Sabtu, 31 Januari 2015

Literasi dalam Berislam

Beberapa waktu lalu saya hadir di sebuah acara Sastra. Musisi yang hadir di acara tersebut menampilkan beberapa musikalisasi puisi yang menurut saya cukup bagus. Saya berbisik ke kawan yang duduk di sebelah, “Puisinya bagus ya?”

“Biasa aja sih sebenarnya.” Katanya,

Saya mempertajam pandang pandangan mata. Tak juga menemukan apapun yang biasa di lirik itu.

"Coba perhatikan bait dan caranya mengawali kalimat. Puisi itu ditulis dengan gaya yang mirip dengan puisi Sapardi yang ‘Aku Ingin’. Memang tampak lebih bagus setelah dimusikalisasi.”

Saya kembali memperhatikan bait demi bait yang terpampang di layar. Oh iya, benar juga. Kalau tidak diberitahu, mungkin saya tak akan menyadarinya. Kawan saya ini adalah seorang editor sastra yang sudah mendidik selera maupun kepekaannya terhadap karya yang benar-benar bagus. Saya tak punya kepekaan semacam itu karena selama ini hanya memosisikan diri sebagai penikmat sastra yang paling banter hanya memperhatikan diksi dan mencerna makna. Pertimbangan saya sebagai penikmat hanya sampai pada ketersampaian pesan dan kedekatannya dengan perjalanan hidup saya.

Pertimbangan seorang editor mencakup hampir segala aspek.

Ketika saya bilang padanya bahwa saya tak punya kepekaan semacam itu, kawan saya bilang, “Bisa dilatih kok.”

Dia benar. Kepekaan seperti itu bisa dilatih.

Seperti itulah literasi.

Kita mendidik diri kita dengan selera yang bagus. Meneliti dan membandingkan segala pilihan yang ada di depan mata. Memilih yang terbaik sambil menemukan alasan paling masuk akal kenapa kita sebuat itu bagus dan menyebut yang tidak kita pilih sebagai biasa, atau jelek.

Selama ini budaya literasi sering dikaitkan hanya seputar baca dan tulis. UNESCO sendiri membuat definisi bahwa literasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, mengintepretasi, menciptakan, mengkomunikasikan dan memperhitungkan sesuatu dari sebuah teks ke berbagai variasi konteks. Khusus untuk bagian ini, terimakasih kepada ensiklopedia gratis kesayangan kita semua, Wikipedia.

Saya adalah orang yang meyakini bahwa dalam seluruh aspek hidup kita yang berisi pilihan-pilihan ini, pada dasarnya merupakan kerja-kerja literasi. Bahkan hingga ke hal yang paling sederhana sekalipun.

Misalnya, saat ingin makan Sate Ayam, pilihan nomer satu di kepala saya adalah Sate Pasar Santa. Saat ingin memilih OS komputer, pilihan utama saya adalah Linux diantara Windows dan Apple. Dalam memilih film yang akan ditonton di bioskop, biasanya pertimbangan rating, pemain dan sutradara muncul. Bahkan dalam memilih pasangan, hubungan sebelumnya akan memunculkan sebuah standar baru untuk hubungan selanjutnya karena kita sudah banyak belajar dari kesalahan. Untuk poin yang terakhir ini, maaf maaf aja ya buat yang belum pernah punya hubungan sebelumnya.

Saat membaca kata-kata Bill Kovach yang berbunyi, “Journalism is the closest thing I have to a religion,” saya langsung mengingat proses verifikasi hadits yang sangat rumit. Ada banyak teks, pendalaman bahasa, penalaran, verifikasi data dan sejumlah pekerjaan rumit lain yang hasil akhirnya menghasilkan kualitas hadits dengan label Shahih, Dhaif, dan Hasan. Adalah hal yang sangat biasa jika ahli hadist satu dengan yang lain akhirnya memberi label berbeda pada satu hadits. Ada ulama yang menilai bahwa satu buku hadits itu seluruhnya shahih, ada yang berpendapat dalam kitab yang shahih itu, masih terdapat hadist dhaif di sana sini. Ulama yang mengumpulkan dan mempelajari hadits telah melakukan kerja-kerja literasi, umat beragama yang mengonsumsinya juga melakukan proses literasi tersendiri dalam memilih versi ulama mana yang akan dijadikan pedoman hidup sehari-hari.

Belum lagi jika kita bicara mengenai penafsiran al Quran maupun fiqih dengan berbagai mazhab Islam yang berbeda. Perdebatan para Ulama hebat dari ribuan tahun yang lalu rasanya belum juga selesai karena perdebatan itu diteruskan oleh orang-orang awam yang tidak hobi membaca perdebatan keagamaan di masa lalu. Semua ilmu ini yang sumbernya teks ini disebut Ilmu Kalam. Ilmu kalam yang menyumbang banyak untuk perkembangan peradaban manusia ini kadang digunakan sebagai alat perang sebagai sebuah pembenaran alih alih sebuah kebenaran.

Perdebatan kalam ini seringkali melahirkan generasi dogmatis yang merasa paling benar saat menafsirkan teks. Bukan hanya merasa paling benar. Tapi mulai memaksa yang lainnya untuk mempercayai apa yang mereka imani.

Saya percaya bahwa kebenaran itu absolut. Tapi persepsi kita terhadap kebenaran inilah yang relatif. Tindakan ngotot merasa memegang tafsir paling benar ini sama saja dengan menyamakan kedudukan dirinya sendiri sejejar dengan Nabi. Karena hanya Sang Penerima Wahyu lah yang dianugerahi kecerdasan sebagai yang paling mengetahui maksud Tuhan dalam ayatNya.

“Aku melihat ada Islam di Barat tapi tak ada muslim. Dan ada Muslim di Arab, tapi tak ada Islamnya.” Muhammad Abduh melihat bahwa Islam secara general adalah sebuah kata sifat daripada kata yang merujuk pada Agama. Mereka yang berislam, belum tentu muslim.

Secara garis besar, Islam Mazhab apapun akan sepakat bahwa Islam adalah Rahmatallil ‘alamin. Saat beberapa orang membawa Islam yang ramah, yang lainnya membawa Islam yang lemah nan insecure.

Katakanlah, seseorang tak tahu ilmu hadist sama sekali untuk melakukan verifikasi shahih atau tidaknya sebuah hadist. Tapi ia memiliki budaya literasi. Jika menemui hadist Abu Dawud yang berbunyi, “Barangsiapa meniru suatu kaum, maka termasuk golongan mereka,” minimal ia tak akan panik takut keluar dari Islam secara otomatis begitu dia meniru kaum non Islam. Karena hadist itu biasanya digunakan sebagai dalil larangan untuk mengucapkan selamat atas hari raya untuk umat beragama lain, larangan pakai topi sinterklas, pemakaian Hijab dan sederet pelarangan yang dibuat dengan argumentasi yang dangkal.

Karena boleh atau tidaknya ucapan Natal sudah jadi tema perdebatan musiman setiap tahun, maka saya tidak akan membahasnya lagi. Menghabiskan energi. Lagipula orang yang melarang ucapan selamat itu belum tentu tahu kalau Hari Natal 25 Desember adalah hari rayanya umat Katolik, karena Kristen tidak menentukan tanggal pasti kelahiran Yesus selain bahwa Yesus lahir antara tanggal Desember-Januari.

Katolik juga tidak pernah menggambarkan Santa Claus sebagai sosok gemuk seperti yang kita lihat karena tokoh yang sebenarnya bernama Santa Nikolas ini aslinya adalah seorang bertubuh kurus yang membagikan hadiah pada anak-anak dari pintu ke pintu. Ada banyak gereja Katolik yang tidak menggunakan Santa Claus edisi gendut sebagai simbol natal. Sosok gendut dengan kereta salju, baju dan topi merah putih khas natal itu sesungguhnya adalah penggambaran Santa Claus di iklan Coca Cola pada 1881. Jadi, kalau ada pelarangan memakai topi Santa Claus dengan dalil hadist di atas, mungkin karena si Uni tidak ingin kalian jadi generasi Coca Cola. Barangkali kalau Pepsi yang akan membuat Santa Claus, pasti seragam Santa bukan merah putih, tapi biru.

Sekarang soal Jilbab. Jilbab ini sudah menjadi identitas banyak umat beragama lain seperti Biarawati Kristen Ortodoks Yunani, Biarawati Kristen Koptik, Yahudi Ultra Ortodoks, Biarawati Katolik, beberapa Zoroaster dan kelompok beragama lain yang menggunakan tutup kepala serupa model hijab walau disebut dengan nama yang berbeda-beda. Sama halnya seperti mbak-mbak Hijabers yang tampil dengan berbagai gaya. Lalu jika hadist di atas menjadi sandaran hukum, apakah lantas orang Islam itu serupa Yahudi, Nasrani dan Zoroaster? Takut nanti kurang Syar’I jika hijabnya kurang begini dan begitu. Tentu boleh-boleh saja memakai jilbab model apapun. Tapi jika sampai melabeli yang ini Syar’I dan yang itu tak Syar’I, maka seseorang sudah menganggap dirinya yang paling tahu tentang maksud Tuhan. Lagipula, yang diajarkan dalam Islam adalah kesederhanaan seperti yang dicontohkan oleh keluarga Nabi. Dalam hal ini, tidak ada perdebatan karena semua sepakat bahwa Nabi tidak pernah bermewah-mewahan.

Terlalu mudah diprovokasi dengan isu adalah salah satu ciri lemahnya kemampuan literasi seseorang. Terlalu cepat menghakimi tanpa jalur silogisme yang benar adalah ciri kebodohan.

Beberapa argumentasi sekilas terlihat sangat ilahiah karena bersandar pada dalil-dalil. Jika punya kendala teknis seputar teks sehingga tidak bisa mencari dalil bantahannya, maka masih bisa digunakan jalur lainnya. Lagipula, bisa bahasa Arab dan bisa mengakses banyak kitab penting dalam agama sama sekali tidak menjamin bahwa seseorang akan berpikir dengan silogisme benar soal agama. Buktinya, ada Fatwa yang dikeluarkan oleh kumpulan Ulama Saudi dan Dubai yang dirilis Febuari 2014 lalu soal larangan untuk tinggal di Planet Mars. Mereka bilang tinggal di Mars itu sama saja dengan usaha bunuh diri dan bunuh diri dilarang oleh agama. Itu pun baru satu dari 2 juta fatwa yang diproduksi ulama tersebut sejak 2008.

Lebih baik susah-susah belajar supaya bisa bertindak simple daripada malas belajar tapi gampang dibikin ribet.

Almarhum Gusdur adalah contoh Ulama yang mau belajar dengan tekun untuk bisa bertindak dengan simpel. Saya membayangkan, jika beliau sampai dengar fatwa itu, Ia akan tertawa sambil berkata, “Kamu mau tinggal di Mars? Gitu aja kok repot!”

Agama yang saat ini kita pilih adalah hasil dari belajar, merenung, berefleksi, mengkaji, mengomparasikan satu dengan yang lainnya, dan terus disesuaikan sesuai dengan semangat jaman

Jika Pram bilang Hidup itu sederhana, yang rumit hanya tafsir-tafsirnya. Maka saya ingin bilang bahwa Beragama itu sederhana, yang rumit hanyalah tafsir-tafsirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Kamu?