Jumat, 13 Februari 2015

Surat, Coklat, dan Cinta Pertama

AKU pikir, orang yang gampang heran sama sesuatu itu karena kurang pengalaman. Istilah jawanu melihat orang-orang pada he dari mulai yang kasih surprise ulang tahun, sampai yang status Facebook aneh-aneh.

Aku sih tak akan heran lihat itu. Karena pernah menemui hal macam itu dimasa lalu. Bedanya adalah, tidak ada social media yang mengumumkan pada dunia apa yang terjadi saat itu. Sehingga tak masuk berita.

Surat cinta pertama yang aku terima adalah dari teman sekelas waktu SD kelas 3, namanya Mustofa. Dia sudah naksir sejak aku jadi murid baru di kelas 2 SD. Dulu aku anak Jakarta yang sekolahnya di Cibitung Bekasi, pindahnya ke SD Andong Boyolali.

Surat yang aku terima panjang  intinya adalah, "Aku mencintai kamu, aku ingin kita berdua bisa bahagia, menikah dan punya anak. Aku akan berusaha untuk punya rumah demi anak-anak kita."

Agak malu rasanya membaca surat itu. Aku sendiri merasa masih anak-anak, tidak bisa membayangkan ada anak-anak lain yang akan aku hasilkan. Keluar lewat mana? Bagaimana caranya? Mana aku bisa tahu?

Aku menyerahkan surat itu ke mbak Ima yang waktu itu masih SMP. Dia baca surat itu sambil ketawa-tawa. Mungkin dia ingat, waktu SD kelas 5, dia juga ditaksir sama teman sekolahnya. Namanya Gatot. Kita dulu sama-sama sekolah di SD Cibitung. Gatot  suka datang ke kompleks perumahan kami demi ketemu Mbak Ima. Dia akan duduk bersama teman-temannya di rumah pojok perumahan yang masih kosong dan bernyanyi lagu dangdut sambil menabuh kaleng kosong sebagai gendang. Lagunya Setangkai Mawar Merah dan lagu dangdut lain yang asing bagiku. Aku biasa menemani mbak Ima untuk duduk di seberang jalan, melihat apa yang Gatot dan teman-temannya lakukan. Mendengarkan lagu-lagu yang sama setiap hari. Tentu saja Mbak Ima juga menerima surat cinta dari Gatot. Walau mereka tak pacaran. Mbak Ima juga masih polos waktu itu sekalipun teman-teman SDnya sudah sangat dewasa dan bertubuh besar seperti anak-anak SMP SMA. Dia termasuk yang lambat pubernya.

Aku yang pindah sekolah dari kota ke desa ternyata mengalami hal yang mirip dengan Mbak Ima. Aku pikir desa maupun kota tidak menjadi persoalan di sini. Tinggal di pedesaan tidak membuat iklim percintaan anak SD berbeda jauh. Padahal saat itu belum ada gadget dan internet. Sinetron yang ada adalah Tersanjung beserta serial kolosal sebangsa Misteri Gunung Merapi. Telenovela yang diputar adalah Amigos yang tidak aku ikuti jalan ceritanya. Karena aku lebih suka Maria de Angel. Band idola adalah Westlife dan saat itu Britney Spears masih jadi mbak-mbak perawan yang sangat cute.

Iklim percintaan masa SDnya sama di dua wilayah gang punya budaya yang berbeda. Desa dan kota. Sehingga tampaknya kita harus menyingkirkan kotak-kotak antara desa dan kota.

Lha terus, anak-anak SD ini cinta-cintaan dapat pengaruh dari mana?

Lingkungan?

Mungkin saja.

Anak muda di sekitar juga pacaran. Jamanku SD dan jaman SD nya mbak Koen juga sudah ada hamil sebelum nikah, sama banyaknya seperti sekarang. Padahal jarakku dengan kakak pertamaku itu jauh. Saat aku SD, mbak Koen sudah kuliah S 1.

Jaman yang aku alami waktu masih kecil sebenarnya tak banyak berubah di masa kini. Bedanya, orang lebih mudah untuk merespon sebuah kabar dari jauh. Semua bisa jadi komentator dan punya klaim bahwa masa SDnya yang tanpa Social media serta Sinetron Ganteng Ganteng Serigala itu lebih baik.

Baiklah, Ganteng Ganteng Serigala memang sinetron sampah yang tak mendidik. Sama seperti tayangan lain berbentuk berita politik, reality show atau infotaiment itu. Tapi itu bukan jadi faktor utama kenapa anak SD sudah cinta-cintaan. 

Jika anak SD yang diberitakan media online itu menulis status percintaan di Facebook atau mengunggah foto mereka berdua, Mustofa dulu sering mencorat-coret jalanan dengan kapur yang dicuri dari kelas. Jalanan di depan sekolah atau di depan rumahku ditulisi, "Mustofa ♥ Ayu" besar-besar. Tak punya wall Facebook, jalanan pun jadi.  FYI aja buat yang belum tahu, panggilanku waktu masih kecil memang Ayu walau kini aku tak nyaman dengan panggilan itu.

Biasanya aku akan malu dan berusaha menghapus coretan kapur itu dengan sepatuku saat sekolah sudah agak sepi. Menggosok-gosokkan alas sepatuku ke jalanan, alih-alih menghapus coretan itu, sepatu-sepatu masa SD ku malah jadi tipis. Risiko keselamatannya juga tinggi. Aku harus hati-hati juga karena kendaraan yang lalu lalang banyak. Sekolahku lokasinya di pinggir jalan jalur Kacangan-Simo. Banyak bus dan truk yang lewat. Baik pembuat tulisan maupun yang menghapusnya sama-sama bertaruh nyawa saat melakukan itu. Aku kan tidak kepikiran menyiram coretan itu dengan air.

Aku tidak menanggapi Mustofa dan sebisa mungkin menghindarinya. Sampai Mustofa memutuskan berhenti naksir aku di kelas 4 SD. Jika saat jatuh cinta dia bilang aku cantik, pintar dan putih, saat mulai membenciku, dia mulai menemukan keburukanku. Mataku waktu SD sangat kero atau bahasa Indonesianya adalah juling. Juling ini cukup signifikan dalam penampilanku karena mataku sangat besar. Dia terus menerus bilang aku kero tiap kali kita berpapasan. Tingkahnya juga tak beda jauh sama orang dewasa masa kini yang saat ditolak cintanya, dia akan berbalik menjelek-jelekan atau membenci yang dulu pernah dicintainya.

Sekarang aku masih juling sedikit. Kadang-kadang kelihatan, kadang-kadang tidak. Dan aku tak akan menutup-nutupi itu. Karena aku tahu akan sia-sia bagiku untuk tampak menarik secara fisik. Yang jauh lebih cantik dari aku akan lebih banyak. Sehingga aku tak ingin terlalu berusaha keras dengan standar cantik yang ditetapkan oleh pasar atau masyarakat pada umumnya. Sartre juga juling, tapi tak berarti dia punya daya tarik kan?

Aku tak tahu dan tak ingin tahu Mustofa ada di mana sekarang. Sudah terlalu lama.


KEPONAKAN dan adik kandungku yang terakhir itu seumuran. Mereka sekolah SD kelas 5, di tempat yang sama, di desa yang menurutku agak pelosok, daerah Bangsri Jepara. Masalah SD mereka juga sama. Masih ada yang naksir-naksiran antar teman.

Adikku yang kata teman-temannya seganteng pemeran Kian Santang juga ada yang naksir. Tapi dia masih sangat kekanak-kanakan. Masih suka bikin senjata Palugada dari bola yang diisolasi dengan kayu, atau masih suka mengikat lehernya dengan sayap ala Superman, sambil mainan mobil Hot Wheels koleksinya yang banyak sekali.

Berbeda dengan keponakan perempuanku yang mulai puber. Dia sudah mulai tersipu-sipu jika aku goda soal pacar-pacaran. Sama usia, beda perkembangan kedewasaan. Keponakanku suka bilang padaku, "Khale, jangan godain Hana to le… Hana nggak pacar-pacaran sih… Tenanan ini le… Ini SMSnya dari temanku cewek kok le. Bukan dari cowok kok. Serius."

Aku tahu kadang dia berbohong, tapi aku melihat, apa yang terjadi padanya masih dalam batasan wajar.

COKLAT Valentine pertamaku dari cowok itu waktu SMP kelas 1. Namanya Lukman. Dia kasih Silver Queen besar berpita pink dengan secarik kertas bertuliskan, "I Love You." Dia menyerahkannya di depan kelasku saat pulang sekolah. Kelas kami berdampingan, aku kelas B, dia kelas C. Di rumah, aku makan coklat itu bersama mbak Umu dan mbak Ima yang tak dapat coklat dari siapapun. Kasihan ya mereka.

Aku juga tak menanggapi Lukman dan mencoba menghindar. Sampai dia lama-lama membenciku dan jadi orang yang sok nakal karena caper. Aku tak peduli. Aku sibuk beraktifitas. Menjahit boneka demi cari duit buat makan, sekolah, dan baca buku. Mana aku sempat mengurus hati orang.

Untuk cinta pertama, terjadinya di kelas 3 SMP. Aku tak mau sebut namanya karena kini kita berteman di Facebook. Dulu naksir dia karena sahabatku di tempat les terlalu sering cerita hal-hal keren soal dia. Jadi aku jatuh cinta dengan persona orang yang belum pernah aku temui. Kita SMSan, telepon hampir tiap hari, dan baru kopi darat waktu aku menjelang SMA kelas 2. Dia tidak pakai Social Media karena Friendster pertamanya aku yang bikinkan saat pertemuan ketiga kami. Kami tetanggaan kota. Aku di Solo, dia di Gemolong. Naksir dia sih sampai kuliah semester 2. Aku dulu suka menulis cerpen dengan tulisan tangan. Dia adalah inspirasi karyaku selama bertahun-tahun. Tidak pacaran juga karena kami gengsian. Jadi tidak ada yang mau nembak. Tapi itu tetap masa yang indah dan ada banyak hal lucu yang terjadi.

Aku masih anggap bahwa itu terjadi di masa puberku. Saat aku masih selucu monyet. Tidak pacaran, tapi sempat putus. Hal yang aneh sebenarnya. Tapi memang terjadi. Mau gimana lagi.

Walau belum ada social media,  jatuh cinta dengan orang yang belum ditemui ternyata juga bisa terjadi. Aku masih menemui orang yang heran jika ada yang jatuh cinta dengan orang yang belum pernah ditemui. Bagiku, itu adalah hal yang sangat mungkin. Kemungkinannya sama banyak dengan orang yang bertemu setiap hari, berinteraksi, bahkan berkencan, tapi tak juga saling jatuh cinta. 

Kemungkinan ditipu sama orang yang di social media juga sama besar dengan sikap manipulatif orang yang ditemui di dunia nyata. Kalau sial mah ada aja waktunya. Entah maya, entah nyata. Sama saja.


KADANG masih menunggu-nunggu, isu apa sih yang cukup bisa membuatku nggumun? Kadang aku bilang heran dengan ini dan itu, tapi bukan karena hal itu belum pernah terjadi sebelumnya, tapi karena hal itu sudah sering terjadi dan jadi heran mengetahui fakta bahwa kita seringkali gagal belajar dari masa lalu.

Berefleksi itu susah. Mengumpulkan kesadaran juga bukan hal yang gampang. Mungkin itu yang membuat banyak kesalahan berulang terjadi. Gagal mempelajari pola-pola kegagalan. Strategi hidup yang buruk dibiarkan tanpa komando akal yang sehat. Hasilnya? Hidup serba kocar kacir.

Kira-kira begitulah. Anggaplah ini sebagai catatan soal hari Valentine dariku.