Baca juga kehidupan Kierkegaard disini
Kierkeegard mendapakan modal pemikiran eksistensialismenya dengan mempelajari dahulu filsafat Hegelian. Penolakan terhadap rumus-rumus filsafat Hegel mengantarkannya pada perumusan filsafatnya sendiri yang pada saat itu belum mengenal istilah Eksistensialisme. Kritik Kierkegaard atas idealisme Hegel diawali dengan keprihatinannya terhadap perilaku keagamaan masyarakat di Denmark yang sebagian besar menganut Lutherianisme. Agama kristen menurut Kierkegaard sudah sekuler dan duniawi dan tidak benar-benar memikirkan hal-hal transenden seperti misal saat pembahasan mendalam mengenai Allah. Agama benar-benar hanya persoalan “objektif” dan “lahiriah” serta tidak langsung menyangkut komitmen subjektif manusia yang memiliki tanggung jawab terhadap dirinya sendiri maupun masyarakat. Kierkegaard menuduh bahwa yang menyebabkan adanya kemerosotan tersebut adalah filsafat Hegelianisme yang banyak dipelajari pada abad 18 di Barat terutama pada masyarakat Denmark.
Bagi Kierkeegard, “dosa” terbesar Hegel adalah saat ia mengabstraksi segala sesuatu menjadi sebuah sistem tidak jelas yang mengecilkan peran manusia sebagai individu yang nyata. Karena selama ini pandangan Hegel mengatakan bahwa yang merupakan realitas sejati dalam hidup manusia adalah Idea abstrak atau roh. Bukan manusia yang sadar diri, melainkan roh yang sadar diri dalam manusia. Manusia konkret justru menjadi alat bagi roh yang menjadi memenjarakannya menjadi manusia yang konkrit seutuhnya. Maka Hegel mengusung ide kolektif dengan mereduksi manusia menjadi sekawanan kelompok. Bukan individu. Keputusan yang diambil secara pribadi tidak otentik saat itu. Sebab yang real bukan individu, melainkan Roh yang menjadi sadar diri melalui individu itu.
Kierkegaard menilai bahwa paham-paham Kristiani inilah yang menjadikan hubungan subjektif dengan Allah sehingga ia menjadi sangat ekslusif. Hegelian menjadikan manusia objek anonim dan impersonal sehingga tidak akan tampak individu-individu yang menonjol karena semua orang akan berbicara atas nama kelompoknya. Tidak ada individu, yang ada adalah suku, ras, bangsa, agama maupun komunitasny. Budaya kolektif ini di satu sisi mencerminkan keselarasan dalam masyarakat karena adanya “kekompakan”, di sisi lain yang buruk adalah membuat masyarakat homogen yang monoton. Dikhawatirkan juga membunuh kreativitas individu karena segala sesuatu yang berkaitan dengan tingkah laku atau moral di terapkan standarnya oleh masyarakat kolektif. Individu-individu yang terpenjara kebebasannya oleh komunal inilah yang dikritik oleh Kierkegaard.
Hegelianisme juga menghilangkan komitmen subjektif orang beriman, karena yang penting adalah keputusan kelompok dan kebenaran adalah yang keseluruhan. Artinya, yang benar adalah sesuatu yang bersifat kolektif. Jika masyarakat banyak tidak melakukan hal-hal tertentu, maka individu tidak boleh melakukan hal itu juga karena berarti sedang melakukan perlawanan tehadap hukum masyarakat. Ini juga akan membuat msyarakat makin tidak toleran terhadap perbedaan karena masyarakat bisa saja memberi hukuman secara sosial kepada individu yang “berbeda” dan dianggap menyimpang keluar dari aturan masyarakat pada umumnya. Berbeda bagi Kierkegaard, Hegelianisme membuat individu tidak bertanggung jawab terhadap dirinya, ia larut dalam kerumunan dan tidak berkembang.
Secara sekilas, Kierkeegard mendukung ide-ide individualisme yang diangkat oleh kaum Liberal yang mengatakan bahwa manusia tampil sebagai dirinya sendiri dengan ke-individuan-nya. Individualisme ini berbeda dengan individualistis yang berarti mementingkan diri sendiri. Namun Individualisme ini memberikan kesempatan tiap individu untuk mengembangkan dirinya. Namun, lebih jauh, Kierkegaard menjelaskan bahwa kebebasan yang diraih untuk individu ini berbeda dengan apa yang dimaksud dengan kebebasan individu ala kaum liberal. Karena konteks yang diambil adalah mengenai eksistensialisme manusia yang saat itu menjadi hal yang tabu karena kuatnya pemahaman mainstream kolektif dalam masyarakat.
Istilah eksistensi adalah istilah yang diperkenalkan Kierkegaard dalam dunia filsafat. Ia mengemukakan bahwa kebenaran adalah individu yang bereksistensi. Istilah eksistensi ini hanya dapat diterapkan untuk individu konkret. Hanya aku yang konkreat yang dapat bereksistensi. Aku juga tidak dapat direduksi ke realitas-realitas lain, entah itu sistem ekonomi, Idea, masyarakat dst. Bereksistensi bukan berarti hidup menurut pola-pola abstrak dan mekanis, melainkan melakukan pilihan-pilihan baru yang berbeda. Tidak ada yang menggantikan tempatku untuk bereksistensi. Penggunaan kata “Aku” disini menjadi sangat penting. Individu sebagai aku adalah yang menjadi aktor dalam kehidupan yang bisa mengambil arah hidupku sendiri, bukan spektator kehidupanku belaka. Hanya individu yang benar-benar mengarahkan hidupnya yang bisa di sebut bereksistensi. Sedangkan yang larut dalam kerumunan tidak bisa dikatakan sedang bereksistensi.
Kierkegaard juga mengkritik dialektika Hegel dengan dialektika eksistensial. Ia memahami perkembangan eksistensial individu. Perbedaan mencolok dengan Hegel adalah ketika Hegel berpikir bahwa peralihan satu tahap ke tahap yang lainnya adalah karena sebuah pemikiran. Kierkegaard membantah itu dengan mengatakan bahwa perubahan tahap seseorang itu terjadi karena keputusan kehendak individu sebagai aku. Pilihan itu bukan semacam pilihan konseptual ala Hegel, tapi tentang komitmen total seluruh pribadi individu.
Kierkegaard yang menerapkan konsep eksistensi berdasarkan pengalaman subjektifnya ini mengambil sikap anti mainstream terutama menyangkut sebuah sistem pemikiran. Bukan dengan metode-metode tertentu dengan sikap rasional dan sistematis yang dijalani oleh para filosof lainnya. Ia menggunakan caranya sendiri dalam merumuskan apa yang Ia pikirkan sehingga banyak yang menilai bahwa Kierkeegard tidak memiliki dasar pemikiran sistematis dalam merumuskan konsep eksistensialismenya. Justru, orang-orang yang mempelajari Kierkegaard sering kali mensistematiskan apa yang ditulis oleh Kierkegaard.
Ada tiga tahapan eksistensial yang terekam dalam karyanya, yaitu :
1. The diary of a Seducer (Estetis)
Tahap estetis adalah individu berada pada dorongan indrawi dan emosinya dengan prinsip “kenikmatan sesaat”, hari esok pikir besok. Patokan moral tidak cocok pada tahap ini karena akan menghambat pemuasan hasrat-hasrat individu. Manusia akan menemui ketakutan tentang rasa tidak enak dan kebosanan. Ini masuk juga dalam kategori eksistensialisme karena manusia punya pilihan untuk tetap hidup secara konsisten dengan cara estetis. Jika menjadi seorang eksistensialis estetis adalah jalan hidup yang dipilih oleh manusia tersebut, maka itu adalah pembebasan.
Sikap estetis itu dapat terpuaskan lewat seni dan agama. Karena menurut Kierkegaard, seni dan agama memiliki kecenderungan untuk memuaskan nafsu materialisme manusia. Seni memberikan kepuasan bathiniah maupun Indrawi bagi manusia. Namun suatu hari apabila kita terus menerus berkutat pada hal itu, maka kita akan mengalami kejenuhan yang berujung pada kekeringan jiwa. Begitupun dengan agama Kristen yang bagi Kierkegaard sangat kering unsur pencarian kebenaran, orang akan jenuh terhadap agama dan menjadikannya sebagai status atau label yang tidak akan membuat manusia merasa terpuaskan pada akhirnya. Pelarian-pelarian ini untuk sementara memang menenangkan. Namun itu tidak akan pernah bisa cukup untuk membuat manusia bahagia dengan kekal.
Karena termasuk orang yang menyukai seni, Kierkegaard mengambil perumpamaan teori estetisnya lewat peran-peran dalam berbagai karya seni. Misalkan, dalam kehidupan individu yang tercermin dalam Don Juan, Faust, dan Ahasuerus.
Dalam karya Mozart, Don Juan digambarkan sebagai orang yang tidak memiliki refleksi terhadap dirinya sendiri sehingga dosa dan aturan moral tidak berlaku bagi dia. Eksistensinya adalah saat-saat yang dapat dinikmati. Suatu hari, Don Juan pun akan mengalami kebosanan dan keputusasaan. Faust adalah tokoh ciptaan Goethe yang menghadapi tantangan, setiap kali ia dapat mengatasi tantangan itu, dia akan ragu apakah ia dapat mendapatkan kebahagiaan, tokoh ini mencerminkan sebuah kebosanan manusia. Tokoh terakhir yang jadi contoh Kierkegaard adalah Ahasuerus, seorang Yahudi pengembara yang tidak percaya pada Tuhan maupun manusia, ini adalah sebuah simbol dari keputusasaan. Sebab ia hidup tanpa arah, tanpa harapan, dan akhirnya juga tanpa kedamaian. Keputusasaan adalah tahap dari eksistensi estetis.
2. Either/or (Etis)
Tahap etis. Individu harus mendapat sebuah lompatan eksistensial. Tahap ini bukanlah tahap yang mutlak atau otomatis. Disini manusia harus dapat mengenali dan menguasai dirinya sendiri. Ia akan hidup berdasarkan patokan moral universal, dengan konsensus moral yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Namun ia tidak akan melupakan siap imanen, yaitu mengandalkan kekuatan rasionya belaka untuk berkesistensi menentukan sikapnya dalam fenomena kehidupan.
Tokoh dalam hal ini disebut “pahlawan tragis” yang mampu bereksistensi dengan dirinya sendiri namun sekaligus tidak diterima oleh masyarakat karena dianggap tidak memiliki pemikiran yang sama dengan masyarakat komunal. Ia disebut pahlawan karena ia pikir ia sedang memperjuangkan eksistensinya sendiri dengan cara mengorbankan dirinya sendiri. Namun mengorbankan diri disini tidak diartikan sebagai orang yang benar-benar sedang menderita. Karena dengan bersikap seperti itu, maka ia telah meraih pembebasannya sebagai pelaku etis. Meskipun mengakui kelemahan-kelemahan manusia, tokoh ini tidak memahami dosa. Sebab baginya kelemahan-kelemahan ini bisa diatasi dengan kehendak atau ide-ide manusia biasa. Dalam dunia barat tokoh ini diwakili oleh Socrates yang menyangkal dirinya atas asas-asas moral universal. Manusia etis tidak akan memahami dasar-dasar eksistensinya yang serba terbatas. Ia tidak akan menjumpai “Paradoks Absolut” itu. Ia akan ditantang untuk melompat ke tahap eksistensialisme yang baru, yaitu tahap religius.
3. In Veno Veritas. Fear and Treambeling, dan Guilty-Not Guilty (Religius)
Tahap yang terakhir adalah tahap religius yang ditandai dengan pengakuan keimanan terhadap Allah dan sebagai pendosa yang membutuhkan pengampunan Allah. Pada tahap ini individu membuat komitmen personal dan melakukan apa yang disebut sebagai “lompatan iman” atau pertobatan yang sifatnya non Rasional. Disebut non rasional karena pertimbangan-pertimbangan yang diambil disini adalah berasal dari dasar jiwa manusia yang menginginkan kesucian.
Penting diketahui, konsep emosional adalah pusat dari pemikiran Kierkegaard. Yaitu tentang subjektivitas, emosi terdalam manusia, eksistensi dan karakter. Bagi Kierkegaard, karakter adalah bagian terbedar dari kepribadian manusia yang menjadi jembatan bagi munculnya sifat-sifat manusia. Misalnya seperti karakter baik yang menjadi emosi menyeluruh di sebuah Individu sebagai subjek. Manusia cenderung tertarik pada persoalan yang menyangkut tentang baik atau benar nya sebuah hukum. Maka konsep emosional inilah yang akan membawa manusia pada tahapan religius dimana manusia akan menyadari kondrat nya dan berserah diri pada Tuhan dalam Iman.
Tokoh dalam tahap religius ini adalah Abraham dari kitab suci yang mengorbankan Putra tunggalnya Iskak karena beriman pada Allah yang menghendaki pengorbanan itu. Tentu saja, Abraham tidak memenuhi asas-asas moral universal karena masyrakat tidak mungkin menerima pengorbanan manusia sedangkan manusia tersebut tidak terbukti sedang melakukan dosa. Abraham menjadi setingkat diatas Socrates yang mengorbankan diri demi asas-asas itu. Tapi abraham mengalami paradoks disini. Di satu sisi Ia menyadari keterbatasannya sebagai Individu yang harus patuh, dan berserah diri sebagai makhluk. Di sisi yang lain ia memiliki hubungan istimewa dengan relasi dengan Yang Tak Terbatas. Disini, Abraham langsung melompat ke tahap religius. Tahapan yang transenden yang tidak semua orang dapat menempuhnya.
Tahapan-tahapan diatas sudah dijalani oleh Kierkegaard sendiri karena ia menggunakan pengalaman hidupnya untuk merumuskan konsep filsafat eksistensialismenya sendiri. Dalam kehidupan Kierkegaard sendiri, saat Ia menolak pernikahan dengan Olsen, maka Kierkegaard sedang melalui tahap menolak lembaga etis universal. Ia memilih hidup sendiri karena sadar dengan misinya sebagai manusia untuk berefleksi dengan sekitarnya.
Baginya, Allah adalah paradoks absolut yang mewahyukan diri dalam Kristus. Kristus juga adalah paradoks karena merupakan sandungan atas orang Yahudi dan kebodohan bagi orang Yunani. Untuk memahami hidup beriman, manusia harus berani melompat pada tahapan paradoks itu.
Kierkegaard konsisten dengan cara berfilsafatnya karena yang dibahas dalam soal agama hanyalah agama kristen yang Ia hayati secara personal. Tema “eksistensi”, “diri autentik”, “kerumunan”, “komitmen pribadi” abad 20 menjadi subur bagi aliran eksistensialisme. Dari sisi subjektif dan parsial nya, Kierkegaard sudah memasuki renungan palung-palung terdalam penghayatan eksistensial manusia sebagai manusia seutuhnya.
Sebagai orang yang membawa rumusan baru dalam dunia filsafat, Kierkegaard cukup konsisten dalam teori maupun praktek kehidupannya. Karena ada beberapa Filosof yang hanya menjadikan konsep filsafatnya hanya sekedar teoritis tanpa menjalani kehidupan sesuai konsep filsafatnya, misalnya Hegel dan Arthur Schopenhauer. Dalam hal ini, Kierkegaard telah memenuhi konsekuensi logis dari jalan pemikiran yang Ia pilih. Sikap seperti ini dapat membuat filsafatnya terus hidup karena ia dapat dipraktekan oleh orang yang mengikuti konsep filsafat nya. Namun pemikiran Kierkegraad yang tidak sisitematis memang membuat kita agak kesulitan memahami konsep filsafatnya sehingga muncullah banyak versi “tafsir” filsafat Kierkegaard.
Daftar Pustaka
Hardiman, Budi. 2004. Filsafat Modern dari Machiaveli sampai Nietzche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Hannay, Alastair. Marino D. Gordon. 1998. The Cambridge Companion to Kierkegaard. Melbourne : Cambridge University Press
Journals Indiana University. 2008. Kierkegaard and the Self before God. Bloomington : Indiana University Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Kamu?