Senin, 25 Agustus 2014

Bukan Remis

Butuh waktu lama sekali untuk bisa menjawab pesanmu.

Aku harus berguling-guling dan membolak-balik ratusan lembar buku agar dapat menemukan kata-kata yang cukup pantas untuk disalin. Mencoba berpikir keras, menangis -kadang-, mengutuki diri sendiri, memaksa otak untuk memanggil ingatan, menuliskannya, menghapusnya lagi karena kata-kata tersebut tampak terlalu drama. 

Bahkan untuk menjawab pesanmu pun, aku tak cukup baik. Apalagi untuk bisa memahamimu, mematuhi selusin aturan main yang kau tentukan.

Aku seperti seorang gadis yang sedang duduk sendirian. Kelelahan dan mencoba menghindari tatapan orang-orang dengan segala konsensus yang mereka buat. Dari mulai keluarga, agama, sosial, dan segala hal yang terdiri dari kumpulan otoritas yang seringkali dianggap berhak untuk menentukan sebuah standar kepantasan berpikir dan bersikap.

Akhirnya kau datang. Berjalan lurus ke arahku dengan sebuah papan catur di genggaman. 

Kau tahu bahwa catur dan buku adalah sarana paling ampuh untuk membunuh kebosanan yang mencekam.

Aku pernah bilang padamu, membaca dan bermain catur adalah aktivitas yang sangat menyenangkan bagiku. Rasanya aku tidak keberatan jika harus melakukannya berulang-ulang.

Lewat buku kita bisa membangun dunia dan imaginasi kita, kita bisa melarikan diri dari kehidupan-kehidupan yang tidak kita inginkan. Melalui catur kita bisa membangun kerajaan kita sendiri. Bertarung sampai akhir dengan pasukan yang loyalitasnya tidak diragukan lagi. Tidak ada politisi di dalam catur yang memuakkan. Kita hanya punya para martir. Tidak ada prajurit pengecut di sana, kita cuma punya pemberani.

Kau menata biji catur itu dan mempersilakan aku memainkannya lebih dulu. Iya, kau memberiku warna putih dan kau adalah hitam. Tidak ada metafora soal baik atau buruknya putih dan hitam dalam catur. Kau dan aku sangat paham bahwa perbedaan warna hanya sebagai pembeda.

Aku pikir, relasi dalam catur mengajarkan kita prinsip kesetaraan. Ada dua kubu biji catur dengan kekuatan yang sama. Setidaknya kita sudah memulai permainan ini dengan sangat baik.

Aku memajukan satu bidak catur di depan ratu satu langkah. Kau tahu, aku adalah orang yang sulit mengubah keadaan. Aku lebih senang jika sesuatu itu tidak banyak berubah dari pola awal. Jalan pikiranku memang begitu. Aku khawatir sekali kau telah berhasil menemukan koneksi keduanya dan menebak langkahku. 

Kau memajukan bidak di depan kudamu. 

Seharusnya aku mengeluarkan Menteri atau Rajaku untuk mengincar Benteng atau sekedar memporak-porandakan pertahananmu di sana. Tapi aku juga sudah menebak bahwa kau akan tahu apa yang aku incar. Aku memilih strategi lain. Aku hanya ingin mengeluarkan kudaku untuk mengancam kerajaanmu. Teknik Skak antara Ratu dan Benteng atau Ratu dengan yang lainnya adalah salah satu hal favoritku.

Saat aku melangkahkan kudaku, kau berkata, "Kau harus menggerakkan minimal 4 bidakmu dulu sebelum menggerakkan kuda itu."

Aku belum pernah mendengar aturan main seperti itu. Aku tahu bahwa sangat aneh menggunakan aturan-aturan di permainan yang kita suka. Aku punya pilihan untuk memprotes maupun membatalkan permainan. Tapi aku tak ingin sendirian. Aku bisa mati bosan. Aku terlalu takut jika kau akan sigap mengemasi papan caturmu dan melangkah pergi begitu saja begitu aku tak setuju dengan caramu. 

Rasanya kau seperti berkata, "Aku yang membuat kita memainkan permainan ini. Aku lah yang boleh membuat aturannya."

Tapi, di dalam hatiku, aku yakin bahwa kau tidak pernah bermaksud untuk mempersulit keadaanku atau menambah bebanku. 

Aku juga tidak tahu darimana datangnya pikiran-pikiran baik tentangmu dalam keadaan seperti ini.

Baik. 

Aku menggerakkan lagi bidak di depan Ratu. Dua langkah. Tapi kau bilang, dalam permainan kita kali ini, kau tidak akan mengijinkan ada bidak yang melangkah dua langkah di permulaan. 

Aku mengangguk patuh sekalipun aku tidak mengerti mengapa permainan ini jadi begitu sulit. Namun aku percaya padamu bahwa kau hadir untuk membantuku hindari tindakan melamun yang sia-sia. 

Kau menjalankan bidakmu yang lain. Di depan Ratu. Pada permainan catur normal, aku akan mulai menggerakkan Rajaku untuk meneror pasukanmu. Tapi aku tak punya pilihan lain selain mematuhi aturan main atau permainan selesai tanpa penentuan pemenang. 

Bukan soal remis yang aku maksud. Yang aku maksud adalah salah satu dari kita memutuskan untuk berhenti begitu saja tanpa akhir yang jelas.

Setelahnya, masih ada selusin aturan main lain yang gagal aku pahami mengapa. Tapi aku ingin tetap bermain sampai akhir. Jika prajurit catur ini dicipta untuk jadi martir, mengapa aku harus mudah menyerah?

Tapi, yah... Sebenarnya, aku duduk di sini untuk menghindari otoritas-otoritas yang menyudutkanku. Tapi aku tak punya mental yang cukup kuat untuk meninggalkan segalanya yang ada di sekitarku. Aku tidak seberani itu. Aku tidak seberani kau untuk meninggalkan segala yang tidak berpihak padamu. 

Aku memang bukan pemberani sepertimu. Aku begitu takut benar-benar sendirian. Aku takut dengan masalalu dan tidak tahu bagaimana caranya menghadapi masa depan. Andai saja ada kesempatan untuk remis saat terpojok…

Kau, tiba-tiba saja hadir jadi otoritas baru dalam hidupku. Aku begitu ketakutan untuk tidak bisa patuh padamu. 

Aku melanggar banyak peraturan otoritas yang membuatku tersingkir, aku tak bisa dipaksa patuh. Aku hanya sanggup menjalani satu dua aturan tapi selalu menolak untuk tunduk sepenuhnya pada itu. Otakku selalu bertanya soal alasan-alasan dibalik adanya aturan-aturan itu. Sekuat mungkin otoritas itu, aku selalu punya hal lain yang bisa aku tawarkan sekalipun aku tahu bahwa responku akan diganjar dengan serangkaian penolakan-penolakan.

Kau masih jadi orang pertama yang paling ingin aku hubungi saat keadaan terlalu menyakitkan untuk dijalani. Kau begitu heroik dalam segala hal, sebaliknya, aku begitu lemah dalam segalanya. 

Kau lelah menunggu aku yang tak kunjung menggerakkan bidak. Kau lelah dengan aku yang tak ingin mengakhiri permainan tapi tak ingin meneruskan permainan ini juga. 

"Bisakah kita menyingkirkan papan catur ini dan mulai membaca buku bersama saja? Siapa tahu, nantinya akan ada sesuatu yang bisa kita tulis bersama-sama." Kataku putus asa.

Kau memandangku dengan tatapan tak setuju, kau mengangguk pelan. Tapi bukan tanda setuju. Tanpa mengemasi papan catur itu, kau berdiri, membelakangiku, dan melangkah pergi.

Kau memintaku untuk mengerti. Tapi, anggap saja aku tak cukup cerdas untuk melanjutkan permainan.

Pada akhirnya, kita harus saling memaklumi dan juga memaafkan. 

Jika harapan akan berbuah kecewa, aku tetap ingin kecewa dengan cara yang indah, dengan sebuah harapan, bahwa, di suatu hari nanti, kita masih akan bertemu. 

Kelak.

Sekalipun di dunia yang berisi kenyataan-kenyataan, yang tak mengizinkan harapan untuk tumbuh…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Kamu?