Aku pernah membawa jiwa seseorang dalam puisi. Saat itu dini hari dan dadaku sesak, Mataku berurai air mata mengenangnya. Tiba-tiba rasa rindu yang sangat dan berbaai kenangan muncul. Tapi bukan sebuah kutukan ataupun rutukan yang ingin aku ungkapkan pada kenangan yang lumayan pahit itu. Tapi rasa syujur luar biasa dengan cinta yang meledak-ledak utuk mengingatNya.
Bisa jadi ini adalah peristiwa Spiritual. Saat kita belajar tentang Jiwa dalam kajian mulla shaddra, akan dikenal bahwa manusia dapat membus batas materi dalam alam malakut. Jiwa ku saat itu tertarik pada sesosok manusia yang mengikat hatiku berbulan-bulan yang lalu. Aku merasa sangat dekat dengannya sampa aku menangis sesenggukan dan menulis. Tapi bukan dia yang aku pikirkan, tapi DIA. Aku hanya membawa jiwanya untuk bisa menyampaikan gejolak meledak-ledak.
Entah, sulit diungkapkan. Aku tidak pernah benar2 membuat puisi sufistik. Tapi terjai begitu saja tanpa editing. Pastinya seperti dalam puisi sufi lain, mungkin selain pengarang yang mengalami pengalaman spiritual tersebut, Pembaca tidak akan faham. Yang jelas, menulis ini membuatku tidak tidur dan esoknya tidak mengantuk sama sekali.
Rekaman...Recomment
Di tahta tangkai penopang indah mawar itu adalah Kelopak Nya
Lalu menyobek , terkirimlah berbait-bait syair kerinduan sepanjang sungaiNya
Bawa ranum pesonakan jernih nan mewangi sepanjangNya sampai samudra kasihNya
SurgaNya didapati , mengarahkan bahtera bertuliskan Illah, Illah, Illahi….
Nan selalu berkompas gugusan bintang gemintang , Maka tersampaikan pada muara, penyair berkata Ialah surga….
Tempat pertemuan kelak…
Selama masih ada gunung Nya, Sungai Nya yang kan kirimkan kerinduan terpandu pun dalam deru badai memilu…
Sebagai petani semestinya rindukan hujan, bukan bandang apatah lagi gersang
Sebagai si sakit maka semestinya rindukan obat, bukan kerat
Sebagai mana semestinya nelayan tunggu tuk dapati ikan dalam jejaringnya
Sebagaimana hina itulah rindukan Layak dalam RumahNYA
Sesayup harapan teramat muda dalam bingkisan Nya yang terelok
Tersampailah….
Dimana TanganNya menepuk tegakkan pundak kita agar berjalan terus ikuti arah gemintang
Oh si pengemispun bencikan lapar nan makin bertambah sukar terperi
O…tahulah bahwa sang penyair tak pernah puas arak secawan untuk bersajak kelangitan
Mengertilah, dalam PialaNya termabuklah para alim dalam Kedai-kedai Nya
Maka dapatkah dalam larian itu pergi dari RahmatNya?
Sedangkan terpangku sudah di haribaanNya…
Berbukit kerikil tertakluk sudah
Pandang sebrang bukit tak terlihat…
…..selain daripada kabutNya….
Dingin ini telah memeluk dalam gigilan sendu kecintaanNya
Oh bukankah Janji itu adalah satu dari Anggur Nya?Mabuknya hinakan Raja bak pengemis
Maka singgasanalah pertanda kerajaannya nan rabun dikenal
Terserekan Ia dalam kepapaan nya?
Saat Cawan-cawannya telah kosong, sedang tenggorok managih untuk terbakar Arak asmaraNya?
Untukmu selalu, dalam keterlindungan Nya…
Tertitip salam termanis nan melangit
Jakarta, dalam sesak haru
Pukul 03.21 wib
Hari ke 19 bulan ke sebelas masehi
2010
SYAHARBANU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Kamu?