Senin, 05 Maret 2012

Rangkaian Bunga Kecemasan di Imam Khomeini International Airport

Kesendirian itu kadang bukan sekedar membutuhkan keberanian menghadapinya. Dibutuhkan hal yang lebih dari itu. Lagipula, hanya ada 2 kesendirian : pilihan atau keadaan
Perjalanan dari Indonesia menuju Tehran sendirian adalah hal yang menantang dan sekaligus mendebarkan. Ini perjalanan keluar negeri pertama ku dengan jarak yang cukup jauh. Aku harus transit di Dubai International Airport dan tidak tahu apakah aku harus antri mengambil bagasi atau langsung meneruskan perjalanan menuju koridor keberangkatan menuju Tehran. Aku harus bertanya ke petugas bagaimana kabar koperku. Sangat konyol, memang beda tipis antara boodoh dan konyol.

Semua begitu asing, tidak satupun aku kenali. Bahkan di pesawat Emirates dari Indonesia menuju Dubai, aku duduk sendirian, padahal ada 2 seat kursi kosong. Seat bagian tengah pesawat terisi penuh. Namun, tetap saja, Tidak ada satupun yang bisa aku ajak bicara. Warga negara Indonesia di seat tengah sebelahku tampak memperhatikan aku. Dia TKW Indonesia yang bekerja di Saudi. Di tengah perjalanan, aku membantunya menyalakan layar touchscreen yang ada di kursi. Dalam hati aku berdoa untuknya, "Ya Allah... Semoga Ia meraup kesuksesan sesuai dengan impiannya..."

Kesendirian ini membuatku berfikir banyak hal tentang nasehat-nasehat Ibu. Ibu pernah bilang, jangan pernah takut sendirian. Aku manatap langit yang mulai tak jelas bentuknya. Aku mengingat lagi, Abu Dzar juga sendirian dan Ia memegang kebenaran. Kalau aku memegang kebenaran, aku tidak boleh takut. Apalagi bila hal yang aku tempuh adalah kebenaran, maka aku tidak boleh larut dalam perasaan kesendirian itu, Sesungguhnya Allah bersama kita. Karena itu Ibu juga mengijinkan aku hidup sendiri di Jakarta untuk tujuan mulia. Yaitu mencari Ilmu. Aku sudah lama tidak mengenal rasa takut sendirian.

Menginjak Imam Khomeini International Airport, hatiku tersentuh oleh poster-poster koferensi yang menyambut para delegasi. Aku langsung merasakan atmosfer yang berbeda dengan gairah pergerakan. Berkumpul bersama-sama dengan orang-orang yang 1 visi dalam perjuangan kebangkitan Islam membuat jantungku berdetak melonjak-lonjak.

Sekumpulang orang yang tanpak sibuk dengan lembaran daftar panjang mendatangi ku. Ternyata aku bukan satu-satunya delegasi konferensi disitu. Ada anak-anak muda dari Malaysia berwajah Pakistan yang ternyata naik pesawat yang sama denganku. Aku pikir kesendirian itu bukanlah benar-benar kesendirian. Kita seringkali tidak tau ada banyak orang yang bernasib sama dengan kita den secara tidak langsung saling berkaitan satu sama lain.

Namaku di tulis oleh para panitia. Dengan huruf Parsi. Salah satunya namanya Mohammadi dan Haidari. Mohammadi tersenyum padaku dan bilang, "Your Friends here". Aku yang masih belum yakin dia mengatakan itu padaku balik tanya., "Pardon sir?"

Mohammadi tampak tidak percaya diri dengan englishnya. Akhirnya teman Mohammadi yang aku lupa namanya bilang, "Your Friends here, You have a friends who live in Iran, He already here to pick up you. We know, He is Your Friends, But u, Miss... is Our Guest, Not his Guest".

"Oke". Jawabku singkat. Dia benar, aku nggak membantah.
"But if u want, u can meet him in front of exit door".
"Sir..." Kataku ragu-ragu, Aku tidak punya teman lain yang tinggal di Iran. "Ammar Here? do u know Ammar Sir? Where is He?"
"Yeah, he is here". Kata temen Mohammadi itu sambil senyum. Aku tidak bisa menerjemahkan senyumnya.

Mataku langsung menyisiri Bandara. Aku tidak bisa memfokuslan pandanganku ke jalan di depanku karena mataku tertuju pada balik kaca transparan Bandara yang penuh penjemput dengan rangkaian bunga dan Karton bertuliskan nama-nama dalam bahasa Parsi. Aku pikir, Amm tidak akan menulis namaku dalam bahasa Parsi pasti. Hubungan hatinya dengan hal-hal berbau persia agak tidak bagus kecuali dengan sastranya. Mengigat ini aku tersenyum. Sinismenya tehadap Iran ada di ujung kutikula sampai ubun-ubun.

Aku lega melihat orang mengelilingi tempat pengambilan bagasi. Setidaknya aku tahu pasti Koperku ada disana. Namun, mataku masih mencari-cari sosoknya dari kejauhan. Apakah dia bawa bunga? apakah dia bawa papan nama bertuliskan namaku? entahlah...

Koperku terlewat. Aku baru menemukannya setelah mesin penyalur koper berhenti. Apalagi aku agak lupa koperku yang mana, Pemuda Malaysia tampan yang belakangan aku tau namanya Kumayl membantuku mengangkat koper ke troli. Jangan berfikir macam-macam karena aku menyebutnya tampan. Aku tau dia lebih muda. Dan aku tidak tertarik padanya karena Pemuda lain yang belakangan bernama Abbas seumuran dengan ku, lebih cerdas dan tampan. :P . Kita banyak berbincang di Hotel. Tapi aku tidak ingin berbicara tentang Abbas. 

Pemeriksaan agak lebih mudah karena kami adalah Tamu VIP Republik Islam Iran. Sampai Pintu keluar pun aku masiih mencari sosoknya. Menerka-nerka seberapa tinggi dia. Apakah Ia membual dengan mengatakan bahwa Ia ckup tinggi. Teman Mohammadi tidak lagi membicarakan tentang penjemputku. Dan aku juga tidak mau tampak mncarinya.

Saat keluar dari bandara, aku menggigil kedinginan. Ini masih Winter di Tehran. Amm sudah bilang untuk membawa jaket yang cukup tebal dan aku membawa baju seadanya. Perjalananku mendadak. aku tidak sempat Shopping untuk mencari jaket Winter. Aku menggigil kedinginan. Aku membayangkan betapa kasihannya Amm kalau benar dia menungguku disini. Ini terlalu dingin untuk manusia. Aku yakin, Hanya beruang Kutub yang tahan disini. 

Akhirnya aku naik Bus menuju hotel tanpa melihatnya sama sekali. Aku berjanji akan minta maaf nanti kalau kita bertemu. Tapi sesampai di hotel, selain anak-anak malaysia itu aku tidak bertemu siapapun yang aku kenal. Aku terus memikirkan tantang dinginnya Tehran dan Amm yang mungkin menjemputku tapi justru tidak bertemu sama-sekali denganku. Aku memikirkannya sampai tidak bisa tidur. Apakah dia akan sakit dengan dinginnya Tehran seperti itu? Kalau dia sakit, Ini salahku.Apa sampai tengah malam begini dia masih cukup bodoh menungguku? Dia memegang e-ticketku juga. Harusnya dia tau bahwa aku pasti sudah dijemput panitia. Tidurku tidak nyenyak. Padahal kamarku cukup nyaman.

Aku sudah berencana minta maaf saat pertama kali bertemu nanti. Aku akan minta maaf membuatnya menunggu dengan sia-sia. Aku tidak bertemu dengannya malam itu, padahal aku sempat menyelinap ke Lobby di pagi buta untuk mencari tahu. Aku pikir mungkin dia tidak di hotel yang sama denganku. Masih ada waktu besok/

Sehari setelah aku di Tehran, telepon kamar hotelku berdering dan aku mendengar suaranya. Ammar. Kami bertemu dan aku lupa minta maaf, bahkan aku hanya bercerita kalau seseorang bilang aku adalah tamu Iran. Bukan Tamu Amm. Aku benar-benar lupa bahwa aku sempat berfikir keras tentang kemungkinan Ia kedinginan. Sampai sekarang, aku belum menceritakan secara langsung kegelisahanku memikirkan kesehatannya. Dan sepertinya dia saat itu memang tidak berada di Airport. Sebenarnya aku merasa konyol. Tapi sudahlah....

Tehran saat itu dingin, tapi aku merasakan kehangatan nyaman yang mungkin aku tidak ingin mendefinisikannya. Mungkin seringkali Amm meminjamkan jaketnya. Tapi bukan itu juga, Aku seringkali merasa nyaman dengan beberapa orang yang memang membuatku merasa aman. Ini mungkin bukan cinta. Tapi ada hangat menjalar yang tidak dapat aku terjemahkan. Aku memilih untuk patuh pada rasa yang tidak dapat aku lawan sampai meruntuhkan tiang-tiang kesombongan ku. 

Bila hanya aku yang merasakan kehangatan di tengah kepungan dingin Tehran, maka Aku tidak keberatan merasakannya sendiri. Aku tidak pernah keberatan untuk sendirian. Toh Sendiri bukan berarti kesepian. Aku sudah terbiasa sendiri sampai aku tidak tau bagaimana caranya berbagi. Aku juga tidak menceritakannya pada siapapun. Aku ingin menikmati ini sendirian dan memilih untuk tidak mendiskusikan dengan siapapun termasuk diri ku sendiri. Tidak ada yang sepakat tentang definisi dari rasa ini termasuk jiwa ku yang menggelayut gelisah.

Lagipula, orang-orang yang akan tau kisahku akan berfikir bahwa aku gadis muda kesepian. Aku tidak mau tampak konyol. Karena Usia ku adalah Usia penuh tawa ceria mencapai berbagai prestasi. Sekali lagi, Aku terlalu muda untuk kesepian. Dan aku menikmati hangat itu sampai kembalinya ke tanah air. Sampai aku melalui berbagai dejavu ku. Aku sendiri, tapi bukan berarti aku sepi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Kamu?