Sore itu, dalam perjalanan dari pasar Ciputat menuju pasar Jumat setelah pulang dari Pamulang, aku naik angkot D 01. Aku bisa sapai sana karena janjian dengan teman yang tingal di Pamulang untuk melakukan interview dengan seorang aktivis pendidikan untuk majalah Edukrasi. Angkotnya masih lega. Di kursi depan, ada seorang Ibu dan anak lelakinya yang memakai seragam SD.
Awalnya suasana angkot tenang. Lalu lintas sore itu juga lancar. Aku hampir tertidur karena duduk di jendela yang mengirimkan angin sejuk sepoi-sepoi di tengah panasnya Ciputat. Sampai terdengar suara bentakan dari kursi depan tepat di samping Supir, "INI ANAK NGGAK BISA DIEM DEH!!! DARI TADI ISENG AJA. DIEM BENTAR APA!!!"
Tidak hanya aku yang kaget dengan ucapan Ibu itu. Tapi semua penumpang dan supir angkot juga kaget.
"Kenapa bu?" Tanya si Sopir angkot.
"Ini lho, anak ini dari tadi tangannya nyelip-nyelip terus di badan saya. Dibilangin dari tadi diem kok masih nakal aja. Nggak tau apa lagi istirahat!!"
Si anak diam saja. Aku dengar dari mbak-mbak yang duduk di sampingku yang berbisik ke teman di sampingnya, "Padahal anaknya cuma nyandar-nyandar doang tuh tadi."
Sambil menghisap rokonya, Supir bilang, "Ya namanya aja anak-anak bu, wajar kalau nakal. Kalau dia nggak nakal, berarti dia nggak pintar."
Ibunya malah melotot ke Supir angkot, "Situ nggak tau sih, Ini anak nakal banget di sekolah. Orangtua-orangtua yang lain dan guru-guru di sekolahnya pada ngeluh semua sama kenakalannya. Udah nakal, nggak ranking juga sekolahnya. Saya kan malu pak. Udah dibilangin berkali-kali masih aja nakalnya amit-amit!"
"Anak yang nggak nakal malah justru bodoh bu. Kan kalau nakal artinya dia aktif, dia sehat. Orang tiap hari kita kasih gizi, kita kasih susu kok, ya gerak aktif lah dia. Makin sehat anak, makin nakal dan malah susah kita kendalikan. Soalnya kan dia penuh energi. Kan banyak itu, orang-orang pinter yang sukses dulunya nakal banget pas kecil. Kalau nggak mau anak bergerak aktif, kasih aja racun, diam dia nanti. Nggak bakalan gerak-gerak lagi. Hahaha..."
"Situ mah nggak ngerti kasusnya! Kalau emang saya ketemunya sama orang kayak situ yang maklum sama anak nakal itu mah enak. Kan nggak semua orang ngerti. Tapi dia nih..." Ibu itu menoyor kepala anaknya "...udah bikin malu saya di sekolahnya sama di lingkungan rumah saya gara-gara nakal. Dikiranya saya nggak bisa ngajarin. Nakal ya nakal aja, jangan sampai bikin malu saya segala."
Supir angkot terkekeh lagi, mungkin dia menertawakan nada tinggi Ibu-ibu itu atau tertawa untuk hal lainnya, Ia menjawab, "Ya kan tadi saya udah bilang bu, kalau nggak mau anaknya aktif, nggak usah dikasih gizi sama susu. Biar dia diem aja. Nggak gerak lagi. Anak-anak saya juga nggak ada yang rangking di kelas. Biasa aja tuh. Tapi saya mah seneng kalau anak saya nakal. Berarti dia berani. Kalau mereka mau ancurin barang-barang, ya ancurin aja. Kalau mereka di labrak orang, saya suruh dia bales, jangan mau dipukulin anak lain tapi nggak ngebales. Kalau nggak gitu, dia bodoh nanti. Saya omeli kalau dia pulang ke rumah karena nangis karna kalah berantem. Saya omelin dia kalau ada anak tetangga yang nangis karna kalah berantem sama yang lainnya tapi dia nggak belain. Kalau ada yang nyubit, saya suruh bales nyubit. Tapi saya kasih tau dia, asal dia nggak boleh mulai duluan. Kan masih anak-anak. Kita kasih cara biar berani. Nanti kalau gede biar nggak memble. Kalau dia udah gede nanti, biar dia belain orang yang nggak bisa bela diri sendiri."
Ibu itu keliatan kesal mendengar ceramah dari bapak supir angkotnya, "Laki saya tu orang Jawa pak. Tau sendiri orang Jawa itu kerjaannya jaim (jaga image) terus. Kalau ada laporan dari orang karena nakalnya anak saya, yang diomelin saya. Situ nggak ngerasain kawin sama orang Jawa sih. Situ nggak ngerti."
"Ya udah, Ibu kasih racun aja biar dia nggak nakal lagi. Ngapain kita kasih makanan bergizi kalau kita nggak mau anaknya aktif. Saya kasih tau ni bu, makin susah diatur, biasanya anak itu pinter. Tanya orang-orang sukses noh, mana ada yang pas kecilnya nggak nakal." Dia terkekeh lagi sambil menghisap rokok yang tinggal 2 cm dan membuangnya keluar jendela.
Angkot sampai di Pasar Jumat. Aku harus turun untuk melanjutkan naik Kopaja P 20 yang akan membawaku ke Mampang. Sayang sekali, aku tidak bisa mendengar jawaban Ibu itu kepada Supir angkot yang selalu Ia sebut dengan "Situ". Yang jelas, aku rasa, supir angkot tadi lebih arif dan manusiawi ketika menghadapi kelakuan anak yang nakal dibanding si Ibu.
Saat mengulurkan uang 3000 sebagai ongkos angkotnya, aku melihat si Ibu masih cemberut, dan si anak yang baru saja Ia omeli tampak kecil mengkerut di samping Ibunya. Entah sudah berapa kali Ia diomeli karena dianggap nakal. Yang jelas, harapan ku terhadap anak itu sama seperti supir angkot itu. Semoga benar, kenakalannya adalah tanda dari kecerdasannya.
makasih kak banu sudah membagi pengalaman menarik dan bermanfaat ini... :3
BalasHapusSama-sama Nyan ~~
BalasHapus