Sabtu, 16 Agustus 2014

"Bolehkah Saya Memakai Pakaian Rohani?"

Setelah pelajaran berakhir, seorang murid mendatangi gurunya, "Guru, bolehkah aku mulai memakai pakaian rohani?"

Guru memandangi sang murid. Melihatnya dari atas ke bawah, dan menggelengkan kepalanya pelan.

"Tapi kenapa guru?"

Guru tersebut meletakkan kitabnya, berdehem, kemudian menjawab, "Muridku, kita tidak bisa sembarangan memakai pakaian rohani, baik penutup kepala maupun jubah ini. Kau harus menjadi orang yang sangat baik akhlaqnya. Kau juga harus menguasai kitab-kitab tingkat lanjut dahulu. Baru setelah dirasa kau  cukup baik mengikuti segala pelajaran agama, kau boleh memakai pakaian rohani."

"Begitukah? Jadi, dalam kata lain, aku belum pantas mengenakan baju rohani karena akhlaq ku masih buruk?"

"Kau hanya perlu menunggu beberapa tahun lagi, semoga nantinya ada peningkatan spiritual sehingga kau benar-benar pantas mengenakannya."

"Baiklah kalau begitu. Tapi, sebelum saya undur diri, bolehkah saya menceritakan sebuah cerita?"

"Silakan..."

"Pada suatu hari saya pergi ke pemandian umum bersama teman-teman. Saat saya membuka baju, teman-teman berkata, 'Astaga Mohsen!!! Badan kamu kotor sekali! Menjijikkan!!' Akhirnya saya memakai baju saya kembali dan mengemasi barang-barang saya. Teman-teman bertanya, 'Lho? Kamu mau ke mana? Tidak jadi mandi?' Saya menjawab, 'Karena badan ku kotor, aku berniat mandi dulu di rumah sebelum berendam bersama kalian di sini. Karena sepertinya yang boleh mandi di sini hanyalah orang-orang yang badannya sudah bersih.' Demikian cerita saya guru..."

Guru merenung dan tersenyum memandangi muridnya.

"Jadi bagaimana?" Desak sang murid.

"Baiklah, kau boleh mendaftarkan dirimu di upacara pemakaian baju rohani besok." Ujarnya sambil tersenyum. "Ngomong-ngomong, apakah ceritamu itu sungguhan?"

"Guru yang mengajarkan saya untuk tidak mudah menyerah. Adapun cerita tersebut, hanya perumpamaan saja."

Murid cerdas tersebut kini telah menjadi ulama besar di Republik Islam Iran. Dia bernama Mohsen Qaraati.

Note :
Cerita ini aku baca sekitar dua tahun lalu. Seorang pelajar agama di Hauzah Ilmiyah Qom, Iran menceritakannya lewat sebuah aplikasi mengobrol sebagai dongeng pengantar tidur. Namun file dongeng sebelum tidur itu hilang. Sehingga aku hanya mengandalkan ingatanku untuk menuliskannya kembali. Sudah lama ingin menulis cerita ini di blog, tapi lupa. Tentu saja ada yang sedikit berubah terutama pada detail cerita. Tapi intinya sama kok. :).

Di Iran, seorang pelajar yang ingin memakai Amameh (penutup kepala mirip surban) dan gamis khas Ulama Iran harus melalui upacara penahbisan khusus. Hanya pelajar-pelajar yang memenuhi syarat yang bisa memakainya sebagai tanda bahwa ia sudah sampai pada tingkatan pelajaran tertentu. Biasanya gelar yang diberikan adalah Hujjatul Islam. Karena untuk menjadi seorang ulama tidak mudah, maka ada banyak pelajar yang berlomba-lomba kecerdasan supaya lolos berbagai ujian agama. Meliputi Fiqih, Ilmu Al Quran, Filsafat maupun Tasawuf/'Irfan. Beda sekali dengan di Indonesia. Asal kamu hafal beberapa ayat Al Quran dan pintar bicara, kamu bisa jadi ustad. Di Indonesia, seseorang bisa menjadi ustad dengan sistem polling SMS. Ketimpangan standarisasi ulama inilah yang membuat banyak sekali orang yang bertindak sewenang-wenang atas nama agama. Karena ia tidak benar-benar memahami agama, atau bisa jadi, sebenarnya ia sama sekali belum pantas menjadi seorang ulama. 

2 komentar:

  1. kan di INdonesia stigma ustadz disematkan kepada orang yang bertampang alim.. bukan alim beneran :) nice posting mbak ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ustad di Indonesia ada yang dipilih berdasarkan audisi TV, atau dari kalangan selebriti, atau preman bersurban. Susah cari yang benar-benar pintar dan alim. Makasih :)

      Hapus

Komentar Kamu?