Senin, 12 Januari 2015

Memasung Relikui

Malam ini aku memperlihatkan foto pernikahan sahabatku yang diunggah lewat Facebook ke seorang teman.

Aku bilang padanya, "Dia kelihatan cantik ya?"

"Iya, kelihatan cocok sama suaminya."

"Likesnya ratusan." Kataku menambahkan.

"Foto orang nikahan kalau diupload di Facebook itu emang pasti banyak yang ngelikes. Temen-temen gue juga kok."

"Iya ya, kayaknya. Foto temen gue yang nikahan dapet likesnya sampai 300an."

"Nah, Elu nanti kalau nikah kira-kira yang ngelikes fotonya berapa?" Tanyanya sambil senyum-senyum.

Aku tersenyum kecil. Ini sungguh topik yang sensitif.

"Sepertinya, malah tak berminat memajang foto. Privacy. Apalagi kalau gue nikahnya sama si itu."

"Cie, ngarep nikah sama si itu…"

Aku diam, berpikir. Oh iya. Jangan mikir jauh-jauh. Sebisa mungkin, jangan. Dia tak akan suka.

"Tapi," sambungku, "pertanyaan yang lebih urgent adalah, emangnya dia mau nikah sama gue?"

Temanku tertawa. Dia tahu karakter orang yang aku maksud dari sudut pandang yang sering aku ceritakan.

"Menurut gue, bukan itu pertanyaan yang lebih urgent deh. Yang lebih urgent  adalah, apa dia bakalan menikah?

Benar juga!

"Emmm… Itulah! Orang kayak dia nggak akan seperti orang lain yang terikat sama standar hidup yang masyarakat tetapkan. Usia tak akan mempan menuntutnya melakukan sesuatu."

Kami terdiam.

Temanku merebahkan tubuhnya ke kasur, melanjutkan aktivitas membaca buku yang sempat tertunda dengan obrolan pernikahan ini.

Aku menatap layar ponsel dengan gamang sambil menimbang-nimbangnya dalam genggaman.

Saat ini, kita berdua hanya bisa terhubung dengan ini

Aku pikir, dia akan menikah, dia pernah berkata seperti itu. Entahlah. Tiada yang bisa tahu pasti tentang keputusan-keputusan besar dalam hidupnya.

Kemarin malam aku bermimpi membaca berita soal pernikahannya lewat sosial media. Mungkin akibat banyak mengonsumsi berita pernikahan kawan-kawan di sosial media. Ini mimpi yang aneh. Mimpi yang sekuat mungkin aku dorong ke bagian terluar ingatan.

Ibuku adalah orang yang sering mempercayai pertanda mimpi. Dia akan merespon dengan bersemangat cerita apa saja soal mimpi yang dia dengar. Seperti para penggemar zodiak yang selalu tampak menganalisa dan mengaitkan semua hal dengan urusan bintang-bintang. Sedangkan aku, hanya sering mengingat-ingat beberapa mimpi yang aneh setelah bangun tidur. Memikirkan, merasakan sensasinya, dan menikmati sisa-sisa ingatan yang ada. Tak ingin menggawat-gawatkan sebuah mimpi dengan menebak maknanya. Secara teori, tak perlu lah sibuk dengan hal yang tak pasti. Nyatanya, sampai sekarang, apa yang terjadi di alam mimpi masih sangat lekat di ingatan.

Jika aku, pada suatu hari memberanikan diri untuk bertanya padanya, "Hai tuan pintar kesayangan, apakah kamu mau menikah denganku?

Dia akan memberi jawaban panjang dengan nada dingin seperti biasa, seputar, "Kasih sayang jangan disempit dengan pernikahan.", "Perasaanmu soal itu masih terlalu prematur." , "Untuk saat ini aku tidak tertarik untuk menjalin hubungan semacam itu."

Membayangkan skenario semacam ini saja sudah membuatku patah, berantakan.

Lalu, jika suatu hari aku bertanya, "Kapan kamu akan menikah? Dengan siapa kamu menikah? Seperti apa penampakan calon istrimu itu?"

Dia akan menjawab dengan jawaban pendek, "Privacy. Itu bukan hal yang perlu ku share denganmu."

Jawaban imaginer itu berjejalan di kepalaku.

Aku akan di sini, melihatmu bekerja keras dari jauh. Berdoa sekaligus bangga padamu diam-diam. Sambil berusaha mengusir hantu dalam kepalaku yang mencengkeram kuat. Hantuku memang sudah lama jadi benalu, membentuk simbiosis parasitisme dalam tubuhku. Terus menggerogoti. Tak mau lepas. Sejauh ini, aku selalu gagal berperang melawannya.

Mengetahui soal hantu ini, kau akan memberiku pandangan tak sabar. "Apa? Soal hantumu lagi?" 

Mengusir hantu adalah hal teknis bagimu yang mudah dilakukan. Kau akan berkata bahwa aku sendiri yang membuatnya jadi rumit. Aku akan mengiyakanmu. Kau benar. Aku sendiri yang tak bisa mengendalikan kekusutan ini.

Aku tak pernah merencanakan hal seperti ini terjadi. Segalanya tampak lepas kendali. 

Kau akan bilang, untuk mengatasinya, aku harus mencari sesuatu yang membuatku senang.

Kemudian, aku sadar bahwa kesenanganku adalah sesuatu yang sama dengan hal membuatmu senang dan itu cukup menentramkan hatiku. Itu adalah hal di antara kita berdua yang dapat menjinakkan si hantu. Sayang sekali, aku pernah gagal mengelola kesenangan kita ini. Tepatnya, aku memang gagal.

Kau menegurku, mempertanyakan kasih sayangku, membuat segalanya tampak begitu sulit untukku.

"Jika kau menyayangiku, kenapa kau tak paham dengan prinsipku?" Katamu, saat itu.

Aku salah. Aku yang terlalu bodoh untuk menyadari siapa pecinta dan siapa kekasih. Kau berbalik dengan segala konsekuensi yang kau genggam erat-erat. Keputusanmu sekuat matahari di garis khatulistiwa yang teriknya tak tergoyahkan.

Kau, yang pernah mengizinkan aku untuk mencintaimu sudah merasa sangat bersyukur, setidaknya sampai saat ini kau tak pernah mencabut izin itu. Atau ingatanku yang salah?

Aku sudah memilih untuk berdiri di tempat yang tak terlihat olehmu. Tak apa. Aku akan mencoba untuk bahagia, menjadi apa saja dalam hidupmu.

Sekalipun sebagai seorang canggung, yang kelak kau lupakan.

Tengah Malam, 12 Januari 2015

1 komentar:

Komentar Kamu?