Selasa, 18 Februari 2014

Cuma Bisa Omong, Maaf...

Aku mulai tidak mengerti tentang pernikahan. Ada banyak perceraian di sekitarku yang membuatku merasa bahwa mencintai saja tidak cukup sebagai bekal untuk menikahi seseorang.

Akhir tahun 2013 lalu, seorang sahabat (dulunya kita sempat dekat dan hampir pacaran) menelepon pada pukul 1 dini hari. Dia bilang, "Mantan aku mau nikah lagi minggu depan. Padahal rasanya baru kemarin kita cerai."

Sahabatku, menikah tahun 2012 lalu. Dia menikahi janda beranak 2 yang ia cintai. belum berjalan satu tahun, mereka bercerai. Banyak alasan. Sahabatku bilang dia menceraikan istrinya karena tidak tahan dengan temperamen keras istri dan berbagai masalah lainnya. Padahal, saat dulu menikahinya, dia begitu bangga dengan istrinya yang bekerja sebagai PNS di Pemda. Betapa mandiri, betapa tangguh dan segerombol alasan lainnya yang menjadikan segalanya tampak sempurna.

Hal yang awalnya dibanggakan justru jadi boomerang, Intinya, sahabatku yang pengusaha itu terganggu dengan aktivitas istrinya sebagai PNS. Itu  jadi salah satu pemicu pertengkaran.

Mereka bercerai. Istri memohon rujuk karena khawatir dengan gunjingan orang sekitar yang akan membicarakan tentang kegagalan pernikahannya lagi. Sahabatku bersikeras untuk dengan perceraian ini.

Walau dia yang menceraikan, hidupnya juga ikut kacau, pekerjaan jadi berantakan. Ternyata jadi yang memutuskan hubungan itu bukan sebuah kebanggaan. Bukan sebuah kelegaan. Dia bilang, ada rasa bersalah, penyesalan, dan perasaan-perasaan yang mungkin akan membunuhnya pelan-pelan.

Mantan istrinya sempat meneleponku, memberikan sudut pandangnya terhadap perceraian itu. Aku hanya memberikan dukungan. Ia khawatir dengan cerita yang berat sebelah. Ia khawatir aku memandangnya salah seperti orang-orang di sekitarnya. Aku bilang aku tidak akan berpikir seperti itu. Dia harus kuat. Tapi, daripada jadi seorang motivator, aku malah merasa seperti seorang jurnalis yang sedang menginvestigasi kasus dan ada seorang narasumber yang murah hati membeberkan sudut pandangnya. Padahal aku tidak menginginkan cerita. Aku hanya mendengar. Kalau akhirnya aku mendapatkan versi cerita utuh sesuai prinsip bernama cover both side, Ya itu bukan karena aku yang mengorek-orek. Apa pentingnya?

Toh, tidak ada hal yang yang aku lakukan selain membesarkan hatinya seolah-olah aku orang yang besar hati. Aku bisa apa? Aku kan tidak bisa memberikan opini-opini tertentu. Bukannya meredakan, aku takut malah memperunyam masalah mereka. Yang jelas, dalam hal ini. Aku merasa beruntung tidak ada tuduhan kalau aku jadi orang ketiga diantara mereka. Karena sahabatku baru rutin berkomunikasi kembali saat dia bercerai. Bukan saat dia masih terikat pernikahan. Mantan istrinya tahu betul tentang itu.

Aku memutar memory kebelakang. Bukankah saat menikah mereka sama-sama jatuh cinta? Lalu kenapa cinta itu menguap begitu cepat? Toh mereka sebelumnya juga sudah pacaran.

Ah iya, sahabatku sempat mempertimbangkan aku dulunya, dengan pertanyaan, "Bagaimana kalau kita menikah?" Tapi aku terlalu kecil, 19 tahun. Aku tidak mau buru-buru. Bukankah kuliah di Jakarta dan bertemu orang-orang baru itu menyenangkan? Jika aku menikah, dia bilang aku tidak mungkin kuliah. Akhirnya, dia mendapatkan juga perempuan yang senyumnya bagai gulali yang usianya 2 tahun dibawahnya, 27 tahun. Itu setelah berselang lama. Bertahun-tahun kemudian. Menurutku mereka pasangan sempurna. Aku bahagia dengan pilihannya. Kalau akhirnya mereka sekarang bercerai, aku menyayangkan. Tapi kita bisa apa? Yang menjalani dan merasakan sendiri mereka. Salah kalau intervensi. Kalau aku sarankan rujuk, aku takut kalau-kalau itu bukan jalan terbaik. Aku tidak tahu apa-apa tentang hidup mereka. Aku hanya berkata pada mereka untuk tidak saling berteriak, membuat salah satu menangis maupun memancing persoalan. Lagi-lagi, aku hanya bisa omong.

Kembali ke soal perceraian...

Ada banyak kasus perceraian lainnya di sekitarku. Yang sebelum menikah pacarannya sebentar maupun yang pacarannya lama juga mengalami perceraian. Ada yang merasa bagai beli kucing dalam karung ada yang merasa kesabarannya sudah habis.

Aku tahu cinta ideal adalah seperti yang dikatakan oleh para Filosof tentang tak henti memberi. Tak henti mencintai, tak henti mendoa. Tapi siapa yang punya cinta macam itu?

Aku berkata pada sahabatku, "Aku tahu ini berat, berbahagialah. Bukankah setelah perceraian, seharusnya kalian berhenti untuk saling menyakiti atau berhenti untuk sekedar merasa tersakiti?"

Aku menelan ludah ku saat berkata seperti itu. Karena aku tau pasti sulit. Aku hanya menenangkan dia. Putus saat masih jadi kekasih saja sakit, apalagi saat pernikahan. Tapi aku terlalu bingung harus bicara apa? Kita kan bicara di telepon, bukankah aneh kalau tiba-tiba aku diam saja?

Ingatan tentang luka menghampiri lagi. Itu adalah alarm jiwa untuk membaca Attar lagi, dan menemukan bahwa tujuanku hanyalah sampai ke Simurgh. Ini memang teori, semacam pembelaan diri, mirip dengan aktivitas memotivasi diri sendiri. Lalu, memangnya aku bisa apa? Bunuh diri? Nangis berhari-hari? Cih!

Tiba-tiba aku khawatir, bagaimana kalau suatu hari nanti aku malah tidak bisa jadi istri yang baik?

Perutku tiba-tiba mual.

2 komentar:

  1. entah, memang perempuan atau sebagian perempuan yang kalo nulis bahasanya bisa mengalir ky gni.. (-_-"),
    sebenarnya siapa yg dimaksud perempuan itu.??

    BalasHapus
  2. Menurut pendapatku sebelum menikah harusnya ada kesamaan pendapat dalam definisi cinta dan bahagia, karena dua kata itulah yang dicari dalam hidup ini. Memang perlu kita akui perbedaan latar belakang sering memicu pertengkaran. Namun hal itu jangan dijadikan alasan untuk perpisahan.

    BalasHapus

Komentar Kamu?