![]() |
Sumber Gambar |
Selasa, 10 November 2015
Agama Orangtua = Agama Anak?
Minggu, 05 Juli 2015
Jadi Saksi Kanonik Pernikahan Islam-Katolik
Kemarin malam, aku menjadi saksi Kanonik untuk pernikahan beda agama antara sahabatku yang Islam dan tunangannya yang Katolik.
Sahabatku seorang perempuan Islam berjilbab. Sedangkan tunangannya seorang Katolik taat yang sempat menempuh pendidikan calon Imam tingkat satu di Malang. Alih-alih jadi Romo, ia lebih memilih untuk jadi programmer yang hadapi algoritma daripada umat.
Hanya dengan melihat mereka sekilas, kita akan tahu bahwa mereka adalah dua orang yang sedang jatuh cinta.
Ditunjuk jadi saksi Kanonik awalnya adalah hal mendebarkan. Aku perlu meyakinkan diri sendiri apakah mungkin seorang muslim bisa jadi saksi Kanonik? Aku kontak Romo sahabatku untuk menanyakan keabsahan "syariatnya". Romo bilang, saksi Kanonik itu yang penting mengenal calon mempelai non Katoliknya. Tidak harus beragama Katolik. Aku jadi lega. Setidaknya, sebagai sahabat yang sudah bertahun-tahun bersama, ternyata aku berguna juga.
Aku ke gereja Katedral Jakarta bersama pasangan pengantin dan teman SMA sahabatku yang juga berperan sebagai saksi Kanonik. Setelah shalat Maghrib di Istiqlal, kami menyeberang ke Gereja Katedral dan buka puasa di depan pasturan. Misa Jumat Malam belum usai. Jadilah kami menunggu sampai Romo selesai memimpin Misa.
Tepat saat Misa Jumat usai, kami berempat dipersilakan masuk ke ruang tamu Pasturan. Kedua mempelai masuk lebih dulu ke ruang kerja Romo. Romo yang menangani pernikahan ini bernama Romo Broto, Pr. Kesanku padanya, Beliau seseorang yang murah senyum dan ramah.
"Siapa yang akan jadi saksi pertama?" Tanya Romo Broto pada aku dan teman sahabatku saat kami berdua ada di ruangannya.
"Dia saja Mo, yang lebih tua." Kataku.
Romo dan teman sahabatku tertawa.
Romo memulai pertanyaan seputar sejauh mana kami mengenal calon mempelai perempuan. Dia juga bertanya soal asal wilayah, pekerjaan, alamat, dan lainnya. Kami harus mengisi selembar formulir setengah halaman kertas HVS yang isinya adalah kesaksian kami berdua bahwa mempelai perempuan non Katolik tersebut memang belum pernah menikah.
Setelah mengisi formulir, kami berdua tanda tangan di bawah kalimat sumpah yang ditutup dengan, "Demi Allah". Bukan demi Yesus dan bukan pula demi Roh Kudus. Aku senang dengan pilihan kata di dalam surat kesaksian tersebut.
"Di Katolik memang ada dispensasi dalam hal pernikahan. Kami meyakini bahwa yang namanya iman itu tak dapat dipungkiri oleh hati. Bisa saja seseorang bohong di KTP dalam hal agama hanya untuk menikah. Tapi yang namanya iman dalam hati, sulit untuk diganti-ganti. Jadi, Disparitas Cultus ini untuk memudahkan, bahwa pernikahan tak pernah jadi penghalang keimanan seseorang dan sebaliknya. Untuk apa yang Katolik pindah Islam jika hatinya tetap Katolik? Dan untuk apa yang Islam pindah Katolik jika yang nyaman baginya adalah beragama Islam? Ini adalah solusi yang diberikan gereja untuk umatnya."
Kami mengangguk mendengar penjelasannya.
Saat melakukan penelitian di gereja Santo Alfonsus Paroki Nandan, Jogja pada tahun lalu, aku sudah diberi penjelasan oleh Romo Kris mengenai hukum pernikahan dalam gereja Katolik.
Oh ya, Romo Kris ini ketua Paroki Nandan. Tema Disertasi S3 nya adalah tentang Disparitas Cultus. Saat aku menyebut bahwa aku kuliah di Paramadina, dia langsung bertanya soal pernikahan beda agama yayasan Paramadina. Aku tak tahu banyak soal pernikahan beda agama di yayasan. Jadi aku berjanji padanya untuk mencarikan info seputar itu.
Romo Kris lah yang memberi penjelasan padaku bahwa di dalam gereja Katolik memang tak ada perceraian. Adanya pembatalan pernikahan yang harus diurus sampai Vatican. Seseorang yang beragama non Katolik yang pernah menikah sebelumnya, lalu bercerai baik secara agama maupun secara negara tidak dapat lagi menikah dengan seorang Katolik karena punya halangan pernikahan. Makanya, salah satu fungsi diumumkannya pernikahan setelah Misa, selama tiga kali Misa adalah untuk mendeteksi adanya halangan pernikahan itu tadi.
Aku bercerita kepada Romo Broto soal sedikit interaksiku dengan Romo Kris yang mengenalkan aku pada konsep disparitas kultus. Dia tampak girang.
"Walaupun satu kampung sudah tahu bahwa calon mempelai belum pernah menikah, kesaksian kanonik ini tetap harus dilakukan. Ini sebagai formalitas saja." Lanjut Ketua Paroki Katedral ini.
Di tengah diskusi singkat kami, Romo memujiku dengan berkata, "Wah, kamu sudah banyak tahu Katolik."
Aku tersenyum geli.
Sebenarnya aku tak banyak tahu soal Katolik. Seorang kawan yang mengaku sebagai Katolik sesat karena tak beribadah lagi ke Gereja pernah memberikan banyak penjelasan soal kekatolikan padaku sebagai bahan riset. Selain itu, aku sering berdiskusi dengan Romo dan Frater kenalanku dan membanding-bandingkan penjelasan mereka dengan tradisi agama Samawi yang ada.
Tentu saja aku masih sering bingung dengan istilah-istilah spesifik yang dipakai orang Katolik. Jelas banyak sekali hal yang belum aku tahu soal agama lain. Bahkan aku baru tahu kalau di Katolik sunat untuk lelaki itu bukan sebuah keharusan setelah nonton film bareng di kampus yang memuat sebagian sejarah gereja Katolik abad pertengahan. Tentu saja, tidak penting untuk mengetahui apakah pengikut agama tertentu punya tradisi sunat untuk lelakinya atau tidak. Tapi, aku akhirnya paham bahwa ternyata aku tidak banyak tahu.
Mengetahui ketidaktahuan adalah sebuah pengetahuan yang berharga juga.
Hanya 5 menit waktu yang dibutuhkan untuk jadi seorang saksi Kanonik. Tunangan sahabatku bilang, waktu yang dibutuhkan tiap orang beda-beda. Tergantung Romonya juga.
Tunangan sahabatku heran, kenapa beberapa kali terdengar tawa kami.
"Kamu becandain Romo ya Ban?" Tanyanya.
Aku menggeleng. Memang ada banyak lelucon yang menyenangkan selama kami ngobrol dengan Romo sambil mengisi formulir tadi.
Sangat berbeda saat sahabat dan tunangannya menghadapi Romo. Suasananya serius. Mereka bilang, mereka ditanyai Romo dengan hal-hal yang sudah mereka pelajari saat Kursus Pernikahan.
Aku sempat bertanya pada tunangan sahabatku, kenapa dia tak membawa saksi Kanonik juga. Dia jawab, "Saksi Kanonik itu cuma dibutuhin calon mempelai non Katolik. Data diriku kan udah ada di parokiku."
Oh, begitu. Tuh kan, aku baru tahu.
Bagiku, mereka pasangan yang lucu, saling melengkapi dan menjaga. Tunangannya selalu menyarankan sahabatku untuk konsisten berjilbab. Sahabatku sering meminta tunangannya untuk membawa serta dirinya tiap Misa. Aku berbahagia untuk mereka.
Tentu saja, pernikahan beda agama masih jadi pro dan kontra di kalangan umat beragama. Keluarga sahabatku juga masih banyak yang menentang terjadinya pernikahan tersebut. Tapi, ayah sahabatku sungguh hebat. Dia berani pasang badan demi kebahagiaan anaknya. Dengan senang hati, ayahnya mengantarkan anaknya menikah di Gereja Katolik tanpa perlu pindah agama. Dulunya, ayahnya adalah seorang Kristen Protestan yang masuk Islam karena menikah dengan ibunya.
Aku mengikuti perjalanan cinta mereka. Beberapa kali, aku ikut membantu untuk menjawab setiap pertanyaan dan hujatan dari keluarga yang menentang pernikahan mereka.
Seorang yang sedang berusaha mengikuti laku sebagai seorang Sophia Perennis sepertiku, memang tidak memiliki masalah yang ada hubungannya dengan syariat pernikahan beda agama. Tentu saja, ada banyak sekali orang yang bilang betapa salahnya pandanganku. Betapa kelirunya pilihan hidup yang aku pilih.
Tapi, aku meyakini, bukankah tiap orang sedang menjalani Dharmanya masing-masing? Jika memungkiri konsekuensi pengetahuanku, alih-alih menjalankan dharma, aku malah menjalankan adharma.
Aku menerima risiko apa kata orang terhadap apa yang aku lakukan dengan hati gembira. Aku memaklumi, beberapa orang yang menghujatku memang senang menjadi juru bicara kebenaran "tuhan" yang diyakininya. Aku sih tak pernah memaksa mereka meyakini apa yang aku yakini.
Orang yang pernah dekat denganku pernah cerita bahwa beberapa kali dia berpisah karena agama dengan orang yang dia cintai. Aku sangat sedih mendengarnya. Rasanya aku ingin hadir di masa lalunya dan meyakinkan orang yang dicintainya agar tak perlu merasa berdosa mencintai orang yang berbeda iman. Cinta itu indah. Agama dan kasih Tuhan juga indah. Keindahan hanya akan bersatu dengan sesamanya. Kenapa harus ada perpisahan karena agama?
Yang aku yakini, Tuhan yang disebut dengan berbagai nama, Tuhan seluruh umat manusia, telah memberikan potensi cinta pada siapa saja tanpa memandang agamanya apa.
Kita hanya perlu menjaga pijarnya, agar jadi terang bagi sesama.
Sabtu, 16 Mei 2015
Musimnya Bisnis Muslim Musliman
Selain munculnya kost muslim, ada pula kost yang menolak mahasiswa dari Indonesia Timur. Berkat sikap eksklusif orang Islam dan Jawa, Non Muslim dan Orang Timur sulit mencari kostan.
Fenomena itu ada juga di Solo, dan aku yakin ada di banyak kota lainnya. Kost khusus Muslim dan Muslimah bermunculan dengan berbagai aturan yang sangat ketat soal lelaki dan perempuan, jam malam, dan sebagainya.
![]() |
Buat apa? |
Bayangkan jika di sebuah kota mulai bermunculan Kost khusus Islam, Kost khusus Katolik, Kost Khusus Kristen, Kost khusus Budha, Kost khusus Hindu, dsb. Kapan umat beragama bisa berdampingan dalam satu rumah nantinya? Tanpa berhubungan baik dengan yang beda pandangan agama, susah untuk berprasangka baik kepada hal yang berbeda. Intoleran jadinya.
Hitung saja dirimu sendiri, berapa teman beda agama yang kamu kenal? Berapa yang bisa benar-benar akrab?
Jika konon agama yang dianut adalah agama sempurna, dan umatnya jadi mayoritas, kenapa mentalnya begitu insecure? Gampang amat merasa terganggu sama umat agama lain. Kalau emang sempurna dan jumlahnya banyak, mestinya lebih tangguh, bisa jadi pelindung yang lemah, bisa membuktikan bahwa agamanya adalah agama yang membawa kabar gembira.
Kalau mau bawa nama Islam, mestinya diwujudkan dengan keberpihakan kepada orang miskin, penolong mereka yang tak punya rumah, penghormatan kepada perempuan, perlindungan kepada Non Muslim, dan hormati Hak Asasi Manusia yang telah ada di Piagam Madinah jaman Rasul. Mau sampai kapan sih agama ini dijadikan alat kekuasaan, ngurusi privasi orang, nyerewetin persoalan kelamin, dan hal printilan yang mestinya jadi urusannya individu sama Tuhannya?
Ini yang dibahas baru soal kost berlabel khusus Muslim. Masih ada lagi komoditas bisnis lain yang jualan agama sebagai daya tarik. Bank, Hotel, Perumahan, Bimbel, Fitnes, Laundry, dsb. Seolah mengemban label Islam itu gampang. Justru karena mengklaim jadi agama sempurna, maka beban yang ditanggung umat Islam jadi lebih berat. Malu kalau bawa nama Islam tapi bikin sistem yang merugikan orang lain.
Hypatia -filsuf perempuan yang akhirnya dibakar oleh orang-orang Kristen Alexandria- berkata pada para pejabat yang sedang ingin mengkristenkan semua penduduk, "Jika agama baru ini (Kristen, atau yang saat ini dikenal dengan Katolik) memang sebuah kebenaran, apakah perang agama ini adalah bukti bahwa agama ini akan menjadi lebih baik dari Agama sebelumnya (Yahudi dan Penyembah Dewa Yunani)?"
Mestinya bisa belajar dari agama sebelumnya. Tapi ya gitu, sibuk urusi masalah printilan yang sebenernya otomatis bisa harmonis kalau sistem yang dibangunnya bener.
Kita sudahi saja sesi curcol dini hari ini.
Sekian.
Sabtu, 31 Januari 2015
Literasi dalam Berislam
Beberapa waktu lalu saya hadir di sebuah acara Sastra. Musisi yang hadir di acara tersebut menampilkan beberapa musikalisasi puisi yang menurut saya cukup bagus. Saya berbisik ke kawan yang duduk di sebelah, “Puisinya bagus ya?”
“Biasa aja sih sebenarnya.” Katanya,
Saya mempertajam pandang pandangan mata. Tak juga menemukan apapun yang biasa di lirik itu.
"Coba perhatikan bait dan caranya mengawali kalimat. Puisi itu ditulis dengan gaya yang mirip dengan puisi Sapardi yang ‘Aku Ingin’. Memang tampak lebih bagus setelah dimusikalisasi.”
Saya kembali memperhatikan bait demi bait yang terpampang di layar. Oh iya, benar juga. Kalau tidak diberitahu, mungkin saya tak akan menyadarinya. Kawan saya ini adalah seorang editor sastra yang sudah mendidik selera maupun kepekaannya terhadap karya yang benar-benar bagus. Saya tak punya kepekaan semacam itu karena selama ini hanya memosisikan diri sebagai penikmat sastra yang paling banter hanya memperhatikan diksi dan mencerna makna. Pertimbangan saya sebagai penikmat hanya sampai pada ketersampaian pesan dan kedekatannya dengan perjalanan hidup saya.
Pertimbangan seorang editor mencakup hampir segala aspek.
Ketika saya bilang padanya bahwa saya tak punya kepekaan semacam itu, kawan saya bilang, “Bisa dilatih kok.”
Dia benar. Kepekaan seperti itu bisa dilatih.
Seperti itulah literasi.
Kita mendidik diri kita dengan selera yang bagus. Meneliti dan membandingkan segala pilihan yang ada di depan mata. Memilih yang terbaik sambil menemukan alasan paling masuk akal kenapa kita sebuat itu bagus dan menyebut yang tidak kita pilih sebagai biasa, atau jelek.
Selama ini budaya literasi sering dikaitkan hanya seputar baca dan tulis. UNESCO sendiri membuat definisi bahwa literasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, mengintepretasi, menciptakan, mengkomunikasikan dan memperhitungkan sesuatu dari sebuah teks ke berbagai variasi konteks. Khusus untuk bagian ini, terimakasih kepada ensiklopedia gratis kesayangan kita semua, Wikipedia.
Saya adalah orang yang meyakini bahwa dalam seluruh aspek hidup kita yang berisi pilihan-pilihan ini, pada dasarnya merupakan kerja-kerja literasi. Bahkan hingga ke hal yang paling sederhana sekalipun.
Misalnya, saat ingin makan Sate Ayam, pilihan nomer satu di kepala saya adalah Sate Pasar Santa. Saat ingin memilih OS komputer, pilihan utama saya adalah Linux diantara Windows dan Apple. Dalam memilih film yang akan ditonton di bioskop, biasanya pertimbangan rating, pemain dan sutradara muncul. Bahkan dalam memilih pasangan, hubungan sebelumnya akan memunculkan sebuah standar baru untuk hubungan selanjutnya karena kita sudah banyak belajar dari kesalahan. Untuk poin yang terakhir ini, maaf maaf aja ya buat yang belum pernah punya hubungan sebelumnya.
Saat membaca kata-kata Bill Kovach yang berbunyi, “Journalism is the closest thing I have to a religion,” saya langsung mengingat proses verifikasi hadits yang sangat rumit. Ada banyak teks, pendalaman bahasa, penalaran, verifikasi data dan sejumlah pekerjaan rumit lain yang hasil akhirnya menghasilkan kualitas hadits dengan label Shahih, Dhaif, dan Hasan. Adalah hal yang sangat biasa jika ahli hadist satu dengan yang lain akhirnya memberi label berbeda pada satu hadits. Ada ulama yang menilai bahwa satu buku hadits itu seluruhnya shahih, ada yang berpendapat dalam kitab yang shahih itu, masih terdapat hadist dhaif di sana sini. Ulama yang mengumpulkan dan mempelajari hadits telah melakukan kerja-kerja literasi, umat beragama yang mengonsumsinya juga melakukan proses literasi tersendiri dalam memilih versi ulama mana yang akan dijadikan pedoman hidup sehari-hari.
Belum lagi jika kita bicara mengenai penafsiran al Quran maupun fiqih dengan berbagai mazhab Islam yang berbeda. Perdebatan para Ulama hebat dari ribuan tahun yang lalu rasanya belum juga selesai karena perdebatan itu diteruskan oleh orang-orang awam yang tidak hobi membaca perdebatan keagamaan di masa lalu. Semua ilmu ini yang sumbernya teks ini disebut Ilmu Kalam. Ilmu kalam yang menyumbang banyak untuk perkembangan peradaban manusia ini kadang digunakan sebagai alat perang sebagai sebuah pembenaran alih alih sebuah kebenaran.
Perdebatan kalam ini seringkali melahirkan generasi dogmatis yang merasa paling benar saat menafsirkan teks. Bukan hanya merasa paling benar. Tapi mulai memaksa yang lainnya untuk mempercayai apa yang mereka imani.
Saya percaya bahwa kebenaran itu absolut. Tapi persepsi kita terhadap kebenaran inilah yang relatif. Tindakan ngotot merasa memegang tafsir paling benar ini sama saja dengan menyamakan kedudukan dirinya sendiri sejejar dengan Nabi. Karena hanya Sang Penerima Wahyu lah yang dianugerahi kecerdasan sebagai yang paling mengetahui maksud Tuhan dalam ayatNya.
“Aku melihat ada Islam di Barat tapi tak ada muslim. Dan ada Muslim di Arab, tapi tak ada Islamnya.” Muhammad Abduh melihat bahwa Islam secara general adalah sebuah kata sifat daripada kata yang merujuk pada Agama. Mereka yang berislam, belum tentu muslim.
Secara garis besar, Islam Mazhab apapun akan sepakat bahwa Islam adalah Rahmatallil ‘alamin. Saat beberapa orang membawa Islam yang ramah, yang lainnya membawa Islam yang lemah nan insecure.
Katakanlah, seseorang tak tahu ilmu hadist sama sekali untuk melakukan verifikasi shahih atau tidaknya sebuah hadist. Tapi ia memiliki budaya literasi. Jika menemui hadist Abu Dawud yang berbunyi, “Barangsiapa meniru suatu kaum, maka termasuk golongan mereka,” minimal ia tak akan panik takut keluar dari Islam secara otomatis begitu dia meniru kaum non Islam. Karena hadist itu biasanya digunakan sebagai dalil larangan untuk mengucapkan selamat atas hari raya untuk umat beragama lain, larangan pakai topi sinterklas, pemakaian Hijab dan sederet pelarangan yang dibuat dengan argumentasi yang dangkal.
Karena boleh atau tidaknya ucapan Natal sudah jadi tema perdebatan musiman setiap tahun, maka saya tidak akan membahasnya lagi. Menghabiskan energi. Lagipula orang yang melarang ucapan selamat itu belum tentu tahu kalau Hari Natal 25 Desember adalah hari rayanya umat Katolik, karena Kristen tidak menentukan tanggal pasti kelahiran Yesus selain bahwa Yesus lahir antara tanggal Desember-Januari.
Katolik juga tidak pernah menggambarkan Santa Claus sebagai sosok gemuk seperti yang kita lihat karena tokoh yang sebenarnya bernama Santa Nikolas ini aslinya adalah seorang bertubuh kurus yang membagikan hadiah pada anak-anak dari pintu ke pintu. Ada banyak gereja Katolik yang tidak menggunakan Santa Claus edisi gendut sebagai simbol natal. Sosok gendut dengan kereta salju, baju dan topi merah putih khas natal itu sesungguhnya adalah penggambaran Santa Claus di iklan Coca Cola pada 1881. Jadi, kalau ada pelarangan memakai topi Santa Claus dengan dalil hadist di atas, mungkin karena si Uni tidak ingin kalian jadi generasi Coca Cola. Barangkali kalau Pepsi yang akan membuat Santa Claus, pasti seragam Santa bukan merah putih, tapi biru.
Sekarang soal Jilbab. Jilbab ini sudah menjadi identitas banyak umat beragama lain seperti Biarawati Kristen Ortodoks Yunani, Biarawati Kristen Koptik, Yahudi Ultra Ortodoks, Biarawati Katolik, beberapa Zoroaster dan kelompok beragama lain yang menggunakan tutup kepala serupa model hijab walau disebut dengan nama yang berbeda-beda. Sama halnya seperti mbak-mbak Hijabers yang tampil dengan berbagai gaya. Lalu jika hadist di atas menjadi sandaran hukum, apakah lantas orang Islam itu serupa Yahudi, Nasrani dan Zoroaster? Takut nanti kurang Syar’I jika hijabnya kurang begini dan begitu. Tentu boleh-boleh saja memakai jilbab model apapun. Tapi jika sampai melabeli yang ini Syar’I dan yang itu tak Syar’I, maka seseorang sudah menganggap dirinya yang paling tahu tentang maksud Tuhan. Lagipula, yang diajarkan dalam Islam adalah kesederhanaan seperti yang dicontohkan oleh keluarga Nabi. Dalam hal ini, tidak ada perdebatan karena semua sepakat bahwa Nabi tidak pernah bermewah-mewahan.
Terlalu mudah diprovokasi dengan isu adalah salah satu ciri lemahnya kemampuan literasi seseorang. Terlalu cepat menghakimi tanpa jalur silogisme yang benar adalah ciri kebodohan.
Beberapa argumentasi sekilas terlihat sangat ilahiah karena bersandar pada dalil-dalil. Jika punya kendala teknis seputar teks sehingga tidak bisa mencari dalil bantahannya, maka masih bisa digunakan jalur lainnya. Lagipula, bisa bahasa Arab dan bisa mengakses banyak kitab penting dalam agama sama sekali tidak menjamin bahwa seseorang akan berpikir dengan silogisme benar soal agama. Buktinya, ada Fatwa yang dikeluarkan oleh kumpulan Ulama Saudi dan Dubai yang dirilis Febuari 2014 lalu soal larangan untuk tinggal di Planet Mars. Mereka bilang tinggal di Mars itu sama saja dengan usaha bunuh diri dan bunuh diri dilarang oleh agama. Itu pun baru satu dari 2 juta fatwa yang diproduksi ulama tersebut sejak 2008.
Lebih baik susah-susah belajar supaya bisa bertindak simple daripada malas belajar tapi gampang dibikin ribet.
Almarhum Gusdur adalah contoh Ulama yang mau belajar dengan tekun untuk bisa bertindak dengan simpel. Saya membayangkan, jika beliau sampai dengar fatwa itu, Ia akan tertawa sambil berkata, “Kamu mau tinggal di Mars? Gitu aja kok repot!”
Agama yang saat ini kita pilih adalah hasil dari belajar, merenung, berefleksi, mengkaji, mengomparasikan satu dengan yang lainnya, dan terus disesuaikan sesuai dengan semangat jaman
Jika Pram bilang Hidup itu sederhana, yang rumit hanya tafsir-tafsirnya. Maka saya ingin bilang bahwa Beragama itu sederhana, yang rumit hanyalah tafsir-tafsirnya.
Senin, 26 Januari 2015
Di antara Islam yang Lebih "Islam"
Seorang kawan berkata padaku kalau dia sedang berminat untuk jadi mualaf. Dia bilang, ajaran al Qur'an sebenarnya bagus. Makanya dia tertarik.
Kami berdiskusi soal keinginannya itu, walaupun tidak lama karena keterbatasan waktu dan padatnya aktivitas.
Di sini, aku menuliskan tanggapanku terhadapnya sambil menambahkan hal-hal yang belum sempat kita bahas saat itu. Kemudian mengirim ini ke emailnya. Tentu saja, aku harus merahasiakan identitasnya demi keamanan.
--
Seperti pembicaraan kita saat itu, aku masih memintamu untuk memikirkan ulang keinginanmu sebagai mualaf sebelum mempelajari betul-betul ajaran Islam.
Saat seseorang masuk ke dalam sebuah agama, katakanlah Islam, akan ada orang-orang yang mengajak untuk lebih berislam daripada orang Islam lainnya. Sebagai contoh, fenomena yang ada di 2 mazhab besar Islam. Di tubuh Sunni Ahlussunah Wal Jamaah dan Syiah Imamiyah.
Ketika seseorang memutuskan untuk jadi Sunni, maka akan ada orang yang mengajak untuk meninggalkan segala bid'ah, ada yang mengajak kita untuk mendirikan negara Islam, ada yang sedikit-sedikit mewaspadai aliran agama lain yang dianggap sesat, ada yang mengajak berjihad dengan pedang, ada yang mengatur cara berpakaian sedemikian ketat dan ada juga yang berislam dengan tradisi-tradisi yang ada sesuai dengan kultur masyarakat.
Ada yang lebih sibuk membangun masjid di mana-mana sedangkan banyak umat lainnya miskin tanpa tempat tinggal. Mereka tidak boleh tinggal di Rumah Tuhan itu, mungkin dipikirnya Tuhan akan marah kalau ada orang miskin yang tidur di sana. Tapi, jika ada umat agama lain membantu orang miskin beragama Islam, akan ada isu soal Kristenisasi, Hinduisasi, Budhaisasi dan lain-lain yang menyeruak. Serba salah ya? Hal ini kelihatannya buruk, kamu boleh menduga bahwa mungkin saja hal ini tidak ada dalam Islam yang sebenarnya. Tapi fenomena ini memang ada di Islam. Apa boleh buat?
Untuk perempuan, Islam akan tampilo lebih rumit lagi. Setelah menyatakan keislamanmu, kamu akan diajak banyak orang untuk berjilbab. Berjilbab saja tidak cukup, akan ada yang mengajak lagi untuk berjilbab syar'i dengan kain yang lebih panjang. Jika kamu menuruti hal itu, tetap akan ada saja ajakan untuk lebih "Islami" lagi dengan penggunaan cadar.
Apakah sudah selesai? Tidak. Ada kok yang melarang perempuan untuk memakai kosmetik jika tidak ada cap halal MUI nya sekalipun lembaga MUI ini bukan lembaga yang cukup kredibel sebagai rujukan dalam beragama. MUI tak puas menjadi lembaga yang memberi cap halal, karena mereka juga memberi cap sesat juga untuk aliran tertentu. Ada juga yang justru melarang sama sekali penggunaan kosmetik kecuali di depan suami.
Dari itu semua, ada NU yang menyampirkan kerudung saja sudah cukup untuk bisa disebut muslimah. Tapi kamu lihat sendiri, ada banyak orang Islam yang tidak berjilbab dan mereka masih muslimah.
Jika memutuskan untuk menjadi Syiah, kamu akan disodori versi sejarah yang berbeda dengan buku sejarah versi umum. Setelah mencintai Nabi dan keluarganya, akan ada saja kelompok yang menganggap bahwa kamu belum Syiah. Sekalipun ada puisi dari Imam Syafii yang bilang "Jika mencintai keluarga Nabi dianggap Syiah, maka saksikanlah bahwa aku adalah Syiah." Kamu akan diajak belajar Fiqih. Fiqih ini akan mengantarkanmu pada pilihan marja'. Marja' ini adalah ulama yang menjadi rujukan hukum fiqih sehari-harimu. Tak perlu pusing. Semuanya bisa dipelajari.
Jika kamu mencintai Nabi dan Keluarganya, akan ada saja golongan Syiah yang menganggap bahwa kamu belum benar-benar Syiah jika belum bermarja'. Ada lagi yang bahkan menghukumi bahwa kamu itu belum Syiah jika belum berwilayatul Faqih pada Rahbar yang di Iran sana. Belum lagi, Syiah yang tidak sekuler ini membuatmu punya sikap politik seperti anti Amerika, pro Palestina, Anti Zionist, mendukung Hizbullah dll. Seperti halnya di Katolik, Syiah juga menganut hierarki keilmuan. Kamu akan melihat bahwa umat Syiah yang lebih Syiah itu akan menurut total pada ustad, ulama, marja' dan lain-lain. Kamu akan jarang menemui ada orang Syiah yang memiliki pandangan berbeda dengan ustad/ulama yang diikutinya.
Jika orang Sunni sibuk membangun masjid, beberapa orang Syiah akan sibuk berziarah ke luar negeri, terutama Irak dan Iran dengan biaya ribuan dolar. Kita harus maklum karena barangkali mereka tidak tahu bahwa ada orang miskin yang barangkali lebih membutuhkan uang mereka. Orang-orang miskin ini adalah orang-orang yang dicintai oleh Nabi dan para Ahlulbaytnya.
Filsafat juga ada sebagai kekayaan intelektual dalam peradaban Syiah. Kebanyakan orang bilang, filsafat Islam itu lebih susah dari filsafat barat. Makanya banyak orang Syiah sendiri malas belajar filsafat. Lebih suka sama pelajaran Sejarah dan Fiqih supaya bisa dipakai debat. Kalau debat lalu menang kan lebih mudah disebut pintar daripada harus susah-susah belajar filsafat. Al Qurannya sama kayak Sunni kok, jangan khawatir. Yang kamu baca di internet soal Al Qur'an Syiah dan Sunni berbeda itu salah semua.
Kamu pusing sama semua soal Sunni dan Syiah ini? Tenang. Nanti bisa dipelajari. Itu pun kalau kamu penasaran.
Beberapa ulama sudah mengupayakan supaya ada persaudaraan Sunni dan Syiah. Mengecilkan perbedaan, memperbanyak persamaan. Namun, ada juga ulama yang justru membuat Sunni dan Syiah ini ribut terus. Semuanya juga mendaku sebagai Islam yang benar. Yang katanya Rahmatallil alamin. Islam yang damai dan penuh kasih sayang. Islam cinta. Katanya.
Tidak adanya dialog dan niat mempelajari ajaran agama tertentu membawa prasangka aneh-aneh pada umat beragama. Akhirnya mereka mudah untuk diprovokasi dengan kebencian dan pikiran sektarian.
Nah, kalau kamu mau jadi mualaf, kamu harus belajar tentang ini semua. Kamu juga harus memastikan bahwa ajaran lamamu sudah benar-benar dipelajari dan kamu menemui kebuntuan di dalamnya. Soalnya, maaf saja, ada banyak orang memutuskan keluar dari agamanya hanya karena trauma sama tingkah orang-orang beragama dalam lingkarannya. Sehingga dia ingin ganti suasana dengan lingkaran barunya.
Aku sih yakin ya, antara ajaran agama dan pengikut agama itu adalah hal yang berbeda. Misalnya tidak ada ajaran agama yang memperbolehkan korupsi. Tapi kok ada petinggi agama yang korupsi? Itu terjadinya karena dia tidak menjalani konsekuensi logis keberagamaannya. Bukan karena dia sebagai penganut agama tertentu.
Suatu hari, jika kamu sudah mulai belajar ajaran Islam, kamu akan menemui banyak hal-hal baik yang diajarkan di dalamnya. Seperti halnya jika kamu belajar agama lainnya. Kamu juga bisa mencocokkan apakah ajaran yang ada bisa diterapkan umatnya. Jika kamu menemui bahwa hal-hal luhur dalam ajaran agama ternyata tidak bisa diterapkan umatnya, agama ini nasibnya akan seperti paham-paham ideologi yang akhirnya dianggap konsep utopia semata.
Bukannya menghalangimu untuk menjadi mualaf. Tapi di Islam, beberapa mualaf lebih sibuk menjelekkan agama lamanya daripada belajar Islam dengan baik. Ada juga yang hobi mengajak anak-anak muda untuk mendirikan negara Islam karena konon nasionalisme itu tak ada dalilnya sambil jualan hijab syar'i tanpa selfie. Ada juga mualaf yang hobi mengomentari persoalan politik di sosial medianya sekalipun dengan segambreng fallacy yang hanya bisa diketahui oleh orang yang mau repot-repot belajar logika.
Ada juga mualaf keren seperti Frithjof Schuon dan Rene Guenon yang mengabdikan diri sepenuhnya pada filsafat dan tasawuf. Mereka bisa bicara seni, tradisi, kosmologi, cinta, dan lain-lainnya. Pengetahuan mereka indah sekali.
Kamu sendiri mau jadi mualaf seperti apa? Ada banyak pilihan. Kamu memang bebas memilih, tapi kamu tak bisa bebas dari konsekuensinya.
Kalau ini membuatmu bingung, maka kamu tidak sendiri. Ada banyak orang Islam yang lahir di keluarga Islam dan memeluk agama Islam sejak kecil yang masih bingung mereka ada di Islam sebelah mana. Jika menyebut Islam yang biasa-biasa saja, mungkin yang dimaksud adalah Islam yang biasa ada di masyarakatnya. Jika masyarakatnya kebanyakan adalah NU, maka dia jadi Islam NU, jika kebanyakan di sana adalah Muhammadiyah, maka dia adalah Muhammadiyah. Mendefinisikan Islam yang biasa-biasa saja sendiri agak sulit bagi semua orang. Beberapa orang tak sempat memilih mazhabnya karena hanya tahu satu mazhab dalam beragama. Jika dia lahir di Iran yang kebanyakan Syiah, dia akan jadi Syiah dengan tata cara shalat seperti Syiah. Jika dia lahir di Indoneesia uang kebanyakan Sunni, maka dia akan jadi Sunni dengan tata cara shalat ala Sunni. Kebanyakan orang beragama sesuai dengan agama yang dianut orangtuanya.
Berpikir, merenung, berefleksi, kemudian mengaplikasikannya ke kehidupan sehari-hari memang bukan hal yang mudah. Tapi jika pengikut agama tak melakukannya, maka dia hanya akan jadi bigot-bigot yang mendaku sebagai pemilik sah kebenaran.
Bayangkan saja, apakah Nabi Muhammad akan membuat umatnya bingung dengan detail-detail keagamaan yang ada saat ini? Apakah beliau jadi orang yang mudah mengkafirkan orang lain ataukah sosok penuh kasih yang menggerakkan umat untuk berpihak pada orang miskin. Bayangkan jika Nabi Muhammad hidup di jaman sekarang, apakah Ia akan mengajak umat sibuk dengan ritual ibadah pribadi yang penuh aturan halal haram atau justru mengajak umat mengurusi hal-hal terkait perubahan sosial di masyarakat? Jangan-jangan malah keduanya?
Aku lampirkan gambar satire cover majalah Charlie Hebdo yang kontroversial itu. Di sini seolah Nabi berkata, "Susahnya punya umat yang bodoh…" Kamu bisa menyimpulkan, apakah gambar ini menghina Nabi Muhammad ataukah menyindir pengikut ajaran Nabi Muhanmad. Kalau aku sih tersindir. Rasanya mak jleb gitu deh. Soalnya sebagai pengikut Nabi Muhammad, aku pun masih bodoh dan payah. Aku juga khawatir kalau Nabi Muhammad benar-benar malu punya umat sepertiku. Soal larangan penggambaran sosok Nabi, itu hal yang debatable dalam Sunni maupun Syiah. Jika aku menggambar sosok unyil berudel bodong dan menuliskannya sebagai sosokmu, bukan berarti itu memang gambaran tentangmu. Masak kamu mau marah, sensitif amat. Bukankah puncak dari komedi adalah menertawakan diri sendiri? Aku memilih untuk membela Nabi dengan menjaga nama baiknya sebagai penyebar kedamaian semampuku daripada sebagai pengecam atau pembunuh orang-orang yang menghinanya.
Selamat menjelajah ya…
Salam,
Banu
Rabu, 14 Januari 2015
Kongres Ketuhanan
Atheist Rasionalist kepada Blaise Pascal :
Tuhan itu tidak ada. Ibadah itu sia-sia.
Blaise Pascal kepada Atheist : Kalau aku mati, dan ternyata di akhirat tidak ada Tuhan, aku tidak rugi karena telah beribadah dan berbuat baik sesuai dengan ajaran Tuhan. Dengan mengimani Tuhan, nanti saat mati aku bisa bergabung denganNya. Dengan berbuat baik, aku membahagiakan orang-orang disekitarku. Berbeda denganmu, jika kau mati dan ternyata di sana ada Tuhan, maka kau rugi karena terlanjur tidak pernah beribadah kepadaNya.
Polytheist kepada Pascal : Baiklah Pascal, kita sepakat bahwa Tuhan itu ada. Tapi, kamu tetap bakalan tekor. Coba kamu pikir, bagaimana kalau ternyata kamu menyembah Tuhan yang salah karena Tuhan yang kamu pikir menjanjikan keselamatan itu cuma berdiam di satu gereja? Jangan salahkan siapapun kalau akhirnya kamu stuck sama satu Tuhan yang belum tentu bener itu. Kalau sampai salah sasaran pas nyembah Tuhan, pas kamu meninggal gabungnya bakal sama orang yang kamu sebut Atheist Rationalist itu. Tuhan yang sebenarnya bisa jadi ngerasa nggak pernah kamu sembah. Mendingan aku dong, nyembah banyak Tuhan sambil berbuat baik sesuai dengan perintah para Tuhan. Setidaknya aku memperkecil prosentase salah sasaran pas beribadah ke Tuhan. Siapa tahu dari sekian banyak Tuhan yang aku yakini, ada 1 yang benar.
Scriptualis kepada Mereka : Guys Guys, jadi gini guys. Nggak perlu ngobrolin Tuhan. Dia itu Maha Besar. Lebih besar dari otak dan jangkauan pikir kalian. Nah, udah pada bisa baca kan? Udah, imani aja apa yang ada di kitab suci. Iman akan menyelamatkan kalian dengan sendirinya. Nggak usah mikir berat-berat. Nanti pada gila. Nggak perlu mempermasalahkan hal yang udah jelas dalilnya. Kitab nggak mungkin salah. Itukan SabdaNya. Adanya alam semesta ini itu udah jadi bukti kuat kalau Tuhan itu ada.
Habermas kepada Scriptualis : Dalilnya jelas gimana? Menurut lu fungsinya ilmu hermeneutik itu apa? Ya karena tafsiran sebuah teks itu nggak tunggal. Harus relevan sama konteks saat teks dibuat, dan ditinjau sama konteks kekinian.
Agnostik kepada Mereka : Ada apa sih ribut-ribut soal Tuhan. Gini ya, nggak ada yang benar-benar bisa memverifikasi soal ada atau nggaknya Tuhan. Nggak ada yang menjamin bahwa teks udah ngelewatin proses verifikasi yang bener. Berbuat baik aja sih. Hidup damai sama alam. Coba sini tunjukin siapa yang udah beneran ketemu sama Dia? Nggak ada kan? Percaya sama Tuhan itu hal personal, kalau beriman ya beriman aja, nggak usah koar-koar. Itu pengalaman spiritual pribadi kalian. Nggak usah norak deh ya. Namanya juga pencarian. Soalnya, kalau ada yang ngaku punya otoritas soal Tuhan apalagi sampai berani bilang udah ketemu Tuhan dan segala macemnya, artinya dia apa Freud…?
Freud kepada Agnostik : …orang gilak! Plus kayak anak kecil cemen yang dikit-dikit butuh ngadu ke Bokapnya.
Dijah Yellow kepada Mereka semua : Say No Dangdut, No Agnezmonica, No Raisa, No Ayu Ting Ting, No Syahrini, No Yuna, Say no to them. Say yeah to Dijahyellow I'm Hodijah I'm Not Artis
Freud kepada Dijah Yellow : Diaaaaam!!!
Felix Siaw kepada Mereka : Makanya, saya bilang juga apa, Khilafah adalah Solusi segala permalasahan ini!! Khusus buat Freud, "Udah, putusin aja!"
Yusuf Mansyur untuk Mereka : Yang Solusi atas semuanya adalah Sedekah. Jadi, tolong itu kotak kencrengnya diputerin dulu. Insyaallah Tuhan akan melipat gandakan kebaikan ente semua.
Freud kepada Yusuf Mansyur : Gila apa! Siapa yang mau ada double Dijah Yellow di muka bumi ini. Satu aja udah berisik gini. Ada masalah sama alam bawah sadarmu tuh!
Determinis kepada Mereka : Melihat kalian debat begini indah ya. Kalian nggak sadar apa kalau sesungguhnya debat ini adalah bagian dari takdir Tuhan. Tuhan sudah merencanakan hal ini. Kayaknya aja ini keliatan panas, tapi yakinlah bahwa ada rencana yang indah dibalik ini semua.
Free Will kepada Determinis : Ya terserah kalian aja mau dilanjut apa nggak bahasannya. Kan hidup itu pilihan. Tanggung konsekuensinya aja sih. Kalau selesai ya selesai aja. Tuhan mah nggak ikut campur dalam hal ini. Tuhan punya hal yang lebih besar dan penting untuk dikerjakan daripada soal-soal printilan cem kongres ini. GR banget deh dikit-dikit ngerasa urusannya diikut campurin sama Tuhan. Ntar kalau kena musibah nyalahin Tuhan pulak! Kek gitu mah udah hukum sebab akibat. Kalian bebas milih kok. Kalau mau lanjut ya monggo, tapi konsekuensinya kalau lanjut bahas Tuhan apa Goen? Yang pernah kamu bilang itu lho…
Goenawan Mohamad pada Free Will : …Tuhan dan hal-hal yang tak selesai?
Free Will kepada Goenawan Mohammad : Nah! Iya. Itu!
Sufi pada Mereka semua: Hadirin sekalian, tidak perlu bertengkar. Sesungguhnya Tuhan adalah Cinta. Cinta adalah Tuhan. Apakah kalian bisa merasakan Cinta? Jika tidak, maka hati kalian telah keras. Masih ada jalan untuk melembutkannya kembali.
Chu Pat Kay kepada Sufi : Cinta… Deritanya tiada akhir…
Band Sisir Tanah kepada Chu Pat Kay : Yang wajib dari cinta adalah mesra; Yang wajib dari mesra adalah rasa; Yang wajib dari rasa adalah luka.
Abdul Hadi WM kepada Mereka : Izinkan saya berpuisi untuk menenangkan ini semua; Tuhan, Kita begitu dekat; Sebagai api dengan panas: Aku panas dalam apiMu;
Tukang dagang Minuman : Panas pak? Mangga pak, Mijonnya Mijon Mijon. Yang dingin, yang dingin. Mijonnya pak.
Perenialis pada Mereka : Begini ya kawan-kawan. Kebenaran akan Tuhan itu adalah sebuah konsekuensi logis Cosmos. Dia bagai sumber cahaya, yang sinarnya ditangkap dengan media yang berbeda oleh para umatNya. Apapun medianya toh sumbernya tetap Tuhan. Jika ditanya bagaimana kita bisa tahu mana media itu menampung terang yang berasal dari Tuhan dan mana yang terangnya itu dari bohlam abal-abal? Jawabnya, cari yang ada kesamaan tradisi antar satu media dengan media lainnya. Jadi, pintar-pintar kalian ajalah pilih media penyembahan Tuhan kayak apa. Tergantung kecocokan jiwa kalian aja terhadap yang kalian anut. Orang intelektual itu pasti spiritual. Kalau kalian emang kaum intelek, pasti yang kayak gini udah selesai. Kalau landasan berpikirnya masih justifikasi kitab suci, dijamin deh, sampai kapanpun akan terus berpolemik.
Postmodern kepada Mereka semua : Coba ngana pikir, ngapain kita buang-buang energi ngebahas beginian? Lalu dapat apa di sini? Kalian nggak akan dapat kesimpulanya. Kalaupun dapet kesimpulannya, lalu apa? Setelah ini semua selesai, buat apa? Udah sih, kalian semua itu bener menurut kalian. Segala sesuatu itu sifatnya relatif. Hargai aja.
Gusdur kepada Mereka Semua : Tuhan tak perlu dibela. Gitu aja kok repot!
Selasa, 23 September 2014
Melawan Intoleransi lewat Literasi Media
![]() |
Sebagian Rak Buku di Perpustakaan LKiS |
Aku dan Alesia mendapat jatah magang Yayasan LKiS Yogyakarta selama 3 minggu. Saat itu, kami berdua belum begitu yakin kegiatan apa yang akan kami lakukan di LKiS. Pihak LKiS sendiri mengatakan bahwa yayasan sedang tidak memiliki kegiatan lagi sampai September. Kami berdua harus memikirkan apa yang harus kami lakukan selama 3 minggu di sini.
Aku meminati dunia jurnalistik, media, kebebasan beragama, politik dan HAM. Sebagai mahasiswa S1 Political Science untuk major dan Psychology di Haverford College US, Alesia meminati di politik, psikologi, kebebasan agama, dan HAM. Kami harus mencari sesuatu yang sama sesuai dengan minat kami berdua agar dapat bekerjasama dengan baik selama magang.
Dari obrolan selanjutnya, kami merasa bahwa mengadakan lokakarya literasi media yang berbasis anti intoleransi sepertinya menarik. Mengingat bahwa di Indonesia, agama bukanlah ranah privat sampai-sampai kita harus mencantumkannya dalam kartu identitas. Alesia sempat tidak percaya bahwa di Indonesia, agama yang dianut warga negara juga sempat diwajibkan untuk tertulis di KTP, ia baru percaya setelah aku memperlihatkan KTP ku. Ia tetap beranggapan bahwa seharusnya negara tidak perlu tahu keyakinan paling privat warganya. Aku mengatakan bahwa kekerasan atas nama agama di Indonesia menempati urutan kedua terbanyak setelah konflik agraria. Kami berdua membaca berbagai artikel di internet dan menonton video kekerasan atas nama agama di Youtube. Fakta-fakta soal apa yang terjadi pada minoritas beragama di Indonesia membuatnya merinding. Ia membayangkan jika ia tinggal di Indonesia, pasti ia juga akan mengalami kesulitan-kesulitan beribadah dengan adanya larangan pendirian gereja. Aku menceritakan soal Pendeta Bennhard Maukar dari Kristen Pantekosta Rancaekek yang dipenjara 3 bulan karena dianggap punya gereja yang tak berizin. Sedangkan, mengurus perizinan gereja di wilayah mayoritas Islam itu susahnya minta ampun. Sebagai pengikut Kristen Pantekosta, Alesia jadi sedih mendengarnya. Ia jadi lebih merinding ketika aku menceritakan soal jemaat Ahmadiyah Lombok dan pengikut Syiah Sampang yang terusir dari kampung halamannya. Belum lagi yang terbunuh dan diintimidasi karena dianggap kafir.
Untunglah, para guru tersebut tak butuh penjelasan yang terlalu rinci saat itu juga. Mereka mendaftarkan sekolahnya dalam lokakarya ini karena mereka senang apapun yang membuat para muridnya maju. Aku jadi terharu karena menemui PNS yang mau bekerja dengan maksimal demi siswanya. Selama ini aku sering memandang sebelah mata para PNS yang bekerja asal-asalan dengan gaji tetap beserta berbagai keuntungan pensiuan dan gadai SK di bank.
Rasanya hari berjalan terlalu cepat. Sampai hari kamis minggu pertama, kami belum selesai menyelesaikan materi presentasi. Kami juga menyiapkan jadwal dan isu-isu yang akan dibahas di lokakarya. Untuk menyusun itu semua, kami harus begadang sampai akhir pekan.
Mas Hairul Salim membantu kami mengisi materi terakhir, praktik verifikasi pemberitaan di media lewat fasilitas google image.
Yang membantu kami adalah 2 orang anggota pers mahasiswa dari LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Arena UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mereka bernama Lugas dan Faksi. Lugas adalah Pemimpin Redaksi LPM Arena. Dia lelaki tinggi berwajah manis dengan rambut panjang bergelombang yang tampak pendiam dan cerdas. Selera musiknya juga bagus, ia memberikan rekomendasi musik beraliran Postrock dari youtube yang menjadi musik favorit Alesia menjelang tidur. Sampai hari terakhir di Jogja, Alesia masih tidur sambil menyetel Youtube channel rekomendasi Lugas. How Cute! Faksi adalah anggota LPM Arena yang asalnya dari Madura, Faksi juga manis kok, rambutnya pendek dan sering mengatakan hal-hal lucu di luar dugaan. Sekalipun dia tidak bisa bahasa Inggris dengan lancar, dia selalu berusaha mengajak Alesia bicara dan menceritakan hal-hal yang dianggapnya lucu. Alesia sering bertanya padaku diam-diam, "Dia tadi nyeritain apa sih sebenarnya? Apakah itu benar-benar lucu?" Kami juga sering memainkan namanya dengan ejaan 'Fuck See' alih-alih Faksi sambil bercanda. Saat aku bertanya pada Faksi soal nasib pengikut Syiah Sampang yang terusir dari desanya, Faksi buru-buru membantah keterlibatan dirinya dengan kelompok intoleran di sana. Aku dan Alesia senang bahwa akhirnya kami dibantu oleh 2 orang yang memiliki kepedulian yang sama di bidang kebebasam beragama dan anti intoleransi.
Lugas dan Faksi belum bergabung menjadi mentor di SMA pertama yang kami kunjungi.
Sekolah pertama yang kami kunjungi adalah SMA 1 Piri. Dikutip sepenuhnya dari laman resmi SMA PIRI 1, berdirinya SMA PIRI 1 Yogyakarta tidak dapat lepas dari keberadaan Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) Yogyakarta, yang lahir dari Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) aliran Lahore yang diprakarsai oleh H. Minhadjurrahman Djojosugito. Yang kemudian beliau disebut sebagai Peletak dasar Yayasan PIRI. Sekitar 25an siswa anggota OSIS mengikuti lokakarya kami.
![]() |
Foto Bersama Usai Lokakarya di SMA 2 Wates |
Beritahu juga jika ada komentar maupun saran agar materi literasi media ini lebih efektif untuk diajarkan terutama kepada siswa SMA atau komunitas lainnya. Berikut tautan materi presentasi literasi medianya berbasis kerukunan beragama. Dropboxnya harus di download ya supaya videonya bisa dimainkan Jika ingin membuat lokakarya serupa, kami juga membagikan instrumen praktek literasi media yang masih sangat perlu direvisi. Untuk sesi ini, pengajar literasi media memilih 2 berita dengan topik sama tapi dengan framing pemberitaan yang berbeda dan membedahnya secara kritis. Selain itu, kami juga menyertakan contoh proposal permohonan ijin pengajaran literasi media untuk diberikan ke sekolah, silakan download di sini.
Membuat lokakarya literasi media dalam waktu singkat itu tidak mudah, tapi itu juga bukan sesuatu yang mustahil dilakukan.
Teman-teman juga bisa berdiskusi lebih lanjut soal literasi media dan kaitannya dengan gerakan anti intoleransi beragama denganku via email syaharbanu.ayu@gmail.com.
Sabtu, 16 Agustus 2014
"Bolehkah Saya Memakai Pakaian Rohani?"
Guru memandangi sang murid. Melihatnya dari atas ke bawah, dan menggelengkan kepalanya pelan.
"Tapi kenapa guru?"
Guru tersebut meletakkan kitabnya, berdehem, kemudian menjawab, "Muridku, kita tidak bisa sembarangan memakai pakaian rohani, baik penutup kepala maupun jubah ini. Kau harus menjadi orang yang sangat baik akhlaqnya. Kau juga harus menguasai kitab-kitab tingkat lanjut dahulu. Baru setelah dirasa kau cukup baik mengikuti segala pelajaran agama, kau boleh memakai pakaian rohani."
"Begitukah? Jadi, dalam kata lain, aku belum pantas mengenakan baju rohani karena akhlaq ku masih buruk?"
"Kau hanya perlu menunggu beberapa tahun lagi, semoga nantinya ada peningkatan spiritual sehingga kau benar-benar pantas mengenakannya."
"Baiklah kalau begitu. Tapi, sebelum saya undur diri, bolehkah saya menceritakan sebuah cerita?"
"Silakan..."
"Pada suatu hari saya pergi ke pemandian umum bersama teman-teman. Saat saya membuka baju, teman-teman berkata, 'Astaga Mohsen!!! Badan kamu kotor sekali! Menjijikkan!!' Akhirnya saya memakai baju saya kembali dan mengemasi barang-barang saya. Teman-teman bertanya, 'Lho? Kamu mau ke mana? Tidak jadi mandi?' Saya menjawab, 'Karena badan ku kotor, aku berniat mandi dulu di rumah sebelum berendam bersama kalian di sini. Karena sepertinya yang boleh mandi di sini hanyalah orang-orang yang badannya sudah bersih.' Demikian cerita saya guru..."
Guru merenung dan tersenyum memandangi muridnya.
"Jadi bagaimana?" Desak sang murid.
"Baiklah, kau boleh mendaftarkan dirimu di upacara pemakaian baju rohani besok." Ujarnya sambil tersenyum. "Ngomong-ngomong, apakah ceritamu itu sungguhan?"
"Guru yang mengajarkan saya untuk tidak mudah menyerah. Adapun cerita tersebut, hanya perumpamaan saja."
Murid cerdas tersebut kini telah menjadi ulama besar di Republik Islam Iran. Dia bernama Mohsen Qaraati.
Note :
Cerita ini aku baca sekitar dua tahun lalu. Seorang pelajar agama di Hauzah Ilmiyah Qom, Iran menceritakannya lewat sebuah aplikasi mengobrol sebagai dongeng pengantar tidur. Namun file dongeng sebelum tidur itu hilang. Sehingga aku hanya mengandalkan ingatanku untuk menuliskannya kembali. Sudah lama ingin menulis cerita ini di blog, tapi lupa. Tentu saja ada yang sedikit berubah terutama pada detail cerita. Tapi intinya sama kok. :).
Di Iran, seorang pelajar yang ingin memakai Amameh (penutup kepala mirip surban) dan gamis khas Ulama Iran harus melalui upacara penahbisan khusus. Hanya pelajar-pelajar yang memenuhi syarat yang bisa memakainya sebagai tanda bahwa ia sudah sampai pada tingkatan pelajaran tertentu. Biasanya gelar yang diberikan adalah Hujjatul Islam. Karena untuk menjadi seorang ulama tidak mudah, maka ada banyak pelajar yang berlomba-lomba kecerdasan supaya lolos berbagai ujian agama. Meliputi Fiqih, Ilmu Al Quran, Filsafat maupun Tasawuf/'Irfan. Beda sekali dengan di Indonesia. Asal kamu hafal beberapa ayat Al Quran dan pintar bicara, kamu bisa jadi ustad. Di Indonesia, seseorang bisa menjadi ustad dengan sistem polling SMS. Ketimpangan standarisasi ulama inilah yang membuat banyak sekali orang yang bertindak sewenang-wenang atas nama agama. Karena ia tidak benar-benar memahami agama, atau bisa jadi, sebenarnya ia sama sekali belum pantas menjadi seorang ulama.
Jumat, 13 Juni 2014
Ahmadiyah : "Love for All, Hatred for None"
Ada sebuah kecenderungan bahwa di dunia ini ada banyak orang yang membenci apa yang tidak diketahuinya. Orang yang tidak tahu Syiah akan membenci Syiah. Orang yang tidak tahu Ahmadiyah akan membenci Ahmadiyah dan hal-hal lainnya. Ketidaktahuan membawa seseorang pada perilaku intoleransi. Riset dari Kemenag pada tahun 2010 tentang Kekerasan atas Nama Agama menyimpulkan bahwa semakin sedikit ilmu seseorang tentang agama, semakin membentuk perilaku intoleran. Jadi, silakan bercermin, saat seseorang mengkafirkan orang lain, apakah ilmunya sudah tinggi? Jika ada sebuah lembaga yang mengkafirkan umat beragama lain, apakah ia sudah benar-benar meneliti tentang agama/kepercayaan yang ia kafirkan?
Kata Rumi, dengan mata cinta, segalanya jadi indah. Bagaimana jika kita melihat dengan mata kebencian? Bukankah akan terjadi sebaliknya? Itulah mengapa, sebaiknya orang yang ingin tahu lebih jauh tentang ajaran yang hendak ia tentang mengetahui langsung dari sumber pertama berita. Bukan sekedar kata mereka. Kata ulama. Atau desas desus belaka. Gunakan prinsip verifikasi sekalipun anda bukan jurnalis. Toh agama sudah mengajarkan tentang konsep tabayyun.
![]() |
Di depan masjid dan perpustakaan Masjid Ahmadiyah Arief Rahman Hakim Yogyakarta |
Jamaah Ahmadiyah di masjid ini ramah-ramah. Mereka tidak memandangku dengan aneh saat shalat dengan menggunakan turbah untuk bersujud. Mereka juga tidak mempersoalkan aku yang sholat tanpa bersedekap. Berbeda jika aku shalat di masjid biasa. Orang biasanya akan memandangku dengan aneh dan bertanya ini itu mengenai perbedaan fiqih. Beberapa kali juga pernah langsung dituduh macam-macam hanya karena berbeda dalam fiqih. Bukankah ada perbedaan fiqih juga di tubuh Ahlussunah Waljamaah antara Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali? Sedikit perbedaan itu juga seharusnya bukan sesuatu yang perlu dipertentangkan lebih jauh. Karena sebanyak apapun tafsir maupun intepretasi umat terhadap agama, sumbernya tetap Satu. Kita menyebutnya Tuhan, Allah dan nama-nama Agung lainnya.
Jamaah Ahmadiyah tata cara sholatnya sama seperti Ahlussunah Waljamaah. Dari takbiratul ihram, bersedekap, rukuk, sampai bersujud. Mereka juga bershahadat, melakukan shalat, berpuasa, zakat dan haji. Persis seperti Muslim Sunni. Sayangnya, pemda Tasikmalaya sudah memberlakukan aturan bahwa jamaah Ahmadiyah dilarang melakukan ibadah Haji. Tentu saja ini merupakan pelanggaran terhadap kebebasan melakukan ibadah.
Khatib Shalat Jumat Ahmadiyah siang tadi berbicara tentang pentingnya pertemuan-pertemuan rohani untuk memperkuat silaturahmi antar anggota Ahmadiyah. Tidak ada khotbah kebencian terhadap pengikut aliran lain atau kepada capres tertentu. Wajar, Ahmadiyah memang menjunjung tinggi perdamaian. Di tembok masjid Ahmadiyah ini terpampang motto yang selalu dijunjung tinggi oleh para jamaah Ahmadiyah. "Love for All, Hatred for None."
Siapa yang siang tadi dapet khotbah sholat Jumat yang berisi kebencian dan provokasi? Mau pindah tempat sholat Jumat nggak? :))
PS :
Terimakasih untuk sahabat Ahmadi ku Fatimah Zahrah, yang memperbolehkan aku ikut mengunjungi sekaligus beribadah di masjid Arif Rahman Hakim ini. Terimakasih juga untuk Sita Magfira , mbak-mbak Filsafat UGM yang mau mengantar kami berdua ke masjid ini dan kemana-mana seputar Jogja di tengah kesibukan seputar perkuliahan dan perpacarannya. *peluk satu-satu*
Senin, 19 Mei 2014
Ide Awal Bebas Beragama
Seseorang berhak beragama apapun atau tidak beragama sama sekali. Karena beragama atau tidak adalah konsekuensi logis pengetahuan dan pemahaman kita mengenai kehidupan dengan segala dinamikanya. Ada yang menganut kepercayaan lokal, ada yang menganut agama resmi yang ditetapkan pemerintah,ada yang memilih tidak menganut apapun. Ada yang beragama karena proses pencarian, ada yang beragama karena keturunan dari orang tua, dan berbagai proses lainnya dalam mengenal agama dan meyakininya.
Sebagai warga negara Indonesia, agama, ras, maupun keyakinan apapun berhak mendapatkan perlindungan dari negara.
Kerukunan beragama yang dicanangkan oleh SBY mengakibatkan adanya konflik horizontal dan sekat-sekat antara mayoritas dan minoritas. Ada lembaga-lembaga yang dibuat untuk mempersulit kehidupan beragama kaum minoritas dan segudang aturan konyol lain untuk "menertibkan" ajaran yang menurut lembaga terkait "sesat" maupun "menyimpang". Hal ini sangat berbahaya karena dapat menjadi sebuah pembenaran adanya kekerasan.
Menurut penelitian kementrian agama (Bashori A. Hakim : 2010), kekerasan atas nama agama dapat mencakup:
- Kekerasan yang dilakukan individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok, baik dari kelompok agama yang sama atau kelompok agama yang berbeda, baik yang didorong oleh motivasi keagamaan maupun faktor yang lain
- Kekerasan yang dilakukan individu atau kelompok dengan cara mengucilkan, mengintimidasi, atau mengusir kelompok lain yang memiliki keyakinan agama yang dianggap menyimpang atau berbeda
- Kekerasan berupa perusakan atau penistaan terhadap objek atau simbol keagamaan seperti kitab suci, nabi, dan tempat peribadatan.
Melalui website bebasberagama,org kami mengajak kawan-kawan untuk berkontribusi dan berbagi cerita dan pandangannya mengenai agama dan kepercayaan yang dianut. Menyebarkan kedamaian dan mengedepankan dialog dalam menyikapi perbedaan persepsi seputar keagamaan. Tanpa kebencian maupun kekerasan.
Musuh kita bukanlah orang dengan keberagamaan yang berbeda dengan kita. Musuh kita adalah kekerasan. Kekerasan, atas nama apapun tidak dibenarkan. Apalagi sampai mengatasnamakan Tuhan.
Maka, pada akhirnya, bebas beragama adalah sebuah keniscayaan.