Minggu, 30 Maret 2014

Kereta Api

Kau bilang kalau suka dengan kereta dan hal-hal yang ada di dalamnya. Kau suka lampu kereta yang menyala terang di sepanjang rel di malam hari. Suka suaranya, kompartemennya, perlintasannya, stasiunnya, penjual pecel, hiruk pikuk orang tiap musim lebaran dan segala tentangnya.

Kau beberapa kali tidur di stasiun saat kelelahan dalam perjalanan pulangmu. Iya, tidur begitu saja di peron berbantal tas tanpa alas apapun. Aku menyebutnya ngawur, kau menyebutnya kesederhanaan. Bagiku tidur dengan cara seperti itu adalah cara jenius untuk memberikan kesempatan pada pencuri untuk merampokmu. Kau bilang bahwa lelah dan ngantuk tidak akan mengurangi kewaspadaanmu dalam menjaga tas yang isinya hanya beberapa helai kaos, satu celana jeans, buku, sikat gigi dan sabun saja. Kau bilang toh kau berpakaian gembel saat itu sehingga mustahil pencuri akan berminat untuk mencuri barangmu.

(source www.wallwuzz.com)
Kau tertawa jail sambil berkata, “Malah kasihan pencopetnya kalau nyuri aku. Udah susah-susah nyuri dapetnya barang nggak berharga.”

Aku lupa bertanya apakah kau sempat ditegur petugas peron atau tidak jika sedang tertidur di lantai peron. Aku sibuk memandangi asap rokokmu.

Karena sudah sering mendengar ceritamu tentang kereta dan beberapa hal memang diulang-ulang. Aku akan menceritakan padamu tentang cerita kereta yang aku tahu untuk mengimbangi ceritamu.

Aku hanya punya satu cerita tentang kereta yang aku dengar kisahnya dari orang lain. Barangkali orang yang bercerita padaku itu mendengarnya dari orang lain lagi dan begitu seterusnya. Aku tidak begitu peduli apakah cerita ini nyata atau fiksi. Kau hanya perlu mendengar. Tidak perlu mempercayainya. Tapi jika kau percaya bahwa kejadian ini nyata, aku akan berterimakasih padamu karena itu berarti kemampuanku dalam bercerita meningkat. Kau harus tahu bahwa melihat kereta api melintas di depan mata setiap hari itu belum tentu memahami segala sesuatu tentang kereta. Aku tetap saja tidak tahu banyak tentang kereta. Aku minta maaf jika aku kurang detail dalam menggambarkan kereta yang aku maksud.

Aku akan mulai ceritanya.

Ada sebuah kereta yang berada di stasiun Gambir. Kau tahu kereta macam apa yang ada di sana kan? Tidak mungkin kereta-kereta ekonomi. Menjadi kereta ekonomi saja sudah bisa memaksa kendaraan lain berhenti saat ia melintas di jalanan, apalagi kereta ini adalah sebuah kereta argo yang membuat kereta ekonomi berhenti dan menunggu untuk membiarkan argo melintas lebih dulu di jalur tunggal.

Kereta ini hendak menuju Stasiun Tugu di Yogyakarta. Jadwal sudah dipastikan. Rel juga aman dari genangan air maupun kendala lainnya. Semuanya tampak baik-baik saja.

Kereta itu hanya perlu melaju terus ke tujuannya.

Ia adalah kereta istimewa. Ada banyak orang penting di negara ini yang pernah menaiki kereta itu atau orang biasa yang hanya sekedar ingin naik kereta api karena jenuh dengan pesawat. Ia begitu menarik dan menjanjikan perjalanan yang menyenangkan dengan kesejukan kompartemen dan pramugari kereta (adakah julukan khususnya?) yang cantik dan selalu tersenyum. Kereta itu sadar betul bahwa ia istimewa, oleh karena itu, ia tahu cara untuk menarik orang-orang untuk melakukan perjalanan bersamanya.

Ditengah jalan, kereta itu keluar dari relnya. Begitu saja.

Ia menerobos rel yang bukan jalannya. Ia pikir rel yang akan ia lewati sudah sempurna. Ia mendengar orang berkata bahwa perlintasan itu sudah aman dilintasi. Namun beberapa orang berkata rel itu jalurnya masih terputus. Ia selalu penasaran dengan perlintasan baru hingga akhirnya memilih untuk mengambil risiko jika ternyata perlintasan itu memang belum boleh dilewati. 

Sayang sekali, ia melanggar aturan tepat disaat ada mobil yang melintas dekat rel.

Melencengnya kereta dari jalur membuat jadwal kereta, mekanik maupun pihak stasiun yang sudah mengatur segalanya jadi panik.

Saat dihubungi oleh penjaga stasiun tentang apa yang terjadi, dengan enteng ia bilang bahwa ia hanya ingin mencoba, sekali-kali, bagaimana rasanya berjalan diatas aspal seperti mobil atau motor, tanpa rel, tanpa kerikil. Ia sudah bosan dengan segala macam konsensus perkereta apian yang memaksanya untuk berjalan hanya di rel. Ia berbohong, tentu saja. Ia tahu dirinya istimewa sehingga merasa berhak melakukan itu.

Mobil yang dihantamnya hancur.

Mobil itu, adalah mobil dengan mesin dan cat yang sudah dimodifikasi. Berjalan sendirian karena ia selalu mencari jalur alternatif untuk menghindari kemacetan dan berbagai kerumunan.

Kereta itu membunyikan klaksonnya sedemikian keras untuk menunjukkan kemarahannya hingga membuat mobil itu makin merasa terpojok dan sendirian. Kereta merasa bahwa mobil itu adalah penghambat perjalanannya ke Jogja. Ia menabrak mobil itu sekali lagi dan meyakinkan pihak stasiun bahwa mobil itu yang telah memecah perhatiannya untuk mencapai stasiun tujuan. Ia bohong lagi. Alasan yang berganti-ganti tiap menit itu tidak dapat diterima pihak manapun.

Pihak stasiun Tugu berkata bahwa keterlambatannya memenuhi kedatangan dengan jadwal yang seharusnya membuat ia dalam masalah besar. Mereka menyarankan kereta ini berhenti di stasiun mana saja yang mau menerima kesalahan kereta yang teledor.

Mobil itu terluka dan ia justru menghukum dirinya sendiri. Mobil berkata, bahwa seandainya jika ia mengikuti kerumunan yang macet dan tidak melewati jalan di sisi rel itu, barangkali… Barangkali ia masih akan baik-baik saja.

Tak ada siapa-siapa lagi di jalan itu. Sepi. Sedangkan kereta harus segera sampai di stasiun. Dengan sisa tenaga yang ada, ia mendorong kereta itu kembali ke jalurnya dan berkata bahwa kereta itu harus terus melaju, jangan berpindah jalur, jangan penasaran dengan apa yang tidak dianjurkan oleh stasiun maupun pihak mekaniknya.

Perlahan-lahan, kereta kembali ke jalurnya, ia melaju kencang mengejar keterlambatan sambil menggerutu. Kereta itu masih bisa berjalan dengan normal. Agak mengherankan, bukan? Sudah dikatakan dari awal bahwa kereta itu adalah sebuah kereta istimewa.

Kereta akhirnya sampai pada stasiun.

Kelanjutan kisah ini adalah, kereta itu baik-baik saja. Melanjutkan hidupnya sebagai kereta argo yang istimewa.

Seharusnya kita mengkhawatirkan mobil itu. Bagaimana keadaannya? Sampai aku menceritakan ini padamu, tidak ada yang tahu tentang mobil ini. Barangkali, seperti halnya si kereta, akan melanjutkan hidupnya juga. Memangnya mobil yang malang itu punya pilihan lain selain melanjutkan hidup dengan sisa tenaga yang ada? Ia bukan pengecut yang melajukan mobilnya kencang-kencang supaya jatuh jurang.

Kau tertawa mendengar ceritaku. Dari awal aku sudah bilang kau tidak perlu percaya.

Kau membuang puntung rokokmu di bawah meja dan pergi. Kau bilang, “Aku ada urusan.”

Aku tahu. Ini saat yang tepat bagimu untuk pergi mengunjungi stasiun lainnya. Menceritakan kekagumanmu pada kereta-kereta ke siapa saja yang mau mendengarkannya. Kau sudah terlalu lama berdiam di sini. Aku pun bukan orang yang mencegah orang yang ingin pergi.

Kita saling berjabat tangan, tersenyum, dan mengucapkan sedikit basa-basi perpisahan.

Sampai bertemu, di perlintasan selanjutnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Kamu?