Selasa, 24 Juli 2012

3 Hari, 3 Kota


“Friends show their love in times of trouble.” Euripides

Patah hati tahun lalu akan jadi masa terburuk dalam hidupku kalau tidak ada sahabatku, Shei. Sakit yang aku rasakan itu bukan semata-mata karena di tipu oleh lelaki yang aku sayangi dan aku percaya. Tapi lebih karena  aku merasa begitu bodoh kenapa sampai tidak tahu kalau orang yang selama ini aku sayangi ternyata sudah berkeluarga. Lelaki itu begitu muda, pintar dan tampak sangat baik sampai suatu hari istrinya mengirimkan SMS dengan cara baik-baik beserta MMS foto keluarga mereka.

Aku yang tinggal jauh dari orang tua saat itu benar-benar goyah. Tidak tahu bagaimana mengontrol sakit hati  ini. Aku hanya mengirimkan SMS ke Shei, “Aku sakit, please ke Kostan.”

Tak lama, Shei datang dengan wajah khawatir, aku memeluknya dan bilang, “Dia udah punya Istri Shei....”

Shei kaget dan bilang, “Ya ampun! Kayaknya orangnya baik gitu. Ayo kita balas dendam!”

“Yang jelas, gue nggak mau ada kontak lagi sama dia. Dan gue nggak mau ganggu keluarga dia. Ya ampun shei... Anaknya lucu banget shei, nggak mungkin gue bisa punya nyali untuk sekedar balas dendam.”

“Trus, elu mau gimana? Mau nangis terus gini? Elu pengen ngapain?”

“Gue  kangen rumah Shei, pengen pulang ke Solo, tiba-tiba kangen sama kakak gue yang suka gue curhatin tentang dia. Tau sendiri,kakak gue dari dulu nggak pernah suka cowok ini. Gue pengen meluk dia dan bilang maaf nggak pernah dengerin apa kata dia. Tapi nggak mungkin...”

“Hei.. Jakarta Solo deket! Mungkin aja. Ayo Packing!”

Shei langsung membuka lemariku dan mengelurkan beberapa bajuku. “Ayo ke Solo. Elu siapin baju. Gue balik ke Kostan dulu bawa ransel dan baju gue. Elu pack peralatan mandi ya! Buruan. Udah jam 5 sore nih.”

“Shei... Nggak mungkin. Mau naik apa?”

“Emang naik apa biasanya?”

“Kereta...”

“Nah! Ayo naik kereta. Buruan! Gue balik ke kostan dulu ya.”

“Serius? Gue bokek kalau buat begituan.”

“Gue ada duit kok. Elu gue utangin.”

Sikap shei yang seperti itu saja membuatku tidak sempat menangis lagi. Aku mengemasi baju dan peralatan mandi ku. Menunggu Shei yang sedang melakukan hal yang sama di Kostnya. Aku tidak menyangka dia akan segila ini. Ini memang hari Jumat. Sabtu minggu kuliah jelas libur. Tapi membayangkan suasana kereta yang penuh sesak saat weekend saja sudah membuatku gila.
5 menit kemudian, shei datang dengan ransel nya. Dia segera mengepack bajuku di ranselnya juga sambil berceramah tentang kesia-siaan ku menangisi sesuatu yang tidak pantas di tangisi. Dia juga sudah menjelaskan kalau sebenarnya keuangan dia juga pas-pasan. Saat itu, Aku tidak sempat berfikir apakah yang kita lakukan cukup waras atau tidak. Yang jelas, jam 6 malam, kami berdua berangkat ke Stasiun Jatinegara.

Sudah ku duga. Tiket kereta ekonomi Bengawan pasti sudah habis. Dengan keputus asaan ku, aku tidak lagi dapat berfikir. Yang jelas, kami sudah di stasiun dan akan konyol jadinya andai kami kembali ke kost lagi tanpa hasil apa-apa.

Stasiun malam itu penuh dengan orang berpakaian warna orange. Mereka adalah suporter Jakmania yang ingin mendukung Persija berlaga ke Semarang. Saat itu, aku lupa apakah Shei atau aku yang berinisiatif, kami malah berakrab ria dengan para suporter itu dan tanpa membeli tiket, kami diajak mereka ikut sampai Semarang. Mereka bilang, setiap kali pertandingan bola, 2 gerbong paling belakag kereta itu disediakan khusus untuk suporter dengan harga khusus juga. Jadi kalau kita berdua ikut, kita tidak perlu beli tiket manual. Toh tiket ekonomi Jakarta-Semarang sudah habis.

Nekat, akhirnya aku dan shei bergabung dengan kumpulan suporter itu. Di dalam gerbong, kita berdua di beri tempat duduk oleh para suporter yang sebagian besar itu lelaki. Dari situ aku belajar bahwa para suporter bola itu tidak selamanya urakan. Mereka cukup baik dan hanya meminta kami membayar masing-masing Rp 15.000,00. Jadi kami berdua hanya perlu membayar total 30.000 Jakarta-Semarang. Penghematan yang luar biasa. Kami ikut menyanyi yel-yel Persija dan merasakan atmosfir kekeluargaan di sana. Energi mereka sangat luar biasa! Sepertinya mereka rela melakukan apa saja demi Tim pujaan.
Keesokan harinya, sesampainya kami di Stasiun Poncol, kami berpisah dnegan para suporter itu. Bukannya langsung berlanjut naik kereta ke Solo, aku dan Shei malah lanjut ke Tugu Muda Semarang. 

Senyum Shei di Tugu Muda Semarang 
Aku benar-benar lupa bahwa kemarin sore nya aku patah hati. Aku dan Shei makan di pinggir jalan dengan harga luar biasa murah. Kantong kami sangat aman saat itu. Di tugu muda, kami berfooto ria seolahkemarin tidak ada masalah apa-apa.

Jam 12 siang, kami kembali ke Stasiun Poncol untuk melanjutkan perjalanan ke Solo. Beruntunglah, kali ini kami bisa dengan tertib membeli tiket. Tidak ada Jakmania lagi yang melindungi kami dari petugas pemeriksa karcis soalnya.

Shei sama sekali tidak mengungkit tentang patah hati ku. Membuat ku lebih baik. Kita berdua duduk di pintu kereta yang lenggang. Menikmati udara segar Semarang sepanjang perjalanan. Melewati sawah yang hijau yang tidak pernah kita temukan di Jakarta.

Aku, di depan Lawang Sewu Semarang, tidak punya uang untuk masuk ke dalam :D
“Woooow...!!! SOLOOOOOO!!!!” Teriak Shei norak sesampainya kami di Stasiun Balapan Solo. Dengan bersemangat, dia melompat kesana-kemari minta foto hampir di seluruh sudut Stasiun Balapan yang memang penuh Unsur Jawa. Perasaan ku jadi ringan luar biasa melihat kegembiraannya bisa menginjakkan kaki di Kota ku. Setelah puas berfoto, aku dan Shei bergegas naik bus kota yang menuju rumahku.

Betapa kagetnya keluarga ku tahu aku pulang. Aku memang tidak memeberitahu mereka kalau aku akan pulang. Aku memeluk Ibu dan bapakku, dan buru-buru mencari kakak ku. Selagi Shei mandi, aku menceritakan semuanya tentang patah hati ku. Kakak ku mengerti dan tidak menyalahkan kebodohanku. Ia juga senang ada Shei yang bersama ku di saat aku seperti ini.

Malam nya, aku dan Shei sempat menikmati malam minggu di Kota Solo yang Indah. Kami menghabiskan waktu berdua sampai larut malam. Kali ini, aku yang membayar ongkos jalan kami karena aku Ibuku memberi suntikan dana.

“Pulang kapan?” Tanya Ibu ku, Ibu tidak tahu masalah ku tentu saja. Pertanyaannya sama saja dengan kode bahwa aku harus segera kembali ke Jakarta untuk kuliah. Aku dan Shei membaca kode itu dan kita segera berkemas lagi untuk pulang ke Jakarta.

Kami berlari-lari dari depan Rumah ke Jalan Raya menuju Stasiun. Di jalan, seorang nenek mengingatkan, “Ojo mlayu-mlayu, engko ndak tibo...” yang artinya, “Jangan lari-lari, nanti jatuh lho....” Shei tertawa mendengarnya. Dia bilang, “Inilah Solo! Semua orang berlaku lemah lembut dan ramah. Kayak gitu aja ada yang negur. Hahahaha....”

Di stasiun Purwosari Solo, kami ingin langsung membeli tiket ke Jakarta. Aku baru ingat bahwa kereta ke Jakarta hanya ada sore atau malam.

“Kalau gitu kita ke Jogja aja!”
Gaya Shei di Jogja

“Gila lu!” kataku.

“Eh, gila ya sekalian gila aja. Bekpekeran ke Jogja. Katanya kan deket. Malemnya baru kita cari kereta api ke Jakarta. Senin kuliah lagi. Kapan lagi gue bisa ke Jogja sama elu.”

“Oke juga, yuk!”

Ternyata, kami gagal dapat tiket Kereta Pramex jurusan Solo-Jogja. Kami berjalan ke daerah Kerten untuk naik Bus. Di bus kami istirahat total. Jujur saja, aku belum pernah ke jogja dan aku cukup buta daerah jogja. Sebenarnya aku juga buta daerah Semarang. Tapi toh ahirnya bisa sampai ke Tugu Muda juga, Harusnya kami juga bisa menjelajah Jogja sebentar sebelum lanjut ke Jakarta.

Bahkan aku lupa, saat itu bus berhenti dimana. Tau-tau kami naik bus lain yang menutunkan kami di Marioboro. Kami berjalan sangat jauh sampai Alun-Alun joga, berfoto di sepanjang jalan dan memasuki  Jogja Galery. Berfoto di City Walk Jogja dan dimanapun yang mungkin. Modal kami berdua Cuma kamera HP Nokia 5800 Xpress Music. HP kami berdua sama. Jadi secara bergantian, kami memotret apapun benda yang bisa cukup lama diam.

Tidak terasa, jam 6 malam! Kami berdua mulai panik takut tiket Kereta menuju Jakarta habis. Dengan becak yang berjalan bagai cacing kegendutan, akhirnya kami sampai ke stasiun . Bukan stasiun Tugu, tapi stasiun Lempuyangan yang menjual tiket Ekonomi. Kalau kami ke Stasiun Tugu, kami hanya bisa menemukan tiket Bisnis dan eksekutif. Perjalanan mendadak ini terlalu mewah jika harus pulang dengan harga tiket selangit.

Kami tidak bisa foto bersama, karena harus bergantian memotret satu sama lain
Di depan gerbang Alun-alun Jogja 
Beruntunglah, kami dapat tiket jam 8 Malam Jogja-Jakarta. Kami akan sampai di Jakarta jam 6 pagi, Kelasku jam 9 pagi. Selain menantang, kami juga sangat hemat saat itu. Aku memeluk Shei di kereta dan bersandar di bahunya saat aku merasa lelah. Aku ingat kata Leo Buscaglia,”A single rose can be my garden. A single friend, my world.”

Sesampainya di Jakarta pada senin pagi, kami masih punya energi untuk kuliah. Sampai sekarang, aku masih punya banyak rencana gila dengan Shei. Kami pernah dengan sangat hemat melakukan perjalan ke Jayapura dengan pesawat Hercules. Aku yakin, bersama orang yang tepat, kita akan melakukan segalanya dengan tepat dan bahagia. 

Melihat Trailer film Mama Cake, aku jadi teringat perjalanan ku dengan sahabatku ini. Walau memang tidak sama persis, perjalanan kami bernuansa epic rasanya. Mungkin, hari paling beruntung dalam hidupku mungkin adalah hari dimana aku mengenal Shei. Terimakasih, Tuhan... Ini memang unforgetable friendship moment...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Kamu?