Jumat, 14 Maret 2014

Puisi dan Hidupku Setelahnya

Aku kira aku bisa menulis puisi. Di sekolah dasar aku senang menulis puisi, teman-teman ku ikut menulis juga sejak aku menulis. Ada sebuah persaingan ketat saat itu. Kata mereka puisiku tidak sebagus puisi temanku yang lain. Apalagi puisi itu ditulis dalam bahasa Inggris. Harus aku akui, puisi yang ditulis temanku itu memang bagus. Karena itu adalah karya Kahlil Ghibran. Teman-teman tidak tahu temanku plagiat. Apa yang bisa kita harapkan dari anak-anak ingusan itu? Aku tahu tapi aku diam. Siapa yang mau dipermalukan? Aku tak ingin menambah musuh. Lagipula aku hanya anak pindahan yang tidak punya teman saat itu.

Aku sempat mengira aku bisa menulis puisi. Curahan hati bisa jadi puisi. Kegembiraan jadi puisi, kemarahan jadi puisi, olok-olok jadi puisi. Semua orang yang membacanya bilang puisi yang aku tulis bagus. Semua orang ingin dibuatkan puisi saat pelajaran Sastra atau Bahasa Indonesia. Orang meyakini aku bisa membuat puisi dan itu membuat aku yakin aku bisa membuat puisi. Puisi dan aku adalah dua hal yang tak terpisahkan.

Belakangan, aku membaca ulang puisiku dan menemukan kedangkalan yang konyol setelahnya.

Aku kira aku akan terus hidup dengan puisi.

Memang, pada suatu hari, aku patah hati dan aku menangis semalaman ditemani puisi-puisi Hafidz dan Fariddudin Attar. Aku tidak punya apa-apa sebagai penghibur. Perasaanku menggelegak dan rongga dadaku kembali dipenuhi cinta. Aku tak mengizinkan dendam bersemayam. Hafidz dan Attar menuntunku ke altar kelayakan. Aku kira, saat itu aku memang diselamatkan oleh puisi.

Aku kira aku bisa menulis puisi. Aku menulis untuk kekasihku lalu ia mendebatnya habis-habisan. Percuma saja banyak orang memuji karyamu tapi bukan orang yang kau cintai yang memujinya. Percuma saja dipuji banyak orang yang tidak punya selera berpuisi dan bukan penikmat puisi. Aku mundur beberapa langkah. Menghitung kemungkinan terburuk. Sepertinya aku memang tidak bisa menulis puisi.

Aku membuka buku-buku puisi. Dulu aku sangat menikmati Neruda, Sutardji, Chairil Anwar, Abdul Hadi WM, Sarojini Naidu, Syirazi, Rumi, Ghibran, dan lain-lain. Suatu hari aku temukan diriku di tumpukan buku-buku puisi dan membaca beberapa syairnya. Aku tidak mendapatkan apa-apa dari puisi itu. Aku berusaha mencari kritik atas puisi itu di internet. Ternyata puisi itu dipuji oleh para kritikus. Aku jadi meragukan seleraku. Bahkan sekarang aku tidak tahu apa-apa soal puisi. Aku tidak bisa membaca dan kepekaan ku dalam memilah puisi bagus dan jelek menghilang begitu saja. Aku mencoba memaafkan diriku sendiri atas ini. Bahwa ternyata hidupku bukan lagi mesti bersama puisi.

Aku berhenti menulis puisi. Aku tidak bisa menulis puisi lagi dan bahkan tidak sanggup lagi membacanya. Aku seringkali mendengus keras begitu membaca puisi seseorang karena aku tidak mendapatkan apa-apa. Bukan karena puisi itu jelek. Tapi aku hanya tidak mengerti apapun yang tertulis. Salahku yang tidak mengerti. Bukan salah penulis puisinya. Aku ingin berkata puisi itu jelek dan puisi ini bagus. Tapi aku tidak punya pisau apapun untuk menilainya. Lagipula, siapa aku hingga berani menilai sebuah puisi? Aku tak punya apa-apa untuk mengakrabi lagi puisi. Tak punya.

Salahku adalah, selama ini aku tidak berada di tengah orang yang menulis puisi sehingga kemampuanku mengolah rasa jadi tumpul. Aku tidak punya selera lagi.

Bahkan aku tidak lagi punya minat berkencan dengan penyair lagi. Aku merasa sedang mengkhianati puisi yang pernah sangat aku cintai. Aku sedang berusaha memaafkan diri sendiri yang terlalu mudah tersentuh dan dimanipulasi oleh penyair dengan puisi-puisinya. Aku pikir seseorang itu semulia puisinya. Aku pikir puisi adalah konsekuensi logis dari jalan pikiran pembuatnya. Aku gagal melihat bahwa kini, puisi seringkali hanya jadi lipstik untuk menutupi bibir yang menghitam karna dusta dan kebobrokan.

Inilah waktu yang tepat untuk mengakhiri hubunganku dengan puisi. Aku tidak menjamin bahwa aku mampu tahan berjauhan dengan puisi. Tapi setidaknya, aku ingin tegas berkata bahwa jarakku dengan puisi setara jutaan tahun cahaya. Yang kau lihat setelahnya hanyalah masa lalu.

Aku patah hati pada puisi.

Maaf.

2 komentar:

Komentar Kamu?