Kamis, 04 Desember 2014

Pada Transjakarta Ketiga Tanganku Bergantung

SUDAH 10 menit aku berdiri sendirian di depan loket halte Transjakarta Tegal Perang. Memandang dengan perasaan kecut kepada bus yang seharusnya yang membawaku ke halte Slipi Pertamburan, menatap dengan pandangan muram pada kemacetan pada jam pulang kantor di Jalan Gatot Subroto Jakarta sambil membandingkan kemacetan di Jalan Ahmad Yani Surabaya dan mendongakkan kepalaku ke deretan anak tangga demi menunggu seseorang yang tepat datang. Dalam posisi seperti itu, aku juga memikirkan banyak hal terkait dampak dicabutnya subsidi BBM, operasi tangkap tangan KPK kepada mantan bupati sekaligus Kyai Fuad Amin di Bangkalan yang sempat akan wawancarai terkait persoalan keberagamaan dan demokrasi di Bangkalan yang kondisinya lebih toleran dari Sampang Madura, dan tentu saja terlintas pikiran soal Mas Mas bertemperamen dingin yang entah sedang apa di sana, sambil sebisa mungkin menekan rasa penasaran yang meluap-luap tentang :  bagaimana dia menghadapi hidupnya tanpa berkirim pesan denganku selama beberapa waktu belakangan.

Transjakarta kedua datang 15 menit kemudian. Dengan pasrah aku hanya bisa memandangi bus yang seharusnya bisa membawaku ke halte tujuan, tak bisa begitu saja melompat ke dalamnya. Ada banyak orang tampak berhimpitan di dalamnya, nantinya, kotak berjalan itu akan lebih sesak lagi saat bus itu berhenti di Kuningan Barat yang merupakan halte transit.

Kenapa aku tak segera naik bus itu padahal aku bukan orang yang enggan berdesakan di kendaraan umum?

Oke, jangan salah sangka dulu. Aku begini juga tidak sedang mempraktekkan sebuah analogi drama percintaan yang berbunyi, “Cinta itu seperti menunggu bus.” Bukan, demi Tuhan yang disebut dengan banyak nama, bukan kondisi seperti itu yang sedang terjadi.

Sebenarnya, yang membuatku terhalang untuk menaiki Transjakarta itu hanya karena aku tidak punya kartu e-tiket! Sesederhana itu.

Setelah meninggalkan Jakarta selama hampir satu bulan untuk sebuah penelitian di daerah Jawa Timur, aku tidak tahu bahwa kini hampir di semua koridor bus way diberlakukan penggunaan e-tiket untuk mengganti karcis konvensional berupa sesobek kertas kecil yang begitu diberikan penjaga loket langsung kita buang ke tempat sampah begitu masuk ke dalam haltenya. Sahabatku, si Nila, sudah lama memiliki kartu BNI untuk naik Transjakarta dari halte PGC. Karena sudah lama halte di PGC hanya menerima e-tiket untuk pembayaran karcis. Jadi sangat wajar jika dia yang rutin jadi pengguna layanan Transjakarta itu memilikinya.

BEBERAPA pengguna ATM BCA memang memiliki kartu BCA Flazz. BCA ini bisa digunakan untuk berbelanja seperti kartu debet namun dengan penggunaan yang lebih luas tanpa -kalau tidak salah- minimum pembelian. Saat masih kuliah  semester tiga, setelah mata kuliah Anti Korupsi di gedung S2 Paramadina, aku sempat menemani kakak kelas di kampus mengisi ulang kartu Flazz BCA di ATM center The Energy Building SCBD. Saat aku tanya kenapa dia merasa perlu menggunakan kartu Flazz, dia bilang, “Kakak harus nabung dek, mumpung masih awal bulan.”

Aku tidak tahu korelasinya mengisi kartu Flazz dan menabung itu apa. Karena kartu Flazz itu untuk berbelanja. Sedang definisi menabung di kepalaku adalah menyimpan uang selama mungkin agar tak dibelanjakan. Lagipula, sebagai anak kost, aku lebih senang makan di warung betawi dekat pasar Tegal Parang yang masih menggunakan alat pembayaran konvensional daripada makan di restoran yang menerima pembayaran dengan Flazz.

Menurutku, penggunaan kartu Flazz untuk segala macam transaksi itu membuat kita tidak memberi kesempatan berputarnya uang di kalangan pedagang bermodal cekak di kelas bawah. Kalaupun uang bisa berputar di kalangan bawah, siklus yang dilalui akan lebih panjang. Tidak mungkin kan beli cimol keliling pakai kartu Flazz? Jika kartu Flazz dijadikan sebuah tabungan “mumpung awal bulan” dengan saldo, katakanlah 500.000, maka saat kepepet tak punya uang cash pun, uang kita yang tersimpan di Flazz itu larinya akan ke pengusaha yang punya banyak modal. Bukan pedagang kecil. Aku lebih senang mendukung pedagang bermodal kecil yang berjualan dengan cara konvensional daripada pemodal yang memiliki minimarket dan supermarket. Jika barang yang aku butuhkan juga dijual di toko kelontong -sekalipun harganya akan sedikit berbeda dengan yang dijual di minimarket atau supermarket- aku akan lebih memilih berbelanja di toko kelontong. Bukan di supermarket. Tak bisa seperti itu kan kalau kita hanya punya simpanan uang akhir bulan di Flazz?

Belum lagi risiko yang kita tanggung jika kartu Flazz itu hilang.

Di dalam brosur kecil Syarat dan Ketentuan Penggunaan Kartu Flazz disebutkan bahwa kartu tersebut bisa dipindah tangankan ke siapa saja. Penggunaan kartu tidak memerlukan PIN atau tandatangan sehingga penggunaannya tidak perlu dibuktikan kewenangannya oleh BCA.

Artinya, jika kita menggunakan Flazz untuk menabung tadi, misal dengan saldo RP 500.000 dan kartu tersebut hilang, kartu itu bisa dipakai sampai habis oleh orang yang menemukan kartu kita tanpa kita bisa mencegahnya lewat pemblokiran kartu seperti halnya kartu debit maupun kartu kredit. Tidak ada identitas kita yang tercantum di sana sehingga kalaupun kartu tersebut ditemukan oleh orang baik, tidak ada cara juga untuk mengembalikannya pada kita. Hilang ya hilang saja.

Seandainya saja kenangan tentang mantan dan cemceman kita itu bisa diconvert dalam bentuk Flazz. Dunia akan lebih tenang, kegalauan juga akan musnah.

Oke, kembali ke soal e-tiket.

Sebagai orang yang  masih jarang berpergian dengan Transjakarta, aku kurang tertarik juga memiliki kartu macam itu, dan toh di halte kecil seperti Tegal Parang, kita masih bisa membeli tiket secara manual.

Ternyata aku salah! Karena, sejak 1 November di seluruh koridor Transjakarta kecuali Halte Dukuh Atas dan Ragunan, sudah menggunakan sistem e-tiketing untuk pembelian tiket Transjakarta.

Pasti hal seperti ini sudah diberitakan di media online. Kurang informasi seperti ini memang merugikan. Ini gara-gara bulan November ku disibukan dengan membaca beragam artikel soal kebebasan beragama, pencabutan subsidi BBM, peristiwa Ferguson #BlackLivesMatter, kontroversi pamer bokongnya Kim Kadarshian dan segala macam soal Taylor Swift yang baru saja meluncurkan video klip Blank Space. Sehingga, berita soal pemberlakuan e-tiketing untuk Transjakarta ini terlewat! Sama sekali tidak aku baca.

Jadi, setelah menuruni tangga pada jembatan busway menuju loket tiket dan menyodorkan uang Rp 5000 ke petugas loket, dia bilang, “Maaf, sekarang hanya bisa menggunakan e-tiket.”

Baru saja aku ditolak.

Huft, hidup memang berat dan penuh perjuangan, tapi aku harus selalu tampak tegar dan lapang dada. Aku harus menenangkan hati bahwa semua akan baik-baik saja sekalipun banyak luka di dalam dada. ~~Owoooowooo…

Aku kembali menegakkan badan sambil membaca poster promosi yang digantung di canopy jembatan Transjakarta. Bahwa dengan harga Rp 40.000 kita akan mendapatkan kartu perdana e-tiket berisi nominal Rp 20.000.
Aku mengingat-ingat, berapa uang cash yang aku bawa. Rp 50.000 kurang dikit. Untuk beli e-tiket cukup, tapi tidak cukup karena setelah di halte Slipi nanti aku masih harus naik angkot. Belum tentu juga di Slipi ada ATM BCA sehingga aku bisa menarik tunai di sana.

Aku menunduk ke kaca loket lagi, “Bisa beli kartu perdana pakai debit nggak mbak?”

“Tidak mbak, kalau isi ulang kartu bisa pakai debit. Tapi kalau beli kartu perdana tidak bisa.”

“Kenapa gitu?”

“Sudah aturannya gitu mbak.”

Jawaban default khas costumer service di Indonesia.

Baiklah. Dia bilang sudah aturannya begitu. Sekalipun aku belum bisa menerimanya secara logis, mau nggak mau aku harus patuh kan? Memangnya aku punya pilihan? Masak mau pindah naik taxi di tengah kemacetan seperti ini atau naik ojek yang mahalnya minta ampun.

Aku mencoba mengkalkulasi segala kemungkinan. Jika aku harus naik turun anak tangga Transjakarta lagi untuk ke ATM BCA yang lokasinya di Starmart samping gedung Trans TV, aku akan memboroskan energi dan waktu.

Kegiatan yang akan aku hadiri adalah acara makan-makan ulang tahun anak seorang kawan. Jadi sedari awal aku sudah mengosongkan perut supaya tuan rumah senang aku makan banyak. Nggak gitu juga sih, Cuma demi penghematan pengeluaran anak kostan aja. Masak iya sebelum berangkat acara makan-makan mau makan dulu.

Hal yang mungkin dilakukan saat itu hanyalah menunggu di depan loket Busway. Menunggu seseorang yang tidak aku kenali datang, mau menerima aku apa adanya serta bersedia membantu tanpa perlu mempertanyakan latar belakang kehidupanku seperti apa. Loh, loh, loh, tadi kan niatnya di sini bukan mau menemukan pasangan hidup. Cuma mau nunggu orang yang punya kartu e-tiket dan mau membantuku untuk ikut masuk ke dalam halte berpintu elektronik.

Dilihat sekilas dari penampilannya, kebanyakan pengguna Transjakarta sore itu adalah para karyawan yang kemungkinan berkantor di sekitar Jalan Gatot Subroto dan Jalan Tendean. Sebagai pengguna tetap Transjakarta, mereka pasti memiliki kartu e-tiket itu. Ada banyak orang yang lewat. Tapi aku tak kunjung mendapatkan seseorang yang aku pikir bisa membantuku.

Kenapa?

Kebanyakan dari orang yang lewat itu berjalan sambil menunduk ke gadgetnya. Sebagian lagi memakai masker anti polusi dan yang lainnya terdiri dari orang-orang yang terlihat menyumpal telinganya dengan headset sehingga akan sulit jika diajak komunikasi.

Aku mencari seseorang tanpa masker, tanpa menunduk di gadget dan tanpa headset. Kriteria sederhana yang baru aku sadari begitu langka saat itu. Belakangan aku menambahi kriteria lain : seseorang yang jalannya tidak tergesa-gesa.

AKHIRNYA datanglah seorang ibu paruh baya berwajah Tionghoa berkaus merah dengan kriteria yang aku idamkan. Aku tersenyum padanya, dia berhenti dan membalas senyumku.

“Bu, maaf, bisa minta waktunya sebentar?” Sapaku untuk menghentikan langkahnya.

“Ya?”

Aku tidak tahu apa yang ada dipikirannya saat itu. Tiba-tiba saja aku langsung teringat volunteer Green Peace atau WWF yang suka minta sumbangan dana kepada orang yang lewat dan para missionaris penyebar buletin Saksi Jehovah.

“Bisakah saya minta tolong sama ibu? Saya belum punya kartu karena saya tidak biasa naik Transjakarta. Sedangkan saya tidak bawa uang cash, masih di ATM. Bisa saya ikut masuk ke dalam bersama ibu? Nanti saya bayar tiketnya ke Ibu.”

Tanpa pikir panjang, ibu itu mengiyakan dan mempersilakan aku masuk lebih dulu melewati pintu elektronik halte.
Setelah kami berdua masuk ke dalam halte, aku segera mengangsurkan selembar uang 5000an. “Tidak usah kembali bu.”

“Nggak bisa begitu. Biasanya tarifnya berapa?”

“3500 bu…”

“Ini, saya ada kembalian.”

“Loh, nggak perlu bu.”

Ibu itu membuka dompetnya mencari-cari recehan yang tampaknya bersembunyi di dasar dompet yang cukup besar. Karena sulit, ia menjungkirbalikkan isi dompet dan menadahinya dengan telapak tangan. Mengangsurkan recehan berupa 5 logam uang receh Rp 100 dan 2 keping Rp 500.

Aku menerimanya dengan kikuk sambil mengucapkan terimakasih berkali-kali.

Tak lama, Transjakarta ketiga datang. Lebih penuh daripada dua armada sebelumnya. Aku tak punya alasan lagi untuk tidak melompat ke dalamnya. Lagipula sudah terlalu sore, acara pasti akan segera dimulai saat aku sampai di sana nantinya.

Aku meraih gantungan tangan di dalam kotak ber AC itu agar tidak oleng saat bus berjalan. Tersenyum kecut teringat iklan hand sanitizer di televisi yang menggambarkan perpindahan kuman lewat telapa tangan. Berbaur dengan orang-orang yang sebagian besar laki-laki karena aku memang memilih naik di bagian belakang bus gandeng yang pemberhentian terakhirnya di Grogol ini.

Aku sudah bertekad akan membeli kartu Flazz Transjakarta saat pulang nanti di halte Slipi Pertamburan. Agar tak perlu menunggu lama di depan loket dan tak perlu merepotkan orang lagi.

Setelah menghembuskan nafas lega, tiba-tiba saja dialog awal film komedi romantis berjudul First Kiss yang jadi salah satu film Thailand kesukaanku terngiang-ngiang di kepala.

“…cinta itu seperti menunggu bus, kadang bus yang datang bukanlah bus yang kau harapkan. Dan saat bus yang kau harapkan datang, akan ada hambatan yang menghalangimu menaikinya…"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Kamu?