7 bersaudara) sebelumnya sudah terbiasa dengan "ritual" makan bersama. Aku terlalu senang dengan tugas masak untuk makan bersama, menyediakan piring, nasi lauk pauk, minum dan kobokan cuci tangan untuk orang tua. Dulu, sebelum kakak-kakak ku menikah, anak yang tertua yang jadi penanggung jawab ritual makan itu. Tapi karena semua kakak cewek ku sudah menikah, jadi aku yang sekarang melakukan tugas itu kalau kita akan makan bersama. Biasanya, kita semua tidak akan mulai makan kalau ada salah satu anggota keluarga yang belum duduk manis disekitar makanan. Ibu atau bapak akan "berisik" memanggil siapa saja yang belum duduk di sekitar makanan. Kalau memang sedang melakukan pekerjaan yang tidak bisa ditinggal, aku atau kakakku akan makan di sampingnya, menyuapi supaya judul "makan bareng" nya tetap bisa dipakai. Bahkan kalau dia sedang tertidur sekalipun, selalu ada yang menyuapi. Jadi seringkali, aku menyuapi adik-adikku yang sedang tidur dan mereka bisa dengan lahapnya tidur sambil mengunyah makanan. Biasanya mereka kira kalau mereka sedang bermimpi makan. 

Waktu aku sudah SMA pun, bapak ku masih suka menyuapi ku waktu aku tidur. Terutama kalau aku ngambek sama orang tua (lebih sering sama Ibu dulu :P ), aku akan memulai aksi mogok makan, terutama makan malam. Bapakku, jadi orang yang setia menyuapi ku saat tidur. Lagipula dalam keadaan ngambek, aku nggak akan mau makan. Kekanak-kanalam ya... Emang sih... :P

Kemudian 3 tahun ini, aku harus tinggal sendirian di kost. Beribu kilometer jauhnya dari keluarga. Sekarang, yang aku anggap keluarga lah yang biasanya menemaniku makan. Misalnya sahabatku, Rasyid, Ikang, Miftah, Mbak Wahyu (makanya, sedih sekali rasanya saat dia pindah kostan, kalau inget dia nggak ada di kamar sebelah pada malam hari, masih suka nangis TT_TT ), temen-temen kampus Paramadina, dan yang baru-baru ini, aku seringnya makan bersama orang-orang di Kantor ABI. Rasanya, seperti menemukan keluarga disini. Dengan sebuah tradisi purba, Makan bersama.

Makan bersama itu adalah moment dimana aku menemukan lagi keluargaku. Bahkan, ada saat-saat dimana teman-teman ku nggak bisa menemaniku makan. Membuat ku merasa kesepian sebatang kara. TT__TT

Ada juga saat-saat aku nggak bisa makan kalau nggak ada temannya. Misal, waktu lagi sakit (nggak sekedar pengen makan bareng, tapi juga pengen banget disuapin) atau pas PMS. Lebih baik aku nggak makan daripada harus makan sendirian. Karena seolah makanan itu nggak ada rasanya. Hambar.

Sebenarnya persoalan makan itu sederhana. Tiap hari, selama kita hidup, kalau nggak ada halangan kita semua juga pasti makan. Tradisi saling traktir dan mengajak orang untuk makan bersama juga bagian dari kebudayaan yang sering kita sepelekan. Memang, rasanya cuma hal biasa saja, yaitu persoalan makan. Tapi hal itu jadi serius apabila ada orang yang untuk makan saja susah. Padahal, sekali lagi, makan itu hal yang sepele, namun tidak semua punya akses untuk itu. Makanya, salah satu hal yang aku syukuri adalah, aku masih punya banyak akses untuk diajak makan bersama, atau mengajak orang makan bersama. Karena, menyakitkan bagi kita, apabila karena keterbatasan kita, kita atau orang-orang sekitar kita mengalami  persoalan seperti susah untuk makan. 

Bukan masalah tentang nebeng makan kemudian kita bisa menghemat anggaran kita. Tapi sekali lagi, ini tentang tradisi purba yang sifatnya universal dan ada dalam tradisi peradaban manapun di dunia yang harus dilestarikan. Jangan sampai, saat perut kita kenyang ada orang yang secara geografis dekat dengan kita yang kelaparan. Makan bersama juga bisa mencairkan suasana dan menambah keakraban.  Karena itu jadi salah satu cara untuk menghindarkan kita dari sifat Individualistik.

Setuju?

Note :
Tulisan kecil ini untuk Keluarga ku teman-teman ku yang sering menemaniku makan. Rasyid, Miftah, Ikang, Mbak Wahyu, Temen-temen Falsafah (Nila, Bang Misbah, Kak Sofyan, Halim yang sering nraktir), Temen-temen di ABI (Taqi, Mas Mono, Murdali, Bagir, Pak Agus, dll) dan Ustad2 di ABI yang memperhatikan "pasukan" nya di kantor dalam hal makan bersama (Ustad Fatah, ustad Syafinnudin, Ustad Ahmad dll), temen-temen Facebook yang ngajakin kopdar dan akhirnya nraktir, dan temen-teman yang tidak dapat disebutkan namanya satu-satu. Terimakasih telah ambil bagian dari tradisi ini. ^^, (Serasa ngucapin ucapan makasih setelah dapat Academy Award deh :P)

Minggu, 16 Juni 2013

Tentang Anak Nakal di Mata Supir Angkot Ciputat

Sore itu, dalam perjalanan dari pasar Ciputat menuju pasar Jumat setelah pulang dari Pamulang, aku naik angkot D 01. Aku bisa sapai sana karena janjian dengan teman yang tingal di Pamulang untuk melakukan interview dengan seorang aktivis pendidikan untuk majalah Edukrasi. Angkotnya masih lega. Di kursi depan, ada seorang Ibu dan anak lelakinya yang memakai seragam SD. 

Awalnya suasana angkot tenang. Lalu lintas sore itu juga lancar. Aku hampir tertidur karena duduk di jendela yang mengirimkan angin sejuk sepoi-sepoi di tengah panasnya Ciputat. Sampai terdengar suara bentakan dari kursi depan tepat di samping Supir, "INI ANAK NGGAK BISA DIEM DEH!!! DARI TADI ISENG AJA. DIEM BENTAR APA!!!"

Tidak hanya aku yang kaget dengan ucapan Ibu itu. Tapi semua penumpang dan supir angkot juga kaget.

"Kenapa bu?" Tanya si Sopir angkot.

"Ini lho, anak ini dari tadi tangannya nyelip-nyelip terus di badan saya. Dibilangin dari tadi diem kok masih nakal aja. Nggak tau apa lagi istirahat!!"

Si anak diam saja. Aku dengar dari mbak-mbak yang duduk di sampingku yang berbisik ke teman di sampingnya, "Padahal anaknya cuma nyandar-nyandar doang tuh tadi."

Sambil menghisap rokonya, Supir bilang, "Ya namanya aja anak-anak bu, wajar kalau nakal. Kalau dia nggak nakal, berarti dia nggak pintar."

Ibunya malah melotot ke Supir angkot, "Situ nggak tau sih, Ini anak nakal banget di sekolah. Orangtua-orangtua yang lain dan guru-guru di sekolahnya pada ngeluh semua sama kenakalannya. Udah nakal, nggak ranking juga sekolahnya. Saya kan malu pak. Udah dibilangin berkali-kali masih aja nakalnya amit-amit!"

"Anak yang nggak nakal malah justru bodoh bu. Kan kalau nakal artinya dia aktif, dia sehat. Orang tiap hari kita kasih gizi, kita kasih susu kok, ya gerak aktif lah dia. Makin sehat anak, makin nakal dan malah susah kita kendalikan. Soalnya kan dia penuh energi. Kan banyak itu, orang-orang pinter yang sukses dulunya nakal banget pas kecil. Kalau nggak mau anak bergerak aktif, kasih aja racun, diam dia nanti. Nggak bakalan gerak-gerak lagi. Hahaha..." 

"Situ mah nggak ngerti kasusnya! Kalau emang saya ketemunya sama orang kayak situ yang maklum sama anak nakal itu mah enak. Kan nggak semua orang ngerti. Tapi dia nih..." Ibu itu menoyor kepala anaknya "...udah bikin malu saya di sekolahnya sama di lingkungan rumah saya gara-gara nakal. Dikiranya saya nggak bisa ngajarin. Nakal ya nakal aja, jangan sampai bikin malu saya segala."

Supir angkot terkekeh lagi, mungkin dia menertawakan nada tinggi Ibu-ibu itu atau tertawa untuk hal lainnya, Ia menjawab, "Ya kan tadi saya udah bilang bu, kalau nggak mau anaknya aktif, nggak usah dikasih gizi sama susu. Biar dia diem aja. Nggak gerak lagi. Anak-anak saya juga nggak ada yang rangking di kelas. Biasa aja tuh. Tapi saya mah seneng kalau anak saya nakal. Berarti dia berani. Kalau mereka mau ancurin barang-barang, ya ancurin aja. Kalau mereka di labrak orang, saya suruh dia bales, jangan mau dipukulin anak lain tapi nggak ngebales. Kalau nggak gitu, dia bodoh nanti. Saya omeli kalau dia pulang ke rumah karena nangis karna kalah berantem. Saya omelin dia kalau ada anak tetangga yang nangis karna kalah berantem sama yang lainnya tapi dia nggak belain. Kalau ada yang nyubit, saya suruh bales nyubit. Tapi saya kasih tau dia, asal dia nggak boleh mulai duluan. Kan masih anak-anak. Kita kasih cara biar berani. Nanti kalau gede biar nggak memble. Kalau dia udah gede nanti, biar dia belain orang yang nggak bisa bela diri sendiri."

Ibu itu keliatan kesal mendengar ceramah dari bapak supir angkotnya, "Laki saya tu orang Jawa pak. Tau sendiri orang Jawa itu kerjaannya jaim (jaga image) terus. Kalau ada laporan dari orang karena nakalnya anak saya, yang diomelin saya. Situ nggak ngerasain kawin sama orang Jawa sih. Situ nggak ngerti."

"Ya udah, Ibu kasih racun aja biar dia nggak nakal lagi. Ngapain kita kasih makanan bergizi kalau kita nggak mau anaknya aktif. Saya kasih tau ni bu, makin susah diatur, biasanya anak itu pinter. Tanya orang-orang sukses noh, mana ada yang pas kecilnya nggak nakal." Dia terkekeh lagi sambil menghisap rokok yang tinggal 2 cm dan membuangnya keluar jendela.

Angkot sampai di Pasar Jumat. Aku harus turun untuk melanjutkan naik Kopaja P 20 yang akan membawaku ke Mampang. Sayang sekali, aku tidak bisa mendengar jawaban Ibu itu kepada Supir angkot yang selalu Ia sebut dengan "Situ". Yang jelas, aku rasa, supir angkot tadi lebih arif dan manusiawi ketika menghadapi kelakuan anak yang nakal dibanding si Ibu. 

Saat mengulurkan uang 3000 sebagai ongkos angkotnya, aku melihat si Ibu masih cemberut, dan si anak yang baru saja Ia omeli tampak kecil mengkerut di samping Ibunya. Entah sudah berapa kali Ia diomeli karena dianggap nakal. Yang jelas, harapan ku terhadap anak itu sama seperti supir angkot itu. Semoga benar, kenakalannya adalah tanda dari kecerdasannya. 

Ibu Aminah, Saksi Hidup Potret Suram Tragedi Tanjung Priok '84 (Bagian 2)

Setelah pertemuan dengan kakak kandungnya, Bu Aminah dibawa ke Rumah Sakit Jiwa. Masa tahanan 45 hari dengan kondisi sel yang sangat buruk membuat psikis dan mentalnya dianggap terganggu, saat ditanya apa yang saat itu dirasakannya saat memasuki RSJ, Ibu Aminah dengan yakin menjawab, “Saat itu saya sadar betul bahwa sebenarnya saya tidak gila. Namun saya harus bersikeras untuk melawan bisikan-bisikan tentang Kapten Budi Utomo. Saya selalu berkata ‘Laa! Uhibbullah Faqat!’  (Tidak! Saya hanya mencintai Allah) setiap kali bisikan tentang, ‘Terima saja Kapten Budi, kamu bisa hidup enak nanti’ itu datang. Istilah jawanya, saat itu saya dipelet. Namun tidak ada yang mengetahui hal itu. Orang hanya melihat bahwa saya gila. Bahkan orangtua saya pun demikian. Bahkan sampai sekarang, apa yang saat itu saya rasakan tidak dipercayai oleh orang. Karena menurut mereka, hal mistis seperti itu tidak dapat diterima akal sehat.” Ungkapnya, sambil menggelengkan kepala.

Pasca dirawat di RSJ selama 1 bulan dan dinyatakan sembuh, Bu Aminah akhirnya dibebaskan. Anehnya, semua yang disebut para militer sebagai barang bukti pemberontakan terhadap asas tunggal Pancasila malah lenyap tak bersisa. Tanpa pengadilan apapun, Ia dikembalikan lagi ke rumah. Sedangkan Abdul Bashir, masih dipenjara sampai 2 tahun kedepan tanpa proses pengadilan juga.

Saat kembali ke rumah, kondisi telah berubah. Semua modal membuat kue, Ijazah sekolah, barang-barang lainnya juga raib dijadikan barang bukti penangkapannya dulu. Ia harus memulai dari awal. Karena tidak punya apa-apa, akhirnya Ia pulang ke rumah orangtuanya di Boyolali. Dengan status mantan tahan politik. Tentu saja, hal itu dianggap aib dalam masyarakat yang tidak tahu secara pasti apa yang terjadi sebenarnya.  Apalagi saat itu, wanita berjilbab masih dianggap tabu oleh masyarakat. Selain itu, Ibu Aminah tidak lagi dapat bekerja dimanapun maupun melanjutkan pendidikannya. Beban psikis semakin bertambah karena Ia adalah seorang Janda dengan 1 anak yang menjadi bahan pembicaraan orang.

Akhir tahun 1985, Ibu Aminah menikah lagi dengan teman kakaknya bernama Muhsin Sukandar. Saat itu, Ia sudah kembali lagi ke Jakarta, bersama dengan suami inilah Ia mulai merintis lagi roda ekonomi yang dilemahkan oleh kasus Tanjung Priok tersebut. Ia mulai berdagang kecil-kecilan sebagai pengemas makanan ringan dan bisa bertahan sampai Reformasi tahun 1998 pecah.  Pasca Reformasi, bisnis yang Ia kembangkan bersama suaminya tidak lagi dapat berjalan, akhirnya, Ia kembali lagi ke Boyolali sebelum akhirnya menetap di Solo dan menjalani bisnis kerajinan tangan untuk souvenir pernikahan.

Barulah pada masa Pemerintahan SBY dan atas desakan almarhum Munir lewat KontraS, para Jenderal yang terlibat dalam pecahnya Tragedi Tanjung Priok diadili. Ibu Aminah turut memberikan kesaksian. Jumlah korban Tanjung Priok yang masih hidup hanya tinggal sedikit karena sebagian besar nya memilih jalur Islah dengan iming-iming sejumlah uang dari para Jenderal, termasuk mantan ketua MPR AM Fatwa. Karena apabila islah dijalankan, maka akan memperingan hukuman yang akan dijatuhkan kepada para Jenderal. Ibu Aminah dan 13 orang lainnya tetap menempuh jalur hukum, walau ketukan palu sudah menyepakati bahwa para Jenderal akan ditahan dan negara harus membayar kompensasi pada korban, persidangan berhenti begitu saja di tengah jalan tanpa ada kejelasan. Hingga sekarang. Nama-nama seperti Mantan Presiden Soeharto, Wiranto, Tri Sutrisno, LB Moerdani dan Jenderal lainnya yang terlibat dalam peristiwa berdarah tersebut tidak lagi pernah disebut-sebut.

Ketika ditanya harapannya, Ibu Aminah menjawab bahwa Ia masih ingin tetap melanjutkan proses hukum jika memungkinkan. Namun, Ia tidak memiliki daya apapun untuk melakukannya. Apalagi semenjak kepergian almarhum Munir. Ia berkata ini bukan soal uang, tapi Ia ingin Indonesia sebagai negara hukum memberikan keadilan untuk semua warganya, termasuk Ia. Karena apabila kasus ini di lenyapkan atau dihentikan, maka akan rentan terjadi pelanggaran HAM lain karena pelaku masih bebas berkeliaran. Bahkan pelanggar HAM berat masih bisa mencalonkan diri sebagai calon presiden RI.

“Nanti biar anak-anak saya yang teruskan jika proses hukum akhirnya diteruskan.” Saat ditanya tentang apakah Ibu Aminah sampai sekarang masih mengalami trauma terhadap peristiwa itu, sambil bergurau, Ia menjawab, “Saya tidak ingin anak saya jadi Militer, polisi, tentara atau semacamnya. Saya juga tidak ingin anak-anak saya menikah dengan militer. Sampai kapanpun. Tapi saya sadar bahwa hidup saya sudah berjalan sejauh ini. Saya harus jalan terus sampai bertemu dengan Nya nanti.”


Di Indonesia, sekarang ini, ada banyak orang lain selain Ibu Aminah yang tidak melanggar persoalan hukum apapun di negeri ini namun hak-haknya diabaikan oleh negara. Melupakan kisah-kisah yang ada dalam suramnya potret HAM kita hanya akan membuat efek jera pada pelaku hilang. Tentu saja, kita tidak ingin ada lagi Ibu Aminah-Ibu Aminah lainnya. Mari kita menolak lupa. 

Ibu Aminah, Saksi Hidup Potret Suram Tragedi Tanjung Priok ‘84 (Bagian 1)

Tatapan wanita itu masih tajam dan wajahnya tidak setua usianya. Wanita yang lahir pada tanggal 4 Januari 1958 itu tidak terlihat sama sekali bahwa Ia dulunya adalah seorang bekas narapidana yang karena mendapat tekanan psikis, akhirnya masuk rumah sakit jiwa. Menjadi tahanan tanpa proses pengadilan sama sekali di penjara umum dan menjadi satu-satunya korban wanita memang bukan hal mudah. Apalagi saat itu, ada banyak suara-suara teriakan kesakitan dari narapidana laki-laki yang dipaksa mengaku oleh aparat.

“Setiap ada teriakan, saya selalu berfikir, mungkin itu adalah kakak saya yang sedang di interogasi.  Saya selalu bertanya-tanya, mungkinkah besok saya akan mengalami penyiksaan itu Apakah kakak saya masih hidup? Kapankah saya akan bertemu dengan keluarga saya lagi? Memikirkan itu sudah membuat saya stress berat.” Tuturnya dengan pandangan menerawang.

Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa peristiwa di Tanjung Priok tahun 1984 masih menyisakan banyak kisah yang luput ditulis oleh buku-buku sejarah. Saat itu, ada satu wanita yang ikut ditahan dan mengalami tekanan berat dari aparat militer. Ia adalah Aminatun Najariyah.

Ibu Aminah –begitu biasanya Ia disapa- adalah saksi hidup kelamnya persoalan HAM di Indonesia pada masa Orde Baru yang sampai sekarang belum juga selesai. Bagaimana tidak? Dipenjara tanpa bukti yang kuat dan tanpa pengadilan saja sudah merupakan pelanggaran HAM yang berat, apalagi ditambah dengan penyiksaan psikis. “Di dalam penjara milter itu, saya tidak bisa mandi karena ada saja petugas yang iseng bersiul-siul setiap kali saya ingin ke kamar mandi, membuat saya merasa tidak aman. Takut diintip. Apalagi itu adalah penjara umum yang saat itu isinya semua laki-laki. Setiap kali mandi, saya akhirnya menggunakan pakaian lengkap dengan air yang kadar kapurnya sangat tinggi. Tidak ada peralatan kebersihan tubuh yang bisa saya gunakan, akhirnya saya tidak pernah sikat gigi sama sekali maupun membersihkan tubuh yang lain. Gusi saya juga jadi busuk.” Ujarnya nanar.

Dibalik Rusuhnya Tanjung Priok

Saat tragedi berdarah Tanjung Priok bergemuruh, Ibu Aminah sedang berada di rumah yang Ia tinggali bersama kakak kandung beserta istrinya. Tiba-tiba rumah didobrak oleh sekelompok petugas berseragam militer dan mencari kakaknya Abdul Bashir. Mereka mengacak-acak rumah berdalih mencari tanda bukti pemberontakan kepada negara dengan tujuan mendirikan negara Islam dan membubarkan NKRI. Saat itu, isu tentang asas tunggal Pancasila memang sedang ramai dibicarakan.

“Kakak saya saat itu ditangkap. Padahal Ia tidak tahu apa-apa. Memang beberapa kali Ia mengikuti pengajian di Masjid bersama Amir Biki, namun setahu saya sama sekali tidak membahas tentang negara Islam. Hanya pegajian masjid biasa. Saat mereka akan meninggalkan rumah, saya dan kakak Ipar saya yang ketakutan dan menggunakan jilbab seadanya saat itu dihampiri juga oleh petugas. Saya akhirnya ikut diangkut, dipaksa ikut ke dalam mobil petugas. Saya semakin takut ketika mereka mulai memandangi saya dengan tatapan nakal dan beberapa kali berbisik tentang ‘cantik’ ‘bagian bos’ dan sebagainya.”

Sebagai dalih penangkapan itu, para tentara militer menyita peralatan Ibu Aminah yang saat itu merupakan pengusaha pembuat kue. Segala macam pisau, gunting mixer dan berbagai peralatan yang ada di pabrik kue diambil oleh para militer itu sebagai barang bukti makar. Padahal, aktivitas Bu Aminah selama ini memang hanya memproduksi kue dan kakak kandungnya yang akan memasarkannya. Ia tidak pernah terlibat dalam pengajian apapun.

Di saat bersamaan, suasana di luar semakin malam semakin panas. Masih terdengar tembakan di mana-mana. Pasca di bubarkan secara paksa, massa yang berdemonstrasi di depan Polres Tanjung Priok menuntut pihak Polres untuk mengembalikan Amir Biki. Amir Biki merupakan tokoh masyarakat saat itu yang biasanya menjadi penceramah dalam pengajian di Musholla Assa’adah. Ia ditahan tanpa proses pengadilan juga karena ingin membebaskan pengurus musholla Assa’adah dan warga Priok yang bertikai dengan Babinsa.

Pasalnya, Babinsa yang berseragam militer tersebut masuk ke masjid tanpa melepas sepatu dan merobek pamflet pengajian jumat membuat marah warga. Apalagi setelah Babinsa tersebut menyiram papan pengumuman mushalla dengan air selokan. Jamaah langsung menegur Babinsa tersebut dan terjadilah cek cok mulut. Karena kesal, warga membakar motor Babinsa tersebut dan setelahnya pelaku pembakaran motor ditangkap. Itulah yang menyebabkan banyak warga yang ikut andil dalam peristiwa tersebut. Apalagi setelah Amir Biki, yang ingin beraudiensi dengan pihak kapolres justru ditangkap. Terjadilah gerakan massa yang besar dan dibubarkan dengan moncong peluru militer. Ribuan nyawa melayang, bahkan yang tidak tahu apa-apa sebelumnya. Ibu Aminah adalah salah satunya korban tak bersalah yang dilibatkan dalam kasus ini.  

Ibu Aminah ditahan di sel yang berbeda dengan kakak kandungnya. Begitu memasuki penjara, suara-suara penyiksaan dan teriakan para narapidana yang juga tidak melalui proses pengadilan mulai menghantuinya. Ibu yang kini memiliki 7 orang anak tersebut juga menolak untuk melepas jilbabnya. IIa terus-menerus menanyakan dimana kakak kandungnya pada petugas dan para petugas biasanya hanya tertawa menanggapi pertanyaannya.

Keadaan penjara semakin buruk ketika ada salah seorang Kapten bernama Budi Utomo yang mengatakan bahwa apabila Ibu Aminah menjadi Istrinya, maka Ia bisa langsung dibebaskan dari penjara. Karena menolak untuk dijadikan istri itulah, suara-suara aneh mulai muncul. Seperti ada bisikan bahwa Ia akan mati jika tidak menerima Budi Utomo. Untuk melawan suara-suara bisikan itu, mulut Ibu Aminah mulai berdoa, mulai dari membaca surat yasin sampai shalawat-shalawat. Namun, orang-orang yang melihatnya justru melihat bahwa Ibu Aminah sedang sakit jiwa karena tidak henti-hentinya meracau.

“Saya sadar betul tentang kondisi di sekeliling saya. Saya juga memperhatikan apa yang diucapkan oleh para militer yang menjaga sel saya. Sampai akhirnya saya bertemu kakak saya di dalam penjara. Petugas mengira saya stress berat dan untuk meminimalisir stress saya, akhirnya kami dipertemukan. Kakak saya menangis memeluk saya. Ia juga berfikir bahwa saya ini sudah tidak waras karena saya terus menerus menggumam. Apalagi kondisi penjara yang memprihatinkan membuat penampilan saya, yang walaupun masih berjilbab, menjadi sangat kacau balau. Kakak saya membisikkan, ‘Jangan khawatir, secepatnya, kita akan segera pulang’. Saat itu saya berfikir apakah maksudnya sebentar lagi kita semua akan ditembak mati seperti tahanan lainnya? Namun saya tidak menanggapi apa-apa karena bisikan-bisikan untuk menerima pinangan Kapten Budi Utomo terus menggema ditelinga saya.” Ucapnya sambil menerawang jauh ke masa lalu, saat usianya 27 tahun.

Baca Bagian Kedua di sini