Senin, 07 Maret 2011

Curhatan Editor In Chief

Saat aku menyadari, bahwa sebagai pemimpin redaksi sebuah pers mahasiswa, aku belum punya karya yang memenuhi Kriteria sebagai seorang yang ekspert di dunia tulis. Ah…menyakitkan kau tahu??? Saat partner organisasi mu mempertanyakan kemampuanmu. Dengan jabatan yang diraih karena faktor “emergency”. Jujur saja, Sudah lelah membela diri. Memang sebenarnya bukan sebuah perkelahian yang salah satu harus dibela. Repotnya, dalam otakku selalu ada pengacara apabila ada kata membela.
Akhirnya lebih baik mengakui bahwa aku payah. Puas?? Aku sendiri sudah otokritik. Justru aku sadar bahwa aku payah dan aku sulit mengejar itu maka sesuatu itu jadi lebih dalam rasanya. Maksudku, sesulit perahu yang melintasi sungai penuh sampah. Bikin otak macet bung. Begitulah…


Aku akan menceritakan padamu, bagaimana seorang Pemred bekerja. Hanya kilasan. Sedikit saja. Yang jelas, Mengkoordinatori liputan bukan hal mudah bung…
Kau harus menajamkan telinga dan rela berteman gigil malam untuk sekedar tahu tentang apa yang terjadi di kampus. Apa yang terjadi di republik ini. berdiskusi sampai perutmu keroncongan di akhir bulan untuk tetap menajamkan kekritisan pikir. Menganalisa kasus bawah tanah dan kasus yang di menara gading itu. Kalau tidak begitu, orang akan menertawakan mu dengan berkata “Masak Pemred nggak tahu ini….???”. Belum lagi sulitnya menagih liputan dari rekan-rekan reporter yang memang sulit untuk dipegang deadlinenya. Siapa sih yang bisa meminta dengan keras reporter yang belum selesai masa pendidikannya, tak digaji, kemudian membuat mereka total menulis liputan dengan seabrek tugas kuliah? Belum lagi, Meminta reporter sudut pandang ideal yang kita kehendaki, merangkum berita apapun yang sexy untuk diangkat, dan hal teknis lainnya yang menambah panjang keluhan ku atas keterbatasan media digital yang aku punya. Tapi sudahlah. Memang dari luar, orang melihat bahwa pemimpin redaksi harus yang paling bagus tulisannya. Dan kalau menuntut itu kawan, sama saja telah men-skakmat diriku. Dies!!!


Hidup harus menulis. Iya…aku tahu. Aku pikir itu hanya soal terbiasa. Aku tidak terbiasa menulis. Tapi hadapkan aku pada laptop 1 minggu, akan aku ciptakan karya. Tampak sedang mengkampanyekan diri sendiri nggak?? Tapi, aku punya dalih hasil kutipan rector kita nan tampan dan pintar itu, Seperti biasa, aku adalah pemuda yang menjanjikan masa depan. Bukan yang menengok kejayaan masa lampau. Menyadari bahwa keterbatasan fasilitas harus dilawan. Meniscayakan segalanya tidak perlu mengeluh. Tapi memang, tidak bisa disamakan keadaan orang satu dan lainnya. Semua pasti berbeda dengan anugrah yang tergenggam dan segala keunikan dalam hidup.


Kau tahu, tidak banyak karya yang aku hasilkan. Tapi aku tetap berfikir bahwa hidup adalah torehan kata-kata. Dengan kata-kata yang diprasastikan seseorang bisa panjang umur seperti Plato. Dengan kata-kata yang tertorehkan seorang bisa sehebat Soekarno yang kata-katanya dikutip sana-sini. Dan aku, tidak terlalu bodoh untuk menyadari bahwa menulis itu sangat penting.


Saat Dia-orang yang kucintai-mengkritikku tajam dengan segala kelemahan yang memang aku akui, karena aku tak pandai mengolah kata dalam kayu olahan bernama kertas itu, aku hanya ingin membalasnya dengan tulisan. Aku ingin marah balik dan meninjunya dengan tulisan. Tapi apa yang aku punya?? Lelah menulis dengan pena. Lelah sekali. Otakku berfikir lebih cepat daripada tanganku dalam membatik kata. Saat aku mulai jenuh dengan keruwetan kata-kata dalam kanvas ku yang makin buram, aku mulai lelah menulis. Terulang begitu. Dan mengetahui bahwa materi membatasi gerakmu itu sama menyebalkannya saat kau tahu bahwa balon yang meledak tepat di depan hidungmu itu sangat tidak nyaman.


Ah, berterimakasih dengan plato yang mengungkapkan bahwa Alam materi mambatasi hidup kita. Alam Idea lah yang bebas. Idea ku berjalan terus secapat kilasan dalam roda F1 saat berkompetisi namun tidak ada media yang dapat melampiaskan itu. Tidak ada yang bisa menyeretmu ke sirkuit balap dan Berjaya.


Eranya digital kawan, bukan seperti jaman Marah Rusli yang cuklup berbahagia dengan pena. Bukan seperti jaman Taufik ismail yang berbekal tinta ia berkarya. Saat ini teknologi adalah sebuah keniscayaan. Aku sering mendengar temanku mengeluh saat kotak ajaib mereka bernama laptop rusak, mereka terbengkelai mengerjakan tugas, mereka terhambat belajar, mereka mengeluh kesana kemari karena laptop adalah senjata mereka dalam mengolah otak di dunia perkuliahan.tapi mereka tidak memahami bahwa mungkin aku mengalami hal yang lebih sulit dari itu. Aku harus terbirit-birit ke warnet yang dipenuhi keributan game online dan teriakan anak-anak kecil yang tak kenal lagi layang-layang karena tidak ada lahan bermain lagi di Jakarta.


Aku tidak memintamu pasti memahamiku kawan, tapi setidaknya kau tahu, bahwa aku juga membenci ketidakmampuanku dalam membuktikan diri dalam karya. Tapi aku masih punya mimpi. Menjadi penulis yang karyanya seindah pulau komodo. Aduh, seindah apa ya pulau komodo? Tak tahu lah. Yang jelas sekarang aku sedang menyelesaikan proyek yang berghubungan dengan pulau komodo. Jadi itu saja yang terlintas. Pokoknya aku pengen menjadi penulis dan aku akan belajar meraih itu kawan. Tidak selamanya aku akan begini terus. Aku punya gaya dan gengsi. Idealisme ku tak mati.



Kapan??


Bantulah aku meraihnya. Aku tak dapat berjanji dalam hal ini. bukan berarti aku tak muda lagi. Tapi ini bukan kepastian. Bantu dengan doamu. Sekali lagi, Bantu saja dulu dengan doa. Semoga masa pembuktian nanti, kita masih saling mengenal dan bersapa ramah sambil menertawakan masa kini yang telah jadi masa lalu.


Terimakasih telah menjadi partnerku yang selalu memotivasi ku dengan tekanan kata-kata dan cukup membuatku terbakar 'panas'.


Salah satu hal bahagia dalam hidupku adalah saat aku berpartner denganmu. Walau setiap hari rasanya ingin memakimu. Tapi akhirnya menyadari, bahwa akan jadi tak bagus rasanya punya partner selain dirimu.


Laptop pinjeman, di ruang senyawa kampus 7 Maret 2011.


@11.30pm

Dedicate to Chief Operating Officer


Parmagz Pers Mahasiswa Paramadina 2010/2011



Dondik Robini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Kamu?