Jumat, 15 Agustus 2014

Di antara Rumah dan Pepohon

Aku belajar, bahwa ada dua jenis keluarga.

Keluarga pertama terdiri dari orang-orang yang memiliki keterikatan darah maupun rahim. Kasih sayangnya tidak perlu dipertanyakan. Itu jadi sebuah kemestian, bahkan kewajiban. Kadang cinta mereka menyakitkan dan gagal kita pahami. Kadang ada kehendak berkuasa, mengatur, mengekang atas nama cinta atau perlindungan sekalipun kita adalah manusia dewasa yang merdeka dalam menentukan sikap.

Kita seringkali teledor dengan menuntut apa yang bukan menjadi hak kita atau yang kita pikir harus kita dapatkan. Barangkali karena kita hidup bersama mereka -terutama orang tua- sepanjang usia kita. Barangkali juga karena segala tindakan kita akan berdampak bagi nama baiknya. Sehingga kita harus tahu diri. 

Kita harus menjaganya. Jangan sampai keluar garis. Jangan sampai melampaui batas. Kita bagian dari mereka, mereka adalah kita. Kita begitu identik sehingga sulit berlepas, atau mestinya, tidak ada yang perlu untuk dilepaskan.

Sebenarnya, garis itu bukan kita yang tentukan. Tapi konsensus sosial. Kita mesti tunduk pada konsensus sekalipun kita tak sepakat. Sekali lagi, kita tak sepakat tapi harus tunduk. Bukan kita yang membuat peraturan, atau kita bukan siapa-siapa untuk dapat membuat sebuah konsensus baru. Suka atau tidak suka, kita terikat kuat. Mau atau tidak mau, kita ada di dalamnya. Jika tidak suka, silakan keluar dan cari konsensus yang sesuai dengan apa yang kita mau. Walau ganjarannya adalah diasingkan, atau dianggap mati sekalipun sekuat tenaga kita terus berusaha hidup. 

Alex Supertramp dalam In to the Wild berkata, "Society! Society! Society!" di sebuah cafe untuk menyuarakan protes yang ditertawakan orang-orang yang sama-sama terasing. Kita akan jadi asing pada waktunya, Apalagi jika kita berada di luar garis konsensus. 

Bahkan kadang kita terasing dari diri sendiri. Setelah lelah mempertanyakan apa yang ada dikepala kita, apa yang baik maupun yang benar dalam pendirian kita. Kita terasing dan butuh istirahat. Keluarga yang pertama adalah rumah yang nyaman dengan orang-orang yang selalu memeluk kita kapanpun kita pulang.

Jika saja kita mau tunduk. Jika saja kita mau mengecilkan sedikit ego masing-masing dan bicara lagi soal cinta yang melembutkan hati, bukan mengeraskan kepala.

Tapi jika rumah itu tak lagi terbuka, masih ada keluarga yang kedua.

Keluarga kedua terdiri dari orang-orang yang memiliki keterikatan hati. Dukungan mereka terhadap kita lahir dari adanya kesamaan nasib atau kesanggupan untuk saling mendengar dan membangkitkan. Mereka kta temukan di jalan-jalan intelektual maupun spiritual kita.

Mereka jadi lilin di saat mata kita begitu gelap tak melihat apapun, Jika ternyata ruangan yang kita pijak terang benderang, mereka tetap jadi lilin di altar-altar suci, mengiring doa-doa, menerbangkan harapan. Kadang beberapa orang yang kita anggap keluarga memadamkan lilinnya dan pamit pergi, Beberapa memang pergi tanpa pamit.

Beberapa memang hanya singgah sementara. Kita menoreh namanya di pepohon, dekat dengan jalan setapak tempat kita melanjutkan perjalanan. Pepohon yang tertinggal akan tetap di sana, menyapa pejalan kaki yang akan lewat. Bukan kita. Tapi mereka akan tetap ada.

Setidaknya, untuk dikenang...

Pada akhirnya kita harus memaksa kaki kita untuk berdiri sendiri, sekalipun dalam gulita. Jika tidak begitu, kita akan gagal membantu orang lain untuk berdiri. Kita akan gagal memenuhi cita-cita penciptaan kita.

"Tugas-tugas" yang harus kita selesaikan adalah buah kesadaran yang pada akhirnya harus kita penuhi. Aku lebih senang menyebutnya konsekuensi logis kesadaran. 

Jika tak mampu berlari, berjalan maupun sekedar berdiri tegak, mungkin kita harus memulai segalanya dari awal, dengan bersimpuh atau bersujud. 

Sebelum akhirnya terasing kembali. Menguap. Hilang. Melelah untukNya.

1 komentar:

Komentar Kamu?