Sabtu, 09 Desember 2017

Dini Hari, Pukul 2 Pagi

Sudah berhari-hari rasanya, tidur dalam keadaan sangat lelah pada pukul 11 malam dan bangun dalam keadaan sakit pada pukul 2 pagi. Alih-alih membuat hidup jadi lebih produktif seperti anjuran orang untuk "bangun sebelum orang lain terbangun agar jadi orang sukses", aku akan terbangun sambil meratapi tubuh yang sakit di sana-sini. Kadang perut yang melilit perih sekalipun sudah makan sebelum tidur, kadang tentang sakit kepala sebelah kanan, tak jarang soal punggung maupun pinggang yang jadi sakit sekalipun tak sedang datang bulan.

Beberapa kali, aku menghabiskan waktu terbangun dini hari untuk meratapi pesan-pesan yang tak terbalas, cinta yang bertepuk sebelah tangan, masa lalu yang mendadak datang, sakitnya jadi orang yang tak signifikan, dan batas tipis hidup mati yang jadi pertimbangan untuk terus bertahan.

Aku tahu bahwa setiap tubuh punya alarm peringatannya masing-masing. Tapi soal ini, aku selalu gagal memahami. Apa sih sebenarnya yang ingin diperingati tubuh pada jam 2 pagi yang mencekam setiap harinya? Bisa jadi aku dibangunkan oleh mesin waktu yang mengajakku menyanyikan hymne pada duka pada jam 2 pagi. Mungkin akan ada peristiwa luar biasa pada jam 2 pagi di masa depan yang memintaku untuk selalu waspada pada waktu-waktu ini.

Setiap orang memang punya prioritas masing-masing. Makin tak signifikan kehadiranmu di kehidupan orang lain, dirimu akan makin tak mendapat urutan prioritas di sisinya. Bisa jadi orang-orang yang aku anggap penting menganggapku bukan apa-apa. Otakku pada pukul 2 pagi justru berisi nama orang-orang yang punya banyak alasan menghindari pertemuan dan ratusan pesan tak terbalas.

Aku memang tak harus peduli tentang orang yang tak mempedulikan aku. Tapi bagaimanapun, aku tak ingin orang-orang itu merasakan sakitnya terabaikan dan tak signifikan. Karena dalam hidup, kita mesti banyak memanjangkan rasa maklum dan sabar.

Hidup harus dijalani dengan tabah, sesakit apapun itu. Maka dari itu, saat berada di titik kesakitan yang sulit ditoleransi, secara otomatis amigdala yang sudah hancur babak belur ini bertanya, "bagaimana kalau kita akhiri saja drama rasa sakit ini selamanya?"



via GIPHY

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Kamu?