Tampilkan postingan dengan label Diskusi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Diskusi. Tampilkan semua postingan

Senin, 27 Juli 2015

Feodal itu Menyebalkan

Sering kali, saat perlu ke lembaga tertentu untuk liputan, aku temui orang-orang bergaya feodal. Mau bertemu atau minta kontaknya saja rumit sekali.

Ada tiga cerita soal ini.

Cerita Pertama :
Ketika perlu ke salah satu kementerian. Bertemu dengan ajudan. Kemudian ajudan meminta isi formulir janjian, menunggu sampai beberapa jam, itu saja belum tentu bisa bertemu pejabat terkait. "Maklum, bapak sibuk mbak." katanya.

Ketika minta kontaknya, ajudan tidak mau beri. Alasannya soal privasi. Jika seseorang jadi pejabat publik, mestinya sudah menyiapkan diri punya beberapa nomer telpon. Ada yang public, ada yang privat.

Ujung-ujungnya, ajudan bilang, "Maaf mbak, mungkin besok bapak baru bisa ditemui."

Si pejabat keluar dari ruangannya. Lihat wartawan menunggu. Dia langsung nyapa, "ada apa?", sudah menunggu dari jam berapa?", "Mau tanya soal apa?", tak lama kemudian dia akan minta maaf karena tak bisa wawancara lama. Dia berikan kontaknya dan bilang, "SMS dan telpon aja mbak. Pasti saya jawab."

Ajudannya cuma bengong karena begitu mudah komunikasi sama bosnya.

Bahkan Dirjen tersebut ikut ucapkan selamat lebaran lebih dulu. Dengan sapaan "Mas Sahar" kepadaku. Mungkin dia lupa bahwa wartawan yang ada di daftar nama kontaknya itu perempuan. tapi setidaknya dia ingat untuk mengirim SMS hari raya lebih dulu.

Yang ada di kepalaku adalah, apa ajudannya tidak tahu kalau bosnya itu ramah sama wartawan? Apakah Ajudannya tidak diberi instruksi bagaimana caranya berhubungan dengan wartawan? Atau gimana? Di jaman sekarang, menduduki jabatan tertentu dengan lagak sok birokratis tak akan membuat si pejabat jadi keren. Malah sebaliknya. Kalau kamu jadi asisten, penting untuk tahu kebiasaan bosnya. Jangan bikin rumit sesuatu yang mestinya simpel.

Cerita Kedua :
Pengalaman juga urusan sama salah satu DPP Partai. Sebut saja partai Hitam. Awalnya aku telepon dulu ke DPPnya lewat nomer telpon kantor yang tercantum di website. Tak ada yang mengangkat. Berkali-kali hasilnya zonk.

Pas datang ke DPPnya, disambut oleh security yang bilang, "Kalau mau ke sini, telpon dulu mbak. Kalau belum ada janji, maaf sekali tidak bisa bertemu dengan yang bersangkutan."

Aku bilang padanya bahwa aku sudah mencoba telepon kantornya tapi tidak ada yang mengangkat. Dia melihat nomer telepon yang aku maksud dan ternyata itu memang benar-benar nomer telepon yang ada di depannya. "Tapi ada satu nomer lagi yang aktif mbak. Coba mbak hubungi nomer yang ini dulu. Besok bisa kembali ke sini lagi."

Aku bilang, berita tak bisa menunggu. Aku minta dia hubungkan saja ke Humas atau jabatan yang relevan dengan pertanyaanku.

Dia jawab, "Tidak bisa mbak. Prosedurnya begitu. Mbak datang saja besok, dengan janji di telepon lebih dulu."

Aku minta dia catat nomer teleponku dan berikan ke Humas. Humas mestinya bisa lebih tahu bagaimana berhubungan dengan wartawan. Dia mau mencatat nomer teleponku sambil bilang bahwa sebaiknya aku datang lagi besok. Sesuai dengan prosedur yang tadi dia bilang.

Aku diminta menulis pertanyaan yang akan aku ajukan ke Narasumber. Baiklah. Aku mengalah. Aku tulis dengan syarat dia sampaikan nomer ponselku ke Humas dan minta Humas kontak aku.

Esoknya, Humas SMS ke ponselku. Minta maaf dan berikan kontak Narasumber yang aku butuhkan. Aku kontak Narasumbernya. Ternyata dia tak menguasai tema yang aku tanyakan. Dia berikan nomer kontak orang lain lagi sambil bilang, "Nanti tanya dia saja. Bilang, dapat kontaknya dari saya. Dia akan jawab semua pertanyaanmu karna itu jobdesk dia."

Baiklah. Aku berterimakasih. Setelahnya, aku kontak nomer tersebut lewat telepon, Tak diangkat. Aku coba SMS, tak ada jawaban, Aku Whatsapp, hanya dibaca.

Akhirnya aku kontak ulang ke DPPnya. Diberi prosedur yang sama. Kontak ulang Humas dan pejabat yang beri nomer pejabat partai lainnya. Kembali tak ditanggapi sama sekali. Wah, susah. Ya sudah. Mungkin mereka memang tak mau terbuka pada wartawan. Tak ada berita apapun dari Partai itu.

Partai Biru lain lagi ceritanya. Sekalipun sudah datang langsung ke DPPnya, Dapat kontaknya, tidak ada satu pun yang mau bicara sekalipun jabatannya adalah Humas. Begitulah akhirnya. Tidak ada berita dari Partai itu. Bukan mauku. Bukan salahku.

Cerita Ketiga

Aku datang begitu saja ke DPP tanpa telepon. Langsung disambut petugas Parpol. Diarahkan ke penanggung jawab dan diberi kontak juga. Betapa mudahnya. Berita dibuat. Wawancara bisa dilakukan lewat telepon atau di tempat yang dijanjikan. Semuanya senang. Sebut saja ini terjadi di partai Kuning dan Hijau.

Memangnya, bersikap feodal dan birokratis itu keren? Nggak lah yaw!!

Sabtu, 16 Mei 2015

Musimnya Bisnis Muslim Musliman

Saat masih riset di Yayasan LKiS​, sempat diajak Mas Hairus Salim​ ke forum yang dihadiri guru-guru agama SMA se-Jogja. Salah satu materi yang disampaikan Mas Salim di depan guru-guru itu adalah munculnya kost khusus Muslim dan Muslimah di Jogja dalam 10 tahun terakhir ini. Dulu, kost macam itu tak ada, Muslim dan Non Muslim bisa berbaur dalam kost yang sama.

Selain munculnya kost muslim, ada pula kost yang menolak mahasiswa dari Indonesia Timur. Berkat sikap eksklusif orang Islam dan Jawa, Non Muslim dan Orang Timur sulit mencari kostan.

Fenomena itu ada juga di Solo, dan aku yakin ada di banyak kota lainnya. Kost khusus Muslim dan Muslimah bermunculan dengan berbagai aturan yang sangat ketat soal lelaki dan perempuan, jam malam, dan sebagainya.

Buat apa?
Jika yang dimaksud Muslim dan Muslimah adalah yang berKTP Islam, maka agama ini benar-benar hanya berupa hal sepele macam label. Untuk apa membuat peraturan soal kost muslim seperti ini jika ternyata kost tersebut kotor, kecurian dari orang dalam, pelayanannya payah, dan pemilik kostannya tidak ramah? Wajah Islam macam apa yang ingin ditampilkan oleh pemilik kostan?

Bayangkan jika di sebuah kota mulai bermunculan Kost khusus Islam, Kost khusus Katolik, Kost Khusus Kristen, Kost khusus Budha, Kost khusus Hindu, dsb. Kapan umat beragama bisa berdampingan dalam satu rumah nantinya? Tanpa berhubungan baik dengan yang beda pandangan agama, susah untuk berprasangka baik kepada hal yang berbeda. Intoleran jadinya.

Hitung saja dirimu sendiri, berapa teman beda agama yang kamu kenal? Berapa yang bisa benar-benar akrab?

Jika konon agama yang dianut adalah agama sempurna, dan umatnya jadi mayoritas, kenapa mentalnya begitu insecure? Gampang amat merasa terganggu sama umat agama lain. Kalau emang sempurna dan jumlahnya banyak, mestinya lebih tangguh, bisa jadi pelindung yang lemah, bisa membuktikan bahwa agamanya adalah agama yang membawa kabar gembira.

Kalau mau bawa nama Islam, mestinya diwujudkan dengan keberpihakan kepada orang miskin, penolong mereka yang tak punya rumah, penghormatan kepada perempuan, perlindungan kepada Non Muslim, dan hormati Hak Asasi Manusia yang telah ada di Piagam Madinah jaman Rasul. Mau sampai kapan sih agama ini dijadikan alat kekuasaan, ngurusi privasi orang, nyerewetin persoalan kelamin, dan hal printilan yang mestinya jadi urusannya individu sama Tuhannya?

Ini yang dibahas baru soal kost berlabel khusus Muslim. Masih ada lagi komoditas bisnis lain yang jualan agama sebagai daya tarik. Bank, Hotel, Perumahan, Bimbel, Fitnes, Laundry, dsb. Seolah mengemban label Islam itu gampang. Justru karena mengklaim jadi agama sempurna, maka beban yang ditanggung umat Islam jadi lebih berat. Malu kalau bawa nama Islam tapi bikin sistem yang merugikan orang lain.

Hypatia -filsuf perempuan yang akhirnya dibakar oleh orang-orang Kristen Alexandria- berkata pada  para pejabat yang sedang ingin mengkristenkan semua penduduk, "Jika agama baru ini (Kristen, atau yang saat ini dikenal dengan Katolik) memang sebuah kebenaran, apakah perang agama ini adalah bukti bahwa agama ini akan menjadi lebih baik dari Agama sebelumnya (Yahudi dan Penyembah Dewa Yunani)?"

Mestinya bisa belajar dari agama sebelumnya. Tapi ya gitu, sibuk urusi masalah printilan yang sebenernya otomatis bisa harmonis kalau sistem yang dibangunnya bener.

Kita sudahi saja sesi curcol dini hari ini.

Sekian.

Rabu, 14 Januari 2015

Kongres Ketuhanan

Atheist Rasionalist kepada Blaise Pascal :
Tuhan itu tidak ada. Ibadah itu sia-sia.

Blaise Pascal kepada Atheist : Kalau aku mati, dan ternyata di akhirat tidak ada Tuhan, aku tidak rugi karena telah beribadah dan berbuat baik sesuai dengan ajaran Tuhan. Dengan mengimani Tuhan, nanti saat mati aku bisa bergabung denganNya. Dengan berbuat baik, aku membahagiakan orang-orang disekitarku. Berbeda denganmu, jika kau mati dan ternyata di sana ada Tuhan, maka kau rugi karena terlanjur tidak pernah beribadah kepadaNya.

Polytheist kepada Pascal : Baiklah Pascal, kita sepakat bahwa Tuhan itu ada. Tapi, kamu tetap bakalan tekor. Coba kamu pikir, bagaimana kalau ternyata kamu menyembah Tuhan yang salah karena Tuhan yang kamu pikir menjanjikan keselamatan itu cuma berdiam di satu gereja? Jangan salahkan siapapun kalau akhirnya kamu stuck sama satu Tuhan yang belum tentu bener itu. Kalau sampai salah sasaran pas nyembah Tuhan, pas kamu meninggal gabungnya bakal sama orang yang kamu sebut Atheist Rationalist itu. Tuhan yang sebenarnya bisa jadi ngerasa nggak pernah kamu sembah. Mendingan aku dong, nyembah banyak Tuhan sambil berbuat baik sesuai dengan perintah para Tuhan. Setidaknya aku memperkecil prosentase salah sasaran pas beribadah ke Tuhan. Siapa tahu dari sekian banyak Tuhan yang aku yakini, ada 1 yang benar.

Scriptualis kepada Mereka : Guys Guys, jadi gini guys. Nggak perlu ngobrolin Tuhan. Dia itu Maha Besar. Lebih besar dari otak dan jangkauan pikir kalian. Nah, udah pada bisa baca kan? Udah, imani aja apa yang ada di kitab suci. Iman akan menyelamatkan kalian dengan sendirinya. Nggak usah mikir berat-berat. Nanti pada gila. Nggak perlu mempermasalahkan hal yang udah jelas dalilnya. Kitab nggak mungkin salah. Itukan SabdaNya. Adanya alam semesta ini itu udah jadi bukti kuat kalau Tuhan itu ada.

Habermas kepada Scriptualis : Dalilnya jelas gimana? Menurut lu fungsinya ilmu hermeneutik itu apa? Ya karena tafsiran sebuah teks itu nggak tunggal. Harus relevan sama konteks saat teks dibuat, dan ditinjau sama konteks kekinian.

Agnostik kepada Mereka : Ada apa sih ribut-ribut soal Tuhan. Gini ya, nggak ada yang benar-benar bisa memverifikasi soal ada atau nggaknya Tuhan. Nggak ada yang menjamin bahwa teks udah ngelewatin proses verifikasi yang bener. Berbuat baik aja sih. Hidup damai sama alam. Coba sini tunjukin siapa yang udah beneran ketemu sama Dia? Nggak ada kan? Percaya sama Tuhan itu hal personal, kalau beriman ya beriman aja, nggak usah koar-koar. Itu pengalaman spiritual pribadi kalian. Nggak usah norak deh ya. Namanya juga pencarian. Soalnya, kalau ada yang ngaku punya otoritas soal Tuhan apalagi sampai berani bilang udah ketemu Tuhan dan segala macemnya, artinya dia apa Freud…?

Freud kepada Agnostik : …orang gilak! Plus kayak anak kecil cemen yang dikit-dikit butuh ngadu ke Bokapnya.

Dijah Yellow kepada Mereka semua : Say No Dangdut, No Agnezmonica, No Raisa, No Ayu Ting Ting, No Syahrini, No Yuna, Say no to them. Say yeah to Dijahyellow I'm Hodijah I'm Not Artis

Freud kepada Dijah Yellow : Diaaaaam!!!

Felix Siaw kepada Mereka : Makanya, saya bilang juga apa, Khilafah adalah Solusi segala permalasahan ini!! Khusus buat Freud, "Udah, putusin aja!"

Yusuf Mansyur untuk Mereka : Yang Solusi atas semuanya adalah Sedekah. Jadi, tolong itu kotak kencrengnya diputerin dulu. Insyaallah Tuhan akan melipat gandakan kebaikan ente semua.

Freud kepada Yusuf Mansyur : Gila apa! Siapa yang mau ada double Dijah Yellow di muka bumi ini. Satu aja udah berisik gini. Ada masalah sama alam bawah sadarmu tuh!

Determinis kepada Mereka : Melihat kalian debat begini indah ya. Kalian nggak sadar apa kalau sesungguhnya debat ini adalah bagian dari takdir Tuhan. Tuhan sudah merencanakan hal ini. Kayaknya aja ini keliatan panas, tapi yakinlah bahwa ada rencana yang indah dibalik ini semua.

Free Will kepada Determinis : Ya terserah kalian aja mau dilanjut apa nggak bahasannya. Kan hidup itu pilihan. Tanggung konsekuensinya aja sih. Kalau selesai ya selesai aja. Tuhan mah nggak ikut campur dalam hal ini. Tuhan punya hal yang lebih besar dan penting untuk dikerjakan daripada soal-soal printilan cem kongres ini. GR banget deh dikit-dikit ngerasa urusannya diikut campurin sama Tuhan. Ntar kalau kena musibah nyalahin Tuhan pulak! Kek gitu mah udah hukum sebab akibat. Kalian bebas milih kok. Kalau mau lanjut ya monggo, tapi konsekuensinya kalau lanjut bahas Tuhan apa Goen? Yang pernah kamu bilang itu lho…

Goenawan Mohamad pada Free Will : …Tuhan dan hal-hal yang tak selesai?

Free Will kepada Goenawan Mohammad : Nah! Iya. Itu!

Sufi pada Mereka semua: Hadirin sekalian, tidak perlu bertengkar. Sesungguhnya Tuhan adalah Cinta. Cinta adalah Tuhan. Apakah kalian bisa merasakan Cinta? Jika tidak, maka hati kalian telah keras. Masih ada jalan untuk melembutkannya kembali.

Chu Pat Kay kepada Sufi : Cinta… Deritanya tiada akhir…

Band Sisir Tanah kepada Chu Pat Kay : Yang wajib dari cinta adalah mesra; Yang wajib dari mesra adalah rasa; Yang wajib dari rasa adalah luka.

Abdul Hadi WM kepada Mereka : Izinkan saya berpuisi untuk menenangkan ini semua; Tuhan, Kita begitu dekat; Sebagai api dengan panas: Aku panas dalam apiMu;

Tukang dagang Minuman : Panas pak? Mangga pak, Mijonnya Mijon Mijon. Yang dingin, yang dingin. Mijonnya pak.

Perenialis pada Mereka : Begini ya kawan-kawan. Kebenaran akan Tuhan itu adalah sebuah konsekuensi logis Cosmos. Dia bagai sumber cahaya, yang sinarnya ditangkap dengan media yang berbeda oleh para umatNya. Apapun medianya toh sumbernya tetap Tuhan. Jika ditanya bagaimana kita bisa tahu mana media itu menampung terang yang berasal dari Tuhan dan mana yang terangnya itu dari bohlam abal-abal? Jawabnya, cari yang ada kesamaan tradisi antar satu media dengan media lainnya. Jadi, pintar-pintar kalian ajalah pilih media penyembahan Tuhan kayak apa. Tergantung kecocokan jiwa kalian aja terhadap yang kalian anut. Orang intelektual itu pasti spiritual. Kalau kalian emang kaum intelek, pasti yang kayak gini udah selesai. Kalau landasan berpikirnya masih justifikasi kitab suci, dijamin deh, sampai kapanpun akan terus berpolemik.

Postmodern kepada Mereka semua : Coba ngana pikir, ngapain kita buang-buang energi ngebahas beginian? Lalu dapat apa di sini? Kalian nggak akan dapat kesimpulanya. Kalaupun dapet kesimpulannya, lalu apa? Setelah ini semua selesai, buat apa? Udah sih, kalian semua itu bener menurut kalian. Segala sesuatu itu sifatnya relatif. Hargai aja.

Gusdur kepada Mereka Semua : Tuhan tak perlu dibela. Gitu aja kok repot!

Senin, 03 November 2014

Cemburu?

Aku sering bertanya-tanya dalam hati, bagaimana seseorang bisa memelihara rasa cemburunya terhadap orang lain?

Menurutku, kecemburuan umumnya dibagi 2, kecemburuan sosial dan kecemburuan seksual. 2 kecemburuan ini menurutku sama-sama bersifat menghancurkan. Buat apa cemburu? Apakah pencemburu menganggap bahwa hidup terdiri dari kompetisi-kompetisi yang hanya menghasilkan hasil akhir menang atau kalah, ataukah semacam perjalanan yang berisi catatan intelektual, spiritual dan psikologis yang sangat personal bagi tiap individu? Sehingga membandingkan satu individu dengan individu yang lain lewat standar ideal tertentu menjadi sangat tidak relevan.

Jika ini menyangkut kecemburuan seksual yang ada hubungannya dengan perasaan memiliki atau menguasai orang yang kita cintai, maka aku pikir perasaan yang timbul di situ bukanlah cinta. Karena jika kita mencintai seseorang, kita akan menyadari sepenuhnya bahwa orang yang kamu cintai itu indah. Ia memiliki hal-hal yang memang pantas untuk dicintai. Sehingga kita juga akan bahagia dan maklum jika ada orang lain yang melihat keindahannya. Bukan malah menyerang orang yang mengagumi si kekasih, atau malah memberi si kekasih kurungan supaya orang tidak bisa melihat keindahannya. Jika kekasihmu memiliki kepedulian pada hal lain selain dirimu, bukankah justru itu akan jadi hal yang melegakan karena artinya ia sadar bahwa dunia ini tercipta bukan semata-mata untuk kalian berdua. Ada banyak hal yang bisa dikerjakan. Semesta ini luas, kamu adalah satu titik. Perlu titik lainnya untuk bisa membentuk sebuah rasi bintang yang indah. Bukannya sibuk membangun diri supaya jadi indah dan pantas dicintai, rasa cemburu justru akan menggerogoti segala kesempatan yang ada untuk jadi lebih baik. Ketakutan, harga diri yang merasa terinjak, perasaan tidak dicintai, dan hal-hal negatif lain akan membuatmu jadi seonggok daging yang layu dan menyedihkan.

Jangan pernah mengaku mencintai seseorang jika ternyata dirinya sendiri kekurangan cinta. Yang merasa kekurangan tak mungkin bisa memberi. Perasaan kekurangan cinta hanya akan melahirkan tuntutan-tuntutan pada kekasih dan kecemburuan-kecemburuan yang justru menghancurkan segalanya.

Soal sikap cemburu ini, dibanding dengan teori para filosof yang ada, aku sedang sangat sepakat dengan pendapat seorang Antropolog bernama Margaret Mead.

Mead berkata, "Jika memperlihatkan rasa cemburu adalah bagian dari cinta sejati, mengapa rasa cemburu itu justru mengusir sang pecinta itu? Bukankah rasa cemburu itu sama saja dengan egoisme ekstrim lainnya, yang tidak menyenangkan dan disebabkan oleh gagalnya seseorang mengidentifikasi dirinya? Terlebih lagi rasa cemburu mengalahkan tujuan akhirnya sendiri, membuat banyak pecinta kalah bersaing sejak awal. Ia adalah kekuatan negatif, jenis perasaan yang menyedihkan, berasal dari sikap inferior dan insecure."

Jadi, mau sampai kapan kamu mencemburui kekasihmu?

Rabu, 29 Oktober 2014

Kemana Sikap Egaliter Nabi Kini?

Dulu, Rasul datang seolah membawa agama baru. Namanya Islam. Penyempurna ajaran tauhid yang pernah dibawa Ibrahim. Islam ini bikin geger orang Arab. Ya gimana, budak kayak Bilal dimuliakan. Pendatang macam Salman Al Farisi dari Persia dan Abu Dzar al Ghifari dari bani Ghiffar (yang terkenal sebagai kelompok penyamun saat itu) di sambut hangat layaknya bagian dari Quraisyi. Raja Nasrani dianggap sahabat. Muhajirin dan Anshar dipersaudarakan. Perempuan budak dinikahkan dengan para saudagar, diangkat harkat dan martabatnya.

Rasul juga punya anak perempuan dan menyayanginya secara terang-terangan. Memberinya warisan tanah Fadak supaya kelak orang tak abai untuk meninggalkan warisan pada perempuan. Rasul yang garis keturunannya diteruskan oleh perempuan itu mendobrak budaya patriarki bangsa Arab. Supaya bisa kasih tau sama orang Jahiliyah, kalau punya anak perempuan itu ya harus disayang. Bukan malah dianggap aib, dilecehkan, dikubur hidup-hidup atau diperjualbelikan kayak harta benda.

Islam saat itu hadir begitu egaliter, menjunjung tinggi kesetaraan. Rasul begitu serius dengan  berkata bahwa hanya iman dan taqwa lah yang menentukan tinggi rendahnya kedudukan satu dengan yang lainnya. Masalahnya, siapa yang bisa jamin kadar iman dan takwa orang? Mulai di sini, Rasul juga nggak ngajarin untuk bersikap ekslusif dan judgemental. Yang keliatan paling banyak nyumbang ini itu belum tentu lebih mulia dari yang terpaksa puasa karena tak punya makanan apapun.

Itu jaman dulu lho ya. Dulu, jauh ke 1400an tahun yang lalu.

Kini, ada orang-orang yang mengaku keturunan nabi dan minta disebut habib, dengan kapasitas ilmu tak seberapa mau belain Allah yang mereka yakini lebih besar dari apapun. Kontradiksi sih, tapi ya gimana lagi,orang-orang ini merasa pantas jadi pemimpin karena ia punya hak prerogatif atas nama Nabi sekalipun belum memenuhi kompetensi. Ada juga yang anggap selain keturunan nabi itu sebagai kasta kedua sehingga ada larangan untuk menikah selain dengan sesama kasta turunan Rasul. Ditunjang dengan hadis-hadis soal pentingnya memurnikan darah Rasul hingga akhir jaman. Seolah khawatir sekali kalau nantinya tidak ada Sayyid/habib yang akan jatuh cinta dengan cara alami dan akhirnya menikah dengan syarifah/habibah, sehingga pernikahan Sayyid non Syarifah dan sebaliknya harus ditentang keras dan dianggap aib keluarga.

Bagaimana jika Rasul, sang Nabi pembawa prinsip egaliter itu, melihat turunannya suka bahas kasta turunan dan bersikap petantang petenteng ya?

Nggak kebayang…

Sabtu, 18 Oktober 2014

Negarawan Instan

Hanya karena menyambut lawan politik yang menemuinya di hari ulang tahun, dia kini dapat sebutan Negarawan.

Di masa lalu juga ada negarawan yang berani melakukan pembuktian terbalik kalau dia tak bersalah. Ia membacakan pledoi 'Indonesia Menggugat' yang masih bisa kita baca sampai sekarang. Beristri banyak, mengangkat diri sendiri sebagai presiden seumur hidup, menggagas 'Djawa adalah Koentji' dan menyingkirkan teman-teman seperjuangannya adalah hal lain di penghujung masanya. Kita masih mengenangnya dengan baik lewat buku, jalan, bandara, dan sebagainya.

Di masa kini, ada seseorang yang ingin menjadi presiden. Ia tampak melek hukum dengan mengajukan gugatan kekalahannya ke MK agar dapat melakukan pemilu ulang. Ia dengan mudah meyakinkan dirinya sendiri dan semua orang bahwa ia layak menjadi presiden. Anehnya, sebagai orang yang tahu fungsi pengadilan, ia tak pernah tampak di pengadilan HAM untuk menuntut dilakukannya pembuktian terbalik bahwa ia tak bersalah dan siap bertanggung jawab atas kegaduhan yang terjadi bertahun-tahun sebelumnya. Bisa saja, sebagai calon presiden, ia menjanjikan bahwa jika ia terpilih, maka negara ini menjadi anggota ICC (International Criminal Court) di Den Haag. Supaya kelak, para penjahat HAM bisa diadili. Sekalipun jika itu hanya sekedar janji kampanye rasa kecap, ia akan sangat dihargai. Bukan malah sibuk teriak-teriak anti asing sekalipun kerajaan bisnis keluarga dan koleganya berjabat erat dengan asing. Meminta pendukungnya untuk mendukung presiden terpilih, menghormat ketika bertemu presiden terpilih, dan kesepakatan lain yang ditawarkan sesudahnya adalah hal lain. Kita akan tetap mengenangnya sebagai orang yang memerintahkan ratusan nyawa hilang di kampung janda, beberapa aktivis '98 disiksa dan sebagiannya hilang.

Yang hilang belum kembali. Yang terbunuh masih ditangisi. Yang berdiri di depan Istana di hari Kamis belum ditemui. Lalu kita mau sebut dia Negarawan RI?

Ingatkan lagi, untuk apa kita memilih Jokowi?

Selasa, 23 September 2014

Melawan Intoleransi lewat Literasi Media

Ruangan kecil tanpa AC itu bukan masjid atau pura, namun kita harus melepas sepatu sebelum memasukinya. Menurut ingatan dan daya ukurku yang payah, ruangan itu berukuran sekitar 4x7 meter. Bagi "pemakan buku", tempat itu adalah salah satu potongan "surga" ilmu pengetahuan di kota Jogja jika dimanfaatkan dengan baik. Apalagi tidak perlu membayar sepeserpun untuk meminjamnya. Otak para pecinta buku akan dimanjakan dengan ribuan koleksi buku di sana. Aku sendiri merasa tak puas jika hanya sekali dua kali menelusuri deretan judul-judul buku yang tertera di sana dan bingung mau membaca yang mana dulu. Sebagian besar adalah buku cetakan lama yang sudah langka dan penting. Kadang ada satu dua orang yang mampir ke perpustakaan ini untuk mencari referensi ataupun sekedar membaca di tempat. Aku dan Alesia biasanya mesti berbagi meja dengan pengunjung perpustakaan, dengan tempat duduk di sekeliling meja menghadap atau membelakangi kaca depan yang dulu pernah dirusak massa intoleran saat diskusi bersama Irsyad Mandji dulu dilaksanakan. Dari kaca itu, kita bisa memandang pendopo LKiS, tempat diskusi yang biasanya dianggap "meresahkan" kelompok tertentu sehingga harus dijaga dengan ketat dengan intel dan kepolisian. 


Sebagian Rak Buku di Perpustakaan LKiS

Aku dan Alesia mendapat jatah magang Yayasan LKiS Yogyakarta selama 3 minggu. Saat itu, kami berdua belum begitu yakin kegiatan apa yang akan kami lakukan di LKiS. Pihak LKiS sendiri mengatakan bahwa yayasan sedang tidak memiliki kegiatan lagi sampai September. Kami berdua harus memikirkan apa yang harus kami lakukan selama 3 minggu di sini.

Aku meminati dunia jurnalistik, media, kebebasan beragama, politik dan HAM. Sebagai mahasiswa S1 Political Science untuk major dan Psychology di Haverford College US, Alesia meminati di politik, psikologi, kebebasan agama, dan HAM. Kami harus mencari sesuatu yang sama sesuai dengan minat kami berdua agar dapat bekerjasama dengan baik selama magang. 

“Ceritakan soal literasi media di Amerika.” tanyaku pada Alesia memulai pembicaraan di hari pertama magang kita.

Well, aku pikir kita di Amerika tidak menyebutnya secara khusus. Mungkin memang disebut literasi media di beberapa tempat, aku hanya akan mengatakan sesuai dengan pengalamanku. Dari SD kita sudah diajari untuk menulis, membaca, mengapresiasi dan mengkritik karya teman kita di kelas. Dimulai dari hal sederhana. Misalnya puisi, kemudian prosa, sampai di SMA, kita mulai mengkritisi jurnal ilmiah dan teori-teori lainnya. Tulisan-tulisan terbaik di sekolah hasil dari kelas bahasa itu kemudian diterbitkan dalam sebuah buku. Jadi setiap anak berlomba-lomba untuk membuat karya terbaiknya," Ia berhenti sejenak untuk mengikat rambut panjang hitam khas Meksikonya, "Saat aku berusia 13 tahun, sudah ada puisi karyaku hasil dari latihan menulis di sekolah yang diterbitkan bersama dengan banyak puisi lain yang sudah melewati seleksi ketat dan diseleksi.” lanjutnya dalam bahasa Inggris beraksen Amerika dengan ritme Spanyol yang cepat. 

Dari obrolan selanjutnya, kami merasa bahwa mengadakan lokakarya literasi media yang berbasis anti intoleransi sepertinya menarik. Mengingat bahwa di Indonesia, agama bukanlah ranah privat sampai-sampai kita harus mencantumkannya dalam kartu identitas. Alesia sempat tidak percaya bahwa di Indonesia, agama yang dianut warga negara juga sempat diwajibkan untuk tertulis di KTP, ia baru percaya setelah aku memperlihatkan KTP ku. Ia tetap beranggapan bahwa seharusnya negara tidak perlu tahu keyakinan paling privat warganya. Aku mengatakan bahwa kekerasan atas nama agama di Indonesia menempati urutan kedua terbanyak setelah konflik agraria. Kami berdua membaca berbagai artikel di internet dan menonton video kekerasan atas nama agama di Youtube. Fakta-fakta soal apa yang terjadi pada minoritas beragama di Indonesia membuatnya merinding. Ia membayangkan jika ia tinggal di Indonesia, pasti ia juga akan mengalami kesulitan-kesulitan beribadah dengan adanya larangan pendirian gereja. Aku menceritakan soal Pendeta Bennhard Maukar dari Kristen Pantekosta Rancaekek yang dipenjara 3 bulan karena dianggap punya gereja yang tak berizin. Sedangkan, mengurus perizinan gereja di wilayah mayoritas Islam itu susahnya minta ampun. Sebagai pengikut Kristen Pantekosta, Alesia jadi sedih mendengarnya. Ia jadi lebih merinding ketika aku menceritakan soal jemaat Ahmadiyah Lombok dan pengikut Syiah Sampang yang terusir dari kampung halamannya. Belum lagi yang terbunuh dan diintimidasi karena dianggap kafir.

Alesia Lujan-Hernandez adalah partner magang dan risetku di program ini. Dia bersama dengan 5 mahasiswa lain dari Amerika mengikuti program Summer School dari VIA (Volunteer in Asia) dan Haverford College Program,  6 mahasiswa dari Indonesia juga terpilih untuk mengikuti program ini bersama mereka untuk kelas pelatihan riset, magang dan kolaborasi riset selama 2 bulan di Yogyakarta. Kami ber-12 terbagi menjadi 6 grup magang yang masing-masing grupnya terdiri dari 2 orang. Di Program ini, ada 2 mahasiswa dari Haverford College, 4 mahasiswa dari Bryn Mawr College, 3 mahasiswa UGM, 2 mahasiswa Universitas Paramadina, dan 1 Mahasiswa dari UNIPA (Universitas Negeri Papua) di Papua Barat. 

Mas Hairul Salim, direktur Eksekutif Yayasan LKiS berkata pada kami berdua, “Di lantai atas ada ruang kosong yang bisa dipakai. Silakan kalau ingin membuat diskusi dan semacamnya. LKiS tidak punya kegiatan secara khusus sampai bulan September.”

Kami merasa tertantang mendengarnya. Bukankah menyenangkan jika bisa membuat sebuah kegiatan suka-suka kita dengan fasilitas lengkap?

Awalnya kami berpikir untuk membuat diskusi kecil seputar intoleransi dan literasi media. Tapi kami khawatir bahwa sebenarnya diskusi yang kami adakan hanya untuk orang-orang yang sudah setuju dengan isu anti intoleransi beragama. Kami tidak ingin menggelar sebuah diskusi yang hanya bicara dan didengar oleh umatnya sendiri. Kami ingin sesuatu yang saat didiskusikan menjadikan tema tersebut menjadi hal baru bagi peserta diskusi.

Aku dan Alesia memutuskan untuk membuat program Literasi Media ke Siswa SMA dengan dibantu pers mahasiswa dari kampus-kampus di Jogja sebagai mentor. Namun, sebelum itu, kami harus merumuskan, literasi media macam apa? Apa fokus utama kami? Bagaimana cara kami untuk dapat memperoleh daftar sekolah yang harus kami kunjungi? Aku dan Alesia tidak memiliki jaringan sekolah di Jogja. Selain itu, bagaimana dengan materi, sekolah dan pelatihan literasi dapat diwujudkan dalam waktu 3 minggu sedangkan waktu liburan sekolah karena libur nasional bulan Ramadhan untuk siswa mengejar di belakang kami?

Yang pertama kami lakukan adalah membuat linikala dan list to do, apa saja hal yang harus kami lakukan dalam minggu pertama, minggu kedua, dan minggu terakhir. Jadwal yang kami buat membuat kami sendiri kerepotan hingga kami harus berangkat sangat pagi ke LKiS untuk magang dan baru pulang saat sore hari. Sambil bercanda, di tengah kelelahan kami mempersiapkan segalanya, Alesia berkata, "Banu, we took this internship too seriously." Aku terkekeh, kami berdua memang selalu pulang paling akhir dan berlagak sok sibuk diantara teman-teman yang magang di LSM lainnya. Apalagi ketika Izzy Roads, direktur VIA Program mengirimi kami inbox lewat Facebook yang isinya meminta materi literasi media kami untuk teman-temannya di Burma yang mengakibatkan kematian hanya karena beredarnya berita palsu yang disebarkan lewat facebook tentang Mandalay. Padahal saat itu, materi kami belum sepenuhnya siap dan isinya hanya relevan untuk Indonesia.

Rencana kami, minggu pertama adalah membuat materi literasi media, menghubungi pers mahasiswa mana saja yang bisa diajak kerjasama, mencari SMA, Training of Trainer (ToT) dengan para pers mahasiswa dan sebagainya.

Beruntunglah, Mas Salim mengajak aku dan Alesia untuk datang ke seminar yang pesertanya ternyata guru agama dari SMA se Yogyakarta yang diadakan oleh Kementerian agama. Usai seminar itu,  aku mengumumkan akan mengadakan pelatihan literasi media yang berbasis anti intoleransi. 4 guru agama  dari SMA yang berbeda menghubungi kami untuk mengikut sertakan sekolahnya dalam lokakarya literasi media. Lucunya, sebagian besar dari mereka tidak tahu literasi media itu artinya apa. Saat itu aku juga kesulitan untuk menjelaskan dengan kalimat yang singkat lokakarya yang akan kami adakan karena materinya juga belum siap. Sedangkan Alesia tidak bisa bahasa Indonesia sehingga menghambat dirinya dalam menjelaskan secara detail kepada guru SMA yang bertanya langsung padanya. 

Untunglah, para guru tersebut tak butuh penjelasan yang terlalu rinci saat itu juga. Mereka mendaftarkan sekolahnya dalam lokakarya ini karena mereka senang apapun yang membuat para muridnya maju. Aku jadi terharu karena menemui PNS yang mau bekerja dengan maksimal demi siswanya. Selama ini aku sering memandang sebelah mata para PNS yang bekerja asal-asalan dengan gaji tetap beserta berbagai keuntungan pensiuan dan gadai SK di bank. 

Aku dan Alesia mencoret list to do mencari sekolah. Kami sudah berhasil mendapatkan SMA 1 Piri, SMK 2 PI Ambarukmo, SMAN 1 Kalasan, dan SMAN 2 Wates sebagai daftar sekolah yang akan kami beri materi lokakarya literasi media. Kami menuliskan daftar SMA tersebut untuk dikunjungi sebelum lokakarya berlangsung di minggu kedua to do list karena kami perlu memastikan ada fasilitas yang kami perlukan beserta berbagai berbagai kesepakatan lainnya.

Selanjutnya kami menghubungi pers mahasiswa. Mas Wisnu Prasetyo, seorang teman yang jadi alumni Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Balairung UGM memberikan koneksi untuk dapat berhubungan dengan pengurus yang sekarang. Seorang teman dari twitter memberikan kontak Pers Mahasiswa Ekspresi UNY yang beberapa waktu lalu tabloidnya sempat dibredel rektor. Lewat koneksi LKiS, kami mendapatkan kontak ke LPM Arena UIN Yogyakarta. Setelah kontak berlangsung lewat SMS, dan sempat berkunjung, yang dipastikan bisa mengikuti ToT adalah LPM Balairung dan LPM Arena. LPM Ekspresi sedang sibuk menyiapkan materi majalah dan beberapa anggotanya masih KKN. Kami mengerti dengan kesibukan mereka.

Di jadwal kami, sudah tertera akhir pekan minggu pertama kami adalah ToT untuk teman-teman LPM. Kami menekankan bahwa di sini kami tidak ingin menjadi guru, tapi mau belajar bersama. Tentu saja sangat kikuk mengajar literasi media di depan mahasiswa yang sehari-hari sudah bergelut seputar media. Sehingga mungkin saja akan ada banyak koreksi dan itu adalah hal baik. 

Rasanya hari berjalan terlalu cepat. Sampai hari kamis minggu pertama, kami belum selesai menyelesaikan materi presentasi. Kami juga menyiapkan jadwal dan isu-isu yang akan dibahas di lokakarya. Untuk menyusun itu semua, kami harus begadang sampai akhir pekan.

Aku membuat materi seputar 9 elemen jurnalisme dari buku karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Sedangkan Alesia membuat materi yang diambil dari buku Verification Handbook karya banyak jurnalis dari media internasional yang bisa diunduh di sini. Sedangkan presentasi yang dibuat oleh Alesia bisa diunduh di sini.

Pada hari Training of Trainer, sekitar 15 orang dari 2 Pers Mahasiswa Balairung UGM dan Arena UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta datang. Karena agak nervous berbicara soal media di depan awak media juga, kami berkali-kali meminta saran maupun koreksi teman-teman LPM jika ada yang keliru dari presentasi yang kami sampaikan.

Alesia mengawali workshop Literasi Media dengan Identity walk games dengan menggunakan bahasa Inggris. Aku menerjemahkan apa yang dia katakan dan apa yang peserta sampaikan padanya. Materi Identity walk yang tujuannya untuk mempraktekkan bagaimana bias media bekerja. Materi Identity walk ini bisa diunduh di sini.

Mas Hairul Salim membantu kami mengisi materi terakhir, praktik verifikasi pemberitaan di media lewat fasilitas google image.

Intellectual Social Responsibility (ISR), bukan Volunteering
Saat mempersiapkan teman-teman pers mahasiswa untuk menjadi trainer, aku menjelaskan kepada mereka bahwa menjadi trainer dalam literasi media ini bukanlah kegiatan volunteering biasa seperti kebanyakan gerakan lain. Apalagi, saat ini ada banyak orang melakukan kegiatan volunteering dengan setengah hati. Maksudnya, kebanyakan kegiatan volunteering saat ini dijalankan dengan tidak konsisten. Karena pelaksanaannya hanya didasarkan sesuai dengan waktu yang seadanya dengan kemauan yang naik turun sesuai dengan kepentingan dan kesempatan ala kadarnya. Jika ada waktu dan sesuai mood, maka sebuah program akan dijalankan. Jika tidak ada mood dan waktu, maka tanpa beban apapun sebuah program akan ditinggalkan.

Bayangkan apabila atmosfer volunteering ala kadarnya ini benar-benar diterapkan oleh banyak orang, konsistensi gerakan akan terhambat. Menurutku, tanggung jawab terhadap gerakan bukan didasarkan pada rasa senang semata ataupun iseng-iseng berhadiah. Gerakan adalah sebuah tanggung jawab sosial yang harus dimiliki oleh orang-orang yang sudah memiliki kesadaran dari dirinya sendiri untuk menggerakkan. Orang tersebut sudah memiliki bekal dalam hal intellectual sehingga gerakan adalah konsekuensi logis perjalanan intelektual dan spiritualnya. Aku menamakan gerakan ini sebagai Intellectual Social Responsibility (IRS). Orang hanya perlu mengaktualkan kesadaran dirinya sendiri kemudian melakukan gerakan untuk menularkan tren kesadaran tersebut kepada orang lain. Orang yang belum merasa memiliki tanggung jawab sosial tidak perlu ikut andil dalam gerakan karena justru akan menghambat pergerakan itu sendiri.

Awalnya, gerakan literasi media ini menggandeng LLPM dari kampus di Yogya karena aku dan Alesia berharap bahwa setelah aku kembali ke Jakarta dan Alesia kembali ke Amerika, akan tetap ada mahasiswa-mahasiswa yang memberikan pelatihan literasi media yang berbasis kebebasan dan kerukunan beragama di SMA se-Yogya. Sayang sekali, mahasiswa UGM sedang sibuk-sibuknya KKN (Kuliah Kerja Nyata) sehingga tidak dapat menjadi trainer literasi media untuk SMA.

Yang membantu kami adalah 2 orang anggota pers mahasiswa dari LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Arena UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mereka bernama Lugas dan Faksi. Lugas adalah Pemimpin Redaksi LPM Arena. Dia lelaki tinggi berwajah manis dengan rambut panjang bergelombang yang tampak pendiam dan cerdas. Selera musiknya juga bagus, ia memberikan rekomendasi musik beraliran Postrock dari youtube yang menjadi musik favorit Alesia menjelang tidur. Sampai hari terakhir di Jogja, Alesia masih tidur sambil menyetel Youtube channel rekomendasi Lugas. How Cute! Faksi adalah anggota LPM Arena yang asalnya dari Madura, Faksi juga manis kok, rambutnya pendek dan sering mengatakan hal-hal lucu di luar dugaan. Sekalipun dia tidak bisa bahasa Inggris dengan lancar, dia selalu berusaha mengajak Alesia bicara dan menceritakan hal-hal yang dianggapnya lucu. Alesia sering bertanya padaku diam-diam, "Dia tadi nyeritain apa sih sebenarnya? Apakah itu benar-benar lucu?" Kami juga sering memainkan namanya dengan ejaan 'Fuck See' alih-alih Faksi sambil bercanda. Saat aku bertanya pada Faksi soal nasib pengikut Syiah Sampang yang terusir dari desanya, Faksi buru-buru membantah keterlibatan dirinya dengan kelompok intoleran di sana. Aku dan Alesia senang bahwa akhirnya kami dibantu oleh 2 orang yang memiliki kepedulian yang sama di bidang kebebasam beragama dan anti intoleransi.

Lokakarya di 4 SMA
Kami melakukan banyak revisi soal materi yang harus diberikan pada siswa SMA. Materi itu berbeda dengan materi ToT. Kami tidak lagi menggunakan presentasi Verification Handbook karena keterbatan waktu yang disediakan sekolah. Kami juga masih menggunakan Identity Walk Games di awal lokakarya.

Lugas dan Faksi belum bergabung menjadi mentor di SMA pertama yang kami kunjungi.

Sekolah pertama yang kami kunjungi adalah SMA 1 Piri. Dikutip sepenuhnya dari laman resmi  SMA PIRI 1, berdirinya SMA PIRI 1 Yogyakarta tidak dapat lepas dari keberadaan Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) Yogyakarta, yang lahir dari Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) aliran Lahore yang diprakarsai oleh H. Minhadjurrahman Djojosugito. Yang kemudian beliau disebut sebagai Peletak dasar Yayasan PIRI. Sekitar 25an siswa anggota OSIS mengikuti lokakarya kami.

Aku dan Alesia juga belum menjadi pengajar yang baik saat itu. Ada banyak evaluasi dalam hal metode dan materi yang kami lakukan setelahnya. Misalnya, bagaimana caranya menghadapi siswa menolak berbicara di kelas? Bagaimana caranya menghidupkan interaksi di kelas? Bagaimana caranya supaya Alesia yang tidak bisa bahasa Indonesia tetap dapat berkomunikasi aktif dengan siswa dan memahami celotehan siswa di kelas? Bagaimana supaya suasana yang kami bangun tidak terlalu formal? Bu Anis, guru Agama yang mengundang kami ke sana menceritakan tentang beberapa siswa dengan latar belakang yang beragam dan menarik. Kami jadi mengerti mengapa respon siswa terhadap kehadiran kami masih sangat malu-malu.

Karena sulitnya menyesuaikan jadwal sekolah yang mulai liburan kenaikan kelas sekaligus libur bulan Ramadhan, aku dan Alesia akhirnya mengajar literasi media secara terpisah. Aku ditemani Lugas ke SMK PI Ambarukmo, sedangkan Alesia dan Faksi ke SMAN 1 Kalasan yang lokasinya dekat dengan Candi Prambanan. 

Di SMK PI Ambarukmo, pada awal pertemuan, peserta lokakarya literasi media yang mengikuti kelas kami ada sekitar 25 orang termasuk dengan mahasiswa keguruan yang sedang KKN di SMK tersebut. Namun, setelah istirahat shalat Jumat, peserta lokakarya berkurang drastis hingga hanya tersisa 15 orang. Aku dan Lugas tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk menyikapi hilangnya beberapa peserta lokakarya selain melanjutkan materi selanjutnya. Di akhir lokakarya, kami mengobrol dengan Pak Sa’dun guru Agama SMK PI Ambarukmo yang mengundang kami datang. Kami terkesan dengan pandangan-pandangannya soal kerukunan umat beragama yang dia tanamkan pada siswanya selama ini. Dia selalu berharap dengan literasi media berbasis anti intoleransi ini, siswa-siswanya tidak hanya memperoleh materi yang itu-itu saja ala pelajaran SMK, tapi juga bisa mendapatkan wawasan lain yang membuat siswa hidup rukun antar umat beragama.

Di SMAN 1 Kalasan, Alesia dibantu oleh guru bahasa Inggris untuk menerjemahkan apa yang ingin dia ajarkan karena Faksi merasa kesulitan untuk menerjemahkan bahasa Inggris Alesia yang pengucapannya sangat cepat. Pak Samijo, Guru Agama Katolik di sekolah itu menjelaskan pada Alesia dan Faksi, peserta lokakarya yang mereka ajar adalah siswa Kristen dan Katolik yang tidak mengikuti pesantren kilat Ramadhan di sekolah. Sehingga ada siswa muslim di kelas saat itu.

Lokasi lokakarya terakhir kami adalah SMAN 2 Wates. Kali ini kami berlima, aku, Alesia, Lugas, Faksi dan ditemani oleh Mas Hairul Salim. Wates masuk dalam kabupaten Kulon Progo DIY, lokasinya sangat jauh dari pusat kota. Kami datang terlambat karena sempat salah jalan. Anggota OSIS dan mahasiswa magang yang KKN di sana tampak lebih antusias mengikuti kegiatan ini dibanding sekolah-sekolah sebelumnya. SMA ini dulunya adalah SMA standar internasional yang biasa menerima pertukaran pelajar dari luar negeri. Ketika sekolah standar internasional dihapuskan, SMA ini tetap menjadi sekolah favorit lulusan SMP. Baik mahasiswa keguruan dan siswa berinteraksi dengan aktif di kelas. 

Foto Bersama Usai Lokakarya di SMA 2 Wates
Lugas membantu kami mengedit dan menerjemahkan diagram soal posting atau tidak posting di Facebook sebagai salah satu materi dalam literasi media di kelas. Edisi bahasa Inggrisnya bisa dilihat di sini, sedangkan edisi bahasa Indonesianya bisa dilihat di sini.

Awalnya, kami ingin kembali ke 4 sekolah itu untuk melakukan riset etnografi dengan metode partisipasi observasi, kuesioner dan wawancara soal pemahaman literasi media dan dampaknya terhadap interaksi antar umat beragama. Namun, semua sekolah terlanjur libur Ramadhan sehingga aku dan Alesia terpaksa mencari cara lainnya untuk mendapatkan research participant. Memang, saat kami berkunjung ke 4 SMA itu, status kami masih magang di Yayasan LKiS. Penelitiannya belum dimulai. Sehingga lokakarya dan penelitian tidak dapat dijalankan secara bersamaan saat itu juga.

Target kami dalam literasi media adalah membuat siswa dapat berpikir kritis dalam menerima informasi apapun. Dengan pemahaman yang baik mengenai media, siswa akan bersikap skeptis dan mencari alternatif informasi sehingga tidak mudah terprovokasi oleh pemberitaan media yang tidak berimbang apalagi dalam kaitannya dengan pemberitaan soal keagamaan di media massa. Mereka diharapkan dapat membuat berita sendiri dengan prinsip-prinsip sederhana dalam jurnalistik.

Karena belum berhasil membentuk komunitas literasi media di Yogya, dari awal kami ingin membagikan materi literasi media yang sudah direvisi sebelumnya. Materi ini sifatnya copyleft, siapapun boleh menggunakannya secara bebas, mengunduh maupun memodifikasinya sesuai dengan kepentingan masing-masing pengajar. Bahkan tidak menyertakan nama pembuatnya tidak apa-apa, tapi aku menyarankan sebaiknya mencantumkan nama pembuat materinya agar kesalahan dalam materi bisa menjadi tanggung jawab kami.

Beritahu juga jika ada komentar maupun saran agar materi literasi media ini lebih efektif untuk diajarkan terutama kepada siswa SMA atau komunitas lainnya. Berikut tautan materi presentasi literasi medianya berbasis kerukunan beragama. Dropboxnya harus di download ya supaya videonya bisa dimainkan Jika ingin membuat lokakarya serupa, kami juga membagikan instrumen praktek literasi media yang masih sangat perlu direvisi. Untuk sesi ini, pengajar literasi media memilih 2 berita dengan topik sama tapi dengan framing pemberitaan yang berbeda dan membedahnya secara kritis. Selain itu, kami juga menyertakan contoh proposal permohonan ijin pengajaran literasi media untuk diberikan ke sekolah, silakan download di sini.

Membuat lokakarya literasi media dalam waktu singkat itu tidak mudah, tapi itu juga bukan sesuatu yang mustahil dilakukan.

Teman-teman juga bisa berdiskusi lebih lanjut soal literasi media dan kaitannya dengan gerakan anti intoleransi beragama denganku via email syaharbanu.ayu@gmail.com. 

Senin, 28 Juli 2014

"Kapan Nikah?"

"Saat ini aku jatuh cinta terhadap ilmu pengetahuan. Dia memahamiku dan membuatku paham segala sesuatu. Sedangkan lelaki, kebanyakan yang aku temui malah justru membuatku tidak paham dan sulit bagi kami untuk saling memahami.  Aku tidak akan menyebut secara spesifik merujuk ke satu orang lho ya...
Lagipula, aku karena tidak ingin banyak drama lagi. Aku akan mencintai siapapun yang aku nikahi. Bukan semata-mata menikahi orang yang aku cintai. Aku bisa mencintai siapapun yang punya sesuatu untuk diperjuangkan diluar kenyamanan dirinya sendiri dan keluarganya. 
Memiliki pasangan yang memperjuangkan sesuatu untuk masyarakat itu penting. Karena, pada suatu hari, jika dalam pernikahan kita mulai membosankan, aku tetap akan mencintai apa yang dia perjuangkan. Karena bagiku, pernikahan itu bukan soal mengamankan diri sendiri dan membuat area nyaman untuk diri sendiri dan keluarga. Pernikahan itu justru soal mengurangi kenyamanan diri sendiri untuk orang lain, baik untuk yang kita cintai maupun kepada manusia yang bahkan tidak kamu kenali. Kita harus siap membunuh ego kita sendiri setiap saat. 
Kembali ke soal ilmu pengetahuan, untuk mencapai itu, tentu saja dibutuhkan seorang yang intelektual, Dalam ilmu tradisi yang aku pegang, seseorang yang intelektual itu pasti seorang yang spiritual dan sebaliknya. Bukan seorang yang hanya sibuk dengan berbagai ritual pribadinya. Jadi,ya... Seperti itu mauku..."
Pernyataan panjang diatas aku pakai untuk menjawab orang yang tanya 'kapan nikah?' Aku benar-benar sudah mengatakannya ke orang-orang yang bertanya soal itu sekalipun pertanyaan yang mereka ajukan cuma iseng.

Pernikahan, sama sekali bukan hal main-main.

Menghadapi ini, membuatku makin sadar, waktu berlari begitu cepat. Ada banyak hal-hal baru yang datang,

...dan pergi.

3 tahun lalu, saat lebaran tiba, aku berpikir tentang kata-kata apa yang tepat untuk dikirimkan ke orang-orang lewat SMS dan sosial media. Apalagi aku adalah tipe orang yang tidak suka menyalin ucapan lebaran yang pernah dikirimkan orang lain sebelumnya. Aku lebih senang memikirkan kalimat-kalimat baru yang tentu saja belum pernah digunakan orang lain sebelumnya. Ternyata sekarang berubah! Aku tidak lagi memikirkan hal itu. Aku malah memikirkan ini karena pertanyaan soal itu makin sering diajukan. Mungkin karena semua kakak sudah menikah dan beranak pinak. Bisa juga arena sebagian teman-teman sebayaku sudah menikah.

Saat menghadapi pertanyaan ini, menjawab dan melihat respon orang yang menanyakan hal ini, aku cuma bisa menyimpulkan satu hal.

Lucu.

Minggu, 15 Juni 2014

Soeharto Bukan Pahlawan!

Kemarin, aku dan Fatimah Zahrah makan malam di sekitar kampus Sanata  Dharma Jogja. Dekat dengan homestay kami. Kami mencari makanan yang sederhana tapi bukan yang edisi masakan Padang. Fatimah ngotot ingin makan sayuran karena dia ingin mempraktekkan Food Combaining, Aku juga ngotot tidak ingin makan di chiness food. Sejak dia di Jogja, dia memang berusaha untuk mempraktekkan food combaining supaya cacing dalam perutnya jadi lebih bahagia. Jadilah, kami makan di warung masakan Jawa.

Warung itu sama sekali tidak menarik. Etalasenya tidak menghadap sisi jalan, agak temaram, dengan televisi di pojok atas. Warung itu menjual bensin, minuman dingin dengan kulkas Coca Cola, dan pulsa. Saat kami datang, mereka sedang menonton TV One.

Aku agak ragu makan di situ. Selain tidak menarik, aku bukan penggemar masakan Jawa maupun warteg. Aku lebih suka makanan Sulawesi, Aceh, maupun Sunda. Sedangkan Fatimah adalah fangirl warteg, masakan Jawa dan warung Burjo. Tapi kami sudah berjalan lebih jauh dari yang biasanya. Akhirnya, kami memutuskan untuk makan di warung itu.

Ternyata pemilik warung itu adalah orang Flores. Menariknya, bapak dan ibu yang ada di warung tersebut menggunakan pin bergambar Prabowo-Hatta di bagian dada kanan bajunya. Dengan wajah sumringah, mereka bilang kalau mereka adalah tim sukses pasangan calon presiden No.1.

Kepada Fatimah, ibu itu bilang, "Sekalipun saya tim sukses capres nomer 1, saya sih tetap ingin mencoblos berdasarkan hati nurani. Jokowi itu orang baik. Dia sudah berbuat banyak dan dicintai rakyat. Terserah orang mau jadi tim sukses siapa. Yang tahu siapa pilihan sesuai hati nurani kita di kotak suara hanya kita dan Tuhan."

Fatimah menyambut pernyataan ibu itu dengan tertawa keras. Dia senang sekali ada orang yang bilang begitu kepada Jokowi. Aku hanya senyum-senyum mendengarnya. Karena tersenyum itu nomer satu. Presidennya nomer 2.

Fatimah dan ibu itu mengobrol seru tentang copras capres, pendidikan, pemberdayaan perempuan, anak, asal tempat tinggal, dan lain-lain.

Aku hanya ikut mengobrol bersama mereka sedikit-sedikit. Bukan karena tidak tertarik dengan tema obrolan. Tapi karena bapak pemilik warung juga mengajakku untuk mengobrol. Sehingga ada 2 forum yang berbeda di satu tempat. Kami sangat berisik. Beruntung tidak ada orang lain di sekitar kami yang ikut bicara maupun sekedar mendengarkan.

Topik yang dibicarakan oleh si bapak tidak jauh beda. Menariknya, bapak ini tetap akan memilih Prabowo dengan alasan, "Prabowo itu hebat, Sehebat Soeharto. Nanti jika Prabowo menang, akan ada kemandirian pangan seperti jaman Soeharto dulu. Indonesia akan berdaulat kembali."

Aku tersenyum, mengangguk-angguk, dan ber, "Oh ya? hmmm... Oh ya..." karena bapak itu berbicara dengan semangat tanpa bisa di interupsi.

Si bapak bilang, bahwa di jaman Soeharto, ada bayak lahan yang diganti dengan sawah sehingga lebih bermanfaat. Karena itulah, warga di luar pulau Jawa tidak perlu membeli nasi lagi dari Jawa. Dia bercerita bahwa ia termasuk yang kena dampak positif di masa Soeharto lewat program Repelita.

Program Repelita Soeharto diabadikan lewat perangko-perangko yang dikoleksi oleh 2 kakak ku yang memang punya hobi filateli. Saat aku SD, aku lebih tertarik dengan buku dan kertas surat yang lucu-lucu daripada filateli. Penyebutan Repelita membawa ingatanku kembali ke masa  lalu. Kalau tidak melihat koleksi perangko kakakku, barangkali aku tidak akan pernah tertarik dengan tema Repelita. Perangko itu bergambar macam-macam pembangunan Indonesia yang menjadi target peningkatan kualitas di berbagai sektor. Aku jadi tahu apa yang dimaksud oleh bapak dari Flores ini.

Berbagai macam gambar perangko Repelita.
(Sumber foto : http://kolektorperangko.blogspot.com/)
Setelah memuji-muji Soeharto, ia tampak sangat senang. Sesekali ia tertawa mengenang kejayaan Orde Baru dan kenyamanan hidupnya di masa lalu.

Aku bilang ke bapak itu, "Saya sih nggak suka sama Soeharto. Soalnya Ibu dan Bapak saya jadi tahanan politik tanpa proses pengadilan. Di jaman Orde Baru, semua yang tampak kritis dan berbahaya akan langsung dipenjara sekalipun tapa bukti yang kuat. Jangankan bapak ibu saya, Iwan Fals yang cuma nyanyi-nyanyi aja juga dipenjara."

Bapak itu memelankan tawanya, dengan agak kikuk, dia berkata, "Oh gitu ya, jadi saya salah sasaran ngomong ya. Hehehe, maaf..."

Kemudian aku bercerita tentang bapak dan ibu. Sudah pernah aku tulis kisahnya di blog. Aku tidak ingin menuliskan detail pembicaraan tentang bapak di postingan ini. Karena aku ingin membahas hal selain soal pemenjaraan.

"Soeharto sama sekali bukan Pahlawan. Dengan program Repelita, Indonesia yang awalnya memiliki makanan pokok bermacam-macam jadi disuruh makan beras semua. Pembukaan lahan itu untuk ditanami padi kan? Itu juga terjadi lho di Indonesia bagian Timur yang masyarakatnya makan sagu. Padahal Sagu itu lebih sehat daripada beras. Sagu punya karbohidrat seperti nasi, tapi dengan kadar gula yang rendah sehingga penderita diabetes aman mengonsumsinya. Dampak politik beras terasa sekali sekarang, kita semua jadi terbiasa makan nasi. Padahal pupuk sangat mahal. Lahan banyak yang sudah rusak karena musim tidak menentu. Gagal panen di mana-mana. Kita terpaksa ambil beras dari Thailand. Coba kalau dulu tidak menjalankan politik beras, ketergantungan kita terhadap nasi tidak akan separah ini."

"Oh iya?"

Si bapak kemudian bercerita bahwa dia lebih suka beras dari pada sagu. Di Flores, hanya orang yang sangat miskin yang mengonsumsi sagu. Sagu di Flores biasanya hanya untuk makanan ternak. Mereka baru tahu kalau sagu bisa dioleh menjadi makanan dari orang Irian Jaya (sekarang Papua dan Papua Barat) dan Maluku. Jika tidak ada nasi, maka mereka akan makan umbi. Jika tidak ada umbi, barulah mereka makan sagu. Sagu sudah ada di hutan-hutan. Tak perlu menunggu panen ataupun menanamnya. Tanaman sagu sudah tumbuh liar sehingga masyarakat Flores dulu mengiranya sagu itu hanya makanan babi.

"Di masa Soeharto juga, ada sebuah bendungan yang sangat besar bernama Kedung Ombo. Kedung Ombo ini ada di wilayah Boyolali, Sragen, Semarang dan banyak kabupaten lain. Saya ini numpang lahir di Boyolali pak, salah satu Kabupaten yang kena dampak Kedung Ombo juga. Saya pernah ke Kedung Ombo dan waduk itu seperti lautan. Sangat luas."

"Wah, ada kayak gitu ya? Sampai kayak Danau?"

"Benar. Sampai kayak Danau. Sampai detik ini, warga yang dulunya tinggal di wilayah Kedung Ombo banyak yang tidak dibayar tanahnya. Kalaupun dibayar, harga tanahnya juga terlalu murah. Tidak akan bisa membeli luas tanah yang sama di daerah lain berikut bangunannya. Orang-orang banyak yang mendadak miskin dan tidak punya apapun. Mereka tidak punya pilihan lain. Waduk akan tetap di bangun sekalipun mereka tidak mau pindah. Seperti Lapindo itu lho pak, saat sudah terbenam, warga bisa apa? Aliran air yang berasal dari sungai-sungai itu akan tetap membanjiri. Sudah puluhan tahun pak, belum dapat ganti rugi. Kalau lihat peta Jawa tengah, akan sangat jelas terlihat ada waduk besar bernama Kedung Ombo."

"Saya tidak pernah tahu ada Kedung Ombo sebelumnya. Jasa Soeharto banyak di Flores. Saya tidak tahu bahwa di daerah lain dan orang lain mengalami hal yang sebaliknya."

"Yang terkena dampak baik hanya segelintir orang pak. Banyak orang yang terkena dampak buruknya sampai sekarang. Kepemimpinan ala militer seperti yang dilakukan oleh Orde Baru dampak buruknya terasa sampai sekarang. Misal tentang apa yang menimpa bapak dan ibu saya. Apa yang menimpa warga yang dulu tinggal di Kedung Ombo. Dan ada banyak hal lain lagi yang bertentangan dengan akal sehat dan kemanusiaan kita."

Setelahnya, aku dan Fatimah berbicara kepada mereka bahayanya jika era Soeharto kembali berjaya. Termasuk gerakan, "Piye Kabare? Penak Jamanku To?"

Sudah pukul 20.30 saat itu. Sudah lebih dari satu jam kami mengobrol. Agak sulit menghentikan pembicaraan soal ini karena bapak dan ibu yang sejak tahun 91 sudah tinggal di Jawa ini begitu antusias dengan tema obrolan kita.

Aku dan Fatimah pamit. Kami membayar makanan yang harganya murah sekali, lalu bersalaman dengan mereka. Mereka bilang mereka senang berbicara dengan kami. Kami mengatakan hal yang serupa sambil berkata bahwa lain waktu, kami ingin makan di sana lagi.

Kemudian kami berpisah.

Dalam perjalanan menuju homestay, Fatimah bilang, "Si ibu itu pinter banget ya orangnya. Dia itu berpendidikan gitu lho. Open minded banget."

Aku mengiyakan. Ibu itu memang bercerita bahwa dia pernah menempuh pendidikan sekretaris. Tapi aku rasa ibu itu memiliki pengetahuan luas bukan karena pendidikan tingginya. Tapi karena ibu itu memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap keadaan sosial dan politik. Aku banyak menemui orang-orang yang berpendidikan tinggi tapi tak tahu apa-apa selain kenyamanan hidupnya sendiri. Bapak itu juga teman diskusi yang sangat baik. Lebih baik daripada orang-orang yang biasanya berdebat di twitter maupun facebook. Jauh lebih baik juga daripada anak-anak kuliahan yang sering berdebat dengan kata, "Pokoknya blablabla..." dengan sederetan ad hominem yang menjengkelkan.

Pulang makan malam itu, kami sangat bahagia. Tidak hanya soal harga makanan yang sangat murah. Tapi pembicaraan dengan ibu dan bapak pemilik warung memang benar-benar menyenangkan.

Kami benar-benar ingin kembali ke warung itu. Lain waktu.

***
Note : 

Rabu, 09 April 2014

Kerja Keras Hari ini Bernama Pesta Demokrasi

Hari ini, 9 Juli 2014 adalah kedua kalinya aku ikut andil di pemilu. Pemilu Legislatif 5 tahun lalu sangat berbeda dengan sekarang. Dulu aku tidak tahu siapa yang harus aku pilih, bagaimana mekanismenya aku bisa terdaftar sebagai pemilih dan lainnya. Aku benar-benar hanya memilih calon legislatif yang ibuku pilih dan pasrah dengan apa yang terjadi selanjutnya. Aku tidak ingat siapa yang aku pilih saat pemilihan calon legislatif. 5 tahun lalu, suara di sosial media untuk remaja sepertiku tidak senyaring sekarang.

Terbatasnya arus informasi, kurang pergaulan, dan nggak kepikiran untuk ikut andil dalam pemerintahan adalah alasan-alasan yang aku pakai sebagai pembenaran (bukan kebenaran) kenapa aku ngawur menentukan tokoh legislatif yang harus aku pilih. Aku rasa, banyak remaja maupun orang dewasa juga belum tahu siapa yang harus dipilih. Bagaimana kita bisa menentukan sesuatu yang hanya kita tahu dari foto yang terpasang secara serampangan di jalan, tembok maupun pohon. Apalagi jika ditambah dengan pawai yang urakan. Apa menariknya partai seperti itu untuk kemajuan bangsa.

Waktu masih kecil, aku senang sekali ikut kampanye dan rasanya tidak ada yang mempermasalahkan itu. Mungkin orang-orang di Komnas PA belum secerewet sekarang. Maklum, Komnas PA memang baru didirikan pada 26 Oktober 1998 sedangkan pemilu saat itu Juni 1999. Jadi konsentrasi mereka masih terpecah untuk mengurusi lainnya. Atau aku memang tidak ikut dengan perdebatan yang ada tentang etis atau tidaknya mengajak anak-anak berkampanye? Sepertinya memang aku yang tidak tahu.

Saat itu, rasanya keberadaan anak kecil sangat penting di kampanye karena bisa menambah keceriaan. Aku dan teman-teman sangat senang ikut membantu menyebar 3 permen yang direkatkan pada kertas atau stiker PAN, membaginya pada orang-orang yang melihat kami di jalanan. Atau sekedar memungut permen yang disebar partai lain yang kampanye. Siapa lagi yang sudi memungut permen yang disebarkan di sepanjang jalan di siang hari yang sangat terik kalau bukan anak-anak?

Kami, anak-anak bau matahari ini akan bersorak gembira dan dengan bangga memasang stiker partai pilihan orang tua kami di sepeda maupun di pintu rumah. Menganggapnya seolah itu sebagai ideologi suci yang menjadi pembeda dari rumah satu dengan rumah lainnya. Teman sekelasku waktu SD ada yang orang tuanya pegawai negeri. Semua keluarganya adalah orang Golkar, Sedang keluargaku seluruhnya adalah penggemar Amien Rais yang suaranya membahana saat reformasi '98, otomatis kita adalah orang PAN. Kita bermusuhan karena itu. Tapi kita bisa saja tiba-tiba kompak berdiri sejajar di pinggir jalan raya untuk berebut permen dari partai lain yang sedang kampanye.

Tidak ada yang merasa prihatin dengan itu karena toh orang tua jadi tidak perlu keluar uang untuk membeli permen. Bahkan saat suara iring-iringan kampanye dimulai, para orang tua mendorong anak-anaknya untuk melihat pawai parpol dan membandingkannya satu sama lain. Berdasarkan kerasnya suara, permen yang dibagi maupun atribut lainnya.

Saat ini, usiaku sudah 23 tahun. Juni nanti 24 tahun. Oke, aku sudah tua dan rasanya semua orang mulai memanggilku dengan "kak dan mbak". Pemahamanku tentang pemilu tentu saja tidak boleh sama dengan aku 5 tahun lalu ataupun 10 tahun lalu. Ada internet yang tergenggam setiap saat. Adalah kebodohan jika aku sampai tidak tahu apapun tentang seperti apa pemilu kali ini. Kalau punya akses informasi. Kenapa masih belum mengerti?

Demokrasi menorehkan sejarah panjang, seputar trial dan error dalam menyelenggarakan negara ini dan memenuhi hajat hidup orang banyak. Orang Indonesia saat ini bisa menentukan siapa saja orang yang nantinya akan mengolah uang kita untuk membuat negara ini terus berjalan dengan mekanisme yang mengelola berdasarkan prinsip keadilan sosial. Mereka digaji dengan uang pajak kita. Mereka juga yang menentukan uang hasil pajak kita yang masuk kas negara untuk belanja apa saja. Mereka juga yang menentukan berbagai peraturan dan undang-undang untuk kebaikan kita.

Tugas kita adalah memilih wakil kita, dan kemudian mengawasi kinerjanya. Beberapa orang mengawasi secara pribadi dan mengicaukannya di sosial media untuk melancarkan kritik. Beberapa membentuk lembaga khusus untuk mengawasi pelanggaran-pelanggaran mereka saat tidak melaksanakan apa yang seharusnya dilaksanakan. Mereka pembantu kita. Mereka melaksanakan apa yang menguntungkan buat kita. Mereka seharusnya mengabdi, bukan memperkaya diri.

Aku termasuk orang yang kecewa dengan pemerintahan SBY 10 tahun ini. Untuk Pemilihan Presiden 8 Juli 2009, aku golput. Saat itu partai golput hampir mencapai 30%. Prosentasenya lebih besar dari perolehan suara incumbent. Apakah partai golput mengubah sesuatu SBY gagal jadi presiden atau ada pilihan ulang lagi?

Ternyata tidak!

Pilihan untuk Golput bisa jadi sebagai sebuah ideologi, sekedar permasalahan administrastif, apatis dan hal teknis lainnya. Aku Golput karena saat itu aku sedang dalam perjalanan dari Solo menuju Jakarta di dalam sebuah kereta ekonomi. Aku mendengar orang-orang yang berada satu gerbong denganku mengumumkan kemanangan Golput berdasarkan koran pagi yang mereka baca saat itu. Kami bersorak, beberapa menyatakan ketidaksukaannya pada SBY. Beberapa bertanya tentang apa yang dilakukan kalau golput yang menang dan mendiskusikannya dengan orang yang sama butanya dalam hal politik tentang hal itu. Aku meminjam koran orang yang duduk berseberangan denganku dengan penasaran. Isi koran pagi saat itu sebenarnya tidak mengabarkan kemenangan Golput. Tapi kemenangan SBY. Aku lupa koran yang aku baca apa.

Aku tidak begitu peduli saat itu. Aku lebih memikirkan tahun pertamaku di kampus nantinya daripada dampak terpilihnya SBY 5 tahun kedepan.

Sekarang ini, di sosial media sudah banyak informasi yang memuat tentang pemilu. Berbagai link tinggal di klik dan kita bisa tahu tentang apa yang harus kita lakukan hari ini. Di sini, sosial media yang sangat membantuku adalah twitter.

Ada Daftar Caleg Tak Layak Pilih dalam Perspektif Media Penyiaran dari @Remotivi, rekomendasi Caleg bersih dan berbagai informasi seputar pemilu dari jariungu.comBersih2014.net, politikuang.nethttp://pantaupemilu.org/, blognya Bang Andreas Harsono tentang Bagaimana memilih politisi dalam pemilihan umum? website KPU seperti KPU Surakarta, KPU Jakarta dan berbagai pembicaraan di twitter seputar pemilu. Semuanya informatif. Termasuk yang debat berhari-hari tentang pentingnya nyoblos, menyobek surat suara ataupun golput.

Fokus pribadiku adalah para pemimpin yang mau memperjuangkan kebebasan beragama dan anti korupsi. Aku mencoba menentukan prioritas ingin seperti apa negara ini nantinya. Setelah itu, barulah menentukan pilihan yang tepat. Teliti track record calon DPR, DPD dan DPRD kita. Jangan malu dan capek merekomendasikan orang baik untuk dipilih orang-orang sekitar kita. Justru karena tidak dibayar itulah kita mau bergerak. Daripada dibayar tapi dia nanti malah jadi rampok.

Pemilu kali ini sangat berkesan. Karena aku benar-benar meluangkan waktu untuk mencari tahu siapa yang layak aku pilih untuk mengelola uang yang aku setor ke negara lewat DPR, DPD dan DPRD. Selain itu, aku akan mendatangi TPS untuk liputan Majalah Edukrasi edisi pemilu. Jadi mau tak mau aku juga melakukan riset untuk menambah data tulisanku nanti.

Aku sudah mengecek namaku secara online, aku lupa ini menggunakan aplikasi apa. Harsya, teman di mata kuliah Pancasila yang mengecek dataku di ios nya. Bodohnya, aku lupa menanyakan aplikasi yang dia gunakan apa. Sudahlah, yang penting aku terdaftar sebagai pemilih. Aku agak khawatir tidak terdaftar karena aku belum sempat pulang untuk membuat e-ktp. Prosesnya membuat e-ktp ternyata tidak bisa secepat membuat SIM di Solo. Apalagi ketua RT ku saat itu baru saja meninggal dunia sehingga pengurusan e-ktp jadi semakin panjang.

Sekarang tinggal mempersiapkan dokumen seperti KTP beserta fotocopynya, Kartu Mahasiswa, untuk bisa mencoblos di Jakarta. Bahkan aku akan membawa fotocopy KK dari Solo. Aku sudah siap tempur!
Namaku terdaftar! Horeeee!!!!
Aku benar-benar berharap dapat lolos administrasi di TPS Menteng nanti. Aku harus ke TPS Menteng Karena tugas liputan ke sana. Tugas liputanku sih tidak secara jelas menyebut tokoh. Hanya menyebut tentang siapa tokoh nasional yang datang ke TPS. Jadi aku memilih menyorot Jokowi yang nyoblos di TPS 27. Dan Megawati yang ada di TPS 35. Reporter lainnya jaga gawang di TPS Mampang dan sekitarnya untuk meliput tokoh lainnya. Sehingga ada variasi tokoh di dalamnya.

Di paragraf ini, aku baru ingat bahwa ternyata aku belum pernah berpartisipasi sama sekali di pemilu presiden. Aku berusaha keras mengingat pemilu pertamaku sampai sekarang. Bahkan aku juga tidak pernah memilih walikota. Aku jadi tidak sabar untuk 9 Juli 2014 nanti.

Hari ini sepertinya akan penuh petualangan. Karena untuk pertama kalinya aku ngepos liputan di TPS. Untuk pertama kalinya juga aku liputan pemilu sekaligus menggunakan hak pilihku di luar kota.

Mengenai sukses atau tidaknya administrasiku, akan aku update belakangan.

Aku ngantuk sekali. Sudah pukul 3 pagi. Menurut Antara News Jokowi akan nyoblos pukul 8 pagi. Jadi aku harus sampai di lokasi sekitar Taman Surapati jam 7 pagi nanti. Aku berharap bisa bangun pagi. Karena aku tidak bisa tidur sebelum tulisan di blog ini selesai. Kalau ada typo, akan aku ralat belakangan. Aku hanya ingin menerbitkan tulisan ini sebelum TPS dibuka. Hehehe....

Selamat Pesta Demokrasi hari ini!

Senin, 23 Desember 2013

Citra dan Teman-Temannya

Dulu, pas SMA di jurusan bahasa, aku sempat belajar tentang citraan dalam karya sastra. Citraan itu intinya membedah panca indra mana yang bisa dihubungkan dengan sebuah karya sastra. Sekalipun nilaiku bagus di bagian ini (makasih Pak Soekarno :p) sebenarnya aku nggak banyak tahu. Aku selalu menebak di kelas dengan feeling dan untung-untungan. Lalu aku akan heran kalau jawabannya benar. Selalu seperti itu. Ada banyak kebingungan dalam citraan karya sastra ini. Bagiku, jika kita menemukan kata "melihat" dalam sebuah puisi, maka kata tersebut tidak berarti identik dengan mata. Tapi di citraan dalam mata pelajaran itu, seolah melihat hanyalah hal yang bisa dikerjakan oleh mata. Pas udah kuliah di filsafat, aku baru tahu kalau daridulu ternyata aku ada bakat-bakat filsafat aliran metafisika. >,<

Citraan itu, misal nih ya, dalam puisi karya Amir Hamzah berjudul Padamu Jua. Kaulah kandil kemerlap | pelita jendela di malam gelap |melambai pulang perlahan | sabar, setia selalu. Kata yang digaris bawah adalah citraan mata karena membutuhkan indra mata untuk dapat melihat pelita. Nah... Sebenarnya aku tidak tahu apakah ini benar atau tidak. Tahu-tahu nilai ku secara misterius bisa bagus. Teman-teman suka tanya dan aku terpaksa kasih tahu hal yang kurang aku kuasai karena kalau aku nolak, mereka akan bilang aku sombong. Di mata pelajaran sastra ini, aku merasa tergopoh-gopoh untuk tahu makna kata citra. 

Rasanya, citra memang sudah terlalu identik dengan merk hand body lotion. Sampai pada suatu hari munculah icon baru remaja gaul Indonesia : Bunga Citra Lestari. Citra tidak lagi menghadapi ancaman privatisasi kebahasaan. Setidaknya saat ada orang berkata "citra", pikiranku tidak hanya tertuju pada merk hand body, tapi juga tertuju ke suara "sunny... sunny... Apa kabarmu baik-baik saja...". Jangan harap (dan untungnya sampai sejauh ini tidak ada yang berharap juga) aku akan ingat kata "citra" itu sebagai bagian dari mata pelaran sastra. Karena aku memang tidak suka mengingat bab dalam sebuah mata pelajaran yang kurang memberikan fungsi praktis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan pancasila. Kira-kira begitu. 

8 tahun lamanya, media menyuguhkan sebuah kata yang dulunya tidak pernah aku akrabi, yaitu kata Pencitraan. Sekarang ini pencitraan memiliki arti yang sangat buruk. Tidak seindah yang ada dalam karya sastra. Untuk hal ini, mari kita berterimakasih pada SBY and the gank yang telah membuat kata pencitraan jadi sedemikian rupa.

Di yahoo answer, aku menemukan definisi pencitraan. Jadi definisi pencitraan adalah "membuat suatu hal agar citra kita menjadi baik dimata publik, mungkin para pejabat di negara kita sudah sangan fasih melakukan hal tersebut contoh : update status dan ngetweet di twitter agar dibaca orang banyak (publik)." Tentu saja ini definisi yang keliru. Di kelas logika semester awal dulu, aku belajar bahwa jika kita mendefinisikan sesuatu, kata yang akan kita definisikan tidak boleh ada dalam definisi yang kita jabarkan. Di kalimat itu ada kata citra, padahal kan yang sedang didefinisikan adalah kata pencitraan. Nah, herannya, jawaban itu di vote oleh 9 orang. Oke, selamat kepada 10 orang (9 vote + 1 orang penjawab) yang secara terang-terangan melakukan kesalahan logika. 

Kalau kita cari di kamus besar bahasa Indonesia online, kata pencitraan itu nggak ada. Nggak ada karena memang kata itu udah tercemar sama imbuhan. Tapi arti dari citra menurut KBBI adalah :

cit.ra [kl n] (1) rupa; gambar; gambaran; (2) Man gambaran yg dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk; (3) Sas kesan mental atau bayangan visual yg ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yg khas dl karya prosa dan puisi; (4) Hut data atau informasi dr potret udara untuk bahan evaluasi; -- perbankan gambaran mengenai dunia perbankan: kejadian spt itu jelas tidak menguntungkan dl upaya meningkatkan -- perbankan kita di mata internasional

Yang paling dekat dengan pembahasan kita adalah definisi no 2. Man gambaran yg dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk. Pencitraan sendiri adalah sebuah cara yang digunakan untuk menggambarkan seseorang. Meskipun di dunia perpolitikan kita, pencitraan itu seperti selendang sutra tipis yang menutupi bangkai beruang besar yang sudah mati berhari-hari. Pencitraan juga memuat tentang kebaikan-kebaikan, yang sebenarnya tidak ada. Segalanya serba palsu, dan seolah ada isinya.

Padahal sejatinya, pencitraan adalah hal biasa di dunia politik dan dunia marketing. Tidak ada yang buruk dari situ. Namun, saat pencitraan politisi sudah sampai pada tahap menjijikkan, pencitraan mulai mendapat stigma negatif. Sama-sama diberitakan sedang melakukan kebaikan di media, respon masyarakat pada aksi Abu Rizal Bakrie akan berbeda dengan respon masyarakat pada apa yang dilakukan oleh Jokowi. Keduanya sama-sama bisa disebut pencitraan. Tapi karena kata pencitraan sudah demikian tercemar, akhirnya orang mulai mencari kosa kata yang layak untuk Jokowi. Karena ARB jelas narsis di medianya sendiri dan Jokowi tampak tulus bekerja. Orang melabelkan ARB sebagai pencitraan sekaligus juga mencari-cari kosa kata yang belum tercemar maknanya untuk Jokowi. Kata apa yang tepat? Belum ada yang pakem. 

Aku tidak ingin berbicara mengenai pencitraan politisi lagi. Aku hanya ingin menulis tentang kita, individu-individu yang berada di tengah masyarakat. 

Kita bisa kompak mencaci politisi yang sedang melakukan pencitraan. Tapi kita sendiri sebenarnya sedang melakukan pencitraan. Kita seolah sudah bekerja, padahal tidak. Kita seolah bergaya kaya saat musim mudik tiba, padahal di kota tidak punya apa-apa. Kita seolah memikirkan orang miskin, padahal kita hanya ingin tampak dianggap peduli kemanusiaan. 

Aku belajar bahwa seiring dengan waktu, orang tidak akan bisa membedakan antara pencitraan dengan menjaga nama baik. Okelah, pencitraan itu juga sebuah usaha untuk memperlihatkan nama baik. Perbedaannya, dalam pencitraan sangat dimungkinkan adanya kebohongan-kebohongan yang dibuat bertolak belakang antara fakta dan pencitraannya. Sedangkan menjaga nama baik adalah, menutupi aib dan kesalahan kita dengan tidak mengumumkannya kepada orang-orang. Apalagi yang kita lakukan bukan dosa sosial yang merugikan banyak orang. Sehingga menjaga nama baik tidak dapat disebut dengan munafik.

Misalnya, ada seorang lelaki tampan yang diam-diam senang memakan upilnya sendiri. Jika dia tidak mengatakan pada siapapun hobinya itu, maka itu tidak bisa disebut sedang pencitraan dalam konotasi yang buruk. Tapi ia sedang menjaga nama baik dirinya. Karena ia tahu bahwa hobinya itu bukanlah sesuatu yang umum di masyarakat. Ia bisa habis di bully karena itu. Bayangkan jika hobinya itu dia tulis di sosial media dengan tulisan : "Dingin-dingin memang paling enak makan upil sendiri" disertai foto selfie yang memperagakan gerakan itu. Niscaya orang itu akan mempermalukan dirinya sendiri, pacarnya (kalau ada), dan keluarganya. Kecuali memang dia dari awal berniat untuk mencitrakan diri sebagai seorang yang menjijikkan dan mengira bahwa aksi tersebut adalah hal keren sejagad raya.

Pencitraan itu, sekali lagi, sangat berbeda dengan menjaga nama baik. 

Misalnya begini juga. Kita pernah mendengar kabar tentang pernikahan SBY sebelum bersama Ani. Dari pernikahan itu SBY punya 2 putri. SBY melakukan pencitraan dengan tidak mengakui bahwa peristiwa itu tidak pernah terjadi padahal nyatanya terjadi dengan bukti-bukti yang kuat. Nah, di sini kita mencium bau busuk pencitraan. Karena ada fakta yang keliru dan bertentangan dalam hal ini. 

Jika aku tidak mengatakan tentang aib diriku sendiri, itu bukan karena aku sedang melakukan pencitraan. Karena hal-hal yang ada kaitannya dengan aib yang aku tutupi itu tidak aku kemukakan di publik dengan versi yang berbeda. Bahkan tidak memunculkan isu tersebut di publik. Maka itu bukan pencitraan. Itu sedang menjaga nama baik. Karena aku tahu bahwa hidupku tidak serta merta tentang diriku sendiri. Ada keluarga, sahabat, dan nama organisasi yang barangkali terkena imbas dari buruknya namaku. Justru karena tidak memikirkan diri sendiri, aku menjaga namaku. Meminjam kalimat Anies Baswedan, "supaya ibu kita tidak malu telah melahirkan kita". 

Apa sedang melakukan kemunafikan? Oh jelas tidak. Karena, sekali lagi, menjaga nama baik adalah mengatakan atau memilih untuk tidak mengatakan apa-apa yang tidak bertentangan faktanya. Apalagi jika itu bukan sebuah dosa sosial yang kebenarannya diperlukan untuk kepentingan orang banyak. 

Pada akhirnya, aku ingin berbicara langsung pada orang yang mengaku tidak peduli dengan citra diri (mungkin maksudnya nama baik diri sendiri), jika kamu tidak peduli sama sekali tentang omongan buruk orang disekitarmu, tidak peduli pada stigma buruk masyarakat padamu karena aib pribadi yang tersebar, tidak peduli perasaan orang-orang terdekatmu yang mendengar kabar itu, mungkin seharusnya kamu memilih karir sebagai intelegen. Karena salah satu hal yang sangat dipertimbang kan dalam dunia intelegen adalah tidak memiliki keterikatan kuat dengan orang-orang lainnya. Jangan pilih pekerjaan lain. 

Bisa jadi kamu berkata bahwa kamu tidak peduli pada citramu sendiri. Atau kamu berkata peduli setan orang mau berkata apa tentangmu, justru kamu sedang menerapkan prinsip=prinsip self sentris. Karena ternyata kamu adalah orang yang memikirkan diri sendiri. Jika barangkali kamu memang tidak memiliki keluarga, orang kesayangan, organisasi, komunitas, dan sebagainya yang perlu dijaga dan sangat terikat pada mu. Bukan berarti orang lain juga harus sama. Jika kamu bisa tenang memikirkan diri sendiri atau Self sentris, jangan minta orang lain juga sama sepertimu. Nggak perlu mencela yang memilih untuk menjaga nama baiknya. Respect.

Bagiku, menjaga nama baik diri sendiri itu bukan hanya berbicara tentang kinclongnya nama kita pribadi. Tapi juga bentuk respect pada lingkaran sekitar kita yang telah berusaha keras membentuk pribadi kita menjadi sedemikian rupa. Jika kita malah mengkhianati kepercayaan orang sekitar kita yang menyayangi kita, atau melukai hati mereka karena desas-desus buruk di sekitar kita, jangan harap kita bisa menjaga nama baik hal-hal yang lebih besar. Nama baik agama, negara, bangsa, dsb. 

Jalaluddin Rakhmat dalam salah satu ceramahnya berkata bahwa di dunia ini, ada orang-orang yang memiliki kepercayaan diri tinggi dalam mengungkapkan aib dirinya sendiri. Bukankah akan lebih baik jika kepercayaan diri itu seharusnya digunakan saat melakukan hal-hal baik, bukan saat melakukan hal-hal buruk? []

Jumat, 08 November 2013

Peran Orangtua dalam Psikososial Erik Erikson

Menurut teori psikososial Erik Erikson, setidaknya ada 8 tahapan perkembangan manusia yang harus dilalui untuk dapat mencapai kehidupan yang matang dan layak. Tahap tersebut dimulai dari usia 0-60 tahun keatas. Tahapan yang dimaksud Erikson itu bukanlah sebuah tahapan gradual yang jika gagal di satu tahap, otomatis gagal juga di tahap berikutnya. Karena bisa saja, gagal di fase pertama namun akhirnya menemukan solusi atas kegagalan itu saat menginjak fase kedua. Sehingga anak dapat menempuh tahap selanjutnya dengan baik.

Kesadaran manusia akan dirinya dapat membantu manusia untuk mencapai keberhasilan di tiap tahapan. 6 tahapan pertama adalah tahapan yang membutuhkan peran keluarga inti sebagai pendukung utama. 2 tahapan berikutnya dilakukan oleh manusia yang mulai terpisah dari keluarga inti dan berencana membuat sebuah ikatan keluarga yang baru. Kali ini, yang akan dibahas adalah 6 tahapan awal dalam kehidupan menurut Erik Erikson yang mengharuskan pentingnya pendampingan orangtua di dalamnya.

Tahap Pertama Usia 0-18 Bulan. 
Di fase paling dasar ini kepercayaan, kebergantungan bayi ditentukan oleh kualitas pengasuh bayi tersebut. Jika tahap ini berjalan dengan baik, dia akan merasa aman, selamat dan percaya diri. Jika pengasuhnya tidak konsisten, tidak tersedia secara emosional, atau menolak untuk memberikan perhatian, maka akan dapat mendorong perasaan tidak percaya diri pada bayi yang diasuh. Selain itu, bayi akan menemukan ketakutan-ketakutan karena merasa ternyata dunia ini tidak konsisten dan susah ditebak. 

Tahap Kedua usia 18 Bulan-3 Tahun
Fase ini menentukan pengendalian diri anak berupa penggunaan toilet, makanan, mainan dan pakaian yang disukai. Hal tersebut penting dilakukan karena berpengaruh pada peningkatan kepercayaan diri balita. Pengasuh/orangtua akan melatih anak untuk memiliki kesadaran pengendalian diri terhadap dirinya sendiri. Kalau gagal dalam fase ini, anak akan merasa selalu tidak cukup, tidak puas dengan apa yang dipunyainya dan ragu-ragu terhadap diri sendiri. 

Tahap Ketiga Usia 3-6 tahun
Fase ini memungkinkan anak untuk memasuki dunianya yang baru dengan interaksi sosial di pra-sekolah atau lewat permainan. Jika pengasuh/orangtua berhasil mendidik anak di fase ini, anak akan memiliki kemampuan inisiatif yang tinggi dan rasa tanggung jawab dalam memimpin. Jika gagal, Ia akan merasakan perasaan bersalah, ragu-ragu dan merasa tidak kreatif atau kurang rasa inisiatif. Anak akan merasa tidak diberi kepercayaan dan merasa cemas. 

Tahap Keempat Usia 6 Tahun-Pubertas
Di fase ini anak akan merasa bangga pada keberhasilan, kemampuan, kompetensi dan berbagai keterampilan yang dimilikinya. Penting bagi mereka untuk terlibat pada pengalaman-pengalaman baru. Mereka mulai merasa perlu memiliki keluasan pengetahuan dan keterampilan intelektual. Di sini, orangtua, guru dan lingkungan sekitar sangat berperan penting dalam menumbuhkan potensi-potensinya tersebut. Jika gagal pada tahap ini, anak akan merasa bahwa ia tidak produktif dan tidak berkompeten di bidang yang ia tekuni. Hal ini berimbas pada ketekunan dia di masa yang akan datang. 

Tahap Kelima Usia 10-20 Tahun
Remaja mulai mandiri, membangun kepekaannya, mencari jati diri dan menentukan tujuan-tujuan hidup. Di fase ini, seorang remaja mulai merasakan romantisme, pekerjaan, tanggung jawab dan berperan di lingkungan untuk membentuk diri menjadi seseorang dengan identitas positif. Peran orangtua dalam memberikan kepercayaan dan arahan (bukan dalam bentuk perintah-perintah) penting untuk dapat menjalani masa depan yang positif. Jika identitas diri yang ditemukan oleh remaja tersebut diabaikan dan ditolak oleh orangtua, maka ia akan mengalami kebingungan jati diri yang akut tentang masa depan dan dirinya sendiri. 

Di masing-masing tahapan ada indikator jika fase itu gagal atau berhasil. Nah, jika kita lihat ada orang yang sudah dewasa tapi masih mengalami masalah yang seharusnya bisa diatasi saat anak melalui 5 tahapan awal kehidupannya, berarti ia memang kurang mendapat dukungan dari orangtua dan lingkungan sekitar untuk menemukan dirinya.

Jika kita lihat teori Erikson ini, kita akan mengetahui betapa pentingnya fase awal dalam perkembangan manusia. Apa jadinya jika pada 5 tahap perkembangan itu, anak hanya diasuh oleh seorang baby sitter yang berpendidikan rendah? Untuk jadi orangtua yang bisa menemani fase itu dengan baik pun harus memiliki bekal yang cukup dan kelayakan. Akan beda anak yang diasuh oleh orangtua yang memiliki pengetahuan luas dengan seorang baby sitter lulusan SD. 

Wanita-wanita pintar dan berpendidikan tinggi semestinya mau fokus mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak demi menyiapkan gen unggul untuk bangsa ini. Karena jika tidak, negara kita ini akan terus menerus berada di lingkaran setan karena kekurangan SDM berkualitas. 

Untuk itu. jika ingin mendidik anak, kita harus mendidik diri sendiri dulu. Sebaik-baiknya, setinggi-tingginya. Mengukir masa muda  dengan pengalaman semanis-manisnya dan petualangan sebanyak-banyaknya. Berjalan sejauh-jauhnya, membaca buku sesering mungkin, belajar sekeras-kerasnya, bergaul seluas-luasnya, mengikuti organisasi sematang-matangnya, bekerja serajin-rajinnya, bahkan, tidak masalah jika kita mencoba berbuat senakal-nakalnya asal kita tahu kapan harus berhenti. Jangan lupa, apapun, ada tanggung jawab yang diemban dan konsekuensi yang harus dijalani. 


Jika itu semua sudah dilakukan, barulah kita siap untuk menjalani kehidupan pernikahan dan berkeluarga. Jika tidak, bagaimana kita akan membicarakan dunia ini kepada anak? Anak, atas petunjuk kita (sekali lagi, bukan perintah-perintah) akan menemukan jati dirinya sendiri yang sesuai dengan perkembangan jamannya. Tugas kita adalah mempersiapkan dengan baik apa yang menjadi jalan mereka kelak. Bahkan, persiapan-persiapan mendidik anak dimulai sebelum pernikahan itu sendiri terjadi. 

Di jaman modern, wanita berada di persimpangan antara mengejar karir (atau bekerja saja, tanpa harus mengejar karir) di luar rumah dengan fokus di keluarga. Ini adalah soal pilihan dan seberapa matang kita mempersiapkan pilihan-pilihan itu. Subhi-Ibrahim, seorang dosen filsafat Paramadina berkata, "Bayangkan jika sejak awal seorang anak dididik oleh seorang Ibu yang Sarjana Filsafat. Bayangkan nantinya anak ini akan secerdas apa." Ia juga menambahkan bahwa semakin tinggi pendidikan seorang wanita, maka tangung jawab untuk fokus mengurusi anak-anaknya sendiri juga seharusnya, semakin tinggi. 

Menjadi Ibu rumah tangga tidak hanya sibuk dengan urusan-urusan domestik di dalam rumah. Seorang Ibu, tetap berkewajiban untuk memberikan kontribusi pada komunitasnya, membangun masyarakatnya. Ibu rumah tangga juga bisa jadi penulis, wirausaha di rumah atau apapun yang menghasilkan. Bukan berarti diam dan membiarkan suami menghandle semua urusan material sendiri. Apalagi jika ternyata penghasilan suami belum terlalu mencukupi untuk keluarga.

Berkat seorang Psikososial berkebangsaan Jerman ini, kita dapat memahami bahwa pilihan menjadi seorang Ibu rumah tangga tidak melulu karena alasan-alasan agama yang sering disebut para feminist sebagai pengecilan peran perempuan. Justru dengan menjadi Ibu rumah tangga, seorang wanita menemukan dirinya dan tanggung jawab besarnya kepada negara, untuk melahirkan generasi terbaik, putra peradaban yang dididik dari rahim yang berkualitas. 

Di dalam tulisan lama berjudul Wanita dan Kemanusiaan, ada pandangan Imam Khomeini tentang bagaimana menjadi perempuan sejati. Jangan sampai, sebagai perempuan kita akhirnya melahirkan generasi yang cengeng, yang takut melakukan perlawanan pada kedzaliman dan takut menyuarakan kebenaran.

Jika kita menengok teori Hegel tentang "Back to Nature" nya, maka kita akan lebih sepakat pada pola pendidikan yang diajarkan oleh Erikson. Karena Hegel meminta kita untuk membiarkan anak dirawat oleh alam, tanpa campur tangan orangtua sekalipun anak tersebut masih di usia dini. Bagi Hegel, dengan cara itulah anak menemukan dirinya. Prinsip itu diterapkan kepada anak dari hubungan incest nya dengan Christiane Burkhardt yang menjalani kehidupan yang miskin dan terlunta-lunta. Sampai akhirnya Ludwig -anak Hegel- yang berkebangsaan Jerman, mendaftarkan diri dalam militer Belanda, bertempur membela kolonial Belanda melawan Pangeran Diponegoro dan meninggal di tanah Jawa. Jauh dari ayahnya yang dibenci sekaligus sangat dirindukannya. 

Nah, sama-sama pemikir Jerman, yang satunya adalah seorang psikososial dan yang satunya adalah seorang filosof, pola mana yang akan kita pilih?

Tulisan ini dibuat tanpa mengurangi rasa hormat kepada para Ibu yang terpaksa bekerja di luar rumah sehingga dengan berat hati harus menyerahkan pengurusan anak pada orang lain (Baby sitter, tetangga, nenek dll). Bagaimanapun, memang selalu ada yang dikorbankan dengan pilihan-pilihan kita. Semoga anak-anak kita dapat melewati tahap-tahap itu dengan baik nantinya.

---
PS :
Tulisan ini dibuat setidaknya karena 3 hal :
  • Iseng nulis dalam tekanan deadline transkip wawancara
  • Kangen nulis untuk majalah keluarga
  • Tentang sebatang rindu yang baru saja dipatahkan kekasih


Mampang, 8 November 2013