Minggu, 25 September 2011

Nikah Mut'ah dalam pandangan Ahlussunah dan Syiah

Oleh Ustad Abdullah Muhammad Som


 Penjelasan ringkas seputar masalah mut'ah

Aqd adalah kesepakatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang di dalamnya disertakan ijab dan qabul. Salah satu bentuk dari aqd adalah pernikahan, yaitu kesepakatan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang wanita, dengan beberapa persyaratan hukum yang mensyahkan ijab serta qabul yang dilakukan. Perlu ditegaskan bahwa seorang wanita memiliki hak penuh atas kesepakatan pernikahan yang akan ia lakukan, yang oleh karena itu ijab datang dari diri wanita atau walinya atau yang mewakilinya. Dalam hal ini fungsi seorang wali bukanlah menentukan siapa laki-laki yang seharusnya dinikahi oleh seorang wanita. Tetapi fungsi wali sebenarnya lebih kepada memberikan perlindungan kepada kaum wanita, sehingga tidak terpedaya oleh tipu daya laki-laki atau oleh perasaan wanita itu sendiri.

Sangat disayangkan apabila pada prakteknya terjadi seorang wali memaksakan anak gadisnya untuk menikahi laki-laki yang bukan pilihannya. Sehingga sebenarnya aqd dalam pernikahan adalah suatu pilihan secara sadar yang dilakukan oleh pihak wanita dan laki-laki. Dan perlu diperhatikan bahwa ijab lebih kuat dari qabul, sehingga dalam setiap terjadinya pernikahan posisi wanita lebih menentukan dari laki-laki.

Tujuan pernikahan

Dalam pernikahan memiliki banyak tujuan dengan alasannya masing-masing. Diantara tujuan tersebut adalah :

1. Untuk menjaga kelestarian kehidupan sosial. Manusia adalah makhluk sosial yang harus hidup bergabung dengan selainnya, dan kelestarian kehidupan sosial dapat dipertahankan dengan adanya keturunan. Bahkan suatu komunitas masyarakat terkadang sangat memerlukan banyak keturunan dalam situasi tertentu, seperti yang terjadi di palestina. Di saat pembantaian secara masal terus menerus dilakukan oleh Zionis Israel maka para pejuang palestina mengharapkan kelahiran bayi-bayi yang akan terus menjaga kelestarian mereka sebagai suatu bangsa.

2. Menghindarkan diri dari perzinahan. Manusia yang sehat fisik dan akalnya, memiliki tuntutan pemenuhan kebutuhan seksualitas. Semakin sehat seseorang maka semakin kuat pula tuntutan tersebut. Meskipun berbagai kebutuhan lain serta kesibukan dalam memenuhinya juga dimiliki, tetapi hal itu tidak cukup untuk menghilangkan kebutuhan pemenuhan seks seseorang. Hal ini merupakan tabiat pada diri manusia sebagai jenis hewan. Agama tentu saja tidak membendung dorongan tersebut, akan tetapi mengarahkan sehingga tidak terjadi penyimpangan dalam memenuhinya, dan salah satunya adalah pernikahan.

3. Tujuan pernikahan yang lain adalah menjalin hubungan kekerabatan, yang bahkan terkadang dilakukan demi tujuan mendamaikan dua kabilah yang bertikai. Dan banyak lagi tujuan positif lain dalam melaksanakan pernikahan.

Peran adat dalam pernikahan

Adat dalam suatu masyarakat memiliki pengaruh sangat kuat dalam menentukan nilai atau hukum bagi masyarakat tersebut. Sedemikian kuat pengaruh adat sehingga terkadang dapat mengalahkan faktor ideologis dan aqidah. Beradab atau tidaknya seorang laki-laki dan wanita bisa ditentukan oleh adat istiadat yang berlaku dalam tatanan masyarakat.

Contoh, pada dataran hukum, memasak bukan suatu kewajiban bagi seorang istri, akan tetapi adat istiadat telah merubahnya. Sehingga memasak menjadi tugas wajib bagi para istri. Pada dataran hukum sesuatu yang dimiliki oleh seorang wanita karena usahanya, menjadi milik mereka pribadi. Tetapi adat bisa merubah menjadi hak kepemilikan bersama. Adatlah yang memposisikan fungsi istri dihadapan suami, sehingga terbangun dalam suatu masyarakat asumsi atau anggapan tentang baik dan buruk adab istri atau suami berdasarkan pada adat yang berlaku. Tentu saja anggapan tersebut tidak semuanya tepat meskipun juga tidak semua buruk. Misal saja, nilai wanita yang dibangun oleh adat istiadat, bisa memposisikan wanita hanya sabagai alat dan peran tambahan saja untuk membangun suatu masyarakat ideal. Bahkan wanita hanya alat untuk memenuhi keperluan laki-laki. Pada dataran hubungan sex wanita dijadikan objek pemenuhan hasrat kaum pria, dan pemenuhan terhadap hasrat itu dicabut dari kaum wanita. Sehingga ketika berbicara tentang hubungan sex insan dua jenis ini, wanita selalu diposisikan sebagai korban dan seolah-olah wanita bukan manusia normal yang memiliki dorongan libido dan tidak perlu ditengok dari sudut pandang mereka.

Akhirnya ketika berbicara pernikahan maka selalu sudut pandang laki-laki yang menjadi sorotan. Bahwa pernikahan dilakukan adalah sebagai keperluan hasrat kaum pria saja dan tentang hasrat kaum wanita dilupakan dalam pembahasan. Padahal peran wanita sebenarnya yang paling menentukan dalam terjadinya ijab dan qabul, wanitalah yang mengatakan saya menikahkan diri saya dengan anda, atau walinya mengatakan saya menikahkan putri saya dengan anda, dan laki-laki mengatakan saya menerima.

Pernikahan Mut'ah

Tujuan seseorang melakukan pernikahan dapat berbeda sesuai dengan masing-masing keperluan. Akan tetapi tidak setiap orang bisa melaksanakan keinginannya untuk menikah, karen mungkin saja tidak dapat memenuhi syarat pernikahan atau khawatir terhadap akibat suatu pernikahan.

Contoh. Dalam hukum pernikahan, talaq menjadi hak laki-laki yang artinya bisa saja seorang istri ditalaq oleh suaminya tanpa alasan apapun. Dalam kondisi hukum seperti ini sangat logis bila kaum wanita merasa khawatir terhadap hak-haknya, atau keselamatan diri dan harta yang ia miliki. Seperti wanita karier yang sukses, sangat berhak untuk khawatir terhadap harta yang telah dia kumpulkan dengan usahanya. Karena bila ia masuk pernikahan sementara hak talaq ada pada suaminya, maka keselamatan harta yang ia kumpulkan bisa terancam. Harta yang ia kumpulkan bisa saja dirampas atau dikuasai suaminya. Di sisi yang lain, sebagai manusia normal wanita juga memilki tuntutan libido yang perlu dipenuhi. Dalam kasus seperti ini pernikahan mut'ah memberikan solusi yang sangat baik bagi mereka. Intinya kita harus berhenti berpikir tentang pernikahan daim dan mut'ah yang hanya dipandang dari sudut pandang keperluan kaum laki-laki saja.

Pernikahan mut'ah dalam syariat

Dibawah ini saya sisipkan beberapa riwayat yang saya ambil dari pelajaran dua madrasah (Ahlussunnah dan syiah)

Nikah mut'ah dalam perspektif ahlussunnah

Dari tafsir al-qurtubi: para ulama salaf (ortodok) dan kholaf (kontemporer) berpandangan bahwasannya mut’ah adalah nikah yang tidak meninggalkan warisan didalamnya, dan berpisah setelah habis masanya tanpa bercerai (thallaq) ibnu athiyah mengatakan : mut’ah adalah seorang pria menikahi wanita dengan dua saksi atas izin wali namun tanpa peninggalan warisan, dengan memberikan sesuatu sesuai perjanjian diantara mereka, dan ketika selesai masanya maka tidak ada ikatan lagi, dan wanita berhak menggugurkan janinnya karena tidak diragukan lagi bahwa seorang anak tidak punya hak didalamnya, dan apabila dia tidak hamil maka halal untuk orang lain (tafsir al-qurtubi 5/132) Dalam sahih bukhari, Rasulullah SAWW: siapapun lelaki dan wanita saling bersepakat mengikat janji maka pergaulan bagi mereka adalah tiga malam, apabila mereka saling mencintai keduanya boleh saling menambah masanya atau saling meninggalkan(sahih bukhari bab akhir tentang Rasulullah melarang nikah mut’ah 3/164)

Dalam kitab Al-mushannif karangan abdu al-razaq, jabir berkata: apabila masanya telah habis maka bersegera mereka kembali seperti biasa dan pihak laki membayar maharnya diakhir, dia ditanya, berapa kira-kira masa iddahnya? Dia menjawab: satu periode haid, mereka para wanita memperhitungkannya untuk dimut’ah (mustamta’) (kitab karangan abdu al-razaq 7/499 bab mut’ah) Dalam kitab tafsir al-qurtubi, ibnu abbas berkata: masa iddahnya adalah satu periode haid, dan keduanya tidak wajib meninggalkan warisan,(tafsir al-qurtubi 5/132 dan al-naisaburi 5/17) dan dalam tafsir al-thobari, redaksinya dari al-syuddi “maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna, sebagai satu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu, annisa’:24” mut’ah disini, seorang laki-laki menikahi wanita dengan syarat yang telah disepakati, menghadirkan dua orang saksi dan menikahi atas izin walinya, dan apabila masanya telah habis maka tidak ada ikatan lagi diantara keduanya dan dia terbebas, dan dia boleh menggugurkan apa yang ada dalam kandungannya, dan tidak ada warisan baginya, salah satu dari mereka tidak berhak menerima warisan (tafsir al-thabari 5/9).

Dalam tafsir al-kassyaf karangan zamakhsyari disebutkan: mut’ah diperbolehkan semasa tiga hari sampai Allah membukakan kemenangan makkah untuk Rasulullah SAWW dan kemudian dihapuskan, seseorang laki-laki menikahi wanita dengan waktu yang ditentukan semalam atau dua malam, atau seminggu dengan mahar atau sejenisnya, menunaikan hajat maksudnya dan kemudian menceraikannya, disebut mut’ah karena menikmati atas apa yang diberikan untuk wanita (tafsir al-kassyaf 1/519). Itulah definisi dari mut’ah wanita atau nikah mut’ah yang diambil dari perspektif ulama kontemporer ahlusunnah, dan sebentarlagi kita akan merincikan definisinya dalam perspektif Ahlulbayt as.

Nikah mut'ah dalam perspektif syiah

Nikah mut’ah atau mut’ah wanita ialah dinikahinya seorang wanita atau dinikahkan oleh walinya atau wakilnya dengan seorang laki-laki meskipun masih kecil dan dihalalkan untuknya, dan bagi dia tidak ada pembatas dalam syariat dalam nasab (keturunan), menyusui, iddah atau kawin, dengan mahar yang telah ditentukan dan disepakati, dan berpisah sehabis masanya, dan pihak laki-laki dapat menghibahkan sesuatu yang tersisa dari masanya, dan setelah berpisah wanita menjalani masa iddah jika terjadi didalamnya hubungan seksual, dan belum menopouse, dan apabila dalam masa haid maka iddahnya adalah selama empatpuluhlima hari, dan jikalau dia belum tersentuh perbuatan intim maka dia suci tanpa iddah, dan perkara bayi yang dilahirkan dari pernikahan tersebut (nikah mut’ah/nikah dengan batas waktu tertentu), adalah sebagaimana pernikahan da’im (rujukan nikah mut’ah dalam fiqih imamiyah, ex: syarh lum’ah dimsyiqiyah, dan syara’i’ al-islam, atau selainnya)

Nikah mut'ah dalam perspektif Quran

Allah SWT berfirman “maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna, sebagai satu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu, seungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana, annisa’:24” Abdu al-razzaq dalam kitab mushannifnya, redaksinya dari atho’: sesungguhnya ibnu abbas membaca “maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna” (al-mushannif 7/497-498 bab mut’ah, karangan abdu al-razzaq bin himam al-san’aani mawla hamiir, 126-211H, cetakan 1390-1392H penerbit al-majma’ al-ilmi beirut, mencetak hadis ashab al-sittah, rujukan terjemahan dalam al-jam’ baina rijal al-shahihain wa taqrib al-tahdzib, dan rujukan bidayah al-mujtahid karangan ibnu rusyd 2/63). Dalam tafsir al-thabari, redaksi dari habib ibin abi tsabit mengatakan: ibnu abbas memberiku mushaf (al-qur’an) seraya beliau berkata: beginilah ayahku membacanya “maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna” (dalam tafsir ayat dari kitab tafsir al-thabari 5/9).

Dalam tafsir al-thabari, ada dua redaksi dari abi nadhrah mengatakan: aku bertanya tentang mut’ah kepada ibnu abbas, beliaupun menjawab: pernahkah kau membaca surat annisa’? akupun menjawa: ya, beliau berkata: tidakkah kau membaca maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna???, akupun menjawab: kalau aku membacanya mana mungkin aku bertanya!,beliaupun menjawab: bacalah seperti itu! Redaksi kedua dari abu nadhrah: aku membaca ayat ini berdasarkan ibnu abbas “maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati diantara mereka,” ibnu abbas melanjutkannya “berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna” dia berkata: aku mengatakan: aku tidak membacanya seperti itu, beliau menjawab: demi Allah, Allah menurunkannya begitu, mengulanginya hingga tiga kali. Redaksi dari amir dan abu ishaq, bahwa ibnu abbas membaca” maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna”. Redaksi dari mujahid “maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna” beliau berkata: yang dimaksud adalah mut’ah. Redaksi dari umar dan ibnu marrah, bahwasannya dia mendengar sa’id bin jabir mengatakan “maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna”. Redaksi dari qotadah mengatakan: abi bin ka’ab membaca “maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna”. Redaksi dari syu’bah mengais berita dari alhikam, berkata: aku bertanya kepadanya (alhikam) tentang ayat ini, apakah tergolong mansyukh? Dia menjawab: tidak! Kami telah menghimpun hadis-hadis (2-9) dari tafsir thabari dan sebagian ulama memperbolehkannya. Dalam kitab ahkam al-qur’an karangan hassos juga ada redaksi riwayat dari abi nadhrah dan abi tsabit, dari ibnu abbas dan bacaan ubay bin ka’ab (ahkam al-qur’an 2/148) Al-baihaqi meriwayatkan dalam kitab sunan al-kubranya redaksi dari muhammad bin ka’ab, bahwa ibnu abbas mengatakan mut’ah sudah ada pada awal berdirinya islam dan mereka membaca ayat ini “maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna”. (sunan al-baihaqi 7/205). Penjelasan an-nawawi menukil dari sahih muslim: ibnu mas’ud membaca “maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna” (syarah annawawi menukil sahih muslim 9/179).

Dalam tafsir zamakhsyari: disebutkan turun ayat berkaitan dengan mut’ah yang masanya tiga hari, dia menambahkan: disebut mut’ah karena bentuk kenikmatannya, dan dia mengatakan:dari ibnu abbas ayat tersebut tergolong muhkam, tidak mansyukh, dan dia membaca “maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna” (alkassyaf karangan zamakhsari 1/519). Al-qurtubi mengatakan: mayoritas ulama berpendapat: yang dimaksudkan adalah nikah mut’ah yang muncul diawal berdirinya islam, ibnu abbas dan ubay dan ibnu jabir membacanya “maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna” (tafsir al-qurtubi 5/130).

Dalam kitab tafsir ibnu katsir: ibnu abbas, ubay bin ka’ab, sa’id ibin jabir, dan assyuddi membaca “maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna sebagai satu kewajiban” mujahid mengatakan: ayat ini turun berkaitan dengan mut’ah (tafsir ibnu katsir 1/474). Dalam tafsir suyuthi hadis redaksi abi tsabit dan abi nadhrah riwayat dari qatadah dan sa’id ibin jabir, bacaan ubay dan hadis redaksi mujahid, assyuddi dan atho’ dari ibnu abbas, dan hadis redaksi alhikam bahwasannya ayat ini bukan tergolong mansyukh, redaksi atho’ dari ibnu abbas mengatakan: ayat tersebut terdapat dalam surat annisa’ “maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna” beliau menambahkan tidak ada warisan diantara mereka dan jika telah nampak kerelaan diantara mereka setelah habis masanya alangkah baiknya, dan apabila berpisah juga baik sekali (al-durr al-mantsur karangan suyuthi 2/140, adapun redaksi dari atho’ al-mushanniif karangan abdu al-razzaq 7/479, dan rujukan bidayah al-mujtahid karangan ibnu rusyd 2/63).

Nikah mut'ah dalam perspektif hadis

Dalam kitab sahih bukhari dan muslim bab nikah mut'ah dan dua pengarang kitab yakni adbu al-razzaq dan ibnu abi syabiih, dan musnad ahmad dan sunan al-baihaqi dan selainnya redaksi dari abdullah ibin mas’ud berkata: kami berada dimedan laga bersama Rasulullah SAWW dan tidak ada wanita dikelompok kami, kami bergumam “tidakkah kita beristirahat sejenak?, beliaupun melarang kami, kemudian beliaupun mengizinkan kami untuk menikahi wanita dengan mahar yang telah disepakati, kemudian abdullah membaca “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik, yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas al-maiidah:87”, (sahih muslim kitab nikah juz 1404 hal 1022 dengan redaksi yang beragam, dalam sahih bukhari 3/85 tafsir surat almaidah bab firman Allah “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik, yang telah Allah halalkan bagi kamu” dan dalam kitab nikah dari kitab tersebut 3/159 bab hal-hal yang dibenci dalam perceraian dengan perbedaan lafal yang ada,kitab mushannif karangan abdu al-razzaq 7/506 beserta tambahannya dipenghujung hadis, dalam kitab karangannya ibnu abi syabiih 3/294, dalam musnad ahmad 1/420, dia mengatakan dengan bersemangat “ibnu mas’ud telah mengambil dan meriwayatkan hal ini bahwa nikah mut’ah halal”, ringkasnya terdapat didalamnya hal 432, dalam sunan al-baihaqi 7/200-201 lengkap dengan komentarnya dengan hadis, dalam tafsir ibnu katsir 2/87)

Dalam sahih bukhari dan muslim, dan karangan abdu al-razzaq dan lafadz kumpullan muslim dari ibin jabir bin abdillah dan salamah bin akwa’ mengatakan: telah keluar seruan dari Rasulullah SAWW, sesungguhnya Rasulullah telah mengizinkan kalian menikmati wanita yakni nikah mut’ah (sahih muslim hal 1022 juz 1405, bukhari 3/164 bab akhir-akhir rasulullah melarang nikah mut’ah, bunyinya: kami sedang berada dalam barisan tentara, utusan Rasulullah mendatangi kami,,,, begitupula bunyi musnad ahmad 4/51, dan hal 48 ringkasnya, dalam kitab karangan abdu al-razaq 7/498, dengan sedikit perbedaan) Dalam sahih muslim dan musnad ahmad dan sunan al-baihaqi, dari sibrah al-juhny berkata: Rasulullah memberikan kami izin bermut’ah, akupun segera bergegas bersama seorang pemuda menuju wanita kabilah bani aamir, nampaknya dia adalah gadis yang lehernya panjang, kamipun menawarkan diri kami, dia berkata: apa yang akan kamu berikan?, akupun menjawab: selendangku, dan temanku menyahut: selendang kami. Selendang milik temanku lebih baik dari kepunyaanku, tetapi aku lebih muda darinya, ketika dia melihat selendang temanku iapun terkagum, dan ketika dia melihatku, aku membuatnya kagum. Kemudian dia berkata: kamu dan selendangmu cukup untukku, maka akupun bermukim bersamanya selama tiga hari, kemudian sesungguhnya Rasulullah bersabda” barang siapa yang mempunyai urusan dengan para wanita ini, yang telah bermut’ah, maka hendaknya memutuskan ikatannya (sahih muslim kitab nikah juz 1406 hal 1024, sunan al-baihaqi 7/202-203, musnad ahmad 3/405, setelahnya ia berkata”maka aku menceraikan keduanya" Dalam musnad al-thoyalasi dari muslim al-qurosyi berkata: aku menemui asma’ putri abu bakar dan aku bertanya kepadanya tentang nikah mut’ah, iapun menjawab: kami telah melakukannya dimasa Nabi SAWW (al-thayalasi 1637)

Dalam musnad ahmad dan selainnya dari abu sa’id al-khudri: kami sedang bermut’ah dimasa Rasulullah SAWW dengan mahar (musnad ahmad 3/22, dalam majma’ zawaid 4/263 diriwayatkan ahmad dan al-bazar) Dalam sahih muslim dan musnad ahmad dan selainnya bunyi lafadz pertama atho’ berkata: jabir bin abdillah datang bersorak, kamipun mendatangi kerumahnya, segerombolan orang menanyainya tentang segala hal kemudian mereka menyebutkan mut’ah, iapun berkata: ya, kami telah bermut’ah pada masa Rasulullah SAWW, abu bakar dan umar (sahih muslim kitab nikah terbitan juz 1405 hal 1023, syarah nawawi 9/183, musnad ahmad 3/380, rijal ahmad dan rijal sahih, abu daud bab shodaq, “kami telah bermut’ah pada masa Rasulullah, dan abu bakar dan setengah masa kholifah umar, sebelum kemudian kholifah umar melarangnya, rujukan um’dah al-qorii karangan aynii 8/310) Dalam lafadz ahmad dan setelahnya: “sampai pada masa khilafah umar” Dan dalam kitab bidayah al-mujtahid: dan separuh dari khilafah umar sebelum kemudian dia melarang manusia melakukannya (bidayah al-mujtahid karangan ibnu rusyd 2/63) Pernyataan mutawatir dari khalifah umar: "pada masa Rasul mut’ah ada dua kategori, dan saya melarang keduanya dan memberikan hukuman bagi yang melakukannya yaitu mut’ah haji dan mut’ah wanita" 1. Tafsir al-qurtubi 2/388, 2. Tasir al-fakhrurrazi 2/167, 3/201-202, 3. Kanzul ummal 8/293-294, 4. Al-bayan wa al-tabyin karangan al-hafidz 2/223) Sebagai penguasa pemerintahan, mungkin saja khalifah Umar berhak untuk memfatwakan kebijakan sesuai kondisi masyarakat pada masanya, tetapi ketetapan fatwa tersebut tidak serta merta menjadi suatu hukum yang abadi. Hanya yang Allah dan Rasulnya halalkan maka menjadi halal selamanya dan yang diharamkan menjadi haram selamanya.

Kesimpulan

 1. Pernikahan adalah kesepakatan yang diatur oleh syariat antara laki-laki dan wanita. Dan pernikahan mut'ah adalah salah satu dari bentuk kesepakatan ijab dan qabul pernikahan

2. Dalam kesepakatan Ijab dan Qobul, wanitalah yang menyampaikan Ijab (wanita yang menikahkan) dan laki-laki menjawab dengan Qobul (menerima)

3. Laki-laki dan wanita adalah sama kedudukannya sebagai manusia, dengan tabiatnya. Keduanya memiki tuntutan yang sama sesuai sunnah Allah pada diri mereka. Dalam kebutuhan terhadap pemenuhan hasrat sebagai manusia normal, keduanya adalah sama.

4. Memandang pernikahan harus dari kedua sisi, yaitu keperluan laki-laki dan wanita. Sehingga tidak memposisikan wanita sebagai alat keperluan laki-laki semata, dan memposisikan wanita sebagai sosok tanpa peran dalam memutuskan pernikahannya.

5. Adat istiadat adalah sesuatu yang tidak boleh dihapuskan, tetapi juga tidak boleh dijadikan alasan hukum sebagaimana kedudukan syariat.

6. Kemestian menghargai hak seseorang baik laki-laki atau wanita dalam mengambil keputusan terhadap tujuan pernikahannya, selama tidak dilakukan dengan cara menipu atau melanggar aturan syar'i

7. Adanya pelaksanaan nikah mut'ah pada masa Rasulullah, Khalifah Abubakar dan sebagian masa pemerintahan Kalifah Umar

8. Terbaginya muslimin pada dua pendapat tentang tetap halalnya nikah mut'ah dan diharamkannya nikah mut'ah meskipun sebelumnya pernah dihalalkan.

Ini adalah penjelasan ringkas yang dapat saya sampaikan seputar masalah mut'ah. Untuk lebih jelasnya silahkan merujuk kepada kitab-kitab yang berhubungan atau secara khusus membahasnya, baik yang mendukung atau yang menolak tentang halal serta haramnya. Wallahu waliyyuttaufiq


Tanya Jawab :


Tanya : kalau mut'ah dengan wanita baghiyah (pelacur) gmana hukumnya? atau dengan bikr (peraan ) yang tidak disetujui walinya?Trima kasih


Jawab :  Dengan baghiyyah makruh syadid, sebaiknya tidak dilakukan. Dan menikahi bikr/perawan (daim/mut'ah) harus dengan izin walinya


Tanya :  apa arti izin wali? cukupkah pemberitahuan?


Jawab : Wali mengetahui dan merestui

Tanya : dalam kasusnya wali mengetahui tapi nggak merestui, gimana ini?

Jawab :  Bila wali tahu dan diam maka diamnya adalah restunya.  Dan bila wali menyatakan menolak, baik verbal atau isyarat, maka tidak ada izin

Diambil dari :
http://www.facebook.com/notes/abdullah-muhammad-som/penjelasan-ringkas-nikah-mutah/168893066525510

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Kamu?