Senin, 27 Juli 2015

Feodal itu Menyebalkan

Sering kali, saat perlu ke lembaga tertentu untuk liputan, aku temui orang-orang bergaya feodal. Mau bertemu atau minta kontaknya saja rumit sekali.

Ada tiga cerita soal ini.

Cerita Pertama :
Ketika perlu ke salah satu kementerian. Bertemu dengan ajudan. Kemudian ajudan meminta isi formulir janjian, menunggu sampai beberapa jam, itu saja belum tentu bisa bertemu pejabat terkait. "Maklum, bapak sibuk mbak." katanya.

Ketika minta kontaknya, ajudan tidak mau beri. Alasannya soal privasi. Jika seseorang jadi pejabat publik, mestinya sudah menyiapkan diri punya beberapa nomer telpon. Ada yang public, ada yang privat.

Ujung-ujungnya, ajudan bilang, "Maaf mbak, mungkin besok bapak baru bisa ditemui."

Si pejabat keluar dari ruangannya. Lihat wartawan menunggu. Dia langsung nyapa, "ada apa?", sudah menunggu dari jam berapa?", "Mau tanya soal apa?", tak lama kemudian dia akan minta maaf karena tak bisa wawancara lama. Dia berikan kontaknya dan bilang, "SMS dan telpon aja mbak. Pasti saya jawab."

Ajudannya cuma bengong karena begitu mudah komunikasi sama bosnya.

Bahkan Dirjen tersebut ikut ucapkan selamat lebaran lebih dulu. Dengan sapaan "Mas Sahar" kepadaku. Mungkin dia lupa bahwa wartawan yang ada di daftar nama kontaknya itu perempuan. tapi setidaknya dia ingat untuk mengirim SMS hari raya lebih dulu.

Yang ada di kepalaku adalah, apa ajudannya tidak tahu kalau bosnya itu ramah sama wartawan? Apakah Ajudannya tidak diberi instruksi bagaimana caranya berhubungan dengan wartawan? Atau gimana? Di jaman sekarang, menduduki jabatan tertentu dengan lagak sok birokratis tak akan membuat si pejabat jadi keren. Malah sebaliknya. Kalau kamu jadi asisten, penting untuk tahu kebiasaan bosnya. Jangan bikin rumit sesuatu yang mestinya simpel.

Cerita Kedua :
Pengalaman juga urusan sama salah satu DPP Partai. Sebut saja partai Hitam. Awalnya aku telepon dulu ke DPPnya lewat nomer telpon kantor yang tercantum di website. Tak ada yang mengangkat. Berkali-kali hasilnya zonk.

Pas datang ke DPPnya, disambut oleh security yang bilang, "Kalau mau ke sini, telpon dulu mbak. Kalau belum ada janji, maaf sekali tidak bisa bertemu dengan yang bersangkutan."

Aku bilang padanya bahwa aku sudah mencoba telepon kantornya tapi tidak ada yang mengangkat. Dia melihat nomer telepon yang aku maksud dan ternyata itu memang benar-benar nomer telepon yang ada di depannya. "Tapi ada satu nomer lagi yang aktif mbak. Coba mbak hubungi nomer yang ini dulu. Besok bisa kembali ke sini lagi."

Aku bilang, berita tak bisa menunggu. Aku minta dia hubungkan saja ke Humas atau jabatan yang relevan dengan pertanyaanku.

Dia jawab, "Tidak bisa mbak. Prosedurnya begitu. Mbak datang saja besok, dengan janji di telepon lebih dulu."

Aku minta dia catat nomer teleponku dan berikan ke Humas. Humas mestinya bisa lebih tahu bagaimana berhubungan dengan wartawan. Dia mau mencatat nomer teleponku sambil bilang bahwa sebaiknya aku datang lagi besok. Sesuai dengan prosedur yang tadi dia bilang.

Aku diminta menulis pertanyaan yang akan aku ajukan ke Narasumber. Baiklah. Aku mengalah. Aku tulis dengan syarat dia sampaikan nomer ponselku ke Humas dan minta Humas kontak aku.

Esoknya, Humas SMS ke ponselku. Minta maaf dan berikan kontak Narasumber yang aku butuhkan. Aku kontak Narasumbernya. Ternyata dia tak menguasai tema yang aku tanyakan. Dia berikan nomer kontak orang lain lagi sambil bilang, "Nanti tanya dia saja. Bilang, dapat kontaknya dari saya. Dia akan jawab semua pertanyaanmu karna itu jobdesk dia."

Baiklah. Aku berterimakasih. Setelahnya, aku kontak nomer tersebut lewat telepon, Tak diangkat. Aku coba SMS, tak ada jawaban, Aku Whatsapp, hanya dibaca.

Akhirnya aku kontak ulang ke DPPnya. Diberi prosedur yang sama. Kontak ulang Humas dan pejabat yang beri nomer pejabat partai lainnya. Kembali tak ditanggapi sama sekali. Wah, susah. Ya sudah. Mungkin mereka memang tak mau terbuka pada wartawan. Tak ada berita apapun dari Partai itu.

Partai Biru lain lagi ceritanya. Sekalipun sudah datang langsung ke DPPnya, Dapat kontaknya, tidak ada satu pun yang mau bicara sekalipun jabatannya adalah Humas. Begitulah akhirnya. Tidak ada berita dari Partai itu. Bukan mauku. Bukan salahku.

Cerita Ketiga

Aku datang begitu saja ke DPP tanpa telepon. Langsung disambut petugas Parpol. Diarahkan ke penanggung jawab dan diberi kontak juga. Betapa mudahnya. Berita dibuat. Wawancara bisa dilakukan lewat telepon atau di tempat yang dijanjikan. Semuanya senang. Sebut saja ini terjadi di partai Kuning dan Hijau.

Memangnya, bersikap feodal dan birokratis itu keren? Nggak lah yaw!!

1 komentar:

  1. Hehehe.... MANTAP BAN!! Itulah konsekuensi dari potensi sumber daya yang terus-menerus di "ditindas" dan dieksploitasi oleh negara : suburnya feodalisme! - yang otomatis membawa pada konsekuensi yang lebih berat buat masyarakat : sistem birokratisme semakin kuat dan 'mencengkram' ...- :(

    BalasHapus

Komentar Kamu?