Kamis, 30 April 2015

Catatan Aksi Kamisan #394

Belum pukul 4 sore. Payung-payung hitam bersablon kasus pelanggaran HAM itu belum terkembang. Bapak-bapak dan Ibu-ibu peserta aksi masih duduk di rerumput di depan gerbang Monas. Berteduh. Sore itu memang agak terik. Aku sampai perlu menyipitkan mata saat memandang bendera merah putih di seberang jalan, tepatnya di halaman Istana Negara. Aku menyalami yang sudah datang satu-satu sekalipun tak semua saling kenal. Ada banyak orang yang datang dan pergi di sini. Asal menyimpan kepedulian yang sama dan mau bersuara, setiap orang bisa bergabung dalam Aksi Kamisan.

Aku bertanya pada Ibu Sunu, salah satu Ibu korban '98, "Apa Bu Sumarsih sudah datang?"

Dia jawab, "Itu bu Sumarsih ada di pos polisi. Nggak tau gimana. Katanya sih tadi kita nggak boleh Kamisan. Auk tuh, ada KAA (Konferensi Asia-Afrika) katanya."

Hah!

"Itu lho dek, di pos itu. Sana aja." Kata Ibu yang lainnya.

Aku mengangguk kepada mereka dan menuju pos Polisi Monas yang dihias dengan 2 ondel-ondel berbaju polisi dan polwan.

Aku mendadak tersenyum di saat yang tidak tepat. Di pikiranku ada pertanyaan iseng, 'Ondel-ondel ini yang mirip polisi ataukah polisi yang mirip ondel-ondel?'

Dari kejauhan, baju hitam dan rambut keperakan Bu Sumarsih terlihat. Dia duduk di depan seorang polisi, dan polisi lain yang mengelilinginya. Ada juga beberapa anak muda yang tidak aku kenali, entah wartawan entah mahasiswa memegang kamera. Memotret dan merekam dengan videonya. Ada seorang lelaki aktivis LBH Jakarta.

"Kami akan tetap Kamisan hari ini seperti biasa. Tidak ada yang bisa melarang-larang kami."

Tubuh Bu Sumarsih tampak bergetar menahan emosi ketika aku menghampirinya di tenda kepolisian Monumen Nasional seberang Istana Negara sebelum Aksi Kamisan ke 394 lalu.

Aksi Kamisan memang belum dimulai, tapi aku jadi merasa datang terlambat karena tak bisa menemani Bu Sumarsih dari awal saat berhadapan dengan para polisi di sana.

Awalnya aku duduk di kursi kosong, selisih satu kursi dengan tempat duduk Bu Sumarsih. Salah satu Presidium JSKK (Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan) ini belum menyadari kedatanganku. Aku bangkit dari tempat duduk untuk menyentuh bahunya, menguatkan dan memberi isyarat bahwa aku akan menemaninya sampai pembicaraan dengan polisi itu selesai.

Ini tidak biasa, Sejak rutin mengikuti Aksi Kamisan, baru kali ini kami sampai diajak bicara di tenda kepolisian itu. Ada apa?

Aku masih berusaha membaca situasi ketika seorang peutgas berseragam polisi dengan name tag P. Siregar mengulang terus-menerus kalimat, "Kami minta tolong lah sama Ibu kerjasamanya. Hanya hari ini saja bu... Ada banyak tamu negara. Kita kan harus saling membantu. Kan selama ini kami juga melakukan pengamanan."

"Ya nggak bisa. Kami akan tetap Kamisan." Kata bu Sumarsih. Suaranya masih bergetar.

"Masalahnya apa sih kalau kami tetap Kamisan hari ini?" Tanyaku, masih kurang paham apa yang diinginkan oleh polisi ini. 

"Dia larang kita untuk Kamisan. Nggak bisalah kita dilarang-larang. Kita akan Kamisan terus sampai negara menuntaskan kasus HAM yang ada." Jawab Bu Sumarsih.

"Bukan dilarang bu," Polisi itu tampak gusar, "kami cuma minta supaya spanduknya tidak digelar di jalan. Kan kita sudah kendurkan negosiasi. Ibu tetap bisa aksi seperti biasa. Hanya, mundurkan setengah meterlah dari jalanan. Kan ada banyak tamu dari luar negeri. Sekali ini saja lah."

"Nggak bisa, kami tetap mau Kamisan seperti biasa."

"Kalau demonya dilihat sama tamu dari luar negeri emangnya kenapa? Bikin malu? Bikin citra negara nggak bagus?" tanyaku.

"Minggu lalu adek ini hadir di Kamisan apa nggak sih?"

"Hadir dong"

"Nah, minggu lalu kan cuma satu negara yang lihat, bayangkan, ini ada ratusan negara yang melihat lho dek..." Kata Polisi itu padaku.

"Kami akan tetap Kamisan." Potong Bu Sumarsih. "Kami janji, jam 5 sudah selesai."

"Kamisan minggu lalu lebih dari jam 5 lho."

"Kali ini akan tepat jam 5 selesai."

Ia beranjak dari kursinya. Ada raut kesal di wajahnya. Aku mempertimbangkan langkah, mau mengikuti Bu Sumarsih atau tetap di tenda. Karena sepertinya pembicaraan belum selesai.

Aku putuskan tetap di tenda saat polisi itu mulai merepet, menyebut-nyebut soal anggotanya. Aku melihat salah satu sisi taman monas yang dipakai apel banyak polisi. Maksudnya 'anggota' itu mereka?

Aku duduk di kursi yang ditinggalkan presidium JSKK (Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan) itu, "Lalu kenapa kalau dilihat negara lain?" Tanyaku, menyambung dengan wajah seinnocent mungkin.

"Adek ini gimana sih? Kok nggak paham-paham. Sedang ada banyak tamu. Ini pun saya cuma minta sekali ini saja. Pas KAA aja. Biar situasi kondusif."

"Bukannya bagus kalau negara lain lihat? Kan tujuan KAA itu salah satunya untuk hapuskan penjajahan. Aksi Kamisan ini pun juga tujuannya hapus penindasan. Apanya yang nggak sesuai sama event KAA ini? Siapa tahu kalau negara lain lihat aksi ini, mereka bisa bantu tekan Indonesia biar selesaikan pelanggaran HAMnya. Kalau memang negara malu sama aksi kami, mestinya kan diselesaikan kasusnya. Bukan malah larang aksinya. "

"Kami nggak larang dek. Kami cuma minta mundur dari jalan dan tak usah pasang spanduk. Silakan berdiri pakai payungnya. Mundurnya cuma setengah meter pun nggak apa-apa."

"Siapa yang ngeliat kalau tempat kita biasa berdiri mesti dimundurin?"

"Kan masih bisa dilihat dari sudut lain dek." Dia menunjuk sketsa format Aksi Kamisan kami yang biasanya. "Bisa dilihat dari sini. Dari sini juga bisa. Keliatan lah." 

"Kami ingin tetap seperti biasanya seperti kata bu Sumarsih tadi. Tidak kompromi."

"Gini aja lah, Kami kasih 2 pilihan ya. Kalian milih tetap berdiri di tempat biasa tapi ditutupi sama anggota kami atau milih mundur setengah meter? Mundur kan tetap bisa keliatan dari sini."

'Sini' yang dia maksud adalah arah gedung MK. Tak akan kelihatan dari jalan utama yang tepat di depan Istana Negara.

"Ya kalau mau naruh anggota bapak di mana, silakan aja. Malah makin menonjol Aksi kami kalau dikawal banyak polisi. Kami berdiri di tempat biasa aja. Kami duluan yang selama 8 tahun Aksi di sini kan... Jadi kalian lah yang sesuaikan situasi. Kami ya akan tetap gini selama negara nggak tuntaskan pelanggaran HAM."

"Urusan kalian itu dek..." katanya mulai kelihatan kesal, "...sama negara. Bukan sama kami. Ini kan kami minta baik-baik. Ini juga cuma sekali ini saja."

"Ya udah, urusan bapak nanti juga sama negara. Bukan sama kami. Kami ini sudah ditindas negara, masak iya mau ditekan sama polisi juga?"

"Spanduk kalian jangan digelar di jalan ya. Jangan makan jalan kayak biasa."

"Ya liat nanti aja ya pak..."

"Terserah kalian lah. Saya nggak tanggung jawab sama apa yang terjadi sama kalian nanti."

"Memang kapan sih instansi negara mau tanggung jawab?" Aku bertanya balik. Retoris. "Udah ya pak, makasih."

Aku meninggalkan tenda bersama dengan mahasiswa dari Universitas Sahid bernama Euis Haryati yang merekam kejadian itu lewat kamera DSLR untuk tugas akhir film dokumenternya. Dia bilang hasil akhir film belum tentu dipublikasikan karena target dia saat ini hanya ingin lulus.

"Dia orang Provos." kata aktivis LBH itu  padaku, setelah kami berbaris bersama dengan payung hitam dan spanduk yang tetap kami bentangkan. Tentu saja, "dia" yang dimaksud adalah P. Siregar tadi, "Kami sudah sering urusan sama dia."

Aneh. Kenapa Provos urusi warga sipil? Bukankah harusnya mereka urus Polisi nakal?

"Ada edaran sih di NGO, Organisasi Buruh, dan BEM kampus. Selama KAA, dihimbau untuk nggak demo gitu. Kemaren aja ada aksi buruh di depan Kedubes Amerika ditangkepin Polisi. Padahal belum mulai nih. Baru mau aksi. Ini baru aja abis dibebasin para aktivisnya."

Aku menghela nafas. Teringat pelajaran sejarah waktu SMP soal Politik Mercusuar ala Soekarno. Tampak sekali masih diterapkan sampai sekarang. Menampilkan yang baik-baik di luar sekalipun aslinya tak karuan.

Kemarinnya, kawan-kawanku bercerita soal orang-orang yang mesti jalan sangat jauh di daerah Sudirman saat jam kepulangan peserta KAA ke hotel masing-masing. Banyak jalan ditutup. Banyak orang tua, Ibu yang menggendong anaknya, dan bahkan pekerja kantoran yang terengah-engah kepayahan di jalanan karena mesti berjalan jauh untuk keluar dari jalan yang ditutup ke jalan yang ada akses transportasi publiknya. Yang punya uang masih bisa naik ojek yang tarifnya saat itu lebih mahal dari taksi. Sniper dan polisi juga ada di mana-mana.

Belakangan juga, aku tahu setelah googling, kalau P Siregar adalah Kanit Provos Polsek Metro Gambir.

Makin tak paham apa urusannya Polisi Provos dengan kami.

Biasanya, foto korban dan beberapa atribut lain digelar di sisi jalan, tapi kali ini mesti dibentangkan. Angin bertiup sangat kencang. Sekalipun sudah dipegang erat, spanduk itu berkibar kencang. Beberapa orang terlihat kerepotan "menjinakkan" spanduk di tangan satu sekaligus memegang payung di sisi tangan yang lainnya.

Hanya ada satu dua anggota kepolisian yang menjaga kami di sisi jalan. Ancaman Polisi Provos tadi rupanya hanya gertakan, atau mungkin ada pertimbangan lainnya. Tampaknya polisi yang menjaga kami dari depan jumlahnya wajar seperti biasanya. Tapi yang ada di belakang dan sisi lainnya, ada lagi. Dengan seragam yang berbeda. Polisi yang tadinya apel di sisi Kebun Monas mulai membubarkan diri. Mungkin mereka bersiap mengamankan jalan untuk KAA. Atau justru... Mengamankan kami?

Sumber foto : Twitter @AksiKamisan (Ayash)

"Baru kali ini lho Banu, Kamisan dijaga sama Polisi, Danramil dan Satpol PP. Biasanya sih cuma intel dan polisi. Baru kali ini juga kita diajak ngomong kayak tadi." Kata Bu Sumarsih padaku setelah kami menyeberang ke Pos Security Istana untuk kirimkan surat Kamisan pada Presiden. Surat itu berisi soal RUU KKR yang mestinya dibatalkan. 

Aku menyampaikan informasi dari aktivis LBH tadi ke Bu Sumarsih, bahwa yang bicara dengan kita di tenda tadi dari Provos. Dia mengangguk pelan, "Tadi mereka mintanya kita mundur 2 meter dari tempat biasanya."

Aku mengangkat bahu, "Tadi pas udah di depanku, dia mintanya mundur setengah meter."

"Wah, berarti dia berharap bisa nego kita."

"Ya nggak papa sih bu kalau diminta mundur setengah meter. Kita ngalah sekali." Pak Franky, salah satu korban '65 ikut nimbrung dalam obrolan kami.

"Wah, nggak bisa dong!" Kata bu Sumarsih tegas, "Anakku mati ketembak, Pak Franky juga pernah disiksa. Mana bisa kita ngalah lagi. Lha pelanggar HAM aja nggak pernah tuh ngalah-ngalah."

Aku sepakat dengan bu Sumarsih. Jika Ibuku ada di sini pun, dia pasti juga akan memilih bertahan daripada memenuhi permintaan polisi.

Di Aksi Kamisan ini, juga ada Pak Suratno, Wakil Danramil yang juga ikut mengawasi kami. Seorang petugas juga tampak sibuk memfoto Aksi kami dari awal sampai akhir. Ini benar-benar Aksi Kamisan yang tak biasa.

Ayash, seorang aktivis KontraS yang biasa mengawal Aksi Kamisan mengumumkan pada kami untuk membentuk lingkaran besar. Bersiap melakukan refleksi. Biasanya, setelah kita berdiri diam, beberapa dari peserta aksi akan berbagi pandangannya soal isu yang diangkat atau soal pelanggaran HAM secara umum. Diutamakan yang bicara adalah mereka yang baru pertama kali bergabung di aksi.

Seorang aktivis yang belum aku tahu namanya memegang toa, siap memimpin aksi.

Yel-yel Kamisan mengudara. Orator dan Massa berbalas Yel.

"HIDUP KORBAN!"

"Jangan diam!!"

"JANGAN DIAM!!"

"Lawan!!"

"JOKOWIII!!"

"Hapus Impunitas!!"

Sudah hampir Kamis ke 400. Kami akan terus begini. Lelah. Tapi tak bosan. Belum akan bosan. Belum boleh.

Berharap, bahwa negara, lewat entitas yang dimilikinya bisa adili pelaku.

Berharap, akhirnya ada keadilan dalam pengadilan HAM.

Berharap...

Terus...

Entah sampai kapan.

Hari itu, sepertinya memang tak terjadi apa-apa pada kami semua walau ada banyak petugas. Tapi, bagaimana dengan hari lainnya?