Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan

Selasa, 10 November 2015

Agama Orangtua = Agama Anak?

Aku sering bertanya-tanya dalam hati. Apakah sepasang manusia yang sedang berkomitmen untuk menikah dan berencana beranak pinak juga membicarakan bagaimana cara mendidik anaknya kelak? Apakah calon orangtua membaca banyak artikel dan buku-buku sebelum memutuskan bagaimana mendidik anak kelak? Yang lebih spesifik lagi, apakah orangtua pernah memikirkan secara khusus bagaimana cara mendidik anaknya dalam beragama? 

Apakah orangtua memilih untuk mengarahkan anak tentang bagaimana caranya memilih agama/kepercayaan yang dapat membawa hidupnya menjadi manusia yang baik. Atau justru orangtua berharap anak mengikuti agamanya saja tanpa pertanyaan sebagai hadiah yang tidak dapat ditolak? Seperti halnya nama pemberian orangtua, garis keturunan, DNA, dan sebagainya yang bersifat otomatis. Barangkali, ada orangtua yang membebaskan anaknya, terserah ia akan beragama atau tidak sampai anak dewasa karena itu adalah urusannya dengan Tuhannya.

Aku menulis ini sambil tersenyum mengingat adegan film India berjudul PK. Di sana. Ada sebuah adegan yang memperlihatkan si PK sedang memeriksa para bayi yang baru lahir di rumah sakit. Ia penasaran, dimana tanda yang memperlihatkan identitas agamanya? Sayangnya, ia tak menemukan tanda itu. 

Sebagai orang yang terlahir di dalam agama Islam dengan orangtua bermazhab Syiah Imamiyah, aku banyak membaca koleksi buku di rumah. Di salah satu buku parenting yang aku baca saat usiaku 15 tahun tertulis bahwa sebaik-baiknya mendidik anak adalah dengan ilmu dari Al Qur'an. Karena itulah, orangtua menyuruhku mengaji kepada Kyai NU di pemilik pondok pesantren, kata Ibu, "Orang NU itu kalau ngaji Makhrajnya dan Tajwidnya paling bagus." 

Karena tempat ngaji yang terlalu jauh, beberapa waktu kemudian Ibu menyuruhku mengaji ke rumah adiknya kakek yang Muhammadiyah. Sekalipun aku cucunya, di sana aku didik keras dengan bentakan setiap kali salah ucap. Aku takut sekali dengannya. Dari dulu aku tak cocok dididik dengan keras. Lama-lama aku tak tahan dengan cara itu dan berjanji pada ibu akan mengaji di Rumah ustad Muhammadiyah dekat Mushalla sehabis shalat jamaah Maghrib. Ibu setuju. Walau akhirnya toh aku berhenti mengaji padanya setahun kemudian karena sudah mulai dewasa. Anak-anak seusiaku mulai berhenti mengaji pada ustad itu, diganti dengan anak-anak kecil yang lain. Kemudian, aku membuat janji yang lain dengan ibuku. Aku akan mengaji keras-keras di rumah setelah Maghrib. Ibuku hafal beberapa juz Al Qur'an. Makanya, ibu sering menyimak dan mengoreksi bacaan mengajiku sambil bikin kue dan melakukan aktivitas lainnya. Buat yang awam dan termakan propaganda situs intoleran, tentu saja Al Qur'annya Syiah sama dengan Al Qur'annya Sunni. 

Aku yakin bapak dan ibuku tidak sempat berdiskusi tentang bagaimana mereka mendidik anak-anaknya kelak. Dulu bapak dan ibu dijodohkan di sebuah komunitas pengajian Wahabi. Mereka belum bermazhab Syiah ketika bertemu. Bapak maupun Ibuku sudah yakin sekali bahwa mereka satu visi dalam Islam dan pasti sama pandangan soal mendidik anak-anak. Begitu sederhana. Mereka punya kesamaan, sama-sama penggemar majelis ta'lim dan berpikir cukup kritis terhadap agama. Makanya mereka memutuskan untuk hijrah mazhab. 

Namun, tidak semua anak-anaknya punya kebiasaan yang sama. 

Kakak pertamaku belajar dengan cara yang mirip ibuku, tetap Syiah, tapi pandangan kesyiahannya beda dengan ibuku dan beda juga denganku. Kakak keduaku tak begitu tertarik dengan wacana agama. Kakak ketigaku cukup tertarik dengan wacana agama, namun hanya membaca bacaan seputar Syiah saja. Aku sendiri, memulai perjalanan intelektualku dengan buku-buku Syiah di rumah, ikut pengajian tafsir Qur'an, ikut pengajian fiqih, ikut pengajian filsafat. Dari sana mulai membaca banyak buku soal berbagai filsafat yang dikritik oleh filsafat Islam, meminati pemikiran filsafat Perennialisme lebih dari Hikmah Muta'aliyah ala Shadra, tertarik Marxisme, belajar soal agama lain, dan itu semua membentuk pemikiranku yang sekarang. Adikku beda lagi, dia dulunya sempat mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren yang bercirikan Wahabi. Kata Ibu, "Wahabi itu bagus dalam hal hafalan Qur'an." Benar, hafalan Qur'an dan bahasa Arab adikku terus meningkat. Setelah masuk ke lembaga pendidikan Syiah, mulai terlihat bahwa dia menyukai hal-hal teologis daripada filosofis. Kami sering berbeda pendapat soal agama, tapi pada akhirnya mengerti bahwa itu bukan sesuatu yang patut diperdebatkan. Dia tahu bahwa kita cara beragama kita adalah soal tanggung jawab pribadi antara kita dengan Tuhan. Adik keenamku masih SMA. Anak gaul dan tentu saja sekuler. Pemikirannya sederhana dan bagiku hal itu sangat menggemaskan. Adik terakhir belum terlihat akan jadi seperti apa, sepertinya dia akan jadi orang Syiah juga karena ada di lembaga pendidikan Syiah. Syiah macam apa juga belum tahu. Siapa yang tahu sih? 

Dari ketujuh bersaudara, jelas orangtua punya pola yang berbeda dalam mendidik anaknya. Seingatku Ibu tak pernah membujuk kakak kedua dan kakak ketiga mengaji seperti saat Ibu menyuruhku mengaji. Kakak Pertama cukup cerdas untuk mendidik dirinya sendiri sesuai dengan hal yang ibu senangi. Ibu mendidik ketiga adik lelakiku dengan keras juga soal mengaji. Tapi adik keenamku yang pintar merayu sering memanfaatkan keinginan Ibu untuk mendengar anaknya mengaji demi duit. Misalnya dia telepon Ibu, "Bu... Aku nggak punya duit, transferin aku... Aku ngaji deh... Nih aku ngaji. Bismillahirrahman... nirrahimmm..." Lalu dia akan merapalkan beberapa surat dalam Juz Amma yang dihafalnya. Ibu yang berada jauh dari kota adikku akan senang mendengar suara ngajinya. Dengan perasaan tidak tega juga, biasanya ibu akan mentransfer uang untuk adikku. Transaksi selesai. Semua senang.

Dari tadi aku berbicara soal peran ibuku, bagaimana dengan Bapak? 

Jadi begini, sedari kecil, bapakku terbiasa mandiri dengan mencari pengetahuan sendiri dan punya etos belajar yang bagus. Jadi dia berharap anaknya juga akan menemukan jalannya sendiri sebagaimana dia. Jarang sekali Bapak berdebat soal agama dengan anak-anaknya. Sedangkan Ibuku, selalu menyisipkan topik agama di setiap pembicaraan. Cara mereka mendidik pada akhirnya berbeda. Begitulah pernikahan, berisi kumpulan individu yang bersama-sama untuk menyatukan darah, tapi bukan berarti juga punya keterikatan pikiran. 

Ibu tak setuju dengan caraku beragama dan caraku berpikir. Tapi dia mencintaiku. Ibu bilang dia selalu mendoakanku setelah sholat, bahkan lebih dari yang lainnya. Aku juga mencintai Ibu. Tapi bagaimanapun, aku punya konsekuensi logis pengetahuan yang membentuk caraku berpikir dan aku minta maaf jika ternyata kita berbeda. Karena aku bukan orang yang pintar berpura-pura sama dengan siapapun agar lebih dicintai, maka aku tidak tahu bagaimana caranya menyembunyikan perbedaan ini. Barangkali akulah yang kurang bijaksana. Tapi, entahlah. Aku juga penasaran kemana perjalanan ini akan bermuara.

Dari pengalaman pribadi menjadi anak kedua orangtuaku, akhirnya aku paham, seperti apapun modal pengetahuan agama yang dimiliki oleh orangtua, belum tentu anak akan seperti dia. Tak masalah juga jika kelak anakku punya pemikiran yang beda denganku. Aku belajar merayakan perbedaan sejak dini.

Aku pernah mendengar pemilik kontrakanku mengelus kepala anaknya yang masih umur 3 tahun. Dia dan suami mendiskusikan akan les apa anaknya nanti. Ibunya ingin anaknya les ngaji, silat, robotic. Bapaknya ingin anaknya les wayangan, bahasa daerah, dan nembang. Mereka sepakat untuk mendaftarkan anaknya ke semua les tersebut. Walau bapaknya sering mabuk, ia senang juga lihat anaknya mengaji. Anak ini tumbuh dengan serangkaian kegiatan yang tak pernah berhasil dicapai orangtuanya ketika masih kecil. Berapa dari kita yang membesarkan anak kita dengan cara seperti itu?

Sumber Gambar

Dari fenomena yang aku amati, aku pikir pada akhirnya anak akan menemukan jalannya sendiri. Sekalipun orangtua sering berdoa semoga kelak anaknya bisa jadi anak yang patuh pada orangtua dan berguna untuk agamanya.

Ada orangtua yang mendidik anaknya dengan serangkaian pelajaran agama dari pesantren. Saat dewasa, anak tersebut pada akhirnya memilih jadi seorang sekuler liberal. Ia kritisi banyak teks yang ia pelajari di pesantren dulu dan tak segan menyebutnya sebagai dogma belaka. Ia kritik cara mayoritas dalam beragama. Ia keluhkan betapa membosankannya kelompok agama tertentu yang baginya tidak rasional, fanatik, kurang punya nilai kemanusiaan universal, dan sebagainya.

Ada orangtua yang sejak dini mendidik anaknya untuk rajin mengikuti misa dan berbagai kegiatan di gereja, siapa sangka saat dewasa dia justru tumbuh sebagai orang yang apatis dan sinis terhadap gereja. Ia mulai tak percaya dengan para pastur. Ia mulai bosan janji gerejawi.

Ada orangtua yang mendidik anaknya dengan santai tanpa kecenderungan agama tertentu. Ternyata, di masa dewasanya, anak tersebut justru ikut gerakan radikal dan tak segan berkata bahwa orangtuanya itu masih jahiliyah.

Ada anak yang selalu rajin sembahyang mengaji bersama orangtuanya. Ketika akhirnya mengalami masa merantau, ia lama-lama merasa malas untuk melakukan ritual tersebut. Namun, untuk menjaga hati orangtuanya, ketika ia pulang ke rumah nantinya, ia akan kembali jadi anak patuh kepada orangtua dan agama. Orangtua bangga dan bersyukur punya anak yang sesuai harapannya. Anak ini pun aman di balik topengnya. 

Seorang kawan bahkan mengajarkan anak-anaknya dengan agama yang berbeda. Hasilnya, dengan pilihannya sendiri, anak-anaknya memeluk 3 agama yang berbeda. Orangtuanya begitu bangga anaknya bisa memilih agama yang mengantarkannya ke jalan kebaikannya sendiri. Dia bilang, "Kelak, mereka akan membela agama saudaranya jika ada yang terdiskriminasi atas nama agama. Kemanusiaan haruslah melampaui agama."

Ada pula orangtua yang memiliki anak dengan agama yang seperti pendahulu sebelumnya. Tanpa pertanyaan, tanpa banyak perbandingan. Yang ia tahu, orangtuanya bilang bahwa agama merekalah yang paling benar. Itu sudah cukup untuk menjadi bekal dari awal kehidupan sampai kematian. Jika sudah memegang agama yang paling benar, untuk apa mencari-cari yang lain?

Orangtua -yang menurut standar masyarakat- telah berhasil mendidik anaknya juga banyak. Anak terlihat jelas telah mewarisi kealiman orangtuanya. Tanpa banyak percekcokan dan pemberontakan. Anak tumbuh sesuai dengan harapan orangtua. Konon itu berkat doa-doa orangtua. Atau faktor lain. Aku tak tau. Bahkan tak bisa membayangkan ada anak yang pemikirannya dicetak sama persis dengan orangtuanya. Aku kenal dengan teman yang seperti ini. Dia bilang, "Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Lha kamu kira aku harus mirip pemikiran siapa?" Entahlah ya.

Kisah-kisah yang memuat tentang orangtua yang sedih karena merasa tak dapat mendidik anaknya banyak. Ada kekhawatiran bahwa ia nantinya tak bisa bersama-sama dengan anaknya di surga. Betapa kecewanya orangtua yang tak bisa memiliki anak patuh terhadap orangtua. Di sisi lainnya, ada kisah-kisah yang berisi kebanggaan orangtua dengan pencapaian anaknya. Beberapa orangtua berharap anak dapat menjadi sesuatu yang tidak pernah bisa dicapainya saat masih muda. 

Beberapa lagi berharap, sekalipun dia bukanlah orang beragama yang baik, dengan memilih pasangan yang lebih alim darinya atau menyekolahkan anak ke sekolah agama, maka otomatis ia akan punya anak-anak religius yang kelak dapat menebus dosa orangtuanya dengan doa-doa.

Saat anak lahir, orangtua sering memberikan cap agama tertentu. Seolah agama adalah sesuatu yang mesti diterima begitu saja oleh anak sampai kematiannya kelak. 

Aku pernah mendiskusikan dengan sahabat perempuanku soal ini. Sambil tersenyum geli, dia bilang, "Ah, kalaupun suatu hari nikah, aku mah nggak mau punya anak. Melahirkan itu sakit kayaknya. Lagian dunia udah over populated. Kasian anak yang lahir di saat bumi udah rusak gini. Mending ngadopsi anak yang udah terlanjur lahir di dunia. Atau mendingan melihara anjing atau kucing. Hehehe..." 

See? Nggak semua orang menilai bahwa punya anak adalah ide yang bagus kan? Sebagai orang yang biasa mendengar perdebatan antara kaum Pro Choice dengan kaum Pro life, aku tidak kaget sih mendengar ada orang yang bahkan tidak ingin punya anak dan pro terhadap aborsi. Bahkan Richard Stallman -founder GNU- juga menolak untuk punya anak dan menyarankan orang-orang untuk tidak perlu punya anak demi kemanusiaan. Soal pandangan dia, bisa dibaca di artikel Why is it Important not to have Children.

Aku penasaran ingin bertanya lagi. Pernahkah ada yang memutuskan untuk tidak jadi menikah dengan calonnya setelah tahu bahwa ternyata kalian tak sepakat dengan cara mendidik anak? Ya siapa tau ya ada yang apes ngalamin. 

Jadi, cara kamu mendidik anak nanti gimana? Udah dipikirin?

Minggu, 05 Juli 2015

Jadi Saksi Kanonik Pernikahan Islam-Katolik

Kemarin malam, aku menjadi saksi Kanonik untuk pernikahan beda agama antara sahabatku yang Islam dan tunangannya yang Katolik.

Sahabatku seorang perempuan Islam berjilbab. Sedangkan tunangannya seorang Katolik taat yang sempat menempuh pendidikan calon Imam tingkat satu di Malang. Alih-alih jadi Romo, ia lebih memilih untuk jadi programmer yang hadapi algoritma daripada umat.

Hanya dengan melihat mereka sekilas, kita akan tahu bahwa mereka adalah dua orang yang sedang jatuh cinta.

Ditunjuk jadi saksi Kanonik awalnya adalah hal mendebarkan. Aku perlu meyakinkan diri sendiri apakah mungkin seorang muslim bisa jadi saksi Kanonik? Aku kontak Romo sahabatku untuk menanyakan keabsahan "syariatnya". Romo bilang, saksi Kanonik itu yang penting mengenal calon mempelai non Katoliknya. Tidak harus beragama Katolik. Aku jadi lega. Setidaknya, sebagai sahabat yang sudah bertahun-tahun bersama, ternyata aku berguna juga.

Aku ke gereja Katedral Jakarta bersama pasangan pengantin dan teman SMA sahabatku yang juga berperan sebagai saksi Kanonik. Setelah shalat Maghrib di Istiqlal, kami menyeberang ke Gereja Katedral dan buka puasa di depan pasturan. Misa Jumat Malam belum usai. Jadilah kami menunggu sampai Romo selesai memimpin Misa.

Tepat saat Misa Jumat usai, kami berempat dipersilakan masuk ke ruang tamu Pasturan. Kedua mempelai masuk lebih dulu ke ruang kerja Romo. Romo yang menangani pernikahan ini bernama Romo Broto, Pr. Kesanku padanya, Beliau seseorang yang murah senyum dan ramah.

"Siapa yang akan jadi saksi pertama?" Tanya Romo Broto pada aku dan teman sahabatku saat kami berdua ada di ruangannya.

"Dia saja Mo, yang lebih tua." Kataku.

Romo dan teman sahabatku tertawa.

Romo memulai pertanyaan seputar sejauh mana kami mengenal calon mempelai perempuan. Dia juga bertanya soal asal wilayah, pekerjaan, alamat, dan lainnya. Kami harus mengisi selembar formulir setengah halaman kertas HVS yang isinya adalah kesaksian kami berdua bahwa mempelai perempuan non Katolik tersebut memang belum pernah menikah.

Setelah mengisi formulir, kami berdua tanda tangan di bawah kalimat sumpah yang ditutup dengan, "Demi Allah". Bukan demi Yesus dan bukan pula demi Roh Kudus. Aku senang dengan pilihan kata di dalam surat kesaksian tersebut.

"Di Katolik memang ada dispensasi dalam hal pernikahan. Kami meyakini bahwa yang namanya iman itu tak dapat dipungkiri oleh hati. Bisa saja seseorang bohong di KTP dalam hal agama hanya untuk menikah. Tapi yang namanya iman dalam hati, sulit untuk diganti-ganti. Jadi, Disparitas Cultus ini untuk memudahkan, bahwa pernikahan tak pernah jadi penghalang keimanan seseorang dan sebaliknya. Untuk apa yang Katolik pindah Islam jika hatinya tetap Katolik? Dan untuk apa yang Islam pindah Katolik jika yang nyaman baginya adalah beragama Islam? Ini adalah solusi yang diberikan gereja untuk umatnya."

Kami mengangguk mendengar penjelasannya.

Saat melakukan penelitian di gereja Santo Alfonsus Paroki Nandan, Jogja pada tahun lalu, aku sudah diberi penjelasan oleh Romo Kris mengenai hukum pernikahan dalam gereja Katolik.

Oh ya, Romo Kris ini ketua Paroki Nandan. Tema Disertasi S3 nya adalah tentang Disparitas Cultus. Saat aku menyebut bahwa aku kuliah di Paramadina, dia langsung bertanya soal pernikahan beda agama yayasan Paramadina. Aku tak tahu banyak soal pernikahan beda agama di yayasan. Jadi aku berjanji padanya untuk mencarikan info seputar itu.

Romo Kris lah yang memberi penjelasan padaku bahwa di dalam gereja Katolik memang tak ada perceraian. Adanya pembatalan pernikahan yang harus diurus sampai Vatican. Seseorang yang beragama non Katolik yang pernah menikah sebelumnya, lalu bercerai baik secara agama maupun secara negara tidak dapat lagi menikah dengan seorang Katolik karena punya halangan pernikahan. Makanya, salah satu fungsi diumumkannya pernikahan setelah Misa, selama tiga kali Misa adalah untuk mendeteksi adanya halangan pernikahan itu tadi.

Aku bercerita kepada Romo Broto soal sedikit interaksiku dengan Romo Kris yang mengenalkan aku pada konsep disparitas kultus. Dia tampak girang.

"Walaupun satu kampung sudah tahu bahwa calon mempelai belum pernah menikah, kesaksian kanonik ini tetap harus dilakukan. Ini sebagai formalitas saja." Lanjut Ketua Paroki Katedral ini.

Di tengah diskusi singkat kami, Romo memujiku dengan berkata, "Wah, kamu sudah banyak tahu Katolik."

Aku tersenyum geli.

Sebenarnya aku tak banyak tahu soal Katolik. Seorang kawan yang mengaku sebagai Katolik sesat karena tak beribadah lagi ke Gereja pernah memberikan banyak penjelasan soal kekatolikan padaku sebagai bahan riset. Selain itu, aku sering berdiskusi dengan Romo dan Frater kenalanku dan membanding-bandingkan penjelasan mereka dengan tradisi agama Samawi yang ada.

Tentu saja aku masih sering bingung dengan istilah-istilah spesifik yang dipakai orang Katolik. Jelas banyak sekali hal yang belum aku tahu soal agama lain. Bahkan aku baru tahu kalau di Katolik sunat untuk lelaki itu bukan sebuah keharusan setelah nonton film bareng di kampus yang memuat sebagian sejarah gereja Katolik abad pertengahan. Tentu saja, tidak penting untuk mengetahui apakah pengikut agama tertentu punya tradisi sunat untuk lelakinya atau tidak. Tapi, aku akhirnya paham bahwa ternyata aku tidak banyak tahu.

Mengetahui ketidaktahuan adalah sebuah pengetahuan yang berharga juga.

Hanya 5 menit waktu yang dibutuhkan untuk jadi seorang saksi Kanonik. Tunangan sahabatku bilang, waktu yang dibutuhkan tiap orang beda-beda. Tergantung Romonya juga.

Tunangan sahabatku heran, kenapa beberapa kali terdengar tawa kami.

"Kamu becandain Romo ya Ban?" Tanyanya.

Aku menggeleng. Memang ada banyak lelucon yang menyenangkan selama kami ngobrol dengan Romo sambil mengisi formulir tadi.

Sangat berbeda saat sahabat dan tunangannya menghadapi Romo. Suasananya serius. Mereka bilang, mereka ditanyai Romo dengan hal-hal yang sudah mereka pelajari saat Kursus Pernikahan.

Aku sempat bertanya pada tunangan sahabatku, kenapa dia tak membawa saksi Kanonik juga. Dia jawab, "Saksi Kanonik itu cuma dibutuhin calon mempelai non Katolik. Data diriku kan udah ada di parokiku."

Oh, begitu. Tuh kan, aku baru tahu.

Bagiku, mereka pasangan yang lucu, saling melengkapi dan menjaga. Tunangannya selalu menyarankan sahabatku untuk konsisten berjilbab. Sahabatku sering meminta tunangannya untuk membawa serta dirinya tiap Misa. Aku berbahagia untuk mereka.

Tentu saja, pernikahan beda agama masih jadi pro dan kontra di kalangan umat beragama. Keluarga sahabatku juga masih banyak yang menentang terjadinya pernikahan tersebut. Tapi, ayah sahabatku sungguh hebat. Dia berani pasang badan demi kebahagiaan anaknya. Dengan senang hati, ayahnya mengantarkan anaknya menikah di Gereja Katolik tanpa perlu pindah agama. Dulunya, ayahnya adalah seorang Kristen Protestan yang masuk Islam karena menikah dengan ibunya.

Aku mengikuti perjalanan cinta mereka. Beberapa kali, aku ikut membantu untuk menjawab setiap pertanyaan dan hujatan dari keluarga yang menentang pernikahan mereka.

Seorang yang sedang berusaha mengikuti laku sebagai seorang Sophia Perennis sepertiku, memang tidak memiliki masalah yang ada hubungannya dengan syariat pernikahan beda agama. Tentu saja, ada banyak sekali orang yang bilang betapa salahnya pandanganku. Betapa kelirunya pilihan hidup yang aku pilih.

Tapi, aku meyakini, bukankah tiap orang sedang menjalani Dharmanya masing-masing? Jika memungkiri konsekuensi pengetahuanku, alih-alih menjalankan dharma, aku malah menjalankan adharma.

Aku menerima risiko apa kata orang terhadap apa yang aku lakukan dengan hati gembira. Aku memaklumi, beberapa orang yang menghujatku memang senang menjadi juru bicara kebenaran "tuhan" yang diyakininya. Aku sih tak pernah memaksa mereka meyakini apa yang aku yakini.

Orang yang pernah dekat denganku pernah cerita bahwa beberapa kali dia berpisah karena agama dengan orang yang dia cintai. Aku sangat sedih mendengarnya. Rasanya aku ingin hadir di masa lalunya dan meyakinkan orang yang dicintainya agar tak perlu merasa berdosa mencintai orang yang berbeda iman. Cinta itu indah. Agama dan kasih Tuhan juga indah. Keindahan hanya akan bersatu dengan sesamanya. Kenapa harus ada perpisahan karena agama?

Yang aku yakini, Tuhan yang disebut dengan berbagai nama, Tuhan seluruh umat manusia, telah memberikan potensi cinta pada siapa saja tanpa memandang agamanya apa.

Kita hanya perlu menjaga pijarnya, agar jadi terang bagi sesama.

Sabtu, 16 Mei 2015

Musimnya Bisnis Muslim Musliman

Saat masih riset di Yayasan LKiS​, sempat diajak Mas Hairus Salim​ ke forum yang dihadiri guru-guru agama SMA se-Jogja. Salah satu materi yang disampaikan Mas Salim di depan guru-guru itu adalah munculnya kost khusus Muslim dan Muslimah di Jogja dalam 10 tahun terakhir ini. Dulu, kost macam itu tak ada, Muslim dan Non Muslim bisa berbaur dalam kost yang sama.

Selain munculnya kost muslim, ada pula kost yang menolak mahasiswa dari Indonesia Timur. Berkat sikap eksklusif orang Islam dan Jawa, Non Muslim dan Orang Timur sulit mencari kostan.

Fenomena itu ada juga di Solo, dan aku yakin ada di banyak kota lainnya. Kost khusus Muslim dan Muslimah bermunculan dengan berbagai aturan yang sangat ketat soal lelaki dan perempuan, jam malam, dan sebagainya.

Buat apa?
Jika yang dimaksud Muslim dan Muslimah adalah yang berKTP Islam, maka agama ini benar-benar hanya berupa hal sepele macam label. Untuk apa membuat peraturan soal kost muslim seperti ini jika ternyata kost tersebut kotor, kecurian dari orang dalam, pelayanannya payah, dan pemilik kostannya tidak ramah? Wajah Islam macam apa yang ingin ditampilkan oleh pemilik kostan?

Bayangkan jika di sebuah kota mulai bermunculan Kost khusus Islam, Kost khusus Katolik, Kost Khusus Kristen, Kost khusus Budha, Kost khusus Hindu, dsb. Kapan umat beragama bisa berdampingan dalam satu rumah nantinya? Tanpa berhubungan baik dengan yang beda pandangan agama, susah untuk berprasangka baik kepada hal yang berbeda. Intoleran jadinya.

Hitung saja dirimu sendiri, berapa teman beda agama yang kamu kenal? Berapa yang bisa benar-benar akrab?

Jika konon agama yang dianut adalah agama sempurna, dan umatnya jadi mayoritas, kenapa mentalnya begitu insecure? Gampang amat merasa terganggu sama umat agama lain. Kalau emang sempurna dan jumlahnya banyak, mestinya lebih tangguh, bisa jadi pelindung yang lemah, bisa membuktikan bahwa agamanya adalah agama yang membawa kabar gembira.

Kalau mau bawa nama Islam, mestinya diwujudkan dengan keberpihakan kepada orang miskin, penolong mereka yang tak punya rumah, penghormatan kepada perempuan, perlindungan kepada Non Muslim, dan hormati Hak Asasi Manusia yang telah ada di Piagam Madinah jaman Rasul. Mau sampai kapan sih agama ini dijadikan alat kekuasaan, ngurusi privasi orang, nyerewetin persoalan kelamin, dan hal printilan yang mestinya jadi urusannya individu sama Tuhannya?

Ini yang dibahas baru soal kost berlabel khusus Muslim. Masih ada lagi komoditas bisnis lain yang jualan agama sebagai daya tarik. Bank, Hotel, Perumahan, Bimbel, Fitnes, Laundry, dsb. Seolah mengemban label Islam itu gampang. Justru karena mengklaim jadi agama sempurna, maka beban yang ditanggung umat Islam jadi lebih berat. Malu kalau bawa nama Islam tapi bikin sistem yang merugikan orang lain.

Hypatia -filsuf perempuan yang akhirnya dibakar oleh orang-orang Kristen Alexandria- berkata pada  para pejabat yang sedang ingin mengkristenkan semua penduduk, "Jika agama baru ini (Kristen, atau yang saat ini dikenal dengan Katolik) memang sebuah kebenaran, apakah perang agama ini adalah bukti bahwa agama ini akan menjadi lebih baik dari Agama sebelumnya (Yahudi dan Penyembah Dewa Yunani)?"

Mestinya bisa belajar dari agama sebelumnya. Tapi ya gitu, sibuk urusi masalah printilan yang sebenernya otomatis bisa harmonis kalau sistem yang dibangunnya bener.

Kita sudahi saja sesi curcol dini hari ini.

Sekian.

Sabtu, 31 Januari 2015

Literasi dalam Berislam

Beberapa waktu lalu saya hadir di sebuah acara Sastra. Musisi yang hadir di acara tersebut menampilkan beberapa musikalisasi puisi yang menurut saya cukup bagus. Saya berbisik ke kawan yang duduk di sebelah, “Puisinya bagus ya?”

“Biasa aja sih sebenarnya.” Katanya,

Saya mempertajam pandang pandangan mata. Tak juga menemukan apapun yang biasa di lirik itu.

"Coba perhatikan bait dan caranya mengawali kalimat. Puisi itu ditulis dengan gaya yang mirip dengan puisi Sapardi yang ‘Aku Ingin’. Memang tampak lebih bagus setelah dimusikalisasi.”

Saya kembali memperhatikan bait demi bait yang terpampang di layar. Oh iya, benar juga. Kalau tidak diberitahu, mungkin saya tak akan menyadarinya. Kawan saya ini adalah seorang editor sastra yang sudah mendidik selera maupun kepekaannya terhadap karya yang benar-benar bagus. Saya tak punya kepekaan semacam itu karena selama ini hanya memosisikan diri sebagai penikmat sastra yang paling banter hanya memperhatikan diksi dan mencerna makna. Pertimbangan saya sebagai penikmat hanya sampai pada ketersampaian pesan dan kedekatannya dengan perjalanan hidup saya.

Pertimbangan seorang editor mencakup hampir segala aspek.

Ketika saya bilang padanya bahwa saya tak punya kepekaan semacam itu, kawan saya bilang, “Bisa dilatih kok.”

Dia benar. Kepekaan seperti itu bisa dilatih.

Seperti itulah literasi.

Kita mendidik diri kita dengan selera yang bagus. Meneliti dan membandingkan segala pilihan yang ada di depan mata. Memilih yang terbaik sambil menemukan alasan paling masuk akal kenapa kita sebuat itu bagus dan menyebut yang tidak kita pilih sebagai biasa, atau jelek.

Selama ini budaya literasi sering dikaitkan hanya seputar baca dan tulis. UNESCO sendiri membuat definisi bahwa literasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, mengintepretasi, menciptakan, mengkomunikasikan dan memperhitungkan sesuatu dari sebuah teks ke berbagai variasi konteks. Khusus untuk bagian ini, terimakasih kepada ensiklopedia gratis kesayangan kita semua, Wikipedia.

Saya adalah orang yang meyakini bahwa dalam seluruh aspek hidup kita yang berisi pilihan-pilihan ini, pada dasarnya merupakan kerja-kerja literasi. Bahkan hingga ke hal yang paling sederhana sekalipun.

Misalnya, saat ingin makan Sate Ayam, pilihan nomer satu di kepala saya adalah Sate Pasar Santa. Saat ingin memilih OS komputer, pilihan utama saya adalah Linux diantara Windows dan Apple. Dalam memilih film yang akan ditonton di bioskop, biasanya pertimbangan rating, pemain dan sutradara muncul. Bahkan dalam memilih pasangan, hubungan sebelumnya akan memunculkan sebuah standar baru untuk hubungan selanjutnya karena kita sudah banyak belajar dari kesalahan. Untuk poin yang terakhir ini, maaf maaf aja ya buat yang belum pernah punya hubungan sebelumnya.

Saat membaca kata-kata Bill Kovach yang berbunyi, “Journalism is the closest thing I have to a religion,” saya langsung mengingat proses verifikasi hadits yang sangat rumit. Ada banyak teks, pendalaman bahasa, penalaran, verifikasi data dan sejumlah pekerjaan rumit lain yang hasil akhirnya menghasilkan kualitas hadits dengan label Shahih, Dhaif, dan Hasan. Adalah hal yang sangat biasa jika ahli hadist satu dengan yang lain akhirnya memberi label berbeda pada satu hadits. Ada ulama yang menilai bahwa satu buku hadits itu seluruhnya shahih, ada yang berpendapat dalam kitab yang shahih itu, masih terdapat hadist dhaif di sana sini. Ulama yang mengumpulkan dan mempelajari hadits telah melakukan kerja-kerja literasi, umat beragama yang mengonsumsinya juga melakukan proses literasi tersendiri dalam memilih versi ulama mana yang akan dijadikan pedoman hidup sehari-hari.

Belum lagi jika kita bicara mengenai penafsiran al Quran maupun fiqih dengan berbagai mazhab Islam yang berbeda. Perdebatan para Ulama hebat dari ribuan tahun yang lalu rasanya belum juga selesai karena perdebatan itu diteruskan oleh orang-orang awam yang tidak hobi membaca perdebatan keagamaan di masa lalu. Semua ilmu ini yang sumbernya teks ini disebut Ilmu Kalam. Ilmu kalam yang menyumbang banyak untuk perkembangan peradaban manusia ini kadang digunakan sebagai alat perang sebagai sebuah pembenaran alih alih sebuah kebenaran.

Perdebatan kalam ini seringkali melahirkan generasi dogmatis yang merasa paling benar saat menafsirkan teks. Bukan hanya merasa paling benar. Tapi mulai memaksa yang lainnya untuk mempercayai apa yang mereka imani.

Saya percaya bahwa kebenaran itu absolut. Tapi persepsi kita terhadap kebenaran inilah yang relatif. Tindakan ngotot merasa memegang tafsir paling benar ini sama saja dengan menyamakan kedudukan dirinya sendiri sejejar dengan Nabi. Karena hanya Sang Penerima Wahyu lah yang dianugerahi kecerdasan sebagai yang paling mengetahui maksud Tuhan dalam ayatNya.

“Aku melihat ada Islam di Barat tapi tak ada muslim. Dan ada Muslim di Arab, tapi tak ada Islamnya.” Muhammad Abduh melihat bahwa Islam secara general adalah sebuah kata sifat daripada kata yang merujuk pada Agama. Mereka yang berislam, belum tentu muslim.

Secara garis besar, Islam Mazhab apapun akan sepakat bahwa Islam adalah Rahmatallil ‘alamin. Saat beberapa orang membawa Islam yang ramah, yang lainnya membawa Islam yang lemah nan insecure.

Katakanlah, seseorang tak tahu ilmu hadist sama sekali untuk melakukan verifikasi shahih atau tidaknya sebuah hadist. Tapi ia memiliki budaya literasi. Jika menemui hadist Abu Dawud yang berbunyi, “Barangsiapa meniru suatu kaum, maka termasuk golongan mereka,” minimal ia tak akan panik takut keluar dari Islam secara otomatis begitu dia meniru kaum non Islam. Karena hadist itu biasanya digunakan sebagai dalil larangan untuk mengucapkan selamat atas hari raya untuk umat beragama lain, larangan pakai topi sinterklas, pemakaian Hijab dan sederet pelarangan yang dibuat dengan argumentasi yang dangkal.

Karena boleh atau tidaknya ucapan Natal sudah jadi tema perdebatan musiman setiap tahun, maka saya tidak akan membahasnya lagi. Menghabiskan energi. Lagipula orang yang melarang ucapan selamat itu belum tentu tahu kalau Hari Natal 25 Desember adalah hari rayanya umat Katolik, karena Kristen tidak menentukan tanggal pasti kelahiran Yesus selain bahwa Yesus lahir antara tanggal Desember-Januari.

Katolik juga tidak pernah menggambarkan Santa Claus sebagai sosok gemuk seperti yang kita lihat karena tokoh yang sebenarnya bernama Santa Nikolas ini aslinya adalah seorang bertubuh kurus yang membagikan hadiah pada anak-anak dari pintu ke pintu. Ada banyak gereja Katolik yang tidak menggunakan Santa Claus edisi gendut sebagai simbol natal. Sosok gendut dengan kereta salju, baju dan topi merah putih khas natal itu sesungguhnya adalah penggambaran Santa Claus di iklan Coca Cola pada 1881. Jadi, kalau ada pelarangan memakai topi Santa Claus dengan dalil hadist di atas, mungkin karena si Uni tidak ingin kalian jadi generasi Coca Cola. Barangkali kalau Pepsi yang akan membuat Santa Claus, pasti seragam Santa bukan merah putih, tapi biru.

Sekarang soal Jilbab. Jilbab ini sudah menjadi identitas banyak umat beragama lain seperti Biarawati Kristen Ortodoks Yunani, Biarawati Kristen Koptik, Yahudi Ultra Ortodoks, Biarawati Katolik, beberapa Zoroaster dan kelompok beragama lain yang menggunakan tutup kepala serupa model hijab walau disebut dengan nama yang berbeda-beda. Sama halnya seperti mbak-mbak Hijabers yang tampil dengan berbagai gaya. Lalu jika hadist di atas menjadi sandaran hukum, apakah lantas orang Islam itu serupa Yahudi, Nasrani dan Zoroaster? Takut nanti kurang Syar’I jika hijabnya kurang begini dan begitu. Tentu boleh-boleh saja memakai jilbab model apapun. Tapi jika sampai melabeli yang ini Syar’I dan yang itu tak Syar’I, maka seseorang sudah menganggap dirinya yang paling tahu tentang maksud Tuhan. Lagipula, yang diajarkan dalam Islam adalah kesederhanaan seperti yang dicontohkan oleh keluarga Nabi. Dalam hal ini, tidak ada perdebatan karena semua sepakat bahwa Nabi tidak pernah bermewah-mewahan.

Terlalu mudah diprovokasi dengan isu adalah salah satu ciri lemahnya kemampuan literasi seseorang. Terlalu cepat menghakimi tanpa jalur silogisme yang benar adalah ciri kebodohan.

Beberapa argumentasi sekilas terlihat sangat ilahiah karena bersandar pada dalil-dalil. Jika punya kendala teknis seputar teks sehingga tidak bisa mencari dalil bantahannya, maka masih bisa digunakan jalur lainnya. Lagipula, bisa bahasa Arab dan bisa mengakses banyak kitab penting dalam agama sama sekali tidak menjamin bahwa seseorang akan berpikir dengan silogisme benar soal agama. Buktinya, ada Fatwa yang dikeluarkan oleh kumpulan Ulama Saudi dan Dubai yang dirilis Febuari 2014 lalu soal larangan untuk tinggal di Planet Mars. Mereka bilang tinggal di Mars itu sama saja dengan usaha bunuh diri dan bunuh diri dilarang oleh agama. Itu pun baru satu dari 2 juta fatwa yang diproduksi ulama tersebut sejak 2008.

Lebih baik susah-susah belajar supaya bisa bertindak simple daripada malas belajar tapi gampang dibikin ribet.

Almarhum Gusdur adalah contoh Ulama yang mau belajar dengan tekun untuk bisa bertindak dengan simpel. Saya membayangkan, jika beliau sampai dengar fatwa itu, Ia akan tertawa sambil berkata, “Kamu mau tinggal di Mars? Gitu aja kok repot!”

Agama yang saat ini kita pilih adalah hasil dari belajar, merenung, berefleksi, mengkaji, mengomparasikan satu dengan yang lainnya, dan terus disesuaikan sesuai dengan semangat jaman

Jika Pram bilang Hidup itu sederhana, yang rumit hanya tafsir-tafsirnya. Maka saya ingin bilang bahwa Beragama itu sederhana, yang rumit hanyalah tafsir-tafsirnya.

Senin, 26 Januari 2015

Di antara Islam yang Lebih "Islam"

Seorang kawan berkata padaku kalau dia sedang berminat untuk jadi mualaf. Dia bilang, ajaran al Qur'an sebenarnya bagus. Makanya dia tertarik.

Kami berdiskusi soal keinginannya itu, walaupun tidak lama karena keterbatasan waktu dan padatnya aktivitas.

Di sini, aku menuliskan tanggapanku terhadapnya sambil menambahkan hal-hal yang belum sempat kita bahas saat itu. Kemudian mengirim ini ke emailnya. Tentu saja, aku harus merahasiakan identitasnya demi keamanan.

--

Seperti pembicaraan kita saat itu, aku masih memintamu untuk memikirkan ulang keinginanmu sebagai mualaf sebelum mempelajari betul-betul ajaran Islam.

Saat seseorang masuk ke dalam sebuah agama, katakanlah Islam, akan ada orang-orang yang mengajak untuk lebih berislam daripada orang Islam lainnya. Sebagai contoh, fenomena yang ada di 2 mazhab besar Islam. Di tubuh Sunni Ahlussunah Wal Jamaah dan Syiah Imamiyah.

Ketika seseorang memutuskan untuk jadi Sunni, maka akan ada orang yang mengajak untuk meninggalkan segala bid'ah, ada yang mengajak kita untuk mendirikan negara Islam, ada yang sedikit-sedikit mewaspadai aliran agama lain yang dianggap sesat, ada yang mengajak berjihad dengan pedang, ada yang mengatur cara berpakaian sedemikian ketat dan ada juga yang berislam dengan tradisi-tradisi yang ada sesuai dengan kultur masyarakat. 

Ada yang lebih sibuk membangun masjid di mana-mana sedangkan banyak umat lainnya miskin tanpa tempat tinggal. Mereka tidak boleh tinggal di Rumah Tuhan itu, mungkin dipikirnya Tuhan akan marah kalau ada orang miskin yang tidur di sana. Tapi, jika ada umat agama lain membantu orang miskin beragama Islam, akan ada isu soal Kristenisasi, Hinduisasi, Budhaisasi dan lain-lain yang menyeruak. Serba salah ya? Hal ini kelihatannya buruk, kamu boleh menduga bahwa mungkin saja hal ini tidak ada dalam Islam yang sebenarnya. Tapi fenomena ini memang ada di Islam. Apa boleh buat?

Untuk perempuan, Islam akan tampilo lebih rumit lagi. Setelah menyatakan keislamanmu, kamu akan diajak banyak orang untuk berjilbab. Berjilbab saja tidak cukup, akan ada yang mengajak lagi untuk berjilbab syar'i dengan kain yang lebih panjang. Jika kamu menuruti hal itu, tetap akan ada saja ajakan untuk lebih "Islami" lagi dengan penggunaan cadar.

Apakah sudah selesai? Tidak. Ada kok yang melarang perempuan untuk memakai kosmetik jika tidak ada cap halal MUI nya sekalipun lembaga MUI ini bukan lembaga yang cukup kredibel sebagai rujukan dalam beragama. MUI tak puas menjadi lembaga yang memberi cap halal, karena mereka juga memberi cap sesat juga untuk aliran tertentu. Ada juga yang justru melarang sama sekali penggunaan kosmetik kecuali di depan suami.

Dari itu semua, ada NU yang menyampirkan kerudung saja sudah cukup untuk bisa disebut muslimah. Tapi kamu lihat sendiri, ada banyak orang Islam yang tidak berjilbab dan mereka masih muslimah.

Jika memutuskan untuk menjadi Syiah, kamu akan disodori versi sejarah yang berbeda dengan buku sejarah versi umum. Setelah mencintai Nabi dan keluarganya, akan ada saja kelompok yang menganggap bahwa kamu belum Syiah. Sekalipun ada puisi dari Imam Syafii yang bilang "Jika mencintai keluarga Nabi dianggap Syiah, maka saksikanlah bahwa aku adalah Syiah." Kamu akan diajak belajar Fiqih. Fiqih ini akan mengantarkanmu pada pilihan marja'. Marja' ini adalah ulama yang menjadi rujukan hukum fiqih sehari-harimu. Tak perlu pusing. Semuanya bisa dipelajari.

Jika kamu mencintai Nabi dan Keluarganya, akan ada saja golongan Syiah yang menganggap bahwa kamu belum benar-benar Syiah jika belum bermarja'. Ada lagi yang bahkan menghukumi bahwa kamu itu belum Syiah jika belum berwilayatul Faqih pada Rahbar yang di Iran sana. Belum lagi, Syiah yang tidak sekuler ini membuatmu punya sikap politik seperti anti Amerika, pro Palestina, Anti Zionist, mendukung Hizbullah dll. Seperti halnya di Katolik, Syiah juga menganut hierarki keilmuan. Kamu akan melihat bahwa umat Syiah yang lebih Syiah itu akan menurut total pada ustad, ulama, marja' dan lain-lain. Kamu akan jarang menemui ada orang Syiah yang memiliki pandangan berbeda dengan ustad/ulama yang diikutinya.

Jika orang Sunni sibuk membangun masjid, beberapa orang Syiah akan sibuk berziarah ke luar negeri, terutama Irak dan Iran dengan biaya ribuan dolar. Kita harus maklum karena barangkali mereka tidak tahu bahwa ada orang miskin yang barangkali lebih membutuhkan uang mereka. Orang-orang miskin ini adalah orang-orang yang dicintai oleh Nabi dan para Ahlulbaytnya.

Filsafat juga ada sebagai kekayaan intelektual dalam peradaban Syiah. Kebanyakan orang bilang, filsafat Islam itu lebih susah dari filsafat barat. Makanya banyak orang Syiah sendiri malas belajar filsafat. Lebih suka sama pelajaran Sejarah dan Fiqih supaya bisa dipakai debat. Kalau debat lalu menang kan lebih mudah disebut pintar daripada harus susah-susah belajar filsafat. Al Qurannya sama kayak Sunni kok, jangan khawatir. Yang kamu baca di internet soal Al Qur'an Syiah dan Sunni berbeda itu salah semua.

Kamu pusing sama semua soal Sunni dan Syiah ini? Tenang. Nanti bisa dipelajari. Itu pun kalau kamu penasaran.

Beberapa ulama sudah mengupayakan supaya ada persaudaraan Sunni dan Syiah. Mengecilkan perbedaan, memperbanyak persamaan. Namun, ada juga ulama yang justru membuat Sunni dan Syiah ini ribut terus. Semuanya juga mendaku sebagai Islam yang benar. Yang katanya Rahmatallil alamin. Islam yang damai dan penuh kasih sayang. Islam cinta. Katanya.

Tidak adanya dialog dan niat mempelajari ajaran agama tertentu membawa prasangka aneh-aneh pada umat beragama. Akhirnya mereka mudah untuk diprovokasi dengan kebencian dan pikiran sektarian.

Nah, kalau kamu mau jadi mualaf, kamu harus belajar tentang ini semua. Kamu juga harus memastikan bahwa ajaran lamamu sudah benar-benar dipelajari dan kamu menemui kebuntuan di dalamnya. Soalnya, maaf saja, ada banyak orang memutuskan keluar dari agamanya hanya karena trauma sama tingkah orang-orang beragama dalam lingkarannya. Sehingga dia ingin ganti suasana dengan lingkaran barunya.

Aku sih yakin ya, antara ajaran agama dan pengikut agama itu adalah hal yang berbeda. Misalnya tidak ada ajaran agama yang memperbolehkan korupsi. Tapi kok ada petinggi agama yang korupsi? Itu terjadinya karena dia tidak menjalani konsekuensi logis keberagamaannya. Bukan karena dia sebagai penganut agama tertentu.

Suatu hari, jika kamu sudah mulai belajar ajaran Islam, kamu akan menemui banyak hal-hal baik yang diajarkan di dalamnya. Seperti halnya jika kamu belajar agama lainnya. Kamu juga bisa mencocokkan apakah ajaran yang ada bisa diterapkan umatnya. Jika kamu menemui bahwa hal-hal luhur dalam ajaran agama ternyata tidak bisa diterapkan umatnya, agama ini nasibnya akan seperti paham-paham ideologi yang akhirnya dianggap konsep utopia semata.

Bukannya menghalangimu untuk menjadi mualaf. Tapi di Islam, beberapa mualaf lebih sibuk menjelekkan agama lamanya daripada belajar Islam dengan baik. Ada juga yang hobi mengajak anak-anak muda untuk mendirikan negara Islam karena konon nasionalisme itu tak ada dalilnya sambil jualan hijab syar'i tanpa selfie. Ada juga mualaf yang hobi mengomentari persoalan politik di sosial medianya sekalipun dengan segambreng fallacy yang hanya bisa diketahui oleh orang yang mau repot-repot belajar logika.

Ada juga mualaf keren seperti Frithjof Schuon dan Rene Guenon yang mengabdikan diri sepenuhnya pada filsafat dan tasawuf. Mereka bisa bicara seni, tradisi, kosmologi, cinta, dan lain-lainnya. Pengetahuan mereka indah sekali.

Kamu sendiri mau jadi mualaf seperti apa? Ada banyak pilihan. Kamu memang bebas memilih, tapi kamu tak bisa bebas dari konsekuensinya.

Kalau ini membuatmu bingung, maka kamu tidak sendiri. Ada banyak orang Islam yang lahir di keluarga Islam dan memeluk agama Islam sejak kecil yang masih bingung mereka ada di Islam sebelah mana. Jika menyebut Islam yang biasa-biasa saja, mungkin yang dimaksud adalah Islam yang biasa ada di masyarakatnya. Jika masyarakatnya kebanyakan adalah NU, maka dia jadi Islam NU, jika kebanyakan di sana adalah Muhammadiyah, maka dia adalah Muhammadiyah. Mendefinisikan Islam yang biasa-biasa saja sendiri agak sulit bagi semua orang. Beberapa orang tak sempat memilih mazhabnya karena hanya tahu satu mazhab dalam beragama. Jika dia lahir di Iran yang kebanyakan Syiah, dia akan jadi Syiah dengan tata cara shalat seperti Syiah. Jika dia lahir di Indoneesia uang kebanyakan Sunni, maka dia akan jadi Sunni dengan tata cara shalat ala Sunni. Kebanyakan orang beragama sesuai dengan agama yang dianut orangtuanya.

Berpikir, merenung, berefleksi, kemudian mengaplikasikannya ke kehidupan sehari-hari memang bukan hal yang mudah. Tapi jika pengikut agama tak melakukannya, maka dia hanya akan jadi bigot-bigot yang mendaku sebagai pemilik sah kebenaran.

Bayangkan saja, apakah Nabi Muhammad akan membuat umatnya bingung dengan detail-detail keagamaan yang ada saat ini? Apakah beliau jadi orang yang mudah mengkafirkan orang lain ataukah sosok penuh kasih yang menggerakkan umat untuk berpihak pada orang miskin. Bayangkan jika Nabi Muhammad hidup di jaman sekarang, apakah Ia akan mengajak umat sibuk dengan ritual ibadah pribadi yang penuh aturan halal haram atau justru mengajak umat mengurusi hal-hal terkait perubahan sosial di masyarakat? Jangan-jangan malah keduanya?

Aku lampirkan gambar satire cover majalah Charlie Hebdo yang kontroversial itu. Di sini seolah Nabi berkata, "Susahnya punya umat yang bodoh…" Kamu bisa menyimpulkan, apakah gambar ini menghina Nabi Muhammad ataukah menyindir pengikut ajaran Nabi Muhanmad. Kalau aku sih tersindir. Rasanya mak jleb gitu deh. Soalnya sebagai pengikut Nabi Muhammad, aku pun masih bodoh dan payah. Aku juga khawatir kalau Nabi Muhammad benar-benar malu punya umat sepertiku. Soal larangan penggambaran sosok Nabi, itu hal yang debatable dalam Sunni maupun Syiah. Jika aku menggambar sosok unyil berudel bodong dan menuliskannya sebagai sosokmu, bukan berarti itu memang gambaran tentangmu. Masak kamu mau marah, sensitif amat. Bukankah puncak dari komedi adalah menertawakan diri sendiri? Aku memilih untuk membela Nabi dengan menjaga nama baiknya sebagai penyebar kedamaian semampuku daripada sebagai pengecam atau pembunuh orang-orang yang menghinanya.

Selamat menjelajah ya…

Salam,
Banu

Rabu, 14 Januari 2015

Kongres Ketuhanan

Atheist Rasionalist kepada Blaise Pascal :
Tuhan itu tidak ada. Ibadah itu sia-sia.

Blaise Pascal kepada Atheist : Kalau aku mati, dan ternyata di akhirat tidak ada Tuhan, aku tidak rugi karena telah beribadah dan berbuat baik sesuai dengan ajaran Tuhan. Dengan mengimani Tuhan, nanti saat mati aku bisa bergabung denganNya. Dengan berbuat baik, aku membahagiakan orang-orang disekitarku. Berbeda denganmu, jika kau mati dan ternyata di sana ada Tuhan, maka kau rugi karena terlanjur tidak pernah beribadah kepadaNya.

Polytheist kepada Pascal : Baiklah Pascal, kita sepakat bahwa Tuhan itu ada. Tapi, kamu tetap bakalan tekor. Coba kamu pikir, bagaimana kalau ternyata kamu menyembah Tuhan yang salah karena Tuhan yang kamu pikir menjanjikan keselamatan itu cuma berdiam di satu gereja? Jangan salahkan siapapun kalau akhirnya kamu stuck sama satu Tuhan yang belum tentu bener itu. Kalau sampai salah sasaran pas nyembah Tuhan, pas kamu meninggal gabungnya bakal sama orang yang kamu sebut Atheist Rationalist itu. Tuhan yang sebenarnya bisa jadi ngerasa nggak pernah kamu sembah. Mendingan aku dong, nyembah banyak Tuhan sambil berbuat baik sesuai dengan perintah para Tuhan. Setidaknya aku memperkecil prosentase salah sasaran pas beribadah ke Tuhan. Siapa tahu dari sekian banyak Tuhan yang aku yakini, ada 1 yang benar.

Scriptualis kepada Mereka : Guys Guys, jadi gini guys. Nggak perlu ngobrolin Tuhan. Dia itu Maha Besar. Lebih besar dari otak dan jangkauan pikir kalian. Nah, udah pada bisa baca kan? Udah, imani aja apa yang ada di kitab suci. Iman akan menyelamatkan kalian dengan sendirinya. Nggak usah mikir berat-berat. Nanti pada gila. Nggak perlu mempermasalahkan hal yang udah jelas dalilnya. Kitab nggak mungkin salah. Itukan SabdaNya. Adanya alam semesta ini itu udah jadi bukti kuat kalau Tuhan itu ada.

Habermas kepada Scriptualis : Dalilnya jelas gimana? Menurut lu fungsinya ilmu hermeneutik itu apa? Ya karena tafsiran sebuah teks itu nggak tunggal. Harus relevan sama konteks saat teks dibuat, dan ditinjau sama konteks kekinian.

Agnostik kepada Mereka : Ada apa sih ribut-ribut soal Tuhan. Gini ya, nggak ada yang benar-benar bisa memverifikasi soal ada atau nggaknya Tuhan. Nggak ada yang menjamin bahwa teks udah ngelewatin proses verifikasi yang bener. Berbuat baik aja sih. Hidup damai sama alam. Coba sini tunjukin siapa yang udah beneran ketemu sama Dia? Nggak ada kan? Percaya sama Tuhan itu hal personal, kalau beriman ya beriman aja, nggak usah koar-koar. Itu pengalaman spiritual pribadi kalian. Nggak usah norak deh ya. Namanya juga pencarian. Soalnya, kalau ada yang ngaku punya otoritas soal Tuhan apalagi sampai berani bilang udah ketemu Tuhan dan segala macemnya, artinya dia apa Freud…?

Freud kepada Agnostik : …orang gilak! Plus kayak anak kecil cemen yang dikit-dikit butuh ngadu ke Bokapnya.

Dijah Yellow kepada Mereka semua : Say No Dangdut, No Agnezmonica, No Raisa, No Ayu Ting Ting, No Syahrini, No Yuna, Say no to them. Say yeah to Dijahyellow I'm Hodijah I'm Not Artis

Freud kepada Dijah Yellow : Diaaaaam!!!

Felix Siaw kepada Mereka : Makanya, saya bilang juga apa, Khilafah adalah Solusi segala permalasahan ini!! Khusus buat Freud, "Udah, putusin aja!"

Yusuf Mansyur untuk Mereka : Yang Solusi atas semuanya adalah Sedekah. Jadi, tolong itu kotak kencrengnya diputerin dulu. Insyaallah Tuhan akan melipat gandakan kebaikan ente semua.

Freud kepada Yusuf Mansyur : Gila apa! Siapa yang mau ada double Dijah Yellow di muka bumi ini. Satu aja udah berisik gini. Ada masalah sama alam bawah sadarmu tuh!

Determinis kepada Mereka : Melihat kalian debat begini indah ya. Kalian nggak sadar apa kalau sesungguhnya debat ini adalah bagian dari takdir Tuhan. Tuhan sudah merencanakan hal ini. Kayaknya aja ini keliatan panas, tapi yakinlah bahwa ada rencana yang indah dibalik ini semua.

Free Will kepada Determinis : Ya terserah kalian aja mau dilanjut apa nggak bahasannya. Kan hidup itu pilihan. Tanggung konsekuensinya aja sih. Kalau selesai ya selesai aja. Tuhan mah nggak ikut campur dalam hal ini. Tuhan punya hal yang lebih besar dan penting untuk dikerjakan daripada soal-soal printilan cem kongres ini. GR banget deh dikit-dikit ngerasa urusannya diikut campurin sama Tuhan. Ntar kalau kena musibah nyalahin Tuhan pulak! Kek gitu mah udah hukum sebab akibat. Kalian bebas milih kok. Kalau mau lanjut ya monggo, tapi konsekuensinya kalau lanjut bahas Tuhan apa Goen? Yang pernah kamu bilang itu lho…

Goenawan Mohamad pada Free Will : …Tuhan dan hal-hal yang tak selesai?

Free Will kepada Goenawan Mohammad : Nah! Iya. Itu!

Sufi pada Mereka semua: Hadirin sekalian, tidak perlu bertengkar. Sesungguhnya Tuhan adalah Cinta. Cinta adalah Tuhan. Apakah kalian bisa merasakan Cinta? Jika tidak, maka hati kalian telah keras. Masih ada jalan untuk melembutkannya kembali.

Chu Pat Kay kepada Sufi : Cinta… Deritanya tiada akhir…

Band Sisir Tanah kepada Chu Pat Kay : Yang wajib dari cinta adalah mesra; Yang wajib dari mesra adalah rasa; Yang wajib dari rasa adalah luka.

Abdul Hadi WM kepada Mereka : Izinkan saya berpuisi untuk menenangkan ini semua; Tuhan, Kita begitu dekat; Sebagai api dengan panas: Aku panas dalam apiMu;

Tukang dagang Minuman : Panas pak? Mangga pak, Mijonnya Mijon Mijon. Yang dingin, yang dingin. Mijonnya pak.

Perenialis pada Mereka : Begini ya kawan-kawan. Kebenaran akan Tuhan itu adalah sebuah konsekuensi logis Cosmos. Dia bagai sumber cahaya, yang sinarnya ditangkap dengan media yang berbeda oleh para umatNya. Apapun medianya toh sumbernya tetap Tuhan. Jika ditanya bagaimana kita bisa tahu mana media itu menampung terang yang berasal dari Tuhan dan mana yang terangnya itu dari bohlam abal-abal? Jawabnya, cari yang ada kesamaan tradisi antar satu media dengan media lainnya. Jadi, pintar-pintar kalian ajalah pilih media penyembahan Tuhan kayak apa. Tergantung kecocokan jiwa kalian aja terhadap yang kalian anut. Orang intelektual itu pasti spiritual. Kalau kalian emang kaum intelek, pasti yang kayak gini udah selesai. Kalau landasan berpikirnya masih justifikasi kitab suci, dijamin deh, sampai kapanpun akan terus berpolemik.

Postmodern kepada Mereka semua : Coba ngana pikir, ngapain kita buang-buang energi ngebahas beginian? Lalu dapat apa di sini? Kalian nggak akan dapat kesimpulanya. Kalaupun dapet kesimpulannya, lalu apa? Setelah ini semua selesai, buat apa? Udah sih, kalian semua itu bener menurut kalian. Segala sesuatu itu sifatnya relatif. Hargai aja.

Gusdur kepada Mereka Semua : Tuhan tak perlu dibela. Gitu aja kok repot!

Selasa, 23 September 2014

Melawan Intoleransi lewat Literasi Media

Ruangan kecil tanpa AC itu bukan masjid atau pura, namun kita harus melepas sepatu sebelum memasukinya. Menurut ingatan dan daya ukurku yang payah, ruangan itu berukuran sekitar 4x7 meter. Bagi "pemakan buku", tempat itu adalah salah satu potongan "surga" ilmu pengetahuan di kota Jogja jika dimanfaatkan dengan baik. Apalagi tidak perlu membayar sepeserpun untuk meminjamnya. Otak para pecinta buku akan dimanjakan dengan ribuan koleksi buku di sana. Aku sendiri merasa tak puas jika hanya sekali dua kali menelusuri deretan judul-judul buku yang tertera di sana dan bingung mau membaca yang mana dulu. Sebagian besar adalah buku cetakan lama yang sudah langka dan penting. Kadang ada satu dua orang yang mampir ke perpustakaan ini untuk mencari referensi ataupun sekedar membaca di tempat. Aku dan Alesia biasanya mesti berbagi meja dengan pengunjung perpustakaan, dengan tempat duduk di sekeliling meja menghadap atau membelakangi kaca depan yang dulu pernah dirusak massa intoleran saat diskusi bersama Irsyad Mandji dulu dilaksanakan. Dari kaca itu, kita bisa memandang pendopo LKiS, tempat diskusi yang biasanya dianggap "meresahkan" kelompok tertentu sehingga harus dijaga dengan ketat dengan intel dan kepolisian. 


Sebagian Rak Buku di Perpustakaan LKiS

Aku dan Alesia mendapat jatah magang Yayasan LKiS Yogyakarta selama 3 minggu. Saat itu, kami berdua belum begitu yakin kegiatan apa yang akan kami lakukan di LKiS. Pihak LKiS sendiri mengatakan bahwa yayasan sedang tidak memiliki kegiatan lagi sampai September. Kami berdua harus memikirkan apa yang harus kami lakukan selama 3 minggu di sini.

Aku meminati dunia jurnalistik, media, kebebasan beragama, politik dan HAM. Sebagai mahasiswa S1 Political Science untuk major dan Psychology di Haverford College US, Alesia meminati di politik, psikologi, kebebasan agama, dan HAM. Kami harus mencari sesuatu yang sama sesuai dengan minat kami berdua agar dapat bekerjasama dengan baik selama magang. 

“Ceritakan soal literasi media di Amerika.” tanyaku pada Alesia memulai pembicaraan di hari pertama magang kita.

Well, aku pikir kita di Amerika tidak menyebutnya secara khusus. Mungkin memang disebut literasi media di beberapa tempat, aku hanya akan mengatakan sesuai dengan pengalamanku. Dari SD kita sudah diajari untuk menulis, membaca, mengapresiasi dan mengkritik karya teman kita di kelas. Dimulai dari hal sederhana. Misalnya puisi, kemudian prosa, sampai di SMA, kita mulai mengkritisi jurnal ilmiah dan teori-teori lainnya. Tulisan-tulisan terbaik di sekolah hasil dari kelas bahasa itu kemudian diterbitkan dalam sebuah buku. Jadi setiap anak berlomba-lomba untuk membuat karya terbaiknya," Ia berhenti sejenak untuk mengikat rambut panjang hitam khas Meksikonya, "Saat aku berusia 13 tahun, sudah ada puisi karyaku hasil dari latihan menulis di sekolah yang diterbitkan bersama dengan banyak puisi lain yang sudah melewati seleksi ketat dan diseleksi.” lanjutnya dalam bahasa Inggris beraksen Amerika dengan ritme Spanyol yang cepat. 

Dari obrolan selanjutnya, kami merasa bahwa mengadakan lokakarya literasi media yang berbasis anti intoleransi sepertinya menarik. Mengingat bahwa di Indonesia, agama bukanlah ranah privat sampai-sampai kita harus mencantumkannya dalam kartu identitas. Alesia sempat tidak percaya bahwa di Indonesia, agama yang dianut warga negara juga sempat diwajibkan untuk tertulis di KTP, ia baru percaya setelah aku memperlihatkan KTP ku. Ia tetap beranggapan bahwa seharusnya negara tidak perlu tahu keyakinan paling privat warganya. Aku mengatakan bahwa kekerasan atas nama agama di Indonesia menempati urutan kedua terbanyak setelah konflik agraria. Kami berdua membaca berbagai artikel di internet dan menonton video kekerasan atas nama agama di Youtube. Fakta-fakta soal apa yang terjadi pada minoritas beragama di Indonesia membuatnya merinding. Ia membayangkan jika ia tinggal di Indonesia, pasti ia juga akan mengalami kesulitan-kesulitan beribadah dengan adanya larangan pendirian gereja. Aku menceritakan soal Pendeta Bennhard Maukar dari Kristen Pantekosta Rancaekek yang dipenjara 3 bulan karena dianggap punya gereja yang tak berizin. Sedangkan, mengurus perizinan gereja di wilayah mayoritas Islam itu susahnya minta ampun. Sebagai pengikut Kristen Pantekosta, Alesia jadi sedih mendengarnya. Ia jadi lebih merinding ketika aku menceritakan soal jemaat Ahmadiyah Lombok dan pengikut Syiah Sampang yang terusir dari kampung halamannya. Belum lagi yang terbunuh dan diintimidasi karena dianggap kafir.

Alesia Lujan-Hernandez adalah partner magang dan risetku di program ini. Dia bersama dengan 5 mahasiswa lain dari Amerika mengikuti program Summer School dari VIA (Volunteer in Asia) dan Haverford College Program,  6 mahasiswa dari Indonesia juga terpilih untuk mengikuti program ini bersama mereka untuk kelas pelatihan riset, magang dan kolaborasi riset selama 2 bulan di Yogyakarta. Kami ber-12 terbagi menjadi 6 grup magang yang masing-masing grupnya terdiri dari 2 orang. Di Program ini, ada 2 mahasiswa dari Haverford College, 4 mahasiswa dari Bryn Mawr College, 3 mahasiswa UGM, 2 mahasiswa Universitas Paramadina, dan 1 Mahasiswa dari UNIPA (Universitas Negeri Papua) di Papua Barat. 

Mas Hairul Salim, direktur Eksekutif Yayasan LKiS berkata pada kami berdua, “Di lantai atas ada ruang kosong yang bisa dipakai. Silakan kalau ingin membuat diskusi dan semacamnya. LKiS tidak punya kegiatan secara khusus sampai bulan September.”

Kami merasa tertantang mendengarnya. Bukankah menyenangkan jika bisa membuat sebuah kegiatan suka-suka kita dengan fasilitas lengkap?

Awalnya kami berpikir untuk membuat diskusi kecil seputar intoleransi dan literasi media. Tapi kami khawatir bahwa sebenarnya diskusi yang kami adakan hanya untuk orang-orang yang sudah setuju dengan isu anti intoleransi beragama. Kami tidak ingin menggelar sebuah diskusi yang hanya bicara dan didengar oleh umatnya sendiri. Kami ingin sesuatu yang saat didiskusikan menjadikan tema tersebut menjadi hal baru bagi peserta diskusi.

Aku dan Alesia memutuskan untuk membuat program Literasi Media ke Siswa SMA dengan dibantu pers mahasiswa dari kampus-kampus di Jogja sebagai mentor. Namun, sebelum itu, kami harus merumuskan, literasi media macam apa? Apa fokus utama kami? Bagaimana cara kami untuk dapat memperoleh daftar sekolah yang harus kami kunjungi? Aku dan Alesia tidak memiliki jaringan sekolah di Jogja. Selain itu, bagaimana dengan materi, sekolah dan pelatihan literasi dapat diwujudkan dalam waktu 3 minggu sedangkan waktu liburan sekolah karena libur nasional bulan Ramadhan untuk siswa mengejar di belakang kami?

Yang pertama kami lakukan adalah membuat linikala dan list to do, apa saja hal yang harus kami lakukan dalam minggu pertama, minggu kedua, dan minggu terakhir. Jadwal yang kami buat membuat kami sendiri kerepotan hingga kami harus berangkat sangat pagi ke LKiS untuk magang dan baru pulang saat sore hari. Sambil bercanda, di tengah kelelahan kami mempersiapkan segalanya, Alesia berkata, "Banu, we took this internship too seriously." Aku terkekeh, kami berdua memang selalu pulang paling akhir dan berlagak sok sibuk diantara teman-teman yang magang di LSM lainnya. Apalagi ketika Izzy Roads, direktur VIA Program mengirimi kami inbox lewat Facebook yang isinya meminta materi literasi media kami untuk teman-temannya di Burma yang mengakibatkan kematian hanya karena beredarnya berita palsu yang disebarkan lewat facebook tentang Mandalay. Padahal saat itu, materi kami belum sepenuhnya siap dan isinya hanya relevan untuk Indonesia.

Rencana kami, minggu pertama adalah membuat materi literasi media, menghubungi pers mahasiswa mana saja yang bisa diajak kerjasama, mencari SMA, Training of Trainer (ToT) dengan para pers mahasiswa dan sebagainya.

Beruntunglah, Mas Salim mengajak aku dan Alesia untuk datang ke seminar yang pesertanya ternyata guru agama dari SMA se Yogyakarta yang diadakan oleh Kementerian agama. Usai seminar itu,  aku mengumumkan akan mengadakan pelatihan literasi media yang berbasis anti intoleransi. 4 guru agama  dari SMA yang berbeda menghubungi kami untuk mengikut sertakan sekolahnya dalam lokakarya literasi media. Lucunya, sebagian besar dari mereka tidak tahu literasi media itu artinya apa. Saat itu aku juga kesulitan untuk menjelaskan dengan kalimat yang singkat lokakarya yang akan kami adakan karena materinya juga belum siap. Sedangkan Alesia tidak bisa bahasa Indonesia sehingga menghambat dirinya dalam menjelaskan secara detail kepada guru SMA yang bertanya langsung padanya. 

Untunglah, para guru tersebut tak butuh penjelasan yang terlalu rinci saat itu juga. Mereka mendaftarkan sekolahnya dalam lokakarya ini karena mereka senang apapun yang membuat para muridnya maju. Aku jadi terharu karena menemui PNS yang mau bekerja dengan maksimal demi siswanya. Selama ini aku sering memandang sebelah mata para PNS yang bekerja asal-asalan dengan gaji tetap beserta berbagai keuntungan pensiuan dan gadai SK di bank. 

Aku dan Alesia mencoret list to do mencari sekolah. Kami sudah berhasil mendapatkan SMA 1 Piri, SMK 2 PI Ambarukmo, SMAN 1 Kalasan, dan SMAN 2 Wates sebagai daftar sekolah yang akan kami beri materi lokakarya literasi media. Kami menuliskan daftar SMA tersebut untuk dikunjungi sebelum lokakarya berlangsung di minggu kedua to do list karena kami perlu memastikan ada fasilitas yang kami perlukan beserta berbagai berbagai kesepakatan lainnya.

Selanjutnya kami menghubungi pers mahasiswa. Mas Wisnu Prasetyo, seorang teman yang jadi alumni Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Balairung UGM memberikan koneksi untuk dapat berhubungan dengan pengurus yang sekarang. Seorang teman dari twitter memberikan kontak Pers Mahasiswa Ekspresi UNY yang beberapa waktu lalu tabloidnya sempat dibredel rektor. Lewat koneksi LKiS, kami mendapatkan kontak ke LPM Arena UIN Yogyakarta. Setelah kontak berlangsung lewat SMS, dan sempat berkunjung, yang dipastikan bisa mengikuti ToT adalah LPM Balairung dan LPM Arena. LPM Ekspresi sedang sibuk menyiapkan materi majalah dan beberapa anggotanya masih KKN. Kami mengerti dengan kesibukan mereka.

Di jadwal kami, sudah tertera akhir pekan minggu pertama kami adalah ToT untuk teman-teman LPM. Kami menekankan bahwa di sini kami tidak ingin menjadi guru, tapi mau belajar bersama. Tentu saja sangat kikuk mengajar literasi media di depan mahasiswa yang sehari-hari sudah bergelut seputar media. Sehingga mungkin saja akan ada banyak koreksi dan itu adalah hal baik. 

Rasanya hari berjalan terlalu cepat. Sampai hari kamis minggu pertama, kami belum selesai menyelesaikan materi presentasi. Kami juga menyiapkan jadwal dan isu-isu yang akan dibahas di lokakarya. Untuk menyusun itu semua, kami harus begadang sampai akhir pekan.

Aku membuat materi seputar 9 elemen jurnalisme dari buku karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Sedangkan Alesia membuat materi yang diambil dari buku Verification Handbook karya banyak jurnalis dari media internasional yang bisa diunduh di sini. Sedangkan presentasi yang dibuat oleh Alesia bisa diunduh di sini.

Pada hari Training of Trainer, sekitar 15 orang dari 2 Pers Mahasiswa Balairung UGM dan Arena UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta datang. Karena agak nervous berbicara soal media di depan awak media juga, kami berkali-kali meminta saran maupun koreksi teman-teman LPM jika ada yang keliru dari presentasi yang kami sampaikan.

Alesia mengawali workshop Literasi Media dengan Identity walk games dengan menggunakan bahasa Inggris. Aku menerjemahkan apa yang dia katakan dan apa yang peserta sampaikan padanya. Materi Identity walk yang tujuannya untuk mempraktekkan bagaimana bias media bekerja. Materi Identity walk ini bisa diunduh di sini.

Mas Hairul Salim membantu kami mengisi materi terakhir, praktik verifikasi pemberitaan di media lewat fasilitas google image.

Intellectual Social Responsibility (ISR), bukan Volunteering
Saat mempersiapkan teman-teman pers mahasiswa untuk menjadi trainer, aku menjelaskan kepada mereka bahwa menjadi trainer dalam literasi media ini bukanlah kegiatan volunteering biasa seperti kebanyakan gerakan lain. Apalagi, saat ini ada banyak orang melakukan kegiatan volunteering dengan setengah hati. Maksudnya, kebanyakan kegiatan volunteering saat ini dijalankan dengan tidak konsisten. Karena pelaksanaannya hanya didasarkan sesuai dengan waktu yang seadanya dengan kemauan yang naik turun sesuai dengan kepentingan dan kesempatan ala kadarnya. Jika ada waktu dan sesuai mood, maka sebuah program akan dijalankan. Jika tidak ada mood dan waktu, maka tanpa beban apapun sebuah program akan ditinggalkan.

Bayangkan apabila atmosfer volunteering ala kadarnya ini benar-benar diterapkan oleh banyak orang, konsistensi gerakan akan terhambat. Menurutku, tanggung jawab terhadap gerakan bukan didasarkan pada rasa senang semata ataupun iseng-iseng berhadiah. Gerakan adalah sebuah tanggung jawab sosial yang harus dimiliki oleh orang-orang yang sudah memiliki kesadaran dari dirinya sendiri untuk menggerakkan. Orang tersebut sudah memiliki bekal dalam hal intellectual sehingga gerakan adalah konsekuensi logis perjalanan intelektual dan spiritualnya. Aku menamakan gerakan ini sebagai Intellectual Social Responsibility (IRS). Orang hanya perlu mengaktualkan kesadaran dirinya sendiri kemudian melakukan gerakan untuk menularkan tren kesadaran tersebut kepada orang lain. Orang yang belum merasa memiliki tanggung jawab sosial tidak perlu ikut andil dalam gerakan karena justru akan menghambat pergerakan itu sendiri.

Awalnya, gerakan literasi media ini menggandeng LLPM dari kampus di Yogya karena aku dan Alesia berharap bahwa setelah aku kembali ke Jakarta dan Alesia kembali ke Amerika, akan tetap ada mahasiswa-mahasiswa yang memberikan pelatihan literasi media yang berbasis kebebasan dan kerukunan beragama di SMA se-Yogya. Sayang sekali, mahasiswa UGM sedang sibuk-sibuknya KKN (Kuliah Kerja Nyata) sehingga tidak dapat menjadi trainer literasi media untuk SMA.

Yang membantu kami adalah 2 orang anggota pers mahasiswa dari LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Arena UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mereka bernama Lugas dan Faksi. Lugas adalah Pemimpin Redaksi LPM Arena. Dia lelaki tinggi berwajah manis dengan rambut panjang bergelombang yang tampak pendiam dan cerdas. Selera musiknya juga bagus, ia memberikan rekomendasi musik beraliran Postrock dari youtube yang menjadi musik favorit Alesia menjelang tidur. Sampai hari terakhir di Jogja, Alesia masih tidur sambil menyetel Youtube channel rekomendasi Lugas. How Cute! Faksi adalah anggota LPM Arena yang asalnya dari Madura, Faksi juga manis kok, rambutnya pendek dan sering mengatakan hal-hal lucu di luar dugaan. Sekalipun dia tidak bisa bahasa Inggris dengan lancar, dia selalu berusaha mengajak Alesia bicara dan menceritakan hal-hal yang dianggapnya lucu. Alesia sering bertanya padaku diam-diam, "Dia tadi nyeritain apa sih sebenarnya? Apakah itu benar-benar lucu?" Kami juga sering memainkan namanya dengan ejaan 'Fuck See' alih-alih Faksi sambil bercanda. Saat aku bertanya pada Faksi soal nasib pengikut Syiah Sampang yang terusir dari desanya, Faksi buru-buru membantah keterlibatan dirinya dengan kelompok intoleran di sana. Aku dan Alesia senang bahwa akhirnya kami dibantu oleh 2 orang yang memiliki kepedulian yang sama di bidang kebebasam beragama dan anti intoleransi.

Lokakarya di 4 SMA
Kami melakukan banyak revisi soal materi yang harus diberikan pada siswa SMA. Materi itu berbeda dengan materi ToT. Kami tidak lagi menggunakan presentasi Verification Handbook karena keterbatan waktu yang disediakan sekolah. Kami juga masih menggunakan Identity Walk Games di awal lokakarya.

Lugas dan Faksi belum bergabung menjadi mentor di SMA pertama yang kami kunjungi.

Sekolah pertama yang kami kunjungi adalah SMA 1 Piri. Dikutip sepenuhnya dari laman resmi  SMA PIRI 1, berdirinya SMA PIRI 1 Yogyakarta tidak dapat lepas dari keberadaan Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) Yogyakarta, yang lahir dari Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) aliran Lahore yang diprakarsai oleh H. Minhadjurrahman Djojosugito. Yang kemudian beliau disebut sebagai Peletak dasar Yayasan PIRI. Sekitar 25an siswa anggota OSIS mengikuti lokakarya kami.

Aku dan Alesia juga belum menjadi pengajar yang baik saat itu. Ada banyak evaluasi dalam hal metode dan materi yang kami lakukan setelahnya. Misalnya, bagaimana caranya menghadapi siswa menolak berbicara di kelas? Bagaimana caranya menghidupkan interaksi di kelas? Bagaimana caranya supaya Alesia yang tidak bisa bahasa Indonesia tetap dapat berkomunikasi aktif dengan siswa dan memahami celotehan siswa di kelas? Bagaimana supaya suasana yang kami bangun tidak terlalu formal? Bu Anis, guru Agama yang mengundang kami ke sana menceritakan tentang beberapa siswa dengan latar belakang yang beragam dan menarik. Kami jadi mengerti mengapa respon siswa terhadap kehadiran kami masih sangat malu-malu.

Karena sulitnya menyesuaikan jadwal sekolah yang mulai liburan kenaikan kelas sekaligus libur bulan Ramadhan, aku dan Alesia akhirnya mengajar literasi media secara terpisah. Aku ditemani Lugas ke SMK PI Ambarukmo, sedangkan Alesia dan Faksi ke SMAN 1 Kalasan yang lokasinya dekat dengan Candi Prambanan. 

Di SMK PI Ambarukmo, pada awal pertemuan, peserta lokakarya literasi media yang mengikuti kelas kami ada sekitar 25 orang termasuk dengan mahasiswa keguruan yang sedang KKN di SMK tersebut. Namun, setelah istirahat shalat Jumat, peserta lokakarya berkurang drastis hingga hanya tersisa 15 orang. Aku dan Lugas tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk menyikapi hilangnya beberapa peserta lokakarya selain melanjutkan materi selanjutnya. Di akhir lokakarya, kami mengobrol dengan Pak Sa’dun guru Agama SMK PI Ambarukmo yang mengundang kami datang. Kami terkesan dengan pandangan-pandangannya soal kerukunan umat beragama yang dia tanamkan pada siswanya selama ini. Dia selalu berharap dengan literasi media berbasis anti intoleransi ini, siswa-siswanya tidak hanya memperoleh materi yang itu-itu saja ala pelajaran SMK, tapi juga bisa mendapatkan wawasan lain yang membuat siswa hidup rukun antar umat beragama.

Di SMAN 1 Kalasan, Alesia dibantu oleh guru bahasa Inggris untuk menerjemahkan apa yang ingin dia ajarkan karena Faksi merasa kesulitan untuk menerjemahkan bahasa Inggris Alesia yang pengucapannya sangat cepat. Pak Samijo, Guru Agama Katolik di sekolah itu menjelaskan pada Alesia dan Faksi, peserta lokakarya yang mereka ajar adalah siswa Kristen dan Katolik yang tidak mengikuti pesantren kilat Ramadhan di sekolah. Sehingga ada siswa muslim di kelas saat itu.

Lokasi lokakarya terakhir kami adalah SMAN 2 Wates. Kali ini kami berlima, aku, Alesia, Lugas, Faksi dan ditemani oleh Mas Hairul Salim. Wates masuk dalam kabupaten Kulon Progo DIY, lokasinya sangat jauh dari pusat kota. Kami datang terlambat karena sempat salah jalan. Anggota OSIS dan mahasiswa magang yang KKN di sana tampak lebih antusias mengikuti kegiatan ini dibanding sekolah-sekolah sebelumnya. SMA ini dulunya adalah SMA standar internasional yang biasa menerima pertukaran pelajar dari luar negeri. Ketika sekolah standar internasional dihapuskan, SMA ini tetap menjadi sekolah favorit lulusan SMP. Baik mahasiswa keguruan dan siswa berinteraksi dengan aktif di kelas. 

Foto Bersama Usai Lokakarya di SMA 2 Wates
Lugas membantu kami mengedit dan menerjemahkan diagram soal posting atau tidak posting di Facebook sebagai salah satu materi dalam literasi media di kelas. Edisi bahasa Inggrisnya bisa dilihat di sini, sedangkan edisi bahasa Indonesianya bisa dilihat di sini.

Awalnya, kami ingin kembali ke 4 sekolah itu untuk melakukan riset etnografi dengan metode partisipasi observasi, kuesioner dan wawancara soal pemahaman literasi media dan dampaknya terhadap interaksi antar umat beragama. Namun, semua sekolah terlanjur libur Ramadhan sehingga aku dan Alesia terpaksa mencari cara lainnya untuk mendapatkan research participant. Memang, saat kami berkunjung ke 4 SMA itu, status kami masih magang di Yayasan LKiS. Penelitiannya belum dimulai. Sehingga lokakarya dan penelitian tidak dapat dijalankan secara bersamaan saat itu juga.

Target kami dalam literasi media adalah membuat siswa dapat berpikir kritis dalam menerima informasi apapun. Dengan pemahaman yang baik mengenai media, siswa akan bersikap skeptis dan mencari alternatif informasi sehingga tidak mudah terprovokasi oleh pemberitaan media yang tidak berimbang apalagi dalam kaitannya dengan pemberitaan soal keagamaan di media massa. Mereka diharapkan dapat membuat berita sendiri dengan prinsip-prinsip sederhana dalam jurnalistik.

Karena belum berhasil membentuk komunitas literasi media di Yogya, dari awal kami ingin membagikan materi literasi media yang sudah direvisi sebelumnya. Materi ini sifatnya copyleft, siapapun boleh menggunakannya secara bebas, mengunduh maupun memodifikasinya sesuai dengan kepentingan masing-masing pengajar. Bahkan tidak menyertakan nama pembuatnya tidak apa-apa, tapi aku menyarankan sebaiknya mencantumkan nama pembuat materinya agar kesalahan dalam materi bisa menjadi tanggung jawab kami.

Beritahu juga jika ada komentar maupun saran agar materi literasi media ini lebih efektif untuk diajarkan terutama kepada siswa SMA atau komunitas lainnya. Berikut tautan materi presentasi literasi medianya berbasis kerukunan beragama. Dropboxnya harus di download ya supaya videonya bisa dimainkan Jika ingin membuat lokakarya serupa, kami juga membagikan instrumen praktek literasi media yang masih sangat perlu direvisi. Untuk sesi ini, pengajar literasi media memilih 2 berita dengan topik sama tapi dengan framing pemberitaan yang berbeda dan membedahnya secara kritis. Selain itu, kami juga menyertakan contoh proposal permohonan ijin pengajaran literasi media untuk diberikan ke sekolah, silakan download di sini.

Membuat lokakarya literasi media dalam waktu singkat itu tidak mudah, tapi itu juga bukan sesuatu yang mustahil dilakukan.

Teman-teman juga bisa berdiskusi lebih lanjut soal literasi media dan kaitannya dengan gerakan anti intoleransi beragama denganku via email syaharbanu.ayu@gmail.com. 

Sabtu, 16 Agustus 2014

"Bolehkah Saya Memakai Pakaian Rohani?"

Setelah pelajaran berakhir, seorang murid mendatangi gurunya, "Guru, bolehkah aku mulai memakai pakaian rohani?"

Guru memandangi sang murid. Melihatnya dari atas ke bawah, dan menggelengkan kepalanya pelan.

"Tapi kenapa guru?"

Guru tersebut meletakkan kitabnya, berdehem, kemudian menjawab, "Muridku, kita tidak bisa sembarangan memakai pakaian rohani, baik penutup kepala maupun jubah ini. Kau harus menjadi orang yang sangat baik akhlaqnya. Kau juga harus menguasai kitab-kitab tingkat lanjut dahulu. Baru setelah dirasa kau  cukup baik mengikuti segala pelajaran agama, kau boleh memakai pakaian rohani."

"Begitukah? Jadi, dalam kata lain, aku belum pantas mengenakan baju rohani karena akhlaq ku masih buruk?"

"Kau hanya perlu menunggu beberapa tahun lagi, semoga nantinya ada peningkatan spiritual sehingga kau benar-benar pantas mengenakannya."

"Baiklah kalau begitu. Tapi, sebelum saya undur diri, bolehkah saya menceritakan sebuah cerita?"

"Silakan..."

"Pada suatu hari saya pergi ke pemandian umum bersama teman-teman. Saat saya membuka baju, teman-teman berkata, 'Astaga Mohsen!!! Badan kamu kotor sekali! Menjijikkan!!' Akhirnya saya memakai baju saya kembali dan mengemasi barang-barang saya. Teman-teman bertanya, 'Lho? Kamu mau ke mana? Tidak jadi mandi?' Saya menjawab, 'Karena badan ku kotor, aku berniat mandi dulu di rumah sebelum berendam bersama kalian di sini. Karena sepertinya yang boleh mandi di sini hanyalah orang-orang yang badannya sudah bersih.' Demikian cerita saya guru..."

Guru merenung dan tersenyum memandangi muridnya.

"Jadi bagaimana?" Desak sang murid.

"Baiklah, kau boleh mendaftarkan dirimu di upacara pemakaian baju rohani besok." Ujarnya sambil tersenyum. "Ngomong-ngomong, apakah ceritamu itu sungguhan?"

"Guru yang mengajarkan saya untuk tidak mudah menyerah. Adapun cerita tersebut, hanya perumpamaan saja."

Murid cerdas tersebut kini telah menjadi ulama besar di Republik Islam Iran. Dia bernama Mohsen Qaraati.

Note :
Cerita ini aku baca sekitar dua tahun lalu. Seorang pelajar agama di Hauzah Ilmiyah Qom, Iran menceritakannya lewat sebuah aplikasi mengobrol sebagai dongeng pengantar tidur. Namun file dongeng sebelum tidur itu hilang. Sehingga aku hanya mengandalkan ingatanku untuk menuliskannya kembali. Sudah lama ingin menulis cerita ini di blog, tapi lupa. Tentu saja ada yang sedikit berubah terutama pada detail cerita. Tapi intinya sama kok. :).

Di Iran, seorang pelajar yang ingin memakai Amameh (penutup kepala mirip surban) dan gamis khas Ulama Iran harus melalui upacara penahbisan khusus. Hanya pelajar-pelajar yang memenuhi syarat yang bisa memakainya sebagai tanda bahwa ia sudah sampai pada tingkatan pelajaran tertentu. Biasanya gelar yang diberikan adalah Hujjatul Islam. Karena untuk menjadi seorang ulama tidak mudah, maka ada banyak pelajar yang berlomba-lomba kecerdasan supaya lolos berbagai ujian agama. Meliputi Fiqih, Ilmu Al Quran, Filsafat maupun Tasawuf/'Irfan. Beda sekali dengan di Indonesia. Asal kamu hafal beberapa ayat Al Quran dan pintar bicara, kamu bisa jadi ustad. Di Indonesia, seseorang bisa menjadi ustad dengan sistem polling SMS. Ketimpangan standarisasi ulama inilah yang membuat banyak sekali orang yang bertindak sewenang-wenang atas nama agama. Karena ia tidak benar-benar memahami agama, atau bisa jadi, sebenarnya ia sama sekali belum pantas menjadi seorang ulama. 

Jumat, 13 Juni 2014

Ahmadiyah : "Love for All, Hatred for None"

Tempo pernah memuat liputan tentang sejumlah Masjid Ahmadiyah yang disegel oleh golongan tertentu maupun pemerintah melalui SKB (Surat Keputusan Bersama) 3 Menteri. Konsep kerukunan beragama SBY yang melahirkan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) memang membuat minoritas makin terjepit oleh arogansi mayoritas. Pembangunan rumah Ibadah minoritas makin dipersulit. Rumah ibadah yang sudah berdiri jauh lebih lama dari SKB 3 menteri pun ikut terkena dampaknya. Penyegelan rumah ibadah dan persekusi terhadap komunitas Ahmadiyah terus terjadi. Terutama di Jawa Barat.

Ada sebuah kecenderungan bahwa di dunia ini ada banyak orang yang membenci apa yang tidak diketahuinya. Orang yang tidak tahu Syiah akan membenci Syiah. Orang yang tidak tahu Ahmadiyah akan membenci Ahmadiyah dan hal-hal lainnya. Ketidaktahuan membawa seseorang pada perilaku intoleransi. Riset dari Kemenag pada tahun 2010 tentang Kekerasan atas Nama Agama menyimpulkan bahwa semakin sedikit ilmu seseorang tentang agama, semakin membentuk perilaku intoleran. Jadi, silakan bercermin, saat seseorang mengkafirkan orang lain, apakah ilmunya sudah tinggi? Jika ada sebuah lembaga yang mengkafirkan umat beragama lain, apakah ia sudah benar-benar meneliti tentang agama/kepercayaan yang ia kafirkan?

Kata Rumi, dengan mata cinta, segalanya jadi indah. Bagaimana jika kita melihat dengan mata kebencian? Bukankah akan terjadi sebaliknya? Itulah mengapa, sebaiknya orang yang ingin tahu lebih jauh tentang ajaran yang hendak ia tentang mengetahui langsung dari sumber pertama berita. Bukan sekedar kata mereka. Kata ulama. Atau desas desus belaka. Gunakan prinsip verifikasi sekalipun anda bukan jurnalis. Toh agama sudah mengajarkan tentang konsep tabayyun.
Di depan masjid dan perpustakaan Masjid Ahmadiyah Arief Rahman Hakim Yogyakarta
Hari ini aku berkunjung dan sholat Jum'at di satu-satunya masjid Ahmadiyah Jogja. Masjid ini bernama Masjid Arif Rahman Hakim. Arif Rahman Hakim adalah seorang pemuda dalam puisi "Karangan Bunga" karya Taufik Ismail yang ditembak aparat di depan Istana Negara pada 25 Febuari 1966. Belum banyak orang yang tahu bahwa dia adalah seorang muslim Ahmadiyah.

Jamaah Ahmadiyah di masjid ini ramah-ramah. Mereka tidak memandangku dengan aneh saat shalat dengan menggunakan turbah untuk bersujud. Mereka juga tidak mempersoalkan aku yang sholat tanpa bersedekap. Berbeda jika aku shalat di masjid biasa. Orang biasanya akan memandangku dengan aneh dan bertanya ini itu mengenai perbedaan fiqih. Beberapa kali juga pernah langsung dituduh macam-macam hanya karena berbeda dalam fiqih. Bukankah ada perbedaan fiqih juga di tubuh Ahlussunah Waljamaah antara Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali? Sedikit perbedaan itu juga seharusnya bukan sesuatu yang perlu dipertentangkan lebih jauh. Karena sebanyak apapun tafsir maupun intepretasi umat terhadap agama, sumbernya tetap Satu. Kita menyebutnya Tuhan, Allah dan nama-nama Agung lainnya.

Jamaah Ahmadiyah tata cara sholatnya sama seperti Ahlussunah Waljamaah. Dari takbiratul ihram, bersedekap, rukuk, sampai bersujud. Mereka juga bershahadat, melakukan shalat, berpuasa, zakat dan haji. Persis seperti Muslim Sunni. Sayangnya, pemda Tasikmalaya sudah memberlakukan aturan bahwa jamaah Ahmadiyah dilarang melakukan ibadah Haji. Tentu saja ini merupakan pelanggaran terhadap kebebasan melakukan ibadah.

Khatib Shalat Jumat Ahmadiyah siang tadi berbicara tentang pentingnya pertemuan-pertemuan rohani untuk memperkuat silaturahmi antar anggota Ahmadiyah. Tidak ada khotbah kebencian terhadap pengikut aliran lain atau kepada capres tertentu. Wajar, Ahmadiyah memang menjunjung tinggi perdamaian. Di tembok masjid Ahmadiyah ini terpampang motto yang selalu dijunjung tinggi oleh para jamaah Ahmadiyah. "Love for All, Hatred for None."

Siapa yang siang tadi dapet khotbah sholat Jumat yang berisi kebencian dan provokasi? Mau pindah tempat sholat Jumat nggak? :))

PS :
Terimakasih untuk sahabat Ahmadi ku Fatimah Zahrah, yang memperbolehkan aku ikut mengunjungi sekaligus beribadah di masjid Arif Rahman Hakim ini. Terimakasih juga untuk Sita Magfira , mbak-mbak Filsafat UGM yang mau mengantar kami berdua ke masjid ini dan kemana-mana seputar Jogja di tengah kesibukan seputar perkuliahan dan perpacarannya. *peluk satu-satu*

Senin, 19 Mei 2014

Ide Awal Bebas Beragama

Kasus kekerasan atas nama agama menurut data kepolisian RI menempati urutan kedua terbanyak setelah konflik agraria. Maka kami tergerak untuk membuat sebuah website yang mengajak masyarakat untuk menghindari kekerasan atas nama agama dan menghargai agama sebagai pilihan hidup personal seseorang tanpa paksaan apapun.

Seseorang berhak beragama apapun atau tidak beragama sama sekali. Karena beragama atau tidak adalah konsekuensi logis pengetahuan dan pemahaman kita mengenai kehidupan dengan segala dinamikanya. Ada yang menganut kepercayaan lokal, ada yang menganut agama resmi yang ditetapkan pemerintah,ada yang memilih tidak menganut apapun. Ada yang beragama karena proses pencarian, ada yang beragama karena keturunan dari orang tua, dan berbagai proses lainnya dalam mengenal agama dan meyakininya.

Sebagai warga negara Indonesia, agama, ras, maupun keyakinan apapun berhak mendapatkan perlindungan dari negara.

Kerukunan beragama yang dicanangkan oleh SBY mengakibatkan adanya konflik horizontal dan sekat-sekat antara mayoritas dan minoritas. Ada lembaga-lembaga yang dibuat untuk mempersulit kehidupan beragama kaum minoritas dan segudang aturan konyol lain untuk "menertibkan" ajaran yang menurut lembaga terkait "sesat" maupun "menyimpang". Hal ini sangat berbahaya karena dapat menjadi sebuah pembenaran adanya kekerasan.

Menurut penelitian kementrian agama (Bashori A. Hakim : 2010), kekerasan atas nama agama dapat mencakup:
  1. Kekerasan yang dilakukan individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok, baik dari kelompok agama yang sama atau kelompok agama yang berbeda, baik yang didorong oleh motivasi keagamaan maupun faktor yang lain
  2. Kekerasan yang dilakukan individu atau kelompok dengan cara mengucilkan, mengintimidasi, atau mengusir kelompok lain yang memiliki keyakinan agama yang dianggap menyimpang atau berbeda
  3. Kekerasan berupa perusakan atau penistaan terhadap objek atau simbol keagamaan seperti kitab suci, nabi, dan tempat peribadatan.
Dalam penelitian yang sama, disebutkan bahwa : Makin baik pengetahuan agama seseorang, maka makin tidak terdorong orang tersebut untuk melakukan tindak kekerasan atas nama agama.


Melalui website bebasberagama,org kami mengajak kawan-kawan untuk berkontribusi  dan berbagi cerita dan pandangannya mengenai agama dan kepercayaan yang dianut. Menyebarkan kedamaian dan mengedepankan dialog dalam menyikapi perbedaan persepsi seputar keagamaan. Tanpa kebencian maupun kekerasan.

Musuh kita bukanlah orang dengan keberagamaan yang berbeda dengan kita. Musuh kita adalah kekerasan. Kekerasan, atas nama apapun tidak dibenarkan. Apalagi sampai mengatasnamakan Tuhan.

Maka, pada akhirnya, bebas beragama adalah sebuah keniscayaan.