Setelah pertemuan dengan kakak
kandungnya, Bu Aminah dibawa ke Rumah Sakit Jiwa. Masa tahanan 45 hari dengan
kondisi sel yang sangat buruk membuat psikis dan mentalnya dianggap terganggu,
saat ditanya apa yang saat itu dirasakannya saat memasuki RSJ, Ibu Aminah
dengan yakin menjawab, “Saat itu saya sadar betul bahwa sebenarnya saya tidak
gila. Namun saya harus bersikeras untuk melawan bisikan-bisikan tentang Kapten
Budi Utomo. Saya selalu berkata ‘Laa! Uhibbullah Faqat!’ (Tidak! Saya hanya mencintai Allah) setiap
kali bisikan tentang, ‘Terima saja Kapten Budi, kamu bisa hidup enak nanti’
itu datang. Istilah jawanya, saat itu saya dipelet. Namun tidak ada yang
mengetahui hal itu. Orang hanya melihat bahwa saya gila. Bahkan orangtua saya
pun demikian. Bahkan sampai sekarang, apa yang saat itu saya rasakan tidak
dipercayai oleh orang. Karena menurut mereka, hal mistis seperti itu tidak
dapat diterima akal sehat.” Ungkapnya, sambil menggelengkan kepala.
Pasca dirawat di RSJ selama 1
bulan dan dinyatakan sembuh, Bu Aminah akhirnya dibebaskan. Anehnya, semua yang
disebut para militer sebagai barang bukti pemberontakan terhadap asas tunggal
Pancasila malah lenyap tak bersisa. Tanpa pengadilan apapun, Ia dikembalikan
lagi ke rumah. Sedangkan Abdul Bashir, masih dipenjara sampai 2 tahun kedepan
tanpa proses pengadilan juga.
Saat kembali ke rumah, kondisi
telah berubah. Semua modal membuat kue, Ijazah sekolah, barang-barang lainnya
juga raib dijadikan barang bukti penangkapannya dulu. Ia harus memulai dari
awal. Karena tidak punya apa-apa, akhirnya Ia pulang ke rumah orangtuanya di
Boyolali. Dengan status mantan tahan politik. Tentu saja, hal itu dianggap aib
dalam masyarakat yang tidak tahu secara pasti apa yang terjadi sebenarnya. Apalagi saat itu, wanita berjilbab masih
dianggap tabu oleh masyarakat. Selain itu, Ibu Aminah tidak lagi dapat bekerja
dimanapun maupun melanjutkan pendidikannya. Beban psikis semakin bertambah
karena Ia adalah seorang Janda dengan 1 anak yang menjadi bahan pembicaraan
orang.
Akhir tahun 1985, Ibu Aminah
menikah lagi dengan teman kakaknya bernama Muhsin Sukandar. Saat itu, Ia sudah
kembali lagi ke Jakarta, bersama dengan suami inilah Ia mulai merintis lagi
roda ekonomi yang dilemahkan oleh kasus Tanjung Priok tersebut. Ia mulai
berdagang kecil-kecilan sebagai pengemas makanan ringan dan bisa bertahan
sampai Reformasi tahun 1998 pecah. Pasca
Reformasi, bisnis yang Ia kembangkan bersama suaminya tidak lagi dapat
berjalan, akhirnya, Ia kembali lagi ke Boyolali sebelum akhirnya menetap di
Solo dan menjalani bisnis kerajinan tangan untuk souvenir pernikahan.
Barulah pada masa Pemerintahan
SBY dan atas desakan almarhum Munir lewat KontraS, para Jenderal yang terlibat
dalam pecahnya Tragedi Tanjung Priok diadili. Ibu Aminah turut memberikan
kesaksian. Jumlah korban Tanjung Priok yang masih hidup hanya tinggal sedikit
karena sebagian besar nya memilih jalur Islah dengan iming-iming
sejumlah uang dari para Jenderal, termasuk mantan ketua MPR AM Fatwa. Karena
apabila islah dijalankan, maka akan memperingan hukuman yang akan
dijatuhkan kepada para Jenderal. Ibu Aminah dan 13 orang lainnya tetap menempuh
jalur hukum, walau ketukan palu sudah menyepakati bahwa para Jenderal akan
ditahan dan negara harus membayar kompensasi pada korban, persidangan berhenti
begitu saja di tengah jalan tanpa ada kejelasan. Hingga sekarang. Nama-nama
seperti Mantan Presiden Soeharto, Wiranto, Tri Sutrisno, LB Moerdani dan
Jenderal lainnya yang terlibat dalam peristiwa berdarah tersebut tidak lagi
pernah disebut-sebut.
Ketika ditanya harapannya, Ibu
Aminah menjawab bahwa Ia masih ingin tetap melanjutkan proses hukum jika memungkinkan.
Namun, Ia tidak memiliki daya apapun untuk melakukannya. Apalagi semenjak
kepergian almarhum Munir. Ia berkata ini bukan soal uang, tapi Ia ingin
Indonesia sebagai negara hukum memberikan keadilan untuk semua warganya,
termasuk Ia. Karena apabila kasus ini di lenyapkan atau dihentikan, maka akan
rentan terjadi pelanggaran HAM lain karena pelaku masih bebas berkeliaran.
Bahkan pelanggar HAM berat masih bisa mencalonkan diri sebagai calon presiden
RI.
“Nanti biar anak-anak saya yang
teruskan jika proses hukum akhirnya diteruskan.” Saat ditanya tentang apakah
Ibu Aminah sampai sekarang masih mengalami trauma terhadap peristiwa itu,
sambil bergurau, Ia menjawab, “Saya tidak ingin anak saya jadi Militer,
polisi, tentara atau semacamnya. Saya juga tidak ingin anak-anak saya menikah
dengan militer. Sampai kapanpun. Tapi saya sadar bahwa hidup saya sudah
berjalan sejauh ini. Saya harus jalan terus sampai bertemu dengan Nya nanti.”
Di Indonesia, sekarang ini, ada
banyak orang lain selain Ibu Aminah yang tidak melanggar persoalan hukum apapun
di negeri ini namun hak-haknya diabaikan oleh negara. Melupakan kisah-kisah
yang ada dalam suramnya potret HAM kita hanya akan membuat efek jera pada
pelaku hilang. Tentu saja, kita tidak ingin ada lagi Ibu Aminah-Ibu Aminah
lainnya. Mari kita menolak lupa.
pengadilan allah di saat yaumul hisab. seadil2 pengadinyal. percayalah bu
BalasHapusKalo Tanjung Priok mau meng-Islamkan Jakarta/Indonesia, gimana dgn nasib agama2 lain? Ini negara Pancasila, apapun dalilnya demi kemanusiaan atau apalah itu tai kucing, NKRI dan Pancasila harus ditegakkan. Dari ratusan tahun lalu Nusantara sudah terbentuk dari ragam suku dan agama.
BalasHapusKonon saya dengar mau agama apapun Jakarta mau dijilbabkan sperti Aceh... Agama lainpun punya hak seperti agama Islam. Hidup TNI
maaf, anda sudah baca postingan yang pertama belum?
Hapusatau anda sudah tahu cerita asli tragedi tanjung prioknya?
saya kutip kalimat dari artikelnya yang pertama:
"Saat tragedi berdarah Tanjung Priok bergemuruh, Ibu Aminah sedang berada di rumah yang Ia tinggali bersama kakak kandung beserta istrinya. Tiba-tiba rumah didobrak oleh sekelompok petugas berseragam militer dan mencari kakaknya Abdul Bashir. Mereka mengacak-acak rumah berdalih mencari tanda bukti pemberontakan kepada negara dengan tujuan mendirikan negara Islam dan membubarkan NKRI. Saat itu, isu tentang asas tunggal Pancasila memang sedang ramai dibicarakan."
diceritakan disana memang kondisinya sedang tidak stabil.
lalu, jika anda mencari lagi artikel tanjung priok lainnya, ini merupakan tragedi yang di buat-buat oleh pihak/oknum yang memang tidak menyukai agama islam.
saya bukannya mau membela dan membenarkan agama tertentu, tapi sepertinya komentar anda diatas begitu jauh dari topik permasalahan dan pengalaman cerita ibu Aminah.
terima kasih.