Jumat, 15 Maret 2013

Fans-Zone atau Lalulalang-Zone


Beda antara posisi kita sebagai temen deket atau sebagai fans itu gini...

Misal ya, Kamu punya temen deket seorang public figure, artis lah misalnya. Trus karena ingin membuat setiap pertemuan itu terekam abadi, kalian foto bareng. 

Orang-orang yang liat foto kalian bilang, "Wah.. Foto sama artis". Salah! Salah banget sudut pandangnya. Karena kamu lagi foto sama temen deket kamu. Karena di dekatmu, si artis ini sudah menanggalkan keartisannya. Dia bisa jadi sangat manusiawi di depan mu. Bisa galau, bisa nangis, bisa kentut, bisa jayus, bisa bodoh di hadapan mu dan kalian pun berbagi sekantung penuh cerita... Tentang gula, garam, asam, dan mengkudu yang diramu sebegitu mengharubiru hingga kalian bisa solid barengan sampai sekarang. Walau di mata orang kamu adalah seorang mahasiswa pada umumnya dan dia artis. Tapi diantara kalian, tidak berjarak. Kamu adalah dirimu sendiri dan begitupun dia yang diikat ketat dengan hati.

Beda kalau fans...

Barangkali fans memang tau A-Z kehidupan kamu lewat internet, tv, majalah, stalking, dll. Tapi, dia tidak punya sekantung cerita dan ramuan itu. Saat foto bersama, bagaimanapun aroma yang terasa adalah antara fans dengan si idol. Fans selalu bangga bisa berfoto bersama idolanya. Tapi apa sang idola merasa senang berfoto denganmu? Barangkali, si Idol ini malah lupa pernah ketemu atau sekedar inget nama. Padahal, sebegitu bangganya kamu memasang foto bersama idola di media sosial dan memasang foto itu besar-besar di kamar. Seolah ingin semua orang tahu bahwa kamu sudah berhasil bertemu sang Idola. Itu prestasi bagi sebagian orang. Kalau aku sih... Nggak. 

Aku menghargai seseorang dengan karya dan pemikirannya. Jadi kalau suka dengan sesuatu, aku mengawetkannya di pikiran ku. Bukan berfoto bersama dan menaruhnya di media sosial.

Makanya aku nggak mau foto sama orang beken yang nggak akrab betul. Karena nggak mau masuk dalam Fans-Zone. Siapa dia emang? Artis? Pejabat? Penting gitu ngefans sama dia? Perlu bangga gitu ketemu sama dia? Nggak.

Begitulah hidup kita ini, kita bisa berperan sebagai seorang teman dekat, fans atau sebagai pemain figuran yang berlalulalang dan tak perlu terlalu serius untuk diperhitungkan.

Kebanyakan dari kita adalah orang dengan jiwa yang terlalu mudah tidak stabil disebabkan karena orang-orang yang hanya sekedar berlalulalang di beberapa scene hidup yang dramatis tragis mengiris yang kita harap berakhir manis. 

Inget, di luar orang yang cuma berlalulalang, ada orang setia support dan membesarkan diri kita. Sahabat dan Keluarga misal. Jangan sampai, karena kita tahu mereka selalu ada buat kita, kita malah semena-mena memperlakukan mereka sampai mereka merasa harus pamit dan akhirnya jadiseorang Lalulalang-Zone.

Aku sendiri, tidak mau ambil pusing dengan orang yang perannya hanya lalulalang dalam hidup ku. Seperti kalau lagi jalan kaki di trotoar trus ada motor yang mau nyerempet badan kita dan parahnya malah dia yang marah-marah. Ya pasti aku akan kesal. Tapi aku tidak akan memelihara lama-lama dalam rasa kesal itu. Tapi selanjutnya, aku harus terus berjalan. Mencapai tujuan ku, menatap kedepan dengan level kewaspadaan yang lebih meningkat. 

Tentang hal itu, jadi inget pesen bapak pas aku lagi belajar motor dulu, "Di jalan, walau kita udah hati-hati, belum tentu orang lain hati-hati. Makanya harus awas (waspada- jawa) di Jalan. Jaga diri baik-baik."

Posisi Menentukan Sikap
Tahu kenapa penting untuk tahu dimana posisi orang-orang sekitar kita dalam kehidupan kita? Aku pikir, agar kita dapat memikirkan porsi yang tepat dalam menempatkan dan memperlakukan orang seperti apa. Jangan sampai, kita membagi kantong cerita yang berharga kita pada orang yang hanya berlalu lalang. Atau, menganggap teman dekat kita sekedar fans yang kita pikir dia akan merasa beruntung dekat dengan kita yang padahal justru kita yang lebih beruntung dapet temen deket kayak dia.

Jadi... Ya hal itu penting aja. Penting banget buat ku malah...

The Last Words
Oke, 2 paragraf di bawah ini buat seseorang -yang entah statusnya berperan sebagai apa- yang kemaren sempet chatting dengan atmosfer nggak enak.

Karena sesuatu, aku jadi inget pas mata kuliah Ilmu Politik. Dosen nanya, kenapa cewek berqurba (bercadar) di Perancis itu sempat dilarang? Sebagian mahasiswa bilang karena nggak boleh terlalu menonjolkan simbol-simbol keagamaan di Perancis. Ini nggak salah-salah amat mengingat Perancis itu sekuler. Tapi aspek secara sosialnya adalah, nggak fair kalau cewek berburqa bisa mengenali wajah kita yang tidak tertututup burqa sedang sebaliknya, kita ngak bisa ngenalin muka cewek itu. Dalam berkomunikasi kan penting untuk bisa mengenali dengan siapa kita bicara. 

Kalau kamu tanya aku, aku nggak mau menjalani hidup kayak persoalan cewek berburqa di Perancis ini. Kalau mau saling berbagi kantong cerita, aku telah membuka kantong ceritaku, Sebaiknya, kamu juga membuka kantong ceritamu. 

Aku nggak pengen memperlakukan seseorang yang chatting tiap hari dengan akrab seperti salah satu narasumber wawancara media ku yang perlu ditanya supaya ngasih pandangannya terhadap sesuatu. Kecuali kalau aku digaji untuk itu, maka aku akan melakukannya dengan profesional. Sesuai jam kerja, weekend dan hari besar libur.

Kecuali ya... Kamu hanya menempatkan dirimu di Fans-Zone atau Lalulalang-Zone. :)

Gitu.

Sekian...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Kamu?