Minggu, 11 September 2011

Cerpen : Atas Nama Revolusi

Seperti biasa, dia , lelaki yang ku cintai, memintaku menunggunya di pintu keluar parkir gedung teater tempatnya mengalunkan sajak cinta bersama pejuang revolusi lain. Saat ini, ada semacam kesepakatan para penyair untuk mengumandangkan sajak-sajak cinta. Semua orang sedang merindukan revolusi. Negara sudah pada puncak kebobokannya. Tingkat korupsi tinggi. Kampus-kampus sudah mulai sepi tak ada mahasiswa karena biaya pendidikan tinggi tak tercapai oleh orang-orang yang kelaparan. Di samping itu, orang-orang kaya yang mengeruk keuntungan dari korupsi telah memindahkan keluarganya ke luar negeri karena situasi dalam negeri sudah tidak aman lagi. Terlalu banyak penjarahan dan kesenjangan sosial.
“Cuma cinta yang dapat menggerakkan revolusi”, katanya pada suatu hari di pinggir pantai yang lenggang dan penuh limbah tak terurus, “Hati rakyat perlu di lembutkan dengan cinta Dinda”.
Aku menoleh padanya dan bergumam, “Tapi sajak mu selalu tentang keindahan wanita, bukan tentang syair patriotik cinta negara seperti Rendra atau Taufik Ismail puluhan tahun lalu.”
“Tidak Dinda, yang kulakukan sudah benar, wanitalah yang akan melembutkan jiwa bangsa ini. Kita semua butuh sosok Ibu pertiwi. Kelembutan. Pejabat kita perlu itu, rakyat kecil yang kemarin menjarah mall butuh kelembutan hati, dan aku, butuh kamu untuk membuat hati para rakyat kita menjadi lembut.”
“Jadi, apa yang kamu inginkan?”
“Terimalah aku dinda, apalagi yang kita tunggu?” Ia memandangku lembut, aku menghindari tatapan matanya.
“Aku pikir kamu akan menjawab bahwa kita butuh revolusi. Ah ya... kalau kita tidak revolusi, aku tidak akan pernah jadi sarjana. Tidak ada yang sanggup kuliah dengan biaya setinggi itu di jaman ini kecuali koruptor.”
“Benar Dinda, kita akan revolusi, tapi para pejuang tidak akan bisa tanpa seorang ratu, dan kamu adalah sang Ratu itu. Masih aku ingat bahwa kau yang membakar semangat para pejuang untuk terus menggulingkan tiran.”
“Jun,kata-katamu manis sekali, tapi aku belum lupa bahwa 1 tahun lalu kamu mengatakan hal serupa tapi kamu justru menjalin cinta dengan Anggun.” Aku menggeser letak dudukku, semakin menjaga jarak, sebenarnya aku semakin tergoda untuk menerima nya.
“Sepertinya kita sudah pernah membahas ini”.
“Oh ya... Aku tidak pernah bosan membahas ini”.
“Sekali lagi aku bercerita padamu, saat itu situasi kacau, harus ada yang melindungi Anggun, Saat itu di daerah selatan mencekam, tidak ada seorangpun yang melindunginya. Dia tidak siap berperang sepertimu Dinda, dia ketakutan dan saat itu hanya ada aku. Aku harus selalu ada di sampingnya. Ini demi negara Dinda, demi cita-cita revolusi kita.” Jun memungut sebatang ranting dan menuliskan ‘REVOLUSI’sebesar dia bisa. “Apakah salah bila aku menyebar kasih sayang dinda? Di saat kekacauan terjadi dimana-mana begini.”
“Bagaimana kita akan revolusi kalau pemudanya masih bermain di seputar perasaan perempuan? Para perempuan akan mulai sibuk dengan perasaan nya sendiri dan orang-orang sibuk mengamankan dirinya sendiri. Kalau ditanya apa yang harus aku lakukan saat ini, aku justru ingin kamu kembali pada Anggun. Aku tidak dapat membayangkan tangisnya saat kamu memutuskan pergi ke daerah barat menemuiku lagi dan bergabung di sini lagi.”
“Dinda...” Jun memintaku untuk memandangnya, aku mengacuhan pandangan ke air laut yang menghitam, “Ada banyak wanita di dunia ini yang dapat dijadikan istri, tapi hanya kamu yang akan aku jadikan ibu bagi anak-anakku. Aku ingin anak-anakku siap di garda terdepan revolusi. Lihatlah, betapa kita nanti akan menghasilkan generasi pemberani? Lihatlah! Dunia memanggil kita dengan suara merdu revolusi...”
“Jun! Dinda!”, Ada suara dari sebelah kanan memanggil kami keras, “Di area pertokoan simpang 7 ada penjarahan! Lekaslah kesana. Polisi mulai mempersiapkan gas air mata. Kita harus kesana!!!” Roni berteriak sambil berlari ke arah kami. Tubuh besarnya bersimbah keringat. Pasti sulit baginya berlari. Kami segera beranjak dan menghentikan pembicaraan saat itu. Kita berdua tidak pernah dapat menyelesaikan apa yang ingin kita bahas karena ada hal yang lebih mendesak untuk kita bicarakan. Revolusi.

                                                           ***

Sekarang, Aku menunggunya di pintu keluar parkir gedung ini untuk mendengarnya lagi. Berharap kali ini dia punya hal baik yang mungkin berbeda dengan yang kemarin.  
“Hai...”
Jun datang, dengan kaos hitam bertuliskan REVOLUSI berwarna merah. Ia buru-buru memakai jaket untuk menutupi kaosnya. Saat ini aparat berpatroli dimana-mana dan pemerintah mulai alergi kata revolusi. Di tahun 2025 ini, semua media tidak lagi bisa bicara. Media menjadi alat pemerintah untuk membuat rakyat tidak tahu apa-apa. Rakyat kecil diberi kemudahan kredit TV hingga orang miskin punya TV. Bahkan lebih baik anaknya mati kelaparan daripada kehilangan TV nya. Hanya radio amatiran bergelombang am saja yang berani menggelorakan suara rakyat yang menginginkan perubahan. Zaman dan teknologi canggih yang pernah diramalkan sebelumnya oleh para ilmuan tidak dapat kita nikmati. Terlalu mahal. 
Akhirnya para seniman menggunakan cara tradisional, yaitu dengan menghidupkan kembali panggung kesenian. Panggung seni itu digelar sebagai ajang berbagi kode dan informasi. Banyak pentas teater ilegal berakhir pada kematian senimannya. Pentas yang Jun adakan ini belum termasuk ilegal karena tidak mengandung kata revolusi di dalamnya. Semua telah disamarkan dengan kata cinta. Dan pemerintah tidak mampu memblokir kata itu.
“Hai jun, aku senang kamu tidak terlambat.”
“Aku tidak pernah terlambat untukmu dinda...”
“Kali ini sajak mu bagus.” Kata ku berbasa-basi.
“Biasanya?”
“Biasa saja.”
“padahal semua syair cinta yang ku tulis muaranya padamu.”
“Oh ya, kamu tidak pernah menuliskan namaku di syair-syairmu.”
“Karena bila aku mengumandangkan keindahanmu pada dunia, semua orang akan menyadari keindahanmu Dinda, lalu mereka akan datang untuk menjadi sahayamu.”
“Haha”, Aku tertawa kecil,”Kenapa harus ada orang yang sebegitu pandai merayu sepertimu.”
“Bahkan rayuan ku ini pun bermuara kepadamu. Karena mu.”
Aku tertawa kecil, aku tahu ini gombal, tapi aku suka mendengarnya.
 “Dinda, bila aku ungkapkan bahwa engkau indah, maka orang lain akan mencintai mu juga.”
“Apa?” Aku terkejut, bagiku itu berlebihan. “Aku bukan perempuan yang bisa membuat sesuatu jadi begitu.”
“Ya... kau begitu Dinda, kau harus menyadari, jangan terlalu berendah hati.”
“Aku tidak sedang berendah hati. Aku bicara yang sebenarnya,”
“Dinda... dengar...” Jun berhenti dibawah rindangnya pohon beringin. Langkahnya membawa kami menuju bekas taman kota yang kini tak terurus, “Kamu begitu mudah dicintai, Tapi begitu sulit di dapatkan.”
“Aku masih berfikir tentang Anggun, Seharusnya kamu yang membuatnya jatuh cinta, kamu yang harus menikahinya.”
“Aku tidak bisa dinda, aku hanya mau menikah denganmu.”
“Kalau setahun lalu kamu mengatakannya padaku, tidak akan serumit ini. Dia perempuan, aku juga, aku tahu bagaimana kehilngan orang yang dicintai. Saat bersama dia, kamu tetap bisa membuat sajak cinta.”
“itu tertuju padamu Dinda, aku merasa sangat bersalah pada Anggun karena saat bersamanya, yang muncul di alam akalku adalah kamu, dan yang ada di pikiranku bahwa aku harus kembali padamu.”
Aku tidak dapat membantahnya. Lelaki ini benar-benar tahu cara meyakinkan perempuan dan membekukan argumentasi. Aku mencoba celah lainnya.
“Jun, kau tidak pernah memberikan ku sajak saat ulang tahun. Tapi kau membacakan sajak untuknya saat dia ulang tahun.”
“Semua sajakku tertuju padamu, salahkah aku memberikan 1 saja sajak untuknya?”
Skak mat lagi untukku. Kami terdiam sejenak, tangan Jun ada di saku celananya. Mungkin dia tergoda dengan korek dan rokok di sakunya, tapi dia tahu aku tak suka dia merokok.
“Jun, aku bingung, seharusnya aku memikirkan bagaimana revolusi kita dan menghentikan ini semua, Tapi aku justru di sibukkan dengan persoalan ini. Betapa sayangnya waktu yang kita buang untuk membahas masalah perasaan.”
“Revolusi tidak lahir dari generasi yang disibukkan dengan masalah pribadi, bila keadaan kita masih seperti ini, aku pikir kita tidak akan pernah revolusi.”
“Aku ragu Jun, aku sudah pada tingkat tidak percaya pada laki-laki. Apalagi aku merasa kamu tidak setia padaku.”
“Aku setia padamu Dinda...” Jun menatapku dalam, “Aku tidak pernah meninggalkanmu. Bila aku pernah bersama Anggun, itu bukan berarti aku tidak setia. Kamu lihat, aku disini bersamamu?”
Aku menari nafas panjang, jelas laki-laki ini sangat pintar merayu. Pipiku mulai panas tersipu, “Setia adalah ada disaat duka dan suka. Di saat duka ku, kamu dimana?”
“Setia adalah tidak meninggalkan, bahkan saat ada wanita lain”
“Ah, teori darimana?”
“Teori ku”
“Kenapa kamu suka mengeluarkan teori yang tidak disepakati masyarakat umum sih?”
“Memang kamu pernah survey bahwa definisi setia yang benar adalah versimu? Apakah ada konsensus yang secara khusus membahas itu?”
“Tidak” Jawabku singkat
“Kalau begitu teorimu juga tidak bisa dibilang benar”.
“Sesukamu saja lah, bersamamu selalu membuatku tampak bodoh, kamu selalu dapat mengalahkan argumenku yang sebenarnya di alam fikirku itu tampak benar, tapi aku tidak dapat mengungkapkannya di depanmu.”
“Kenapa begitu?”
“Yah... aku merasa kalah dalam berargumentasi saja, bahkan di forum forum revolusi kita.”
Jun berjalan di depan sambil tertawa kecil, Aku tahu dia sedang merayakan kemenangannya dalam beragumentasi denganku. Aku benar-benar tidak suka jadi merasa bodoh begini.
Jun membimbingku duduk di kursi halte yang sebagian besinya sudah berkarat. Dia membersihkan kursi dengan telapak tangannya dan mempersilahkan aku duduk. “Sebaliknya, berbicara denganmu membuatku banyak berfikir. Aku harus mencari-cari pembahasan yang aku pikir tidak membuat ku jadi bodoh di depanmu. Aku takut, tidak menjadi pantas...”
Ucapannya menggantung. Kami diam, perasaanku bergemuruh. Aku takut Jun mendengar detak jantungku.
“Jun...” Panggilku.
“Ya Dinda...”
“Tulislah namaku di syairmu yang tertuju padaku, aku ingin seseorang mengabadikan namaku, anggaplah itu sebagai prasasti”.
“Dinda... Tidak penting orang tahu tetang kita, cukup kamu sudah tahu bahwa itu untukmu saja. Dinda... Yang terlihat adalah yang paling tidak memberikan informasi. Biarlah  cerita tentang dirimu aku simpan di kotak rahasia terdalam, kamu begitu berharga untuk aku pamerkan.”
“Jun, aku berfikir, bahwa mungkin saja, ada orang lain yg merasa bahwa syair itu untuk dia juga.”
“Semua orang berhak berfikir begitu. Di jaman sekarang sangat sulit berbahagia. Bila dengan satu syair dapat mengembangkan 1 senyum, maka akan aku gubah sejuta syair lagi agar seluruh negeri dapa tersenyum.”
“Penduduk negeri kita hampir 7 milyar sekarang jun”
“Baiklah”, kali ini jun tampak kesal di koreksi, “Akan aku buat 7 milyar lebih syair. Asal kamu selalu jadi inspirasiku”.
“Jun, kalau begitu kita menikah saja”.
“Bukankah kamu ragu padaku?”
“Iya, yakinkan aku dengan pernikahan, aku hanya ingin diyakinkan bahwa kamu tidak akan meninggalkan aku seperti setahun lalu.”
“Kamu harus mantap saat menikah denganku, tidak akan pernah terjadi pernikahan tanpa kemantapan.”.
“Jun, kamu aneh, seolah-olah aku adalah ratu mu, tapi kamu justru seringkali jadi maharaja dalam menentukan kputusan-keputusan. Aku sebenarnya tidak pernah jadi ratu mu. Inilah yang membuatku ragu, Aku tertarik dengan cinta mu, revolusi mu, perubahan yang kamu bicarakan, tapi kamu yang memutuskan semuanya seolah hanya kamu saja yang punya rasa, seolah Cuma kamu saja yang punya cinta. Aku pikir, tidak semua yang terjadi adalah hasil pemikiranmu sendiri. Kadang kamu harus memenuhi permintaan ku, hanya untuk sekedar membuatku senang.”
“Menurutmu aku seegois itu?”
“Iya, kamu begitu.”
“Oh Dinda... aku tidak seperti tu, kali ini biar aku berfikir jernih dulu. Aku hanya ingin mempertimbangkan lagi tentang keraguan dan pernikahan ini.” Dia menunduk tampak kecewa, “Ada seruan dari timur untuk bergabung dengan kelompok revolusi merah, ada tokoh disana, aku akan kesana sambil berfikir. Aku akan menghubungimu. Jaga dirimu.”
“Jun, kamu akan pergi sekarang?” Aku terkejut saat Jun tiba-tiba mulai berdiri.
Jun mengangguk, dia membelai singkat kepalaku, Secepat bayangan, punggungnya menghilang di balik tikungan.
Sejak itu, jun hampir tidak terdengar kabarnya, salah satu surat kabar telah dilumpuhkan oleh kelompok revolusi merah timur. Semua isi koran tersebut adalah ajakan revolusi. Aku bimbang dengan perasaan ku dan mengesampingkan nyanyian merdu revolusi. Aku memilih menyepi di pojok-pojok taman dan bermain dengan anak-anak untuk sekedar menenangkan diri. Di sana selalu ada yang meninggalkan koran dan aku tertarik meraih koran tersebut. Pandanganku langsung tertuju di sudut kanan bawah koran itu, tertulis sajak-sajak cinta jun, kali ini berjudul “Kepada Anggun, tempat bermuara syair ku...”. Aku terhenyak...

                                                               ***
Mungkin, aku belum cukup baik untuknya, mungkin dia hanya bercanda untuk menarik perhatianku, mungkin aku memang tak pernah ada baginya. Seruan revolusi lebih aku butuhkan untuk diriku sendiri dan aku mulai mengacuhkan seruan revolusi bangsaku. Dia memang tidak pernah menulis nama ku, tapi argumen bahwa “Yang terlihat adalah yang paling tidak memberikan informasi” masuk akal. Bila itu memang prinsipnya, maka sajak untuk Anggun ini artinya apa?
Aku membayangkan, Anggun tersipu malu dirayunya. Aku tidak dapat berhenti berfikir bahwa mungkin saja dia mengucapkan kata yang sama seperti kata-katanya padaku. Mungkin saja, aku telah melakukan kesalahan besar sehingga Jun menilai aku tak layak lagi jadi Ibu dari anak-anaknya. Aku resah. Aku merasa dibohongi saat Jun berkata bahwa segala sesuatu tentangku adalah satu-satunya yang spesial dalam hidupnya. Aku juga merasa terhina sekaligus. Dia kini menulis hal spesial tentang anggun, dan menuliskan namanya. Dia telah membuatkannya prasasti untuk mengumumkan pada dunia keindahan wanita yang dicintainya. Hal yang tidak pernah dilakukannya padaku.
Aku mungkin terlalu mudah dirayu. Parahnya, kini aku mulai menaruh perasaan-perasaan cinta saat Jun mengatakan banyak hal manis padaku. Belakangan aku mulai selalu berfikir bahwa aku tidak boleh melihat hari kemarin saat dia bersama Anggun. Bila ini terulang, semata kesalahanku yang tidak memperhitungkan kemungkinan terburuk menerima dirinya hadir dalam jiwaku.
Bodohnya aku, Dia bisa mengatakannya ke wanita manapun yang dia mau padahal. Memang, saat Jun merayu, seolah-olah hanya Aku lah yang akan di hujaninya dengan pujian. Tapi ternyata, pujian itu bisa untuk siapa saja yang dia kehendaki. Dia hanya membuat alam akalku menerima dan menganggap bahwa aku adalah gadis terpilih diantara ribuan gadis. Ah... bodohnya aku. Seharusnya konsentrasi pada revolusi ini jangan terpecah dengan urusan-urusan perasaan yang menimbulkan kegelisahan. Namun dalam hatiku, aku masih bertanya-tanya, ada apa dibalik segala perbuatan Jun yang mengatasnamakan revolusi?
Revolusi, agama, perdamaian, cinta adalah nyanyian merdu untuk kaum tertindas. Di negara lain, banyak tokoh yang berjuang mati-matian untuk revolusi namun justru orang lain lah yang memanen hasilnya. Para pejuang mati terbunuh, yang masih hidup dan cukup licik tiba-tiba jadi pahlawan seolah-olah dialah yang bekerja. Aku masih tidak paham kepada mereka yang berlindung di balik jubah revolusi untuk meninabobokkan para pejuang sejati dan menghidupkan namanya sendiri. Apakah ini seperti Pemuka agama kini yang dekat dengan penguasa korup yang menjual agamanya? Akankah para aktivis kini juga menjual nama perjuangan untuk tujuan-tujuan di luar  revolusi? Lalu apa bedanya dengan pelacur yang menjual tubuhnya untuk kepentingannya sendiri?
Ah... pikiran ini makin menggelisahkan aku. Mungkin nanti, ceritaku tak akan pernah dicatat dalam sejarah. Tak seorangpun akan tahu karena aku tidak mengizinkan seorangpun tahu ceritaku dengan nya. Bila aku bercerita pada orang-orang perihal kesedihanku, tidak adil bagi Jun yang akan dihakimi oleh orang-orang yang bahkan tidak mengenalnya. Aku sesak memikirkannya. Tapi sudahlah, aku akan mencintainya dalam diam walau aku tidak akan pernah membiarkan raganya dekat padaku lagi. Ini sudah cukup, dan aku tak mau salah melangkah lagi. Revolsi harus terus berjalan dan aku memulainya dari peristiwa ini, dalam diriku sendiri.

Surakarta Hadiningrat,  11 sept 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Kamu?