Jika para penulis dituntut harus mengerjakan hal-hal baik nan bermoral persis seperti yang dia tulis, maka tunggu saja saat-saat dimana para penulis tidak lagi menulis tentang hal-hal ideal seputar keluhuran akal budi manusia.
Orang takut dibilang munafik sehingga ia mulai menulis tentang hal-hal buruk dan kotor dalam pikirannya yang berisi nafsu-nafsu kebinatangan daripada kemalaikatannya. Lalu pelan-pelan orang akan lupa terhadap tujuan penciptaannya. Kita semua juga lupa mengapa kita jadi manusia dan kenapa kita sudah tak tahu cara memanusiakan.
Orang-orang akan mulai berpikir, "Ya yang namanya manusia itu isinya hawa nafsu." Atau, "Memang kok, manusia itu serigala bagi sesamanya" tanpa berpikir bahwa diluar sana ada banyak manusia yang tak sekuat serigala dan akhirnya pelan-pelan mati dimangsa serigala lainnya. Betapa menyedihkan ketika hal-hal buruk mulai dianggap sebagai potret manusia yang sejati.
Tiba-tiba iri sama Karl Marx yang dengan santai bilang, "Aku bukan marxist" setelah menulis berjilid-jilid tentang pentingnya kesadaran kelas, kejinya para pemilik modal dan betapa menderitanya para proletar. Atau aku juga mulai iri terhadap Schopenhauer yang pesimismenya dipuja banyak orang sebagai ajaran moral yang baik padahal hidupnya begitu berantakan terutama relasinya yang buruk dengan sesama manusia. Siapa yang berani bilang Marx maupun Schopenhauer itu munafik?
Ketika seorang agamis mengatakan hal baik dan ia tidak melaksanakannya, ramai-ramai orang berkata bahwa ia munafik. Karena membawa nama Tuhan untuk meyakinkan hal-hal buruk adalah buruk. Katanya, ia menjual Tuhannya dengan menaikkan sendiri namanya beserta semua hal buruk tentang betapa berlawanannya kepribadian dengan ucapan.
Mendengar agamawan bicara moral itu memang memuakkan..Belum tentu ia baik kenapa ia tiba-tiba punya hak untuk menceramahi kita? Alih-alih kita melaksanakan apa yang ia katakan tentang moralitas, kita justru sibuk jadi polisi moral yang menilang para pembicara moral yang tak bermoral. Tidak ada manusia yang benar-benar mau diceramahi oleh manusia yang tidak melaksanakan apa yang ia katakan.
Lalu siapa yang berhak untuk menulis dan bicara hal-hal baik sekarang ini ketika menampakkan segala yang baik mulai jadi beban? Menampakkan yang.buruk jadi biasa dan wajar.
Kebaikan, keluhuran, kesempurnaan akan dianggap naif sehingga semua orang takut menuliskannya lagi. Ia hanya milik dongeng dan dianggap sebagai hal fiksi yang mustahil ada, mustahil terwujud.
Kata mereka, "Kita harus jujur dengan diri sendiri tentang hal yang paling disukai oleh manusia. Seputar sex, berhala-berhala berupa materi, dan kehendak berkuasa. Jangan munafik dengan berkata bahwa manusia tidak suka hal tersebut."
Kita berada pada suatu masyarakat yang lebih takut dicap munafik daripada konsisten menulis dan berkata hal-hal luhur tentang kemanusiaannya.
Pada akhirnya, kita akan dipaksa maklum dan terbiasa dengan standar ganda manusia dalam mengkritisi hal baik dan hal buruk. Kita juga dipaksa berhenti menulis dan berkata yang baik karena itu akan dianggap utopia yang mengawang-awang.
Manusia, kata mereka sekali lagi, sudah mati. Yang ada sekarang tinggal serigala. Tak mampu jadi serigala? Siap-siaplah jadi mangsa.
Aku sendiri memilih untuk mati sejak awal cerita jika pilihannya hanyalah menjadi serigala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Kamu?