Siang itu di kantin Paramadina, Aku ngobrol dengan salah satu sahabatku. Kita berbincang tentang kebenaran dan aku mengeluarkan bebapa statement khas dengan apa yang aku yakini. Pembicaraan mulai tidak enak ketika aku membicarakan hal-hal yang hanya dipahami oleh orang yang pemikirannya seideologi dengan ku. Teman ku berkata dia Muak dengan apa yang aku katakan karena seolah aku memaparkan apa yang aku yakini dengan kesombongan. Aku tidak merasa seperti itu. Aku hanya sedang curhat tentang apa yang aku rasakan pada spirit mazhab yang aku yakini, tapi ternyata curhatku tidak pada tempatnya.
Dia berkata bahwa saat dia mendengar dari gurunya tentang pemikiran-pemikiran apa yang aku yakini, maka Ia akan melihat keindahan. Tapi kalau aku ang bercerita, Ia malah muak.
Aku mencoba berfikir ulang, apa yang sebenarnya terjadi.
Kemungkinan, aku sebenarnya hanya butuh teman se ideologis untuk menambah spirit keagamaan ku. Sehingga apa yang menjadi pembicaraan biasa bagi kalanganku jadi tanpak sebuah klaim kosong tentang sebuah kebenaran.Secara tidak langsung, aku menempatkan sahabatku tidak pada tenpatnya karena ideologi kita berbeda tentang hal sentral yang aku yakini. Kerinduan untuk berbagi spirit perjuangan dengan kawan seideologi dan mengupgrade pengetahuan meledak-ledak di dalam dadaku, tapi aku tidak tahu mau berbagi ke siapa karena rata-rata, kawan seideologiku memiliki orientasi berbeda dengan yang aku minati. Dan... sayangnya, ada beberapa yang menganggapku terlalu pintar sehingga pembicaraan jadi tidak berkembang karena mereka hanya pada tahap mengiyakan apa yang aku katakan tanpa feedback atau koreksi. Bukan seperti itu yang aku inginkan dalam diskusi. Semoga aku tidak berlebihan mengutarakan ini.
Misalnya, dalam topik perjuangan. Aku berkata pada sahabatku bahwa semangat perlawanan melawan tirani tercermin dalam syiah, mengikuti jejak imam Husain sehingga kebanyakan orang Syiah memiliki jiwa revolusioner dan tidak takut mati. Teman ku langsung menolak itu karna dia berfikir itu tidak hanya dimiliki syiah dan dia dengan keras berkata bahwa dia ingin mengakhiri pembicaraan ttg itu. Dia bilang itu bukan sesuatu yang original dalam syiah dan aku tidak berhak berkata bahwa gerakan melawan tirani adalah milik syiah. Aku sama sekali tidak bermaksud begitu, Sahabat ku yang Sunni cukup tersinggnng dengan itu. Aku minta maaf juga sih,,,
Aku merasa, Topik pembicaraan ku umum dibicarakan oleh banyak orang. Antoine bara dan mahatma gandhi sendiri yang bukan muslim mengakui bahwa tanpa perjuangan dan darah imam Husain, umat ini tidak akan dapat memiliki role model Martyr yang sejati. Dan aku sedang berbicara tentang itu.
Dengan sangat menyesal, aku merasa telah gagal menjadi pembawa pesan. Aku gagal menjadi pengharum bagi Ahlul bayt seperti apa yang diminta Imam Ja'far, Tapi aku rasa, apa yang aku bawa bukan konten yang salah, hanya saja disampaikan dengan cara yang tidak tepat dan media yang tidak tepat.
Aku berfikir ulang bagaimana proses sahabatku dalam menerima informasi selama ini.
Dalam dunia pemikiran, ada orang-orang yang menerima informasi berdasarkan hasil dari rasionalitasnya. Ada yang menerima informasi karena percaya pada otoritas si penyampai pesan. Ada juga yang menerima informasi begitu saja tanpa tersaring dan terasionalisasikan.
Sahabatku adalah type rasional sekaligus penerima informasi berdasarkan otoritas kebenaran dari penyempai. Sederhananya, dia harus tahu bahwa penyampai informasi adalah orang yang benar-benar pintar secara keilmuan dan ia memiliki kepercayaan tinggi terhadap orang itu sehingga penerimaan informasi yang masuk ke dalam pikirannya dapat diterima kedalam rasio nya.
Ada 2 orang yang sering dia sebut mempengaruhi pemikirannya, Guru A dan guru B. Guru A adalah seorang ahli dalam ilmu filsafat dan dapat menyampaikan dengan baik sehingga alam rasioya dapat memproses informasi dengan baik sehingga apa yang ia hasilkan dalam rasionya adalah sesuatu yang indah. Guru B pengaruhnya juga sagat besar, Karena selain memliki otoritas kebenaran karna kecerdasannya diakui oleh berbagai pihak, ia juga dekat dengan sahabatku secara emosional sehingga informasi yang diolah oleh rasio sahabatku jadi sesuatu yang luar biasa hasilnya. Informasi tersampai dengan baik dan menjadi sebuah pemikiran yang merubah mindset lamanya karena secara rasional sahabatku dapat mencerna itu.
Sedangkan Aku, adalah seseorang yang kadang dianggapnya bodoh dan konyol secara intelektual. Secara terang-terangan dia pernah berkata bahwa Ia tidak menyukai cara komunikasiku. Jadi aku tidak memiliki otoritas untuk membuat informasi itu diolah dengan baik oleh rasio nya.
Kenapa aku semakin yakin bahwa Ia mengolah informasi berdasarkan otoritas kepercayaan thdp penyampai informasi?
Saat diskusi di sebuah tempat, dengan Guru B sebagai pematerinya. Ia salah menyebut seorang tokoh sentral syiah pada jabatan tertentu. Aku bilang pada sahabatku bahwa Guru B melakukan kesalahan penyebutan. Apa yang Ia bilang? "Cuma nama lah, nggak substansi". Bukannya mengakui bahwa itu sebuah kesalahan, Ia malah "membela" Guru B dengan menganggap kesalahan itu amat sepele. Orang ynng murni menggunakan rasionya akan menerima kebenaran dari suatu hal tanpa memandang siapa yang bicara,
Kasus lainnya, saat aku berbicara tentang taqlid dalam fiqih pada Imam, Ia berkata bahwa jangan jadi follower yang konyol. Bagaimanapun seseorang tidak boleh taqlid pada sesuatu. Dalam dokrin syiah, hal itu adalah kebenaran. Tapi karena fia salah mengerti ttg apa yang guru B ajarkan untuk mencari "The truth" dengan jangan begitu saja mengamini apa yang dikatakan orang tanpa analisa, akhirnya Ia men generalisasi hal itu dan "Mengajariku" bagaimana menjadi seorang intelektual yang benar tanpa taqlid. Akhirnya pada suatu kesempatan dimana Guru B hadir, aku membutuhkan afirmasi dari Guru B selaku pemegang otoritas Rasio sahabatku karena aku juga tidak mau disebut tidak memahami apa yang aku anut. Guru B memberikan afirmasi lebih dari yang aku inginkan. Ia mengatakan banyak hal yang sering dibantah oleh sahatku. Dapat di duga sahabatku menerima pernyataan Guru B. Sayangnya, aku tidak tahu apakah sahabatku ini ingat bahwa aku pernah mengatakan hal yang hampir sama dengan Guru B. Sampai sekarang aku tidak memastikan sehingga mungkin apa yang Ia terima dari guru B adalah sebuah Informasi beru, Bukan sebuah afirmasi.
Tentu saja, Aku sendiri mempercayai sesuatu berdasarkan otoritas juga. Aku mempercayai bahwa Al Quran benar karena Pembawanya Adalah Manusia Sempurna. Aku mempercayai Ahlulbayt karena mereka adalah orang suci dn disucikan (Al Ahzab 33). Aku mempercayai para ulama ku karena secara rasio dan keilmuan, mereka memiliki otoritas intelektual yang luar biasa. Tapi aku tidak serta merta percaya pada ucapan guru yang tinggal di sekitar ku. Ustad JR, Ustad AA, Ustad, MA, dan aku tidak serta merta setuju dengan semua yang Rahbar atau presiden Iran katakan karena mereka tidak maksum. Tapi karna aku cinta pada Rahbar dan Presiden Iran, siapaun yang menyerang mereka dengan celotehan-celotehan sinis dan menganggap sepele keilmuannya, aku akan membela mereka. Karena Cinta.
Sahabatku, mencintai Guru B sebagai guru yang dekat dengannya secara psikologis dan emosional. Maka Ia akan membela dan melindungi nya hatta Ia sedang dikoreksi tentang sesuatu. Sahabatku seharusnya memahami bahwa apa yang aku bela selama ini bukan suatu hal yang fanatik. Tapi berdasarkan pada cinta ku pada seoarang yang mendedikasikan hidupnya di jalan kebenaran. Begitupun mungkin sahabatku berfikir ttg pembelaannya thdp Guru B. Ia pikir aku fanatik dan aku tidak suka disebut begitu,
Murtadha Muttahari pernah berkata, "Fanatisme anti agama dan fanatisme dalam beragama itu sangat berbahaya, Namun Fanatisme anti agama lebih berbahaya daripada fanatisme dalam sebuah agama".
Dan aku, yang mengidolakan Syahid Muttahari dalam keilmuan nya tidak mau masuk dalam lingkaran yang Ia sebut berbahaya, Aku ingin masuk dalam lingkaran aman.
Otokritik terhadap diriku ini adalah jalan bahwa aku harus bergerak menyempurna. Tentu saja, stamina intelektualku harus lebih ditingkatkan lagi serta cara ku berkomunikasi terutama dengan sahabatku. Karena terkadang apa yang aku sampaikan pada subtansinya sama dengan apa yang guru b sampaikan, namun Guru B lebih diterima. Berarti aku harus mengoreksi diri ku sehingga kelak aku memiliki otoritas sederhana dalam keilmuan,
Karena aku, mencintai Kebenaran, dan aku mencintai Ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Kamu?