(Dimuat di Majalah ITRAH edisi Juli 2012)
Rasanya seperti baru kemarin saat teringat masa-masa
menginjakkan kaki pertama kali di negeri para Mullah Januari lalu. Masih jelas
terbayang poster-poster selamat datang untuk para delegasi peserta konferensi
Islamic Awakening, di lokasi-lokasi strategis bandara. Saat itu, adanya poster
tersebut sangat melegakan hatiku karena bepergian sendiri ke luar negeri cukup
membuahkan kekhawatiran-kekhawatiran seperti takut tidak ada seorangpun yang menjemputku di
bandara, gagal mendapatkan visa yang tidak sempat aku urus di Indonesia, dan yang
lainnya.
Pemandangan Salju di Tehran |
Kekhawatiranku semakin sirna ketika menyadari ada delegasi
dari Malaysia yang berada satu pesawat denganku, yang juga belum memperoleh visa. Di
bandara, panitia meminta dokumenku untuk pengurusan visa. Setelah urusan visa beres,
aku pun keluar dari bandara. Aku menggigil karena dinginnya udara dini hari
musim dingin bersalju di Teheran. Sejak awal, aku tidak mengharapkan fasilitas
yang mewah selain penggantian tiket pesawat seperti yang dijanjikan panitia. Tapi
melihat fasilitas awal yang aku dapatkan membuatku berfikir ulang tentang Iran
karena ini diluar prediksiku. Aku pikir Iran adalah negara miskin yang sedang
prihatin sehingga mungkin saja aku hanya akan menginap di asrama sederhana. Ternyata,
aku malah dijamu dengan fasilitas kelas 1 di Hotel Internasional Azadi bintang
5 dengan kamar yang besar dan sangat hangat. Dari jendela kamarku yang terletak
di lantai 5, aku bisa melihat gedung-gedung bergaya klasik, sisa-sisa salju,
dan bukit yang tampak tandus dari jauh.
Di Rumah Rahbar Sayyid Ali Khamenei |
Rasanya seperti mimpi menjadi satu dari 20 Delegasi
Indonesia dalam Acara The Islamic
Awakening and Youth Conference yang dihelat di Milad Tower Tehran selama 3
hari. Aku juga akan bergabung dengan
sekitar 1200 orang delegasi lain dari sekitar 80 negara dari seluruh
dunia. Konferensi hari pertama berlangsung dengan pengamanan ketat karena
konferensi akan dihadiri oleh Presiden Republik Islam Iran, Mahmoud Ahmadinejad
dan Sekretaris Jenderal konferensi Pemuda dan Kebangkitan Islam, Ali Akbar
Velayati. Aula konferensi begitu besar dan penuh dengan teriakan bersemangat
dalam berbagai bahasa membuncah dimana-mana. Teriakan takbir, seruan anti
Amerika dan Israel membahana di setiap sudut ruangan. Bahkan terkadang ada
orasi ditengah-tengah konferensi oleh para delegasi yang juga disambut dengan
teriakan bersemangat yang lainnya.
Panitia menyediakan fasilitas penerjemahan, berupa headphone
dengan pilihan bahasa Parsi, Inggris dan Arab. Setelah aku memasang headphone
dan memilih bahasa Inggris sebagai terjemahan, segalanya menjadi jelas. Aku
bisa mengerti apa yang dibicarakan di podium. Selain itu, konferensi ini juga
kental suasana demonstrasi ala jalanan dengan banyaknya orator ulung yang
menyampaikan pidatonya bahkan sebelum mereka dipersilahkan. Mereka berbicara
dengan bahasa negaranya masing-masing tanpa mimbar. Aku membayangkan, apabila
hal itu terjadi di Indonesia pasti orang itu akan ‘diamankan’ demi
berlangsungnya konferensi yang tertib. Tapi ternyata pihak panitia
membiarkannya seolah-olah sudah mengalaminya setiap hari.
Asalouyeh |
Konferensi selanjutnya tidak lagi dihadiri oleh presiden dan
pengamanannya pun tidak seketat konferensi awal. Kali ini, para delegasi dibagi
menjadi beberapa kelompok dan memasuki ruang konferensi yang lebih kecil untuk
berdiskusi. Di sana kami membicarakan tentang kemerdekaan negara-negara Islam,
khususnya Palestina dan negara-negara Teluk yang sedang bergejolak. Juga
dibahas tentang pendidikan, wanita dan anak-anak, teknologi, media dan
lain-lain. Sebagian peserta ada yang diminta bicara untuk menceritakan kondisi
di negaranya.
Selain berkonferensi, para peserta juga diajak untuk melihat
berbagai obyek wisata Iran, seperti Asalouyeh,
Isfahan, dan Qom. Sayangnya tidak semua bisa aku kunjungi. Aku dan semua
delegasi Indonesia saat itu tidak dapat pergi ke Isfahan karena namaku ada di
daftar kunjungan ke Asalouyeh yang merupakan pusat industri perminyakan Iran.
Bila Tehran sedang mengalami musim dingin bersalju,
Asalouyeh sebaliknya. Di sana matahari sangat terik dengan banyak sinar matahari
dikelilingi bukit yang tandus. Dengan bus, para delegasi diajak mengelilingi
wilayah luas dengan pemandangan penuh pipa-pipa dan mengamati kegiatan para
pekerja di Industri minyak. Asap hitam mengepul di bukit-bukit menandai adanya
proses pembakaran.
Marja Ayatullah Hossein Noori Hamedani |
Kunjungan berikutnya adalah ke rumah salah satu marja’ Ayatullah Hossein Noori Hamedani yang terletak di kota suci Qom. Kesederhanaan rumah Ayatullah
Nouri Hamedani terlihat dari struktur bangunan yang tua dan dan bergaya tradisional
Persia. Di sana beliau berpidato dalam bahasa Parsi yang sayang sekali, saat itu tidak ada penerjemahnya. Aku tetap
mengambil berkah dari kunjungan tersebut dengan shalat di belakang beliau,
berdesak-desakan dengan delegasi yang lain karena sempitnya aula sang marja.
Kunjungan lain yang ditunggu-tunggu
adalah ziarah ke Haram Sayyidah Fatimah Ma’sumah sa di Qom. Tempat itu begitu
penuh sesak orang seolah-olah ada hari raya terjadi setiap hari di sini. Di
dekat makam, masih terlihat tradisi lama bangsa Persia yang mengikatkan kain
hijau di pagar makam agar hajat yang diminta segera terkabul. Untuk dapat
memasuki makam, para wanita harus mengenakan cadur. Untunglah, aku yang tidak
menggunakan cadur bisa meminjam cadur yang disediakan khusus untuk peziarah
yang belum memakainya sehingga penampilanku di haram tampak sama dengan
peziarah lain. Di sana aku turut berdesak-desakan untuk menyentuh zarih
dan mengintip pusara adik Imam Ali Ar Ridho ini. Walau hanya sebentar di haram
Sayyidah Ma’sumah, aku masih sempat shalat disana untuk bertabaruk kepada beliau.
Foto bersama Delegasi Lain di Dalam Masjid Jamkaran |
Kami juga diajak mengunjungi masjid
Imam Mahdi atau masjid Jamkaran yang sangat luas. Selain shalat, kami juga
disuguhi kisah tentang proses berdirinya masjid yang disebut juga masjid Imam
Zaman ini. Masjid ini dibangun berdasarkan mimpi seorang alim yang diperintah Imam
Zaman afs untuk mendirikan masjid di wilayah itu. Setelah mimpi tersebut di
ceritakan dan diverifikasi kebenarannya ke ulama lainnya, maka pembangunan
masjid ini dimulai sampai seluas yang sekarang. Masjid Jamkaran menyisakan
kenangan yang membuatku tidak dapat
melupakan rasanya berlari dalam udara musim dingin di pelataran masjid sang
Imam. Karena aku harus berlari cukup jauh untuk dapat memperoleh air wudhu dan
berusaha agar tidak ketinggalan rakaat shalat yang dipimpin Imam Masjid.
Pelataran Masjid Jamkaran |
Berkunjung ke rumah Rahbar, Ayatullah
Sayyid Ali Khamenei juga merupakan salah satu agenda penting dalam rangkaian
Islamic awakening. Rahbar memberikan pidatonya tentang pentingya kebangkitan
Islam. Ia juga berkata bahwa anak muda harus dapat menyesuaikan cara-cara
kebangkitan Islam lewat politik sesuai dengan situasi negaranya masing-masing.
Selain berkhutbah, para delegasi juga shalat Dzuhur berjamaah dengan Rahbar.
Kompleks Makam Syuhada Revolusi Iran |
DI hari terakhir aku di Iran, aku
dan delegasi lainnya mengunjungi makam para syuhada Revolusi Iran dan makam
Imam Khomeini. Pemandu tur kami mengajak berkeliling ke makam para syuhada,
mendoakan mereka dan menceritakan riwayat kesyahidan mereka yang menggetarkan
jiwa. Ada beberapa makam yang mengeluarkan wewangian seharum kasturi walau
tidak ada bunga dan parfum di sekitar makam. Semoga Allah menyambut dengan
penuh cinta para syuhada.
Tempat terakhir yang aku kunjungi adalah Haram (kompleks
makam) pemimpin utama revolusi Iran, Imam Khomeini. Haram Imam Khomeini sangat
luas dengan kubah-kubah tinggi seperti Haram pada umumnya di Iran. Di sini, aku
kembali mengingat nama-nama berbalut doa penuh cinta yang mungkin belum sempat
aku sebutkan, aku kembali teringat harapan-harapan yang mungkin belum sempat
terucap. \
Di Depan Haram Imam Khomeini |
Malam terakhirku di Iran pada 1
Febuari 2012 dihiasi dengan hujan salju indah yang baru pertama kali kulihat.
Butiran salju yang jatuh dari langit seperti penghitung mundur jam-jam
kepulanganku ke tanah air. Semoga Allah memberikan berkah dalam
perjalanan ini. Aku meninggalkan Teheran dengan hati pilu. Rasanya, waktu berlalu terlalu cepat. Masih
banyak yang ingin aku reguk dari negeri para pejuang dan syuhada ini. Harapan
untuk kembali, selalu terpatri dalam sanubariku.
kerennnnn.... tmnQ dah sampai mana2.
BalasHapussiiippp
Wew... Temen SMA ku mampir.
HapusThx ya Dhinar :)
Love it...!!! :)
BalasHapusmakasih ya ^^, Semoga kamu bisa bagi cerita juga :)
HapusTrims Ya tuk harapannya...! ^_^
HapusMohon izin share ya Ukhti di FB-ku : Haidar Dzulfiqar
Dan di Twitter-ku : Fajar Sucahyo
Boleh kan...?
Oh, kamu haidar Dzulfiqar to. :D Baru ngeh. Oke, silahkan...
HapusTwitter ku @syahbanu. Tapi jarang update lagi. Aku follow ya nanti pas twitteran.
bagus tulisannya...
BalasHapusntar tunggu ya punyaku hehehehe....
Oke my... di tunggu tulisannya. :P
Hapus