Kemarin, aku terpenjara jeruji hujan dari jam 6 sore sampai jam 11.30 malam. Hujan yang deras memberi banyak waktu ngobrol bareng teman-teman kampus yang bernasib sama. Yang cuma bisa pasrah menunggu hujan reda.
Kakak kelas ku yang sudah menikah dan punya anak perempuan berumur 6 bulan menunjukkan foto anaknya di layar BB nya, "Anak gue nih."
"Lucu banget anaknya kak."
Dia duduk di samping ku sambil mengisi baterai BB nya. "Sekarang sih gue cuma mikir, gimana caranya biar anak gue sejahtera aja. Gimana masa depan dia aja."
"Oh, jadi nggak mikirin lagi tentang konflik timur tengah, perdamaian dunia, Iran Amerika dan Palestina Israel ya kak?" Tanyaku sambil bercanda.
Dia tertawa kecil, "Iya, nggak lagi. hehehe..."
Aku tersenyum dan berfikir, tentu saja semua orang ingin jadi pejuang. Dari yang tingkat mikro atau makro. Perjuangan bisa dalam bentuk apa saja. Yang jelas, asal mengubah sebuah keadaan menjadi lebih baik itu adalah sebentuk perjuangan juga. Hanya saja, seseorang kadang sibuk berjuang untuk diri sendiri dan melupakan sekitar. Kata orang, "Diri sendiri aja belum selesai, masak mau berjuang buat yang lainnya."
Ah iya, sepertinya ucapan itu benar, tapi aku pikir, pada akhirnya, makin lama hidup kita di dunia, urusan-urusan pribadi kita tidak kunjung selesai. Misalnya, bisa jadi, seseorang yang sedang berjuang membuat paper tentang runtuhnya teori Clash of civilitation nya Samuel Huntington sehingga perdamaian antar peradaban itu sangat mungkin terjadi sedang mengalami masalah pribadi sangat berat. Yaitu dia tak kunjung berdamai dengan mantan pacar. Padahal, ia meyakini bahwa apa yang dia tulis itu bukan utopia belaka. Tapi kenapa, berdamai dengan mantan pacar dalam lingkup sosial kemasyarakatan begitu sulit? Bukankah masalah-masalah makro sosial itu berawal dari masalah-masalah pribadi. Sebenarnya, sederhana kan? Apakah akhirnya, kita terkubur dalam masalah pribadi dengan berkata, "Tidak akan mempromosikan perdamaian dunia lagi sebelum selesai urusan dengan mantan pacar" atau berkata, "Okelah, mungkin saya tidak dapat menyelesaikan masalah pribadi saya sendiri dengan mantan pacar. Tapi bisakah saya tetap mengkampanyekan pentingnya perdamaian dunia kepada siapapun yang mau mendengar? Yang penting berusaha." Dua hal itu, lebih cool yang mana?
Contoh lain, seorang ustad di cemooh beberapa orang karena memiliki anak yang nakal sampai ustad itu ragu apakah Ia terus berdakwah atau tidak. Beberapa orang bilang, "Didik anak sendiri aja belum bener kok berdakwah sih?" Kalau aku sih, menanggapi fenomena itu dengan bilang, "Bukan salah ustadnya ngasih tau anak apa nggak. Ada anak yang bisa jadi Yusuf bagi orang tuanya, ada anak yang memilih jadi seperti anaknya nabi Nuh, Ustad, dakwah terus aja, PD aja lagi." Dua hal tanggapan pada ustad itu, lebih cool yang mana?
Pada akhirnya, aku tidak yakin aku benar-benar bisa berkontribusi bagi dunia, bagi negara maupun bagi keluarga karena masalah pribadi ku sendiri tidak kunjung selesai. Hal remeh temeh seperti urusan psikologis (Padahal bukan mahasiswa psikologi), urusan ekonomi (Lagi-lagi, padahal bukan mahasiswa ekonomi), urusan filosofis (Konsekuensi logis mahasiswa filsafat) dan sebagainya. Kalau diturutin fokus hanya masalah pribadi, tentu saja, hidup kita terlalu singkat untuk hanya mengurusi hal-hal pribadi. kapan berbaginya? Kapan kontribusinya buat negara? Kapan berguna buat sesamanya?
Tentu saja, kakak kelas ku harus benar-benar fokus berjuang untuk anaknya karena di saat muda ia sudah kenyang dunia aktivisme, tak lelah mengkritik pemerintah dan melakukan banyak hal berlandaskan idealisme. Tapi semoga, darah-darah perjuangan itu tidak berhenti. Harus tertular, pada sekitarnya, pada anaknya kelak, pada sesamanya. Makanya dia masih sempat urus HMI walau secara perkataan dia hanya memikirkan bagaimana anaknya besar nanti. Ada lho orang-orang yang menjadikan organisasi itu tempat berjuang. Bukan melulu pragmatisme dan ekonomi. Semoga aja dia memang begitu.
Aku saat ini. bukan siapa-siapa. Bukan apa-apa dan gerakku seolah-olah tidak mempengaruhi apapun di dunia ini. Tapi suatu hari, aku tidak ingin lelah berjuang, aku tidak ingin apatis dengan apa yang terjadi pada dunia, aku ingin melek peradaban. Aku juga ingin terhindar dari keterisolasian intelektual. Salah satu caranya adalah dengan bersama-sama dengan orang yang punya visi sama. Di bagian ini, cuma bisa bilang : If u know what i mean.
Kita boleh kecewa pada sesuatu, tapi semoga kekecewaan kita terhadap sesuatu tidak membuat kita merusak diri sendiri. Hidup berjalan terus dengan ritme nya dan kita bisa jadi pengatur tempo dalam ritme itu. Pilihan kita kok semuanya. Bagiku, Never ending fighting!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Kamu?